Ily sudah mengatur segalanya untuk kencan Yohan dan Tiffany. Yohan tidak menolak, justru menanti hal ini dengan gugup, membuat Ily semakin yakin Yohan sedang jatuh cinta pada Tiffany. Meski seharusnya dia gunakan waktu luangnya untuk belajar, kini justru sibuk berkirim pesan dengan Yohan dan Tiffany.
Seperti perjanjiannya dengan Eza, Yohan harus menjauhi Ily satu minggu ini dan tidak boleh bertemu atau saling berbicara. Jika tertangkap, Yohan harus menjauhi Ily satu minggu lagi.
"Lo juga nggak boleh satu meja sama Chili, jadi, silahkan pindah." Eza berkata seperti itu ketika datang ke kelas Ily esok harinya.
Yohan tak bisa membantah, dengan berat hati ia menukar kursi dengan Lia, cewek pendiam yang duduk bersama Dodi di belakang barisan Ily. Selama satu minggu mereka harus seperti itu.
Tidak saling berbicara, menyapa ataupun mengobrol banyak di kelas. Sebenarnya Ily senang-senang saja karena dengan begitu Yohan bisa menambah temannya, juga beban Ily sedikit berkurang.
Bukannya Ily tak peduli banyak, namun ia hanya diam saat menyadari Yohan tak beranjak dari kursinya sejak pertama kali mereka tak satu meja. Hari berikutnya Yohan pergi setiap istirahat, entah ke mana.
Kini hari Sabtu telah menyapa dan besok adalah hari di mana Yohan harus kencan dengan Tiffany. Ily sibuk mengingatkan agar Yohan tidak lupa untuk berjanji di city mall pada jam 10 pagi.
Yohan: aku harus bagaimana nanti? Aku bingung
Ily: kamu hanya perlu mengikuti kemauan Tiffany, dia anaknya easy-going
Yohan: kamu ikut saja, mengikuti dari belakang
Ily: pikirmu aku nyamuk? 😤
Yohan: ya sudah kamu tak perlu ikut saja
Ily: memang harusnya begitu!
Yohan: iya
Ily: jangan lupa besok jam 10 ya
Yohan: iya, ilyssa
Ily menghela napas lega. Kemudian beralih menelepon Tiffany karena gadis itu inginnya dikabari lewat telepon. Tak menunggu lama, telepon segera diangkat dan Tiffany langsung bertanya situasi apakah Yohan bersedia atau tidak.
"Yohan mau. Tempat dan waktunya sesuai yang lo mau."
"Oh? Begitu, ya. Makasih, Ily. Imbalannya nanti gue kasih setelah gue benar-benar bisa menjadi milik Yohan."
"Oke."
"Gue tunggu kata-kata lo menjadi kenyataan."
Sambungan telepon diputus dan Ily menghela napas lagi. Kini terasa berat, entah kenapa. Ily mematikan ponselnya dan mengisi baterainya. Ia memakai jaket kemudian keluar dari kamarnya.
Menelusuri rumah yang sepi karena Ayah dan Ibunya sedang bekerja, Ily bersenandung kecil lagu In My Blood Yang dibawakan Shawn Mendes. Ia menuju kulkas dan mengambil kemasan Hi-Ly yang sudah terasa ringan. Sepertinya hampir habis dan hari Senin Ily berencana untuk membelinya.
Satu kotak Hi-Ly bisa habis dalam satu minggu sebab Ily rutin meminumnya. Entah tinggi badannya bertambah atau tidak, Ily menyukai rasanya.
Ia mengambil termos dan menuangkan air panas di dalamnya dalam takaran yang cukup ke dalam mug yang telah diisi oleh serbuk susu Hi-Ly. Ily kemudian mengaduknya dan duduk di sofa ruang tengah sambil menyalakan televisi.
Jam baru menunjukkan pukul 10 dan Ily malas mandi karena dia tak akan ke mana-mana. Mungkin dia akan belajar lagi, berlatih untuk penilaian Seni Budaya dan sisanya dia akan menonton drama Korea.
Ily menyeruput Hi-Ly-nya, menikmatinya dengan segenap jiwa sambil memejamkan mata meski televisi di depannya menyala. Ily hanya tak suka keheningan saat bersantai. Ia selalu ingin ada suara, apapun itu.
***
Namun bukan berarti suara berisik seperti Elvan yang kini sok bernyanyi Sampai Jumpa milik Endang Soekamti dengan wajah sedih dan menghayati yang Ily inginkan untuk mengisi sepi rumahnya.
Ily memang meminta Eza untuk datang sore hari, sekitar pukul empat. Ily memintanya untuk mengajari gitar dan Eza menyetujuinya karena kapten futsal itu kebetulan luang. Pada saat hari sudah menunjukkan waktu yang diinginkan Ily, Eza datang.
Namun bukan sendiri, justru bersama Elvan yang langsung rusuh membuka kulkas dan mengambil air mineral di sana. Ketika Eza dan Ily sibuk mengobrol tentang lagu yang ingin dibawakan Ily serta mencocokkan kunci agar mudah dimainkan, Elvan sibuk berceloteh tak jelas.
Mulai dari menanyakan makanan. Lalu berbicara tentang rumah Ily yang menurutnya terlalu gelap karena Ily selalu menutup semua gorden jendelanya ketika ayah dan ibu tidak ada. Ily menjawab dengan menyuruh Elvan untuk berlaku semaunya, hingga Elvan sontak membuka semua gorden dan rumah Ily kini terang benderang. Elvan berlanjut ke dapur, mengambil Snack kacang panggang yang ada di atas kulkas, memakannya sambil berceloteh lagi.
"Bentar lagi kita mau lulus SMA, ya," katanya sambil mengunyah kacang panggang. "Jadi sedih."
Ily yang sedang menunggu Eza menulis kunci gitar untuknya langsung membalas Elvan dengan pedas, "lo jangan terlalu percaya diri gitu. Barangkali lo nggak lulus, kan. Takdir nggak ada yang tau."
"Yee, si Bangsul," tukas Elvan tak suka. Kemudian dia mulai bernyanyi Sampai Jumpa, "terbit kan tenggelam, datang akan pergi, ada dan tiada, bertemu akan berpisah. HEY! SAMPAI JUGA DI LAIN HARI! SAMPAI KITA BERTEMU LAGI!"
Ily memutar bola mata, memilih mengabaikan Elvan saja karena mau dibilang bagaimana pun, Elvan tak akan mendengarnya. Ia memilih untuk fokus pada Eza. Sebenarnya Eza adalah anak baik, dia penurut dan akan membantu tanpa melihat siapapun orangnya jika dia bisa. Hanya saja mulut yang senang mengata-ngatai dan mengompori itu kadang menutupi sikap baiknya sehingga dia dicap buruk oleh Ily. Belum lagi Eza yang senang mendekati banyak perempuan sekaligus, modus sana-sini bahkan menyelingkuhi jika memadai.
"Udah belum?" tanya Ily pada Eza, sedikit mendekatkan diri sebab suara Elvan yang menggangu.
Keberadaan Ily yang dekat saat Eza menoleh, membuat wajah keduanya hanya berjarak sepuluh centimeter. Mereka saling menatap sejenak untuk setelahnya Ily langsung menjauhkan diri. Jantungnya jelas berdetak kencang, terkejut bukan main sementara Eza hanya mengernyit namun tak peduli lebih lanjut.
"Udah, Ly, nih," kata Eza tanpa beban. "Lo apalain sesuai cara gue. Oke? Lo lancarin dulu nyanyinya hari ini, liriknya harus hafal dan nada lo harus tepat. Besok baru mulai pake gitar, gue juga mau nyoba di rumah."
Ily mengangguk-angguk, bersyukur Eza punya pemikiran cerdas dan tampak berpengalaman untuk membimbing dirinya yang masih buta akan penampilan dengan gitar. "Makasih, ya, Za."
"Udah ganteng, baik lagi. Eza gitu, lho." Eza menyombongkan diri dan tersenyum lebar. Membuat Ily mendelik jijik sementara Elvan yang langsung berhenti bernyanyi kini balas berbicara, tak mau kalah.
"Kalau lo mau tampil pake gendang, gue jagonya, Ly. Tinggal panggil nama gue tiga lagi, gue langsung datang," katanya percaya diri.
Ily hanya mencibir, kemudian melihat Eza yang terlihat membuka tas gitarnya untuk mengeluarkan gitar kesayangannya itu yang diberi nama Mimi. Ily mengernyit melihatnya. "Mau ngapain lo? Bukannya besok kita pake gitarnya?"
"Gue mau nyanyi, dong," kata Eza sombong, sebab diantara tiga orang yang berada di sini, dia yang paling mahir memainkan gitar. "Dengerin, ya."
Eza mulai memetik senarnya. Mencobanya seperti yang Yohan lakukan kemarin-kemarin sebelum benar-benar memainkan intro lagu.
"Adu, gue udah agak lama nggak main. Agak kaku sih, tapi gue masih hafal kuncinya." Eza menjelaskan sedikit. "Ini gitar dari gue SMP anjir, nyaman banget gila. Nggak kayak punya orang."
"Udah ganti berapa kali itu senar?" tanya Elvan sambil tertawa. "Capek gue nganterin lo beli senar mulu."
"Gue kan nggak bisa motor, anjir," kata Eza memberi alasan.
Memang sejak SMP, Eza dan Elvan sama-sama belajar motor. Elvan yang memang keberaniannya seluas samudra, langsung bisa hanya dalam satu bulan berlatih. Sementara Eza yang agak penakut waktu itu, tak bisa melanjutkan latihan karena pernah kecelakaan yang membuatnya trauma hingga tak mau lagi mencoba.
Sebagai gantinya, Eza meminjam mobil ayahnya dan dapat mengemudikannya untuk dipakai pergi keluar. Selama ini, ke mana-mana Eza selalu bersama Elvan jika ayahnya tak mengijinkan membawa mobil ke sekolah.
"Gue akan balas jasa lo dengan lagu ini." Eza mulai serius, memainkan intro lagi dan mulai bernyanyi. Ily sendiri sedari tadi menunggunya, namun agak terkejut saat Eza menyanyikan bait pertama dari lagu yang familiar bagi Ily, namun ia lupa apa judulnya.
takkan pernah terlintas
tuk tinggalkan kamu
jauh dariku kasihku
Suara berat Eza mulai mengalun. Laki-laki itu punya suara bagus yang dipadukan dengan skill sama bagusnya. Ily tak tahu mengapa, namun dirinya merasa baper.
karena aku milikmu
kamu milikku
separuh nyawaku
hidup bersamamu
berdua kita lewati
meski hujan badai
takkan berhenti
sehidup semati
mentari pun tau
ku cinta padamu
Eza menatapnya, tak lepas hingga beberapa lama setelahnya ia kembali menunduk, melihat gitarnya, memastikan jarinya menekan senar yang tepat untuk menyuarakan kunci yang benar.
percaya aku takkan kemana mana
aku kan selalu ada
temani hingga hari tua
percaya aku takkan kemana mana
setia akan ku jaga
kita teman bahagia
Ily kini menyadari lagu apa yang Eza bawakan. Itu adalah salah satu lagu yang Ily suka, Teman Bahagia milik Jazz. Sementara itu, Elvan yang berada di antara mereka tak bersuara sambil menghabiskan kacang panggangnya.
takkan pernah kulupa
kamu yang kucinta
dari ujung kaki
hingga ke ujung kepala
aku ingin kamu
kamu yang kumau
belahan jiwaku
kamu masa depanku
berdua kita lewati
meski hujan badai takkan berhenti
sehidup semati
mentari pun tau
ku cinta padamu
percaya aku takkan kemana mana
aku kan selalu ada
temani hingga hari tua
percaya aku takkan kemana mana
setia akan ku jaga
kita teman bahagia
setia kan ku jaga
kita teman bahagia
percaya aku takkan kemana mana
aku kan selalu ada
temani hingga hari tua
percaya aku takkan kemana mana
setia akan ku jaga
kita teman bahagia
aku milikmu
kamu milikku
aku kan s'lalu ada
hingga di hari tua
percaya aku takkan kemana mana
setia akan ku jaga
kita teman bahagia
Eza menatap mata Ily penuh arti seraya mengakhiri permainannya, membuat Ily agak salah tingkah sementara Elvan pura-pura batuk secara berlebihan.
"Udah tiga bulan dan gue masih hafal. Bagus," puji Eza pada dirinya sendiri. Kemudian cowok itu menatap kedua teman dekat sejak kecilnya dengan pandangan harap. "Gimana?"
"Lo nggak ada maksud tertentu, kan?" tanya Ily hati-hati, sebenarnya agak segan untuk menyuarakannya. "Seperti ... naksir gue, gitu. Lo kan temen gue, Za. Kita bertiga untuk sahabatan sejak masih dalam kandungan dan nggak mungkin kita--"
"Idih, mana ada gue naksir sama lo, cabe. Heh, denger, ya. Gue tuh mendedikasikan lagu ini buat kalian berdua. Buat persahabatan kita," potong Eza dengan wajah tak santai. Nada suaranya meninggi seolah marah untuk menutupi salah tingkahnya.
"Najis, dah," balas Elvan jijik.
"Hm, gitu ya," kata Ily mendadak merasa malu sendiri.
Eza menatap Elvan tajam. "Apa lo, nyet?"
"Apa, jing?" balas Elvan tak kalah tajam.
"Heh, kalian bukan binatang, ya! Jangan berantem!" seru Ily menengahi Elvan dan Eza yang mungkin saja akan bertengkar tanpa alasan yang jelas. "Eh, mau sayang kagak? Gue ada satu di kamar."
"Ye, dari tadi dong, sayangku," balas Elvan langsung berlagak kesal, namun berikutnya dia bangkit sambil mengepalkan tangan ke udara. "YO LAH GAS!"
"AYE!" balas Eza berteriak tak kalah kerasnya.
Ily tertawa. Kadang tak mengerti dengan kedua sahabatnya yang sedang bertengkar, tapi lima detik berikutnya mereka kompak dan kembali seperti semula. Tanpa banyak menghabiskan waktu lagi, Ily berlari ke kamarnya dan mengambil samyang yang kemarin dia beli.
Ketika Ily keluar kamar, langkah Ily diikuti Elvan dan Eza menuju dapur. Ily mengernyit, langsung berbalik namun tak menghentikan langkahnya.
"Lo berdua mau ngapain? Tunggu aja di sofa," kata Ily heran. "Ngapain ngikutin gue?"
"Kita-kita mau bantu, lah. Nggak enak gitu, ngebiarin orang rumah nyediain makanan tapi kita nggak mau ngerasain pahitnya," jawab Elvan mewakili Eza yang kini mengangguk-angguk setujui.
Ily menghela napas. Tak mengerti dengan dua orang itu yang ingin membantu padahal Ily hanya perlu merebus mie dan membumbuinya saat matang. Itu sangat simpel, tak perlu tiga orang untuk mengerjakannya. "Terserah, tapi jangan macem-macem ya, entar kebakaran bahaya."
"Lo nggak punya pemadam kebakaran, gitu?" celetuk Eza penasaran, memerhatikan Ily yang mulai menyalakan kompor setelah mengunci panci dengan air.
"Kagak," jawab Ily cepat. "Makanya kalau kebakaran, lo berdua harus buru-buru ngambil air di WC pake ember. Ngerti?"
"Siap, bosku," jawab Elvan semangat. "Jadi, gue harus ngapain?"
"Menurut lo?" Ily balas bertanya dengan sarkas. "Asli, kalian tuh bolot banget, deh. Gue cuma masak mie instan, nggak perlu lo berdua bantu-bantu."
"Eh, eh, ini apa, Chilli," tegur Eza sambil mengambil kemasan samyang dan membuangnya ke tempat sampah. "Kamu itu jorok banget sih jadi cewek. Udah ibu bilangin, kalau sampah bekas masak itu langsung dibuang. Ngeyel banget sih!"
Ily melongo mendengar kritikan Eza yang sudah seperti ibunya itu, bahkan sampai tak dapat berkata-kata saking terkejutnya. Tak sampai di sana, Elvan pun beraksi. Laki-laki itu mengambil apron di atas kulkas dan memakaikannya pada Ily dengan telaten. Ily mematung, tak paham dengan kelakuan dua sahabat hari ini.
"Kalau masak tuh paket yang gituan, kalau nggak mau mubajir softergen," katanya ceramah.
"Kalian berdua kenapa sih?" tanya Ily akhirnya, tangannya sibuk membuka bumbu samyang kemudian menuangkannya pada piring yang telah di sediakan. "Aneh banget, asli."
"Kita tuh sayang sama lo, makanya kayak gini." Eza berdecak greget. "Gitu aja kagak ngerti."
"Kita bakal jagain lo, Ly. Jangan suka heran gitu. Lo harusnya udah terbiasa."
Ily tak tahu jika perkataan Elvan dan Eza merupakan sesuatu yang bukan main-main. Bukan sesuatu yang sesederhana seperti yang Ily pikirkan.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
𝓝𝓾𝓷𝓪
lah gue ama sepupu gue bawaannya berantem terus.
pen jadi ily deh gue
2020-03-31
1