"Kenapa tiba-tiba, hm?"
Juna menatap Tiffany dengan mata sendu, hangat dan dalam. Gadis yang telah mencuri hatinya tiga tahun itu tak membalas tatapannya, justru jatuh pada jari-jari lentik tangannya yang ditaut-tautkan seperti sikap seseorang yang sedang gugup. Juna jelas tak mengerti, ditambah ajakan tiba-tiba Tiffany untuk menemuinya di taman kota yang ramai sore.
Alih-alih menanyakan kabar Juna atau hal-hal menyenangkan lainnya, yang dilontarkan Tiffany justru meminta Juna untuk putus. Iya, memutus hubungan yang telah terjalin seribu hari lebih. Juna telah menjalaninya dengan suka dan duka, kemudian direnggut begitu saja.
Jelas, siapapun tak dapat menerimanya. Selama ini hubungannya dengan Tiffany baik-baik saja. Sejak awal mereka bertemu, keduanya punya sifat yang sangat bertolak belakang. Tiffany yang ramah dan punya senyum memikat banyak orang dengan wajah yang juga mendukung, sudah jadi ratu sekolah. Sementara Juna, ia hanya berandal sekolah yang kebetulan merupakan anak dari sahabat dekat Ibu Tiffany sehingga keduanya mengalaminya hal klise.
Mereka dijodohkan. Awalnya, keduanya sama-sama menolak, saling mencaci-maki, saling membenci dan menjauhi. Namun, lama-lama karena keseringan berkomunikasi dan berinteraksi, bibit cinta mulai mekar. Mereka sama-sama jatuh cinta, hingga menjalin hubungan lebih jelas dan lama berjalan sampai sekarang.
Ya, sampai Tiffany tiba-tiba, "aku capek, Jun. Entahlah, aku rasa hubungan kita nggak bisa diteruskan." Mata Tiffany menyipit sebab saat melihat lelakinya, matahari sore pun ikut menyorot matanya hingga ia merasa silau. "Lagian aku udah nggak cinta."
Juna tertawa kecil, hal yang sangat jarang sekali laki-laki itu perlihatkan. Dingin, sinis dan tajam merupakan kata-kata yang sudah menggambarkan Juna secara keseluruhan. Bahkan didepan Tiffany, Juna masih jarang sekali tersenyum. Bedanya dengan yang lain, Juna berkata-kata lebih lembut dan rendah pada Tiffany, kekasihnya.
"Ada yang gangguin kamu?" tanya Juna, justru mengkhawatirkan sesuatu yang lain dibandingkan memikirkan bahwa Tiffany menduakannya.
Dari awal, Tiffany adalah perempuan berkelas di matanya. Gadis itu tak pernah menangis, mengeluh, takut ataupun menyerah atas sesuatu. Energi positif selalu terpancar dari dirinya, membuatnya sudah seperti pusat dunia bagi Juna.
Kini Juna sadar, ia telah jatuh terlalu dalam.
Tiffany menggeleng pelan, mengambil tangan besar Juna untuk ia genggam dengan jari-jari kurus tangannya. Tiffany menipiskan bibir. "Aku hanya ingin berhenti dengan kamu. Kita berhenti saja. Jangan ada urusan hati."
"Kamu lelah atau bosan?" tanya Juna dengan sorot mulai serius.
"Kamu memang pacar yang baik, Juna. Tapi kamu terlalu baik untuk aku," balas Tiffany masih dengan nada elegan yang mampu menghapus pikiran negatif Juna tentang gadis itu.
"Aku kesepian tanpa kamu, Tiffa." Juna berdeham berat, menundukkan kepalanya sambil menggenggam erat tangan kecil Tiffany. "Tolong, jangan pergi. Aku akan jadi apapun untukmu, aku akan melakukan apapun agar kamu menerimaku kembali."
Tak terdengar balasan, namun Juna merasakan sebuah tangan jatuh di atas kepalanya. Tangan itu jelas milik Tiffany, tangan kirinya yang tak digenggam Juna, mengelus lembut puncak kepalanya, memain-mainkan rambutnya dengan pelan dan dalam waktu yang lumayan lama. Seolah menyiratkan bahwa Tiffany menyayangi Juna, namun tak bisa untuk terus bersama.
Ketika akhirnya Juna kembali mendongak, tangan Tiffany jatuh pada pundaknya. Juna hanya fokus pada mata Tiffany, berharap ada sesuatu yang berubah di sana. Tak ada hitam yang membuat tanda tanya dalam benaknya bertambah besar dan membuat Juna buta akan segalanya.
Sayang, tak ada yang berubah.
"Terimakasih atas waktunya, Jun. Aku senang pernah dicintai kamu," kata Tiffany sambil tersenyum lembut. Mulai melepas genggaman tangan Juna dengan perlahan. "Aku pulang, ya."
Juna menghela napas panjang, berat. Ketika Tiffany bangkit, ia menahan pergelangan tangannya hingga Tiffany kembali menoleh dan menatapnya dengan bingung.
"Kenapa?"
"Bisakah kamu jujur? Katakan yang sebenarnya," pinta Juna hampir putus asa. "Aku tak mengerti apa alasan kamu ingin kita berakhir seperti ini."
Tiffany adalah anak yang punya segalanya. Orang tuanya adalah pasangan berada yang bebas berkeliaran dan hidup mewah tanpa resah memikirkan bagaimana mereka akan hidup besok, rumah mereka besar dan mewah, ditambah Tiffany yang merupakan anak satu-satunya, membuatnya mendapat perhatian luar biasa yang membuat orang lain iri. Rupanya yang seperti Puteri, tak kalah membuatnya semakin sempurna.
Sikap ramahnya, rendah hatinya, baik budinya membuat Juna seperti preman yang hendak memaksanya menikah. Pikiran itu berkali-kali menghantui Juna, namun Tiffany selalu menyangkalnya, berkata bahwa Juna adalah lelaki baik yang akan dicintainya sepenuh hati.
Mencintai Juna yang berandal, keras kepala, sinis, tajam, mudah marah dan mudah membenci.
Kini, semuanya hanya kata-kata. Jelas, Juna tak bisa menerimanya. Bahkan kini tangannya sudah mencengkram pergelangan tangan Tiffany dengan erat, sorot matanya ikut berubah tajam.
"Aku tak suka dibohongi, dibodohi dan dikhianati di belakang," tegasnya dengan rahang mengeras. "Lebih baik bilang sekarang sebelum aku berubah."
Untuk satu alasan, wajah Tiffany tak gentar. Bahkan menegaskan bahwa dirinya tak bersalah atas terkoyaknya hati Juna berkat keputusannya.
"Aku menyukai orang lain, aku ingin bersama dia."
Rahang Juna mengeras. Matanya menyorot tajam dan penuh amarah. Dengan emosi yang ditahannya kuat-kuat, ia melepas tangan Tiffany dan berdecak keras.
"Siapa dia?"
"Itu nggak penting buat kamu. Tapi, kalau aku dengan orang itu terluka gara-gara kamu, aku nggak akan segan untuk melukaimu balik."
Perkataan terakhir yang disuarakan dengan nada dingin oleh Tiffany untuknya, membuat Juna sadar bahwa kedepannya hubungan ini tak akan pernah sama lagi.
Juna marah. Pada kenyataan bahwa posisinya dirinya tak sepenting itu bagi hidup Tiffany, juga pada seseorang yang tiba-tiba membuat segalanya runtuh.
Kini, hanya ada satu kata untuk menyelesaikan semuanya. Balas dendam.
***
"Yohan! Ya ampun! Kamu ngapain buku aku?"
Ily baru saja kembali dari toilet saat melihat Yohan sedang mencoret-coret buku catatan matematikanya. Yohan mendongak, menatap Ily dengan tatapan biasanya.
Waktu pulang telah tiba, namun Ily belum mau pulang karena ada soal matematika yang belum ia selesaikan sementara Yohan menunggunya. Ily me toilet untuk mencuci wajah dan tangannya, namun terhenti saat melihat apa yang dilakukan Yohan pada bukunya.
"Ooh, jadi seperti ini? Ini dikali lalu ditambah, terus ini bukan negatif, tapi positif, ya? Ooh, iya, iya, sekarang aku mengerti," cerocos Ily senang, senyumnya mengembang hingga deretan giginya terlihat.
"Kamu itu ceroboh," kata Yohan mengatai. Ia menyentuh tangan Ily dan membuat mata Ily melotot, langsung saja menghindarkan tangannya. Pada kenyataannya, Yohan bermaksud untuk mengambil penghapus dan menghapus coretan tangan Ily yang salah. "Matematika itu banyak cara. Kamu harus memilih yang paling singkat dan mudah. Tak perlu berbelit-belit."
Ily berdeham. Menghilangkan salah tingkahnya dan segera membereskan peralatannya untuk dimasukkan ke dalam tas.
"Kita akan pulang langsung?" tanya Yohan ketika mereka berdua berjalan beriringan di koridor sekolah yang sudah agak sepi.
"Iya," jawab Ily singkat, sebenarnya karena malu. Entahlah, Yohan sepertinya mulai mengacaukan hatinya.
"Oke," balas Yohan sekedarnya.
Mereka tiba di parkiran. Awalnya semuanya berjalan biasa saja. Memang, beberapa kalangan siswi-siswi yang berpapasan sempat memekik tertahan atau tersenyum malu-malu melihat kehadiran Yohan. Namun, kini, tubuh Ily seolah beku saat melihat sosok Tiffany tengah menatapnya dengan senyum lebar di sebelah motor Yohan.
Ah, lebih tepatnya menatap Yohan dengan kekaguman luar biasa.
Ily sudah gegalapan, ingin kabur saja, namun melihat Yohan yang berwajah datar dan tak mempermasalahkan kehadiran Tiffany, Ily menjadi termotivasi untuk berlaku sama. Ia memasang wajah tegas dan mantap menghadap Tiffany.
Perempuan itu cantik, rambut gelombangnya terurai dan tertiup angin lembut, kulitnya mulus dengan warna kuning langsat yang jujur saja, itu semua membuat Ily minder bukan kepalang.
"Sore, Yohan," sapanya dengan suara lembut, kemudian beralih pada Ily. "Ily, hair."
Ily tersenyum tipis, sesaat. Wajah tegasnya kembali terpasang. "Mau ngapain, Tif?"
"Aku mau ngomong sesuatu," balas Tiffany dengan suara imut dan gerakan malu-malu, "sama Yohan."
Ily menipiskan bibirnya. Ia menoleh pada Yohan dan menatapnya untuk melemparkan kode bahwa kini giliran Yohan untuk bicara pada Tiffany langsung. Yohan mengangguk, sepertinya mengerti atas kode yang diberikan Ily.
"Aku tidak mau denganmu," kata Yohan langsung. Terlalu pada intinya sampai membuat Ily melotot terkejut. "Tolong jauhi aku."
Wajah Tiffany tampak terluka, jujur itu membuat Ily merasa sangat bersalah. Bahkan Tiffany menundukkan kepalanya sejenak untuk setelahnya tersenyum lebih tegar menghadapi tatapan datar Yohan.
"Aku akan anggap itu sebagai pecutan untukku supaya berusaha lebih keras," balas Tiffany menyimpulkan dengan percaya diri.
Yohan mengerutkan keningnya tak suka. Sorot matanya berubah tajam dan serius. "Aku bilang jangan begini. Aku tak menyukainya, aku terganggu. Tidakkah kamu mengerti?"
Bahu Tiffany terangkat satu kali, seolah menyepelekan perkataan Yohan yang sudah sangat-sangat serius. "Aku tak peduli. Kamu akan tetap menjadi milikku. Siap-siap saja. Dah!"
Begitu. Tiffany pergi dalam langkah percaya diri seperti tuan Puteri yang bahkan sepertinya tak bisa Ily lakukan seberapa seringnya ia berlatih. Tiffany terlalu anggun, kuat, ambisius dan percaya diri.
Pada saat Tiffany telah menghilangkan dalam mobil hitam mengkilatnya, Ily menoleh pada Yohan.
"Kamu tidak terpesona, kan?" tanyanya memastikan.
Yohan menggedikan bahunya. "Tidak."
Senyum Ily terkembang. "Baguslah."
"Kenapa? Kamu cemburu?" tanya Yohan sepertinya berniat menggoda Ily.
Ily langsung mendelik. "Untuk apa aku cemburu?"
"Aku kan tampan. Kamu tidak terpesona?" tanya Yohan, tiba-tiba menunjukkan sisi yang lain. Ily jelas terkejut, bagaimana seseorang yang datar dan tak pernah tersenyum kini bertanya dengan senyum miring, menggoda.
"Kamu kenapa sih? Ayo, pulang!" seru Ily buru-buru mengalihkan pandangan. Menutup hati yang telah dipenuhi kupu-kupu, pipi yang memanas dan jantung yang telah bekerja lebih keras secara tiba-tiba.
Jangan bilang Ily menyukai Yohan. Algi tetap berada di hati terdalamnya. Mungkin ini hanya efek yang muncul karena Yohan tampan, bukan yang lain.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Irmadjokam
hadeeehhh...lucu2 gemeeezzzzzz gtu loh thoor...
2020-07-28
0