Jangan lupa besok ajari aku bahasa gaul
Iya, aku akan traktir kamu
Oke
Tiga pesan itu membuat senyum Ily tak kunjung pudar sejak ia bangun pagi. Ia mengikat rambutnya yang telah dikeramas dan dikeringkan dengan hairdryer. Ily menatap cermin, mengoles bedak bayi dan memakai lipbalm secukupnya. Kemudian, ia berdiri dan melihat penampilannya sekali lagi.
Kaos panjang polos berwarna biru dongker dengan jins berpadu dengan jam tangan hitam di pergelangan tangan kirinya. Ily menatapnya lama, kemudian bersemu sendiri memikirkan ketika nanti dirinya akan bertemu Yohan.
Bagaimana pandangan Yohan melihatnya? Bagaimana reaksinya?
Ily menggigit bibirnya, mengambil napas panjang, kemudian mengembuskannya pelan-pelan. Tak boleh ada perasaan yang macam-macam. Bahaya.
Akhirnya Ily berbalik dari cermin, mengambil tas selempang merah miliknya dan keluar dari kamarnya. Baru keluar, Ibu yang sedang berjalan menuju ruang tengah melihatnya, alisnya terangkat dengan wajah bingung.
"Mau ke mana?" tanya Ibu.
"Mau keluar sama Yohan," jawab Ily jujur. "Aku udah beres-beres kamar, kok. Kalau nggak percaya, cek aja, Bu."
Ibu melotot, segera menghampiri Ily dengan semangat. Membuat Ily bingung dengan apa yang terjadi, namun ia hanya diam, menunggu Ibu menjelaskan.
"Anak tetangga baru?" tanya Ibu memastikan, dengan sorot mata serius sekaligus senang.
"Iya, emangnya kenapa?" Ily justru balik bertanya karena masih bingung dengan apa yang dimaksud Ibu.
"Kalian ... pacaran?" Ibu bertanya hati-hati, antara tak percaya dan kaget.
Ily langsung tertawa salah tingkah. "Ih, Ibu. Kita baru aja kenal lima hari, masa langsung pacaran? Aneh, deh."
"Hm, iya juga sih, Ibu juga kurang percaya kalau misalnya kalian udah pacaran. Akhirnya, ya, kamu dapet juga yang kinclong. Ibu langsung restui, deh," kata Ibu sambil tertawa. Ia menepuk pundak Ily pelan dan merongoh saku celananya. "Uang jajannya kurang, nggak?"
Mata Ily membulat semangat. "Mau ditambahin?"
"Kasih jajanan yang enak buat Yohan, Ibu titip salam," kata Ibu sambil memberi dua lembar uang merah ke tangan Ily yang langsung melotot terkejut. "Kamu ke rumahnya sekarang?"
"Ibu, kok ngasihnya banyak banget? Waktu ngasih aku uang buat jajan satu minggu aja nggak segini," keluh Ily sempat-sempatnya.
Ibu hanya cengengesan. "Udah, sana. Baik-baik sama dia, orang Korea tulen, lho. Buat memperbaiki keturunan."
"Ibu!" Ily melotot sambil menghentak-hentakan kakinya kesal. "Emangnya aku jelek, apa?"
"Kamu nggak jelek, tapi kalau nikah sama orang Korea, gennya makin bagus," balas Ibu asal, kemudian berjalan menuju sofa ruang tengah untuk setelahnya menyalakan televisi.
Ily melihatnya agak kesal, kemudian berjalan keluar rumah. Ia memakai sepatu hitam dan melangkah menuju gerbang rumah Yohan yang berada lima meter dari gerbang rumahnya.
Setelah diteliti lebih dekat dan jeli, rupanya rumah ini telah direnovasi besar-besaran. Awalnya cat rumah ini berwarna kuning, sekarang jadi abu-abu dengan sentuhan putih di beberapa pojokan. Dulunya ada pohon mangga yang tak terurus, kini pohon itu didampingi oleh gazebo indah yang menggiurkan untuk dijadikan tempat baca. Pagarnya pun jauh lebih baik, tak ada keropos ataupun goresan seperti sebelumnya.
Rumah yang dulu dilihat angker oleh keluarga Ily, kini menjadi rumah mewah yang elegan, bersih dan indah.
Ily memencet bel berkali-kali. Ily mengerutkan keningnya saat dirasa lama sekali menunggu. Ia melihat jam di pergelangan tangannya, baru pukul 09.00, namun bukannya itu jam normal untuk orang-orang beraktivitas bahkan di hari libur?
Sebelumnya Ily mengira Yohan tak hobi tidur siang karena wajah cowok itu bersih dan segar, sepertinya menjalani hidup sehat dan teratur. Namun, mengapa sekarang tak ada tanda-tanda Yohan telah bersiap-siap?
Bahkan, Ily telah mengirim banyak pesan, namun tak kunjung ada balasan. Ketika akhirnya Ily akan menelpon laki-laki Korea itu, gerbang rumahnya lebih dulu terbuka sehingga niat Ily terhentikan.
"Oh, Ily, ya."
Ily hanya tersenyum menyapa Tante Shopie yang tampil cantik pagi ini. Kemeja putih dan celana bahan hitam yang licin dan rapi itu membungkus tubuh yang bahkan lebih ramping dari Ily. Wajahnya terpoles riasan lembut yang tipis dan elegan saat dilihat. Rambut cokelatnya terikat menjadi sebuah sanggulan khas perempuan karir. Tak lupa sebuah kaca mata yang menambahkan kesan cerdas dalam penampilannya.
Sungguh, Ily merasa sangat minder. Ia baru sadar Ibunya Yohan secantik ini.
"Pagi, Tante," sapa Ily sambil sedikit membungkukkan badannya, mencoba untuk terlihat sopan.
"Ayo, masuk aja," ajak Tante Shopie seraya menarik tangan Ily dan membawanya masuk ke rumah setelah menutup gerbang kembali.
Dengan kikuk, Ily mengikuti langkah Tante Shopie. Ia harus membuka sepatunya untuk setelahnya menggunakan sandal bulu-bulu yang nyaman dan hangat untuk berjalan di dalam rumah. Ia memilih warna hijau dari tujuh warna dan itu sangat lucu. Tante Shopie sendiri memakai warna ungu. Ini sudah tradisi, begitu kata Tante Shopie saat Ily bertanya apakah harus selalu memakai sandal di rumah.
Ily sendiri, di rumahnya dia tak pernah memakai sandal. Ily suka bertelanjang kaki saja, Ayah dan Ibunya pun seperti itu.
Rumah Yohan secara garis besar masih kosong, tak ada pajangan foto keluarga yang besar di dinding, ataupun barang-barang personal milik keluarga yang spesifik. Mungkin mereka belum memasangnya, begitu pikir Ily. Yang ada hanya lukisan klasik, dekorasi bunga di dinding dan akuarium kosong milik pemilik sebelumnya yang mungkin lupa untuk dibawa--Ily mengetahuinya karena pernah berkunjung.
Rumahnya benar-benar lenggang, hampir tak ada pajangan.
"Maaf, ya, Tante agak lama buka gerbangnya. Lagi siap-siap keluar," kata Tante Shopie seraya mengarahkan Ily ke sofa ruang tengah dan menyalakan televisi. "Tunggu, ya, Tante ngambil dulu brownies."
"Hah? Ah, nggak usah, Tante. Jangan repot-repot," kata Ily segera menolak merasa merepotkan.
Tante Shopie tertawa kecil mendengarnya. "Jangan begitu. Tante tau kamu suka brownies."
Ily hanya cengengesan. "Tapi, serius, Tante. Ily nggak perlu disuguhi kayak gini. Eh, Tante ngeyel." Ily langsung tersenyum lebar saat Tante Shopie telah datang dan membawa sekotak besar brownies dengan taburan kacang almond di atasnya.
Jelas ini sangat-sangat meningkatkan rasa lapar Ily.
"Kalau Tante suka enek kalau makan brownies. Kamu abisin aja," kata Tante Shopie seraya duduk di seberang Ily.
"Lah? Terus kenapa Tante beli kalau kurang suka? Banyak banget lagi," kata Ily heran. Menatap brownies yang menggiurkan itu bergantian dengan Tante Shopie.
Tante Shopie tersenyum tipis. "Brownies itu kesukaannya Yohan. Setiap hari dia selalu makan." Tante Shopie tiba-tiba melotot, sadar akan sesuatu dan berkata dengan panik. "Kamu mau jemput Yohan, kan? Ya ampun, Tante lupa. YOOOHAAAAAANNNNN!"
Ily tersenyum geli melihat tingkah laku Tante Shopie. Ia hanya melihat, menunggu sebuah pintu di lantai dua dengan mata penasaran.
"Tante, Yohan belum bangun, ya?" tanyanya.
"Iya. Tante lupa bangunin, aduh, maaf ya," balas Tante Shopie sambil meringis. "Biasanya dia langsung bangun, kok, tungguin aja."
Ily hanya mengangguk. Sampai akhirnya pintu yang ia dan Tante Shopie lihat terbuka, menampilkan sosok yang membukanya. Dengan piyama dan rambut acak-acakan, laki-laki itu mengucek matanya.
"Kenapa, Bu? Eh--" Yohan melotot saat menyadari kehadiran Ily. "Kamu kenapa di sini?"
"Yohan, tidak baik menolak tamu seperti itu. Ily sudah cantik begini. Cepat mandi, kalian akan keluar, kan?" Tante Shopie membalas dengan nada tegas dan itu membuat Yohan cemberut. Merasa tak adil dan juga bingung.
"Aku akan menunggu, Yohan," kata Ily dengan senyum tipis. Menahan tawa melihat wajah polos dengan rambut acak-acakan Yohan pagi ini. Dia terlihat seperti kucing. Lucu sekali.
Ily tak menyangka dibalik wajah datar dan sarkasme milik Yohan, ada sisi lembut ketika ia berada di dekat Ibunya.
"Ya sudah, aku akan bersiap-siap," kata Yohan akhirnya, menurut dan kembali masuk dalam kamarnya.
"Yohan kalau mandi cepat, kok. Kamu nggak perlu bosan. Nih, makan aja brownies-nya." Tante Shopie tersenyum menangkan. "Yohan sudah cerita. Kalian akan keluar untuk belajar, kan? Tante dukung sepenuhnya. Kalau kurang uang jajan, kasih tau aja, ya. Jangan malu."
Ily tersenyum malu, mengangguk kecil mengiyakan. "Siap, Tante."
"Eh, panggil Ibu aja deh, ya. Ibu Shopie, Ibunya Yohan," balas Ibunya Yohan itu seraya tersenyum lebar. "Simpan kontak Ibu, ya, sayang."
Lah? Ily mengerjapkan matanya, tak percaya sama sekali bahwa ini bukan mimpi.
***
Setelah berpamitan dengan Ibu Shopie, kini Ily dan Yohan berada di luar.
Yohan memakai kemeja abu-abu dengan garis putih serta jins hitam yang membungkus kaki panjangnya. Rambutnya dibiarkan jatuh, menutup kening dan hampir mencapai alis. Khas Korea. Dia tampan, jelas, membuat Ily harus extra berusaha untuk bersikap biasa saja.
Ily berdiri menunggu Yohan menyalakan mesin motornya. Ketika sudah menyala, Yohan justru turun dari motornya dan menatap Ily dengan sorot kesal, membuat Ily hanya dapat mengernyitkan kening tak mengerti apapun.
"Kenapa?" tanya Ily sudah tak tahan karena Yohan tak menjelaskan apa-apa.
"Harusnya kita berangkat tam tujuh malam, bukan jam sepuluh pagi," kata Yohan menyuarakan kekesalannya. "Kamu mengganggu jam istirahatku."
Ily memutar bola mata. Kemudian mengambil napas kecil untuk mengabarkan diri. "Begini, ya, Yohan. Keluar malam-malam itu tidak baik, aku tidak mau."
"Aku juga tidak mau keluar pagi-pagi," balas Yohan sama tak terimanya. "Malas."
"Sudahlah, sekarang kita sudah siap. Kenapa tak langsung saja? Aku tau tempat makan dan nongkrong yang enak!" seru Ily semangat, bahkan sampai menepuk-nepuk lengan Yohan dengan greget.
"Kita akan nongkrong?" tanya Yohan bingung.
"Iya!"
"Apa itu?"
"Nongkrong itu berdiam diri, entah itu sambil ngobrol, ngelawak ataupun curhat." Ily tersenyum lebar, berbeda dengan Yohan yang semakin tak mengerti dengan kata-kata yang diucapkan Ily. "Seru, lho! Ada wi-fi gratis juga, teman-temanku sudah banyak yang ke sana dan mereka puas dengan tempatnya!"
"Em--"
"Udah, ayo!"
***
"Aku pesan cheese cake, rainbow cake dan black forest," kata Ily pada pelayan cafe Dream True dengan semangat dan senyum lebar. "Minumnya lemon tea aja." Ily beralih pada Yohan kemudian. "Kamu mau apa, Yohan?"
Kening Yohan mengerut, tampak berpikir sambil melihat menu-menu yang tersedia. Namun, pada akhirnya, ia menjawab, "samakan saja."
"Oh, samain aja, Mbak," kata Ily pada pelayan itu, mewakili Yohan yang sepertinya masih asing dengan suasana di sini.
Cafe ini merupakan kesukaan anak muda untuk berkumpul. Sebab makanannya enak dan terjangkau, tempatnya pun tak kalah bagus dengan dominasi warna biru laut yang menenangkan.
"Tau nggak sih, aku pengen banget ke sini dari dulu," kata Ily mulai bercerita. Ia menompang dagunya dengan tangan kanan dan menatap Yohan. "Sekarang akhirnya tercapai juga, seperti nama Cafe ini. Dream True. Mimpi nyata."
"Mimpi yang jadi kenyataan, maksudmu?" koreksi Yohan dengan tawa sarkas. "Katanya teman-teman kamu sering ke sini. Kamu tidak diajak?"
Ily **** senyum. "Temanku itu dari YouTube. Mereka beda sekolah, kami jarang bertemu karena aku sibuk. Namun, kami masih saling menyapa lewat sosial media." Ily meringis kecil, kemudian mengeluarkan note book kecilnya dari tas. "Oke, deh, kita mulai pelajarannya."
Yohan hanya mengangguk-angguk. Melihat pergerakan Ily selanjutnya dengan tatapan datar biasanya.
Ily melihat jam tangannya, kemudian kembali melihatnya Yohan. "Kita pulang jam 12 saja, ya. Aku ada urusan."
"Langsung saja, aku tak suka basa-basi," kata Yohan pedas.
Ily mendengus. "Oke!"
"Hm?" Yohan refleks mengernyit saat melihat tulisan Ily di buku catatan kecilnya itu. Ia membacanya sedikit, kemudian menatap Ily dengan tanda tanya besar.
Ily tersenyum kecil, langsung menjelaskan tanpa diminta. "Kamu hafalkan saja. Itu kamus bahasa gaul yang aku buat semalaman. Jangan kecewakan aku, ya. Besok kita akan mulai prakteknya."
"Baiklah." Yohan hanya menurut saja.
"Bagus," tukas Ily senang. Senyumnya lebih mengembang lagi ketika pesanannya telah tiba. Ily segera berdoa dan mengangkat gardu untuk memakan kuenya. "Selamat makan."
Yohan hanya menatap Ily, kemudian pada pesanannya. Ia mengambil gardu dan ikut memakannya. Enak. Sesuai seleranya. Jelas, Yohan memakannya dalam suapan besar dan jauh lebih cepat habis dari Ily.
Melihatnya, Ily melongo. "Kamu sesuka itu dengan cake? Biasanya laki-laki itu tidak terlalu excited, lho."
"Kalau enak, mengapa tidak? Kalau aku suka, aku akan menghabiskannya. Kalau tidak, aku pun tidak akan memakannya," balas Yohan santai.
"Oh, oke-oke." Ily hanya mengangguk-angguk, ikut menikmati suasana cafe dan enaknya makanan. Keduanya berpadu sempurna dan menambah kesenangan Ily.
Mereka seperti berkencan. Berkendara di kendaraan yang sama, duduk saling berhadapan, bercerita dan memakan racikan yang lezat. Ily jelas berkali-kali lipat senangnya.
Sudah lama ia menanti, kini benar-benar terjadi.
"Aku nggak suka main ke luar rumah karena malu kalau sendirian," kata Ily tiba-tiba curhat. "Sekarang ada teman. Sepertinya kita harus sering-sering main ke luar. Kamu juga pasti ingin mengenal lingkungan ini, kan? Mengetahui tempat-tempat menyenangkan?"
Yohan mengangguk. Namun berikutnya ia mengernyit dengan mata tajam. "Sebelumnya kamu terlihat tak mau direpotkan karena kehadiranku. Tapi sekarang, berubah sebaliknya. Kenapa?"
Ily tersenyum malu-malu. "Namanya manusia, pasti berubah, kan?" tanya Ily, kemudian ia meminum lemot tea-nya. "Kamu tidak akan bertanya?"
"Hm?" Yohan bergumam, kemudian berpikir dan teringat sesuatu. "Kamu ... suka makanan apa?"
"Aku?" Ily tampak berpikir, seolah makanan-makanan berputar di sekelilingnya. Namun, pada akhirnya, hanya ada satu jawaban pasti, "cokelat. Semua yang mengandung cokelat, aku menyukainya."
"Pertanyaanku hanya satu." Yohan menyimpulkan. "Aku ingin pergi. Apa kamu punya tempat lain yang bagus?"
Ily melihat jam tangannya, kemudian mendesah kecewa dan tersenyum tak enak. "Sepertinya tidak bisa. Aku ada urusan."
"Besok saja kalau begitu," cetus Yohan cepat.
"Ah, ya, bisakah kita selfie dulu?" tanya Ily dengan binar senang. "Kamu orang Korea, pasti orang-orang banyak menyukainya."
"Tidak mau," tolak Yohan langsung.
Mata Ily membulat, ia mendesah kecewa. "Kenapa?"
"Aku tidak suka. Sudahlah, ayo pulang." Yohan berdecak dan tampak kesal. Laki-laki itu berdiri, meninggalkan Ily yang bahkan belum menghabiskan minumannya.
Hari itu, Ily mulai menyadarinya. Dibalik wajah datar, Yohan memiliki emosi yang mudah sekali naik.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Yuni Sultarani
Lucu
2020-02-17
2
Nabilla89
lanjut Thor ❤
2019-12-09
1