Sebanyak apapun Ily menikmati, rasanya masih tak bosan untuk dirinya senang saat menghirup udara segar di luar pada hari Minggu. Ily menyukai udara pagi, sejuknya dan semilir kecil angin.
Sudah menjadi sebuah rutinitasnya melakukan jogging di taman kota yang berada tiga kilometer dari rumahnya. Biasanya Ily berlari sendiri, namun melihat rumah Yohan, ia menjadi terpikir sesuatu.
Ily merongoh ponselnya dan memanggil nomor ponsel Yohan tanpa lama. Berdering beberapa saat, sampai akhirnya panggilannya diangkat Yohan.
"Ada apa?" Suara seraknya menyapa Ily. Jelas sekali laki-laki itu terpaksa bangun untuk menjawab panggilan Ily. "Kemarin kita sepakat keluar sore hari."
"Iya, aku tahu," balas Ily sambil memutar bola matanya. "Aku mau jogging. Kamu mau ikut tidak?"
"Kenapa harus pagi-pagi? Aku malas, tapi ingin ikut," tukas Yohan sambil menghela napas panjang, merasa kecewa.
"Aku tunggu dua puluh menit, ya," kata Ily. Tanpa merasa bersalah, ia menutup panggilannya. Berdiri menyandarkan diri pada gerbang rumahnya, menghadap rumah Yohan, menunggu sang pemilik rumah keluar.
Ily memutuskan untuk melakukan pemanasan ketika sepuluh menit berlalu ia habiskan dengan membuka media sosial dan berbincang online dengan teman-temannya. Mulai dari kepala, lengan sampai kaki. Ia berjalan di tempat, membuat ikatan di rambutnya perlahan melonggar.
Napasnya mulai terengah-engah. Peluhnya sedikit keluar di pelipis. Ily berhenti sejenak, membenarkan ikatan rambutnya kemudian melanjutkan pada gerakan kombinasi. Ia melompat-lompat, menepuk-nepuk tangannya, dan membuat ikatan rambutnya kembali melonggar.
Pada hitungan ke delapan, Ily melompat lagi, pada saat itulah ikatannya lepas sepenuhnya. Bersamaan dengan terbukanya gerbang rumah di depannya, di sana muncullah sosok Yohan dengan baju training hitam dan topi berwarna senada di tangannya. Ia menatap Ily dengan pandangan terkejut.
Ily berhenti dengan kikuk. Ia menyelipkan anak rambutnya ke telinga dan memilin tangannya dengan gugup. Sungguh, malu sekali rasanya. Ily ingin lari, berteriak dan bersembunyi, namun kakinya seolah melekat ke aspal jalanan ini. Ia membeku.
Ketika Yohan akhirnya melangkah, semakin dekat dan kini berada di depannya, Ily hanya mampu melihat sepatunya. Tak berani menatap wajahnya, apalagi matanya.
"Kamu sedang apa?" tanyanya bingung. "Kamu bukan kelinci. Kenapa melompat-lompat seperti tadi?"
Mendengar Yohan yang menahan tawa, Ily langsung mendongak. Sempat teraliri oleh listrik ketika matanya bertemu manik hitam itu sedekat ini. Ily mundur satu langkah kemudian mendengus keras.
"Aku melakukan pemanasan!" serunya agak kesal, seraya mengambil kembali ikatan rambutnya dan mengikat rambutnya setelah berbalik membelakangi Yohan karena malu.
"Kita jogging di mana?" tanya Yohan memecah sepi, ketika Ily masih sibuk pada Tatan rambutnya.
"Taman kota. Satu jam kita jogging ke sana, ayo," ajak Ily langsung setelah ia selesai membenarkan ikatan rambutnya, kini dengan kuat hingga seberapa sering pun ia melompat, rambutnya akan tetap terikat.
Yohan ikut berlari, mengiringi langkah cepat Ily dengan ringan. Tak lupa ia memakai topi hitamnya, membuat Ily semakin berdegup gugup melihat betapa menawannya Yohan kini.
"Kalau kamu lelah bilang saja, oke?" Ily bersuara ketika mereka mulai memasuki jalan raya, berlari kecil di trotoar bersih yang udaranya masih sejuk dan dingin.
Baru pukul enam pagi. Wajar.
Yohan mendengus mendengar perkataan Ily. "Aku kuat. Aku laki-laki. Jangan coba-coba meremehkan."
Ily tertawa kecil. "Maksudku, aku sudah biasa seperti ini. Tapi sepertinya kamu tidak. Aku hanya ingin mengantisipasi hal-hal yang mungkin saja terjadi."
"Aku memang tak biasa, tapi aku kuat. Jauh lebih kuat darimu," balas Yohan seperti tak mau kalah.
"Ya sudah," kata Ily tak mau mendebat lebih panjang. Ia tersenyum seiring menempuh jarak, melewati gedung-gedung yang masih tutup, tanaman hias jalanan dan beberapa lampu yang belum sempat dimatikan.
"Aku selalu seperti ini setiap Minggu, kalau kamu suka, kita bisa bersama-sama," kata Ily saat mereka melewati gedung Bank di sebelah pom bensin. Ily juga menjelaskan tempat-tempat supaya Yohan bisa hafal. "Aku akan tunjukkan banyak hal."
"Terimakasih. Kamu baik juga, kupikir kamu pribadi pemalas yang hanya mengurung diri di kamar," tukas Yohan dengan senyum miring.
"Enak saja!" seru Ily tak terima. "Aku ini bukan anak rumahan! Aku suka jalan-jalan dan traveling!"
Yohan menoleh, menatap tubuh yang lebih pendek darinya itu dengan senyum tipis. "Di sekolah kamu terlihat introvert sekali."
Mendengar kata-kata itu, Ily terdiam lama. Seolah ia tak mau membahas lebih jauh ataupun menyinggungnya. Ia hanya tersenyum tipis. "Aku punya alasan menjadi seperti itu. Lagipula kita sebentar lagi UN, tidak boleh banyak main-main. Penentuan masa depanku sudah ada di depan mata. Apakah cerah, atau justru redup."
Yohan masih tersenyum, kemudian menatap ke depan. "Kamu pasti bisa. Aku akan membantumu."
"Memangnya kamu pintar, ya?" tanya Ily penasaran. Tanpa sadar sudah memelankan kecepatan larinya karena lebih tertarik untuk mengobrol. "Di sekolah sebelumnya kamu bagaimana?"
Yohan terdiam lama. Seolah berpikir untuk menjawab. Langkahnya ikut memelan, kemudian menoleh dan menatap Ily lagi, meski gadis itu fokus memandang ke depan.
"Aku peringkat pertama. Nilaiku hampir selalu berada di atas yang lainnya."
"Serius? Woah--" kata-kata gembira Ily harus kembali tertelan saat dirinya menoleh dan mendapati Yohan juga sedang menatapnya. Ily jelas terkejut, pipinya langsung bersemu dan ia memutuskan untuk berlari kencang. "Kamu hebat sekali!"
Mendengar seruan tiba-tiba dan langkah cepatnya, Yohan tertawa pelan. Laki-laki itu ikut berlari, menyusul dan bahkan meninggalkan Ily sampai jarak mereka sekitar lima meter. Ily melotot, berusaha keras untuk menyusul, namun tak kunjung berhasil.
Ily mendengus. "Tungguin!"
"Kita harus belok kiri atau kanan?" tanya Yohan dengan suara diperkeras. Jarak mereka kini nyaris sepuluh meter dan Yohan bingung yang akhirnya berhenti saat menemukan pertigaan jalan.
Ily tersenyum miring mendengarnya. Ia berlari sekuat tenaga untuk menyusul. "Tunggu aku makanya!"
Yohan menunggunya, menyilangkan tangan dan menatap lurus-lurus pada Ily. Tubuh gadis itu mungil, sangat lucu melihatnya berlari terengah-engah dengan peluh yang sudah membanjiri wajahnya.
Ketika akhirnya Ily sampai di hadapannya, gadis itu melewatinya begitu saja dan membuat Yohan otomatis memutar bola mata.
"Tidak tahu terimakasih. Dasar. Kebiasaan," kata Yohan pedas. Bahkan sampai mencubit kecil lengan Ily sampai Ily meringis terkejut dibuatnya.
"Iya, iya! Makasih udah nungguin! Ayo, nyebrang, taman kotanya ada di depan kita," ajak Ily, tanpa sadar meraih tangan Yohan dan mengajaknya menyeberang di zebra cross saat lampu merah menyala.
Yohan terdiam, menatap tangannya yang ditarik oleh Ily. Ia dengan cepat berjalan, mendahului Ily dan kini posisi mereka telah berganti.
Laki-laki dari Korea itu menarik tangan Ily menuju gerbang taman kota yang telah terbuka dan mulai dipadati banyak orang. Juga para penjual yang berderet dengan stan masing-masing. Ily terkejut ditarik tiba-tiba, namun tak memikirkan lebih dalam sebab kini pikirannya telah terbang karena akan jajan sepuasnya.
Aku akan traktir kamu, adalah kata-kata yang tertuang ketika ia berpikir untuk membeli sesuatu.
***
"Ini namanya lumpia basah. Kamu mau tidak?" Ily menoleh pada Yohan setelah sampai di stan pedagang paling ujung. Setelah sampai di taman kota, bukannya Ily ingin berolahraga atau bermain permainan bola, ia hanya ingin makan.
Yohan menatap Ily, kemudian pada gerobak pedagang lumpia basah. "Apakah enak?"
"Kamu tidak akan tahu sebelum mencobanya. Cuma delapan ribu, kok. Kamu bawa uang, kan?" tanya Ily sudah tak sabar untuk mencicipi.
Yohan segera merongoh saku celana trainingnya, kemudian menyerahkan selembar uang berwarna hijau pada Ily. "Beli saja."
Senyum Ily terkembang lebar. Saking bahagianya, ia menepuk-nepuk lengan Yohan dengan greget. "Kamu duduk di sana saja, aku akan menyusul," kata Ily menyuruh Yohan untuk menunggu di bangku taman lima meter jauhnya dari mereka berdiri ini.
"Aku akan menunggu. Aku akan melihat proses pembuatannya," balas Yohan menolak.
Ily tersenyum tipis. "Baiklah." Ia beralih pada pedagangnya. "Pak, dua, ya."
"Pedes, nggak?" tanya pedagangnya.
"Satu nggak, satu lagi," jawab Ily, baru saja akan bertanya pada Yohan saat cowok Korea itu menjawab lebih dulu.
"Pedas."
Ily tersenyum bangga. Kemudian sambil menunggu lumpia basah dibuatkan, ia terpikir sesuatu. "Kamu sudah menghafal kata-kata dari kamusku kemarin?"
Alis Yohan terangkat, kemudian dia mengangguk percaya diri. "Aku hafal semuanya."
"Kenapa tidak coba kamu peraktikan? Ayo," ajak Ily sambil tersenyum lebar, menatap Yohan seperti muridnya sendiri, menunggu perkembangannya dengan tak sabar.
"Kamusmu itu, isinya kata-kata kasar, ya?" tanya Yohan tiba-tiba, membuat Ily mendengus dan salah tingkah. "Aku tak mau mempraktikkannya."
"Itu bahasa gaul, Yohan. Semua anak di sekolah menggunakan bahasa itu. Kamu tidak akan bisa bicara dengan mereka kalau tidak mempelajarinya," balas Ily tegas. "Bima juga bilang padaku untuk mengajarkanmu bahasa gaul. Mereka kaku jika berbicara denganmu karena bahasa kamu terlalu baku."
Sebenarnya sejak pertama kali Yohan masuk, banyak sekali anak kelas yang mengeluhkan bahasa Yohan. Kemudian entah dari mana, mereka tahu bahwa Ily adalah tetangga Yohan, secara langsung menyuruh Ily untuk mengajarkan Yohan bahasa sehari-hari yang santai dan tak terlalu baku.
Di mata mereka, Yohan terlihat hanya ingin berbicara pada Ily. Ily jelas baper, namun ia berusaha terlihat cool dan merencanakan untuk membantu Yohan mendapat teman hingga tak terus bergantung padanya.
"Kalau begini terus, sampai kapan kamu tidak mendapatkan teman?"
Yohan terdiam. Lama. Ily hanya melihatnya dengan tatapan redup. Tak lama, pedagang lumpia basah memberikan pesanan mereka dan Ily membayarnya. Ily menerima kembaliannya, namun tak langsung ia berikan pada Yohan.
"Ini," kata Ily sambil menyerahkan lumpia basah satunya pada Yohan. Ia menenteng satu dan berjalan menuju kursi yang tadi ia tandai.
Setelah mereka berdua duduk, Ily tiba-tiba menepuk pundaknya Yohan dengan keras. Membuat Yohan menatapnya dengan tatapan terkejut sekaligus bingung.
"Apa?" tanyanya.
"Selamat makan," kata Ily sambil tersenyum lebar. Ia bahkan tertawa kecil dan mulai menyuapkan lumpia basahnya.
Yohan lagi-lagi terdiam, memerhatikan gadis di sampingnya dengan seulas senyum. Lalu mulai membuka sumpit dan menikmati lumpia basahnya. Yohan mengunyahnya, merasakan panas, tekstur tauge, rasa gurih telur, manis dan pedas secara bersamaan.
Sejauh ini Yohan menyukainya. Rasanya unik, enak dan yang terpenting, pedas.
"Kamu," kata Ily tiba-tiba, menoleh menatap Yohan. "suka sekali pedas, ya?"
"Sudah kubilang, pedas itu biasa bagiku," jawab Yohan agak kesal.
"Ya aku hanya tanya, kenapa mukamu sekedar itu," keluh Ily sambil cemberut. "Di Korea makanan kesukaanmu apa?" tanyanya tiba-tiba lagi.
"Aku tak suka makanan Korea, tak sesuai lidah," jawab Yohan santai, berbeda dengan Ily yang langsung melotot dan hampir tersedak makanannya.
"Serius?!" tanya Ily tak percaya. "Kamu ini sebenarnya makan apa di sana?"
"Sudah kubilang aku makan junk food dan makanan instan lainnya. Yang aku suka di sana hanya Jajangmyeon," balas Yohan lagi-lagi menyuarakan dengan nada kesal dan wajah keruh. "Kamu ini pelupa, ya?"
"Ya, kan aku manusia!" seru Ily. Ia cemberut, namun tetap menatap Yohan dengan kepedulian besar. "Ayo kita beli minum, setelah itu kita pulang."
"Kenapa secepat itu kita pulang?" tanya Yohan tak terima, seraya bangkit mengikuti Ily Yang sudah berjalan lebih dulu.
Ily berbalik, menoleh pada Yohan saat telah sampai di stan penjual susu kocok dengan bubble manis dan kenyal. Ily memesan dahulu, kemudian bicara pada Yohan, "aku ada urusan, Yohan. Tak bisa main lama-lama."
"Urusan apa? Kemarin kamu juga bilang ada urusan. Sepenting apa itu?" tanya Yohan tampak marah.
"Aku kan sudah kelas tiga, harus belajar. Itu urusanku," jawab Ily enteng. Membuat Yohan memutar bola mata, tak percaya dengan pikiran gadis itu.
Di saat orang-orang menantikan hari libur untuk bermain-main dan bersenang-senang, Ily justru memilih untuk belajar di rumah. Bagi Yohan, orang dengan pikiran seperti Ily, sangat-sangat membosankan.
Namun apa daya, itu keinginannya, Yohan tak bisa memaksa. Lagipula benar juga, ini tahun ketiga, tahun terakhir SMA dan sebentar lagi UN akan dilaksanakan.
Sementara itu, Ily tersenyum sambil menerima pesanan minumannya dan membayar. Seperti tadi, Ily memberi salah satunya pada Yohan.
"Ini milkshake, ada bubble-nya, enak," jelasnya tanpa diminta. Ily berjalan lebih dulu. "Ayo, pulang."
Yohan hanya mengikuti, sambil meminum milkshake-nya. Rasa manis dan segar melewati kerongkongannya, nikmat sekali. Lalu pada ujungnya, ia merasakan bulat kenyal yang manis dan lezat untuk dikunyah.
Senyumnya mengembang.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments
Prapti Handayani
Thor kasih visualnya Yohan Sama Ily dong.
Ku tunggu ya😊 tq...
2019-11-26
1