"Hai, Chili," sapa Eza riang, tiba-tiba menghampiri meja setelah memasuki kelas Ily. Sebenarnya cowok itu bisa saja berjalan lurus langsung pergi ke kelasnya sendiri, namun jiwanya ingin menyapa lebih dulu teman sejiwanya itu. "Good morning, baby! Woo, kenapa murung-murung gitu?"
Ily yang wajahnya sudah kusam dan cemberut walau hari masih pagi menatap Eza dengan kesal. "Temen lo dong, karungin!"
"Siapa?" Eza tampak pura-pura tak mengerti. Jelas, yang dimaksud temannya oleh Ily itu Elvan. Tak ada lagi teman dekat Ily yang juga temannya.
"Elvan!" seru Ily kesal. "Dia tuh cari gara-gara mulu. Udah gue bilangin jangan ke rumah gue pagi ini, dia malah datang dan bikin Yohan belum dateng juga."
"Ha? Apa gimana maksudnya?" Eza mendekatkan diri dan duduk di kursi sebelah Ily, di mana seharusnya Yohan telah datang dan duduk.
"Jadi, dari kemarin itu si curut Elvan Dateng ke rumah gue, ngajak berangkat bareng. Lo tau Yohan, kan? Dia tetangga gue yang suka ngajak berangkat bareng juga. Gue diperebutin--"
"Cieleh, gitu aja bangga. Gue yang pacarnya ada lima aja nggak sesongong lo," potong Eza dengan gaya sinis khasnya.
Ily langsung memukul keningnya, menipiskan bibir dan melotot memperingati. "Diem dulu, napa!"
"Ampun, deh, ampun," kata Eza santai. "Lanjuuut."
"Nah, gue nggak mau milih salah satu karena nggak mau bikin keduanya malah iri dan saling membenci, gue putusin untuk berangkat sendiri pake ojol. Hari ini pun begitu, tapi Yohan belum juga datang. Tiga menit lagi masuk." Ily berkata dengan nada khawatir dan menunjukkan ponselnya pada Eza. "Udah gue SMS, telepon, tapi nggak ada jawaban. Hpnya mati, nggak kayak biasanya. Eza, gimana dong?"
Laki-laki bernama lengkap Fahreza Pamungkas Abadi itu seketika berpikir. Ily kira Eza akan memberi sebuah solusi, namun setelah sekitar satu menit menunggu, Eza justru tersenyum bodoh. Membuat Ily sempat cemberut kecewa sampai akhirnya Eza bersuara.
"Tanya Elvan jugalah. Lo curiga kan sama dia?"
"Ha? Ah, iya, lo bener juga!" seru Ily senang karena mendapat pencerahan. Ia segera menelepon Elvan dan menempelkan ponselnya ke telinga. Terdengar nama tunggu sebelum akhirnya dimatikan lagi. Pelakunya tentu Elvan, laki-laki itu menolak panggilan Ily.
Mata Ily langsung membulat, menatap Eza dengan penuh keyakinan. "Nggak diangkat, Za! Elvan pasti ngapa-ngapain Yohan! Gimana dong, Za?" tanyanya berubah khawatir.
"Gue juga bingung, Ly," kata Eza sambil tertawa yang terdengar hambar di telinga Ily. "Mungkin parkir dulu di warung Bu Inah."
Warung Bu Inah yang dimaksud Eza adalah warung depan sekolah yang jadi sasaran anak nakal untuk membeli rokok. Ily jelas kesal, langsung menepuk lengan Eza karena tak mungkin Elvan membawa Yohan ke sana untuk merokok. Pasti Yohan menolak, dia anak baik-baik.
"Ya, lo tenang aja, nggak biasanya lo peduliin orang," kata Eza sambil merapikan rambutnya. Eza tak menyadari bahwa perkataannya sangat menohok hati Ily. Laki-laki itu lantas bangkit ketika Ily hanya diam, tak merespon apa-apa lagi. "Gue duluan aja dah."
"Ya," balas Ily seadanya, mengangguk kecil dan mulai memain-mainkan kukunya. Ia berpikir keras.
Pada dirinya yang sepeduli ini pada Yohan. Eza benar, biasanya Ily tak terlalu peduli pada orang lain, mau sedekat apapun orang itu dengan Ily. Tak pernah secemas ini saat menunggu seseorang untuk datang.
Hingga saat Ily menunduk untuk memohon agar Yohan segera datang, seseorang mengetuk mejanya dan membuat Ily mendongak dengan wajah sedih. Namun begitu melihat siapa pelakunya, wajahnya langsung cerah.
"Kamu sakit?"
Senyum Ily mengembang. Hampir saja menangis andai dia tak sekuat tenaga untuk menahan air matanya. "Kamu ke mana aja, Kim Yohan? Jangan membuatku khawatir."
"Aku ada sesuatu yang harus diselesaikan," balas Yohan masih membuat Ily penasaran, namun Ily tak mau tahu lebih lanjut. "Kamu tidak perlu khawatir. Aku tidak akan apa-apa."
Ily menipiskan bibirnya, menatap Yohan dengan serius dan sorot mata menyendu. "Berjanjilah untuk tak terluka. Aku takut."
Yohan tak mengerti mengapa Ily bisa bersikap berlebihan seperti ini ketika pada kenyataannya Yohan tak kenapa-kenapa atau mengalami hal serius, namun sepertinya Yohan bisa menebak bahwa Ily punya masa lalu yang berhubungan dengan kehilangan seseorang yang sudah membuatnya sangat nyaman.
Entah mengapa Yohan bisa sepintar ini dalam membaca eskpresi seseorang, namun ada satu kenyataan yang membuat kupingnya perlahan terasa panas.
Dirinya telah membuat Ily sangat nyaman hingga membuat perempuan itu takut kehilangannya.
Jika itu salah, Yohan akan menjadi sangat gila. Jika itu benar, Yohan akan menjadi sangat-sangat gila.
***
Waktu istirahat tiba. Ily dan Yohan pergi ke kantin bersama untuk membeli air mineral karena Ily membawa bekal sementara Yohan tak berniat untuk makan. Awalnya semuanya lancar-lancar saja, sampai dalam perjalanan kembali ke kelas, mereka bertemu Eza.
"Hai, Chilli, ketemu lagi," sapa Eza riang. Ily merasa beruntung Eza datang sendirian, tidak bersama Elvan atau teman-teman tengilnya yang lain.
"Apasih, jangan ganggu," ancam Ily ketika Eza mulai mengangkat tangannya untuk mengambil air mineral Ily. Ily otomatis muncul ke belakang tubuh Yohan. "Beli sendiri!"
"Ih, pelit banget, sih. Sini bagi sama Abang, haus nih abis main futsal," kata Eza tetap ingin meminta air mineral Ily. Ia melangkah mendekati Ily, Ily ikut melangkah menjauh, begitu seterusnya sampai tiba-tiba Yohan menghalangi dirinya untuk mencapai Ily.
Eza mengernyit, namun Yohan memasang wajah datarnya. "Jangan ganggu Ily. Dia bilang dia tidak mau diganggu. Tidak mengerti, ya?"
"Heh, lo siapa sih, hah? Sok-sokan deketin Ily pake bahasa buaya, najis, you know?" Eza melotot dengan gaya centil khasnya. Dagunya di kedepankan, dimaksudkan untuk membuatnya terlihat mengancam.
Yohan memutar bola mata, tampak kesal juga pada akhirnya. "Gue tidak tahu bahasa buaya."
"Heh, berani ngejawab lo, ya! Nggak tau apa gue di sini kapten futsalnya?" Eza justru menyombongkan diri. "Mau tanding? Kalau menang, lo boleh deh temenan sama Chilli. Tapi kalau kalah, jauhin dia selamanya!"
Yohan melotot, tampak terkejut karena dirinya tak begitu mahir bermain sepak bola. Keahliannya hanya bela diri taekwondo dan mungkin Basket, Volly dan permainan yang menggunakan tangan yang lainnya.
Ily Ikut terkejut. Langsung bergabung dan protes. "Kok gue dijadiin alat taruhan?"
"Oke, kalau lo takut, jauhin Ily satu Minggu aja. Kalau lo nolak, jangan halangi gue sama Chilli untuk saling berbagi kasih sayang!" seru Eza tanpa menghiraukan protes Ily.
Kini Ily memutar bola mata, ia kemudian menatap Yohan dengan pandangan tajam. "Yohan, jangan didengerin aja. Dia nggak penting."
Yohan memikirkan perkataan Eza lamat-lamat, penuh pertimbangan dan pemikiran untuk ke depannya. Dia tak tahu apakah dirinya mengikuti suara hati atau pikirannya, namun ia mengangguk, menyetujui perkataan Eza.
"Oke, gue setuju," katanya memutuskan, membuat Ily membulatkan mata sementara Eza tersenyum miring karenanya. "Kalau lo kalah, jauhi Ily selama satu minggu."
"Yohan, kok kamu tega jadikan aku bahan taruhan?" keluh Ily sedih, merasa hatinya teriris tipis-tipis.
"Jangan berpikir seperti itu. Aku melakukannya untukmu. Berharaplah supaya aku menang," kata Yohan dengan senyum tipis.
"Najis," ledek Eza merasa ingin muntah.
Yohan menitipkan air mineralnya pada Ily yang tampak sangat kecewa dan keberatan, namun Yohan tak memikirkannya lebih lanjut. Yohan justru lebih fokus pada Eza yang segera menuntunnya ke lapangan.
"Guys, bubar dulu, ye, gue mau battle duo nih!" seru Eza agak keras pada teman-teman yang sedari tadi menunggunya untuk bermain. Ketika teman-temannya itu mengeluh setelah melihat Yohan, Eza segera menjelaskan lebih lanjut. "Cuma lima menit, kok, tenang aja. Bim, liat waktunya!"
Laki-laki bernama Bima langsung mengacungkan jempolnya dan mengambil ponsel yang dikumpulkan di salah satu sisi lapangan. Sementara itu Eza mengambil bola di pojok salah satu gawang dan menghadap Yohan yang menunggunya di tengah lapangan.
Eza agak menyipit dengan mengerutkan kening ketika melihat Yohan, sebab matahari sedang terik-teriknya. Ia menunjuk gawang di belakang Yohan dengan telunjuknya.
"Itu punya lo, jagain. Yang di belakang gue punya gue. Kita main lima menit, dan kalah tau menang, kita sama-sama harus menjalani kesepakatan tadi. Oke?"
Yohan mengangguk. "Jangan banyak bac--"
"MULAI!"
Yohan sangat terkejut dengan suara Bima yang tiba-tiba. Begitu juga dengan gerakan Eza yang amat cepat menggiring bola hingga dalam sepuluh detik pertama, Eza berhasil mencetak gol.
Seperti kemarin, sisi lapangan kini mulai dipenuhi siswi-siswi yang ingin memanjangkan mata mereka. Ily Yang berada di antara penonton itu, heran sendiri mengapa bisa seramai ini.
"Yohan! Ayo, semangat!"
"Yohan, pasti bisa!"
"Eza, go! Go, Eza!"
"Ezaaaaaaaaa!"
Mereka terpisah menjadi dua kubu, saling menyemangati laki-laki pujaan masing-masing. Ily sendiri hanya menonton sambil memegang dua botol air mineral, meski dalam hati ia berharap Yohan yang menang.
Sementara itu, di lapangan, Yohan mendengus keras ketika lagi-lagi gagal mengambil alih bola dari giringan kaki lincah Eza. Laki-laki itu kapten futsal, jelas sekali skill-nya bukan lagi main-main, Yohan saja hampir tak mendapat bagian untuk mengambil alih bola sementara Eza sendiri sudah mencetak 5 gol dalam satu menit pertama.
"Cih, lo nggak ada bakat sama sekali, sok jago banget. Kalah pasti," kata Eza disela permainannya. "Mau nyerah sekarang?"
Yohan tak menjawab, justru berusaha keras untuk mengambil alih bola dari Eza. Hingga pada saat di mana Eza agak lengah dengan teriakan-teriakan siswi di lapangan, Yohan berhasil menggiring bola menuju gawang. Ia berlari cepat, sampai akhirnya menendang dan berhasil memasukkan bola dengan mulus ke gawang.
Melihat itu, sorakan gembira dari penonton langsung menggema, merayakan kemenangan pertama Yohan. Termasuk Ily, gadis itu tanpa sadar itu berteriak senang.
Eza sendiri hanya tersenyum miring, menatap Yohan dengan remeh. "Gue kasih kesempatan biar lo nggak terlalu terlihat menyedihkan."
Yohan tak peduli pada kata-kata Eza, ia hanya fokus untuk berusaha keras untuk menang, untuk memperjuangkan Ily Dan perasaan dirinya sendiri.
Permainan dimulai kembali, bola dikuasai Eza lagi. Yohan tak mengira jika Eza yang terlihat sangat santai dan seperti orang yang selalu main-main, sangat mahir dalam permainan futsal. Laki-laki itu beberapa kali mempermainkan Yohan, mengelabui Yohan dan menyiksa Yohan dengan gerakannya yang seperti kilat.
Sangat cepat hingga Yohan tak menyadari jika waktu telah berjalan sedemikian rupa sampai tersisa sepuluh detik lagi. Eza tak mencetak gol lagi, apalagi Yohan yang tak sanggup mengikuti pergerakan kaki Eza.
Score masih 5-1 untuk Eza dan itu membuat Yohan sangat kesal. Pasti Eza sengaja mempermainkannya.
"WAKTU HABIS!" seru Bima di sisi lapangan, berteriak keras sampai Ily yang berada sangat jauh darinya saja bisa mendengarnya dengan jelas. "PEMENANGNYA EZA SI KAPTEN BASKET! MANTAP BOSKU!"
Sorak-sorai penggemar Eza langsung membahana. Eza lebih banyak pendukungnya dari Yohan, terlihat dari kubunya yang terkumpul. Sementara Ily yang berada di kubu Yohan, sama kecewanya dengan siswi-siswi yang lain.
"Kemarin Yohan bisa sebanding sama Elvan, masa sekarang kalah sih sama Eza?"
"Eh, ngomong-ngomong, besok Yohan tanding sama siapa lagi, ya?"
"Varez kali, kapten Volly kan."
"Bisa jadi Alfa, kapten bisbol. Seru pasti."
Ily mengernyit mendengar perbincangan singkat itu. Namun ia tak bertanya lebih karena telah melihat Yohan yang keluar lapangan, kini menghampirinya dengan wajah datar dengan mata yang tampak kecewa.
"Ly, gue menang!" seru Eza dari lapangan.
Ily memutar bola matanya jengah. "Iyalah, lo kan kaptennya, pinter," gerutunya meski tak akan dapat terdengar oleh Eza.
Yohan kini telah berada di hadapannya. Laki-laki menunduk sedikit, peluh bercucuran di pelipisnya dan napasnya terdengar agak keras. Ily merasa kasian, juga kesal dan kecewa padanya.
Tak bertanya dahulu, Ily memilih untuk memberi air mineral milik Yohan dan berjalan lebih dulu menuju kelas. Mereka tak berbincang lagi sampai akhirnya keduanya duduk di meja.
Yohan membuka botol air mineralnya, kemudian menegaknya sampai habis dalam hitungan singkat. Ia tak berani menoleh pada Ily, namun mengacak rambutnya yang basah dengan frustasi. Beberapa kali laki-laki Korea itu mendengus, bersedia, berdecak dan menyuarakan kekesalannya tanpa kata.
Sementara Ily menunggu Yohan berbicara, menjelaskan sesuatu yang sekiranya dapat membuat Ily tenang dan tak merasa abu-abu seperti ini.
Detik demi detik berlalu, hanya keheningan yang melingkupi keduanya. Istirahat tersisa lima belas menit lagi.
"Kamu nakal, Yohan. Kamu tidak mendengarkan ucapanku, aku tidak menyukainya," kata Ily akhirnya, tak tahan dengan keheningan yang tak berarti ini. "Sudah aku bilang jangan saja. Eza itu kapten futsal, dia jago."
Yohan akhirnya menoleh, menatap Ily dengan dengan tatapan menyesal. "Aku tak menduga jika dia sehebat itu."
"Mau bagaimana pun, kamu harusnya tidak meladeni permainan konyol itu. Apalagi aku yang dipertaruhkan." Ily mendelik kesal. Apalagi mendengar Yohan yang juga sempat bertaruh dengan Elvan, pasti mengenai perkara yang sama. "Tapi, ya, ini salahmu. Aku tak peduli."
Ketika Ily memalingkan wajah darinya, Yohan menipiskan bibir secara hati yang terasa teriris-iris. Dia menghela napas panjang dan akhirnya menatap Ily lagi meski kini gadis itu memejamkan matanya dengan kesal.
"Maaf, Ily. Aku janji tidak akan mengulanginya," katanya tulus. "Aku hanya tak ingin kamu dekat-dekat dengan orang yang selalu mengganggumu. Aku tak mengira jika pada akhirnya aku yang harus menjauhimu. Aku bingung, Ly."
Mendengar itu, Ily hanya mendengus, tak berniat membalasnya karena terlanjur dibuat kesal.
Yohan cemberut. "Ily, aku harus bagaimana?"
Ily masih diam.
"Ilyssa..."
Masih diam.
"Serius, aku menyesal, Ly. Aku tidak akan bertaruh-bertaruh lagi. Aku juga kesal dengan diriku. Aku marah pada diriku. Tapi tolong, aku tak bisa didiamkan seperti ini. Jawab aku, Ily."
Ily tak tega mendiamkannya, jadi dia mendengus lagi dan menatap Yohan lurus-lurus. "Begini, ya, Kim Yohan. Kamu bisa mencari teman. Bagus jika kamu jauhi aku, cari teman yang lain saja, tambah temanmu. Jangan selalu aku."
Mengerutkan kening, Yohan tampak tersakiti. "Kamu ingin aku menjauh?"
Ingin sekali rasanya Ily menjambak rambutnya. Mencakar wajah polos itu dan menguburnya di rawa-rawa jika memungkinkan.
"Kim Yohan, kamu harus cari teman yang lain! Ayolah! Ini kesempatanmu!" serunya sudah sangat kesal. "Kalau bukan sekarang, kapan lagi?"
"Kamu menyuruhku mencari teman, tapi kamu sendiri tidak punya teman selain dua laki-laki menyebalkan itu. Lucu sekali, Ilyssa," ledek Yohan sambil tertawa hambar. Ia mendekatkan diri dengan berani, seolah menantang Ily. "Itu tidak adil namanya."
Ily segera menjauhkan diri dengan salah tingkah. "Ka-kamu apa-apaan sih?"
"Kamu balting, ya?" Yohan tertawa lagi, meledeknya. Namun, Ily justru bingung melihatnya, membuat Yohan segera memikirkan apakah kata-katanya ada yang salah. "Balting adalah--oh, maksudku salting! Salah tingkah! Itu maksudku! Kamu terlihat seperti itu."
Ily mengerjap, pipinya terasa panas dan memilih untuk mencubit pinggang Yohan dengan ganas. "Sekali lagi kamu berani mendekat, aku cubit lagi."
Yohan tertawa kecil, sedikit meringis juga akibat cubitan Ily di pinggangnya. "Jadi, mengapa kamu tidak punya teman yang lain?"
Pertanyaan Yohan membuat Ily terdiam lama. Membuat Yohan yang menunggu jawabannya sedikit penasaran dan menyimpulkan secara sepihak bahwa ekspresi murung yang kini Ily tampilkan berarti bahwa ada sesuatu yang membuatnya takut untuk berteman lagi.
Dipikir-pikir ke belakang, sikap pertama Ily pada Yohan juga terlihat tak seterbuka sekarang. Perempuan itu tampak segan pada Yohan, seolah takut sesuatu yang buruk akan terjadi jika keduanya menjadi teman.
Sekarang mereka telah berteman dan dekat, Yohan merasa damai-damai saja.
"Kamu khawatir akan sesuatu?" tanya Yohan lagi. "Padahal menurutku kamu baik dan juga cantik. Mengapa tak punya teman?"
"Ha?" Ily tersentak, seperti baru saja bangun dari lamunannya. Ia gegalapan dan salah tingkah karena pujian Yohan. "Itu aku--"
Suara Ily terpotong karena tiba-tiba ponselnya bergetar dan berbunyi, menandakan ada pesan masuk. Ily segera membukanya, membaca pesan yang masuk itu dan raut wajahnya berubah dengan senyum jahil menguasai.
Ia menunjukkan layar ponselnya pada Yohan, otomatis laki-laki itu membaca apa yang disampaikan oleh pengirim pesan di ponsel itu.
From: Tiffany
Minggu bantuin gue date sama Yohan yup
Ily tersenyum sangat lebar dan mendekat untuk memerhatikan ekspresi Yohan. Sontak saja, kuping Yohan mulai memanas dan Ily langsung menggodanya habis-habisan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 273 Episodes
Comments