The Tears Of Wedding
Langkah kaki ku terasa lemah, aku hanya bisa menatap sendu setiap orang yang lalu lalang di depan rumah sakit. Tampak beberapa penjual makanan dengan membawa keranjang kecil di tangan mereka, dari perempuan dan anak kecil sibuk menawarkan dagangannya. Belum lagi keluar masuk orang-orang dari luar dan dalam rumah sakit. Aku dan suamiku sedang berada di warung makan yang berada tepat di depan rumah sakit Umum Tunas Bangsa. Kami duduk di bibir pintu masuk rumah makan tersebut, sehingga aku bisa melihat jelas pemandangan yang ada di depan rumah sakit. Suara pengamen yang berada di depan warung makan pun seolah menambah rasa gundah ku. Bait lagu yang mengungkapkan ‘pulangkan aku pada ayah ibu ku’.
Siapa yang tak merasakan kesedihan yang begitu mendalam. 7 tahun menikah, namun aku dan suami ku belum dikaruniai seorang anak. Bukankah tujuan menikah salah satunya memiliki keturunan. Setiap yang menikah pasti mendambakan kehadiran anak. Akan tetapi kenyataan yang aku terima, satu jam yang lalu. Seorang dokter spesialis kandungan mengatakan bahwa aku dan suami kesulitan mendapatkan buah hati, karena masalah terdapat pada rahim ku. Saat waktu libur waktu mondok. Aku pulang kerumah, dan kejadian yang menjadi sebab hari ini aku harus menerima pil pahit. Dimana dulu, aku terjatuh dari sepeda. Kejadian itu membuat aku harus dilarikan kerumah sakit untuk operasi panggul.
Tuba falopi ku bermasalah, Tuba falopi adalah saluran yang menghubungkan ovarium dan rahim. Ketika ovulasi, sel telur akan berjalan dari ovarium menuju rahim melalui tuba falopi. Di saluran ini lah sel telur akan bertemu dengan sel s p e r m a untuk menghasilkan p e m b u a h a n. Itulah penjelasan yang aku bisa dapatkan dari dokter spesialis kandungan yang memeriksaku tadi. Sebuah pertanyaan tentang apakah aku pernah menjalani operasi di bagian perut atau panggul, serta beberapa penyebab lain yang biasanya menyebabkan tuba falopi seorang wanita tersumbat. Maka aku hanya bisa mengamini jika aku pernah di operasi bagian panggul saat masih remaja.
Tiba-tiba kurasakan genggaman pada tangan ku. Tangan yang terasa kasar di setiap sela antara jarinya. Mas Guntur, ia adalah seorang lelaki yang melamar ku dengan perantara Gus Furqon. Saat itu, ia ditemani oleh gurunya. Keinginannya menikah dengan seorang santri, ia utarakan pada Gus Ali. Seorang pengasuh dari sebuah pondok pesantren yang beda kabupaten dengan Pondok Pesantren Kali Bening. Mas Guntur menggenggam erat tangan ku. Ia tarik tangan kanan ku, ia sembunyikan di bawah meja makan.
“Wes, ndak usah dipikirkan. Dokter Cuma manusia, kita akan berusaha dan meminta pada Allah. Pintu ke surga bukan hanya lewat menjadi seorang ibu. Apapun yang terjadi, jangan berpikiran jika rasa cinta mas akan berkurang. Sedikit pun rasa sayang mas pada mu, tak berkurang hanya karena masalah ini. Seng penting, ndak usah cerita sama ibu.” Ucap Mas Guntur menenangkan hati ku.
Ah, ibu. Ya, Ibu nya mas mertua ku lah yang menjadi salah satu alasan aku dan Mas Guntur sampai harus mengambil tabungan kami di bank, untuk periksa ke dokter Obgyn. Kami harus merogoh uang lumayan hanya untuk periksa dan menebus beberapa obat. Hampir satu juta lebih kami harus membayar ketika selesai pemeriksaan, biaya pemeriksaan dan beberapa obat atau vitamin. Semua kami lakukan karena setiap hari, kedua orang tua mas Guntur selalu membahas perihal anak. Mas Guntur yang merasa bahwa diriku selalu disudutkan oleh ibunya, maka ia pun meminta ku agar mau periksa. Setidaknya, ikut program hami. Kami memang tadi mendaftarkan diri untuk mengikuti program kehamilan.
Mas Guntur begitu paham akan perasaanku, ia seoalah ahli nujum atau dukun. Tanpa aku menceritakan kesedihan ku, pasca keluar dari ruangan dokter spesialis kandungan tersebut, Mas Guntur sudah menebaknya dengan menenangkan hatiku.
“Kalau ibu bertanya? Kita ndak mungkin bohong mas…” Ucap ku pelan.
“Jawab saja, disuruh kontrol setiap vitaminnya habis. Toh memang tadi dokter bilang seperti tadi kan?” Tanya Mas Guntur.
“Tapi mas…” ucapku khawatir,
“Wes, maem dulu. Nanti keburu sopirnya telepon.” Ingat Mas Guntur pada ku.
Kami ke kota menggunakan angkutan umum, travel pribadi milik pak Kunto. Maklum, kami tinggal di desa. Dimana jarak untuk ke kota hampir 3 jam lamanya. Mas Guntur yang menginginkan kami tak menggunakan motor. Karena alasan SIM nya belum di perpanjang.
Tak berapa lama, kehadiran pelayan di warung itu membuat tanganku reflek mengambil gelas kopi, semangkuk pindang beserta lauk pauknya. Aku menyajikan di depan mas Guntur saat pelayan tersebut meletakan piring-piring tersebut di meja kami. Ketika semua selesai ku tata rapi di hadapan mas Guntur. Aku menyodorkan air kobokan kearah tangan mas Guntur. Ia pun hanya menyematkan senyumnya. Ia pun memberikan satu mangkok air kobokan ke arah ku. Mau tidak mau ku tarik sudut bibir ku, aku tak ingin menambah rasa duka mas Guntur.
Bagaimanapun, ia pasti merasakan hal yang sama dengan diriku. Kami membaca doa makan, sudah menjadi kebiasaan mas Guntur, mau ditempat ramai atau dirumah. Ia akan makan dengan menggunakan tangan tanpa sendok. Aroma pindang tulang dari rumah makan itu pun membuat suasana makan mas Guntur terasa begitu bersemangat. Aku bisa melihat beberapa kali ia menghirup kuah pindang tersebut menggunakan sendok dengan tangan kanannya yang baru saja ia gunakan untuk menyuap nasi.
Aku sendiri tak menikmati satu suapan nasi dan pindang yang ada di hadapan ku. Aku masih memikirkan perihal kehamilan ku. Saat semua belum jelas saja, kedua mertuaku sudah begitu sering menyindirku. Apalagi untuk ke depan, saat jelas-jelas sumber kami tak memiliki anak karena masalah terletak pada diriku.
Hampir 3 jam perjalanan pulang, selama di perjalanan pulang aku hanya menatap keluar jendela. Berbeda dengan mas Guntur, suamiku itu bisa terlelap di sisi ku. Aku sudah paham bahwa suamiku tipe lelaki yang tak mengedepankan perasaan tetapi logika. Maka tak heran disaat aku merasa sedih, suamiku justru tertidur lelap selama perjalanan pulang. Belum lagi kondisi perut yang kenyang membuat dirinya semakin lelap, walau kendaraan yang kami tumpangi cukup ngebut.
Saat malam hari, aku pun berkunjung ke rumah mertuaku, seperti biasa. Aku membawa oleh-oleh dari kota tadi. Aku sudah menyiapkan hati, mental ku. Untuk menghadapi Bu Sumi, mertuaku. Mas Guntur lebih dulu berangkat. Ia tadi menghadiri kenduri di tetangga yang tak jauh dari rumah Bu Sumi. Jarak rumah ku dengan rumah mertuaku sekitar 10 rumah. Maka aku pun berjalan sambil membawa bungkusan yang berisi salak dan buah naga. Buah favorit kedua mertua ku. Serta sebuah roti yang hanya di jual di minimarket atau supermarket. Sebuah roti tawar yang terasa begitu lembut dan empuk.
Kembali malam ini, air mata ku jatuh. Air mata pernikahan ku kembali membasahi kedua pipi ku. Tepat ketika aku sudah berjarak 2 meter saja dari rumah Bapak dan Ibu mertuaku. Ku dengar suara lantang mertua laki-laki ku tampak sedang meninggikan suaranya. Rumah yang terbuat dari papan tersebut membuat aku berhenti dan menyandarkan tubuh ku pada dinding papan yang berada di sisi kanan rumah. Tangan ku gemetar, air hangat pun membasahi pipi ku. Bahkan senter yang ku pegang pun terjatuh ke tanah yang basah karena baru saja di guyur hujan. Dada ku begitu sesak. Ku tutup mulutku dengan ujung jilbab. Aku tak ingin mas Guntur atau kedua mertuaku tahu jika aku ada disana. Karena suara dengan nada tinggi terdengar begitu jelas di telingaku.
“Bapak mau kamu menceraikan Sekar. Atau jika tidak, Sekar harus mengizinkan kamu menikah lagi dengan Arum! Titik! Tidak ada tapi-tapi!” Bentak Pak Kisno yang tak lain adalah ayah mertuaku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ah akhirnya baru baca judul ini setelah hampir lupa😄
2023-12-21
2
Mukmini Salasiyanti
Baarokallohu fiiki...
smg lncr dan sukses ya, Kak.... ☺
2023-12-06
1
RizQiella
apakah arum ni mamanya gaffi
2023-11-09
1