Hari ini, Bapak pulang dari rumah sakit. Aku membersihkan rumah mertua. Ku rapikan seluruh ruangan. Aku pun sudah menanak nasi, beberapa sayur bening untuk Bapak juga tahu bacem kesukaan Ibu. Setelah selesai dengan beberes, aku pun duduk di ruang tamu. Tempat biasa kami jadikan untuk mengobrol. Terlihat satu bingkai foto yang terpajang di dinding rumah tersebut. Tampak pigura itu cukup usang, foto dimana ketika Mas Guntur sedang syukuran khitanan. Tampak Yani, Yadi dan kedua mertuaku di sisinya. Namun satu sosok yang membuat aku selalu tersudutkan ya itu Arum. Gadis kecil dengan rambut di kepang dua duduk di sisi kanan kursi Mas Guntur, ia duduk di bagian tangan kursi. Senyum manis anak itu menambah paras cantik wajahnya, belum lagi kulit yang putih.
Gadis itu berusia sama dengan Mas Guntur. Bisa dibilang, Bapak dan orang tua Arum dulu sempat mengatakan jika mereka akan menjodohkan mas Guntur dengan Arum. Akan tetapi, mas Guntur justru di carikan jodoh oleh Gus Ali saat ia meminta doa restu untuk menikah. Serta pertimbangan menerima Arum walau tanpa cinta. Ternyata Gus Ali ingin salah satu santrinya menjadi menantu dari Gus Furqon. Salah satu yang biasa dilakukan untuk merekatkan hubungan. Sehingga saat itu Gus Ali menjodohkan santri ndalem Kali Bening yang kebetulan pilihan Umi Siti jatuh pada diriku. Maka ketika mas Guntur manut, ia memilih aku untuk di nikahi, hal itu cukup membuat kedua orang tuanya yang di Sumatera kaget. Mas Guntur tak tahu perihal perjodohannya dengan Arum.
Lalu berujung hingga sekarang. Ku tatap foto tersebut. Seorang gadis dengan rambut di kepang mengenakan baju berwarna merah. Ia memiliki mata yang bundar serta alis yang cukup hitam dan lebat, bulu matanya terlihat lentik.
"Apakah aku yang menjadi penghalang dari hubungan kalian?" Ucap ku.
Sebenarnya aku penasaran dengan sosok Arum yang tinggal di desa sebelah. Apakah ia memiliki rasa yang terpendam dengan Mas Guntur. Karena kabar ku dengar, ia masih melajang diusianya yang telah lebih dari 30 tahun. Dengan status guru PNS. Namun kabar lain ku dengar ia terlalu pemilih dalam urusan jodoh. Tiba-tiba sebuah mobil berhenti di depan rumah. Aku pun tergopoh-gopoh berlari ke arah depan. Aku berdiri di pintu depan mobil. Ku bantu bapak untuk turun dari mobil. Mas Guntur yang lebih dulu turun juga membantu Bapak.
Tiba di dalam kamar, Bapak membuang wajahnya ketika aku memandang beliau. Uluran tangan ku bahkan tak diterima oleh Bapak. Bahkan pertanyaan ku ingin minum air hangat saja atau teh pahit, tak ada jawaban. Mas Guntur mengalihkan perhatian ku dengan minta di buatkan kopi.
“Dik, buatkan mas Kopi.” Pinta Mas Guntur saat duduk bersandar di kursi yang ada di ruang depan.
Bapak dan Ibu berada di dalam kamar. Aku pun cepat membuat kopi untuk mas Guntur. Kopi yang dibuat dengan takaran 2-1. Mas Guntur tidak suka kopi manis. Ia mengikuti ke dapur dan membuka tudung nasi. Aku yang baru saja mengaduk kopi yang telah ku seduh dengan air mendidih. Cepat aku siapkan air kobokan dan piring karena kulihat mas Guntur telah menurunkan tudung nasi. Mas Guntur ke arah kamar bapak untuk mengajak Bapak dan Ibu makan. Tampak ia kembali sendiri ke dapur.
"Dik, Ayo dahar.... " Ajak Mas Guntur.
Aku duduk disisi mas Guntur. Aku pun mengambil satu piring. Ku lihat ke arah depan namun ibu tak kunjung muncul.
"Ibu ga dahar ma?" Tanya ku.
{Ibu tidak makan, mas? }
"Sampun teng rumah sakit." Ucap Mas Guntur.
Ia pun makan dengan lahap. Lalapan yang kusiapkan tampak hampir habis di lahapnya bersama sambal goreng yang ku ulek, hanya tinggal sedikit daun kenikir yang tersisa di piring. Tak susah untuk menyenangkan lidah suamiku. Cukup ada sambal dan lalapan. Ia tak terlalu menuntut untuk ada lauk. Baginya merasa kenyang tak harus ada lauk. Karena untuk membeli lauk di desa seperti kami cukup mahal. Kecuali hasil memancing atau memasang jebakan ikan di kali. Maka itu bisa didapatkan dengan gratis.
Setelah makan, mas Guntur pun menikmati kopinya. Wajahnya terlihat tampak kelelahan, mungkin ia kurang tidur selama menemani Ibu menjaga bapak. Ia pasti tak nyenyak tidur dan tak enak makan selama menjaga Bapak di rumah sakit. Andai ibu mau sedikit menurunkan egonya, mungkin aku bisa ikut bergantian menjaga dan merawat Bapak. Tetapi ibu justru tak memperbolehkan aku ikut. Maka aku harus dirumah, beruntung mas Guntur menanam rumput khusus makan sapi yang biasa disebut Kolonjono di sekitar rumah. Maka aku selama ditinggal Mas Guntur, cukup ku arit rumput yang ada disekitar rumah untuk makan Ijem dan 3 sapi ku lainnya. Disini aku paham akan nasihat Umi Siti saat masih di pondok.
“Kata siapa menikah itu bahagia, kalau Bahagia Cuma setahun dua tahun. Tapi kalau mau selamanya maka masing-masing harus menurunkan Egonya. Ego kita harus berada di bawa Iman agar Sakinah, mawaddah dan Warrahmah bisa tercipta.”
Entah kenapa, aku dulu sering tak terlalu menganggap penting beberapa nasehat Umi Laila. Karena aku memang tak secerdas sahabat ku Zhafirah. Tapi aku hanya punya rasa cinta pada Umi dan manut. Aku membuktikan kini, rasa cinta ku pada Umi Siti baru aku rasakan dampaknya. Semua nasihat beliau menjadi bekal ku untuk terus menjadi istri sholehah dan tidak boleh cengeng. Karena realitanya aku menikah dengan lelaki yang tak terlalu mapan, tampan tapi akhlaknya begitu luar biasa tampan. Jika dulu aku berangan-angan ingin menikah dengan lelaki yang mapan dan tampan, kini keputusan ku dulu untuk menerima Mas Guntur karena pertimbangan akhlaknya adalah benar. Ia begitu memuliakan aku, seperti saat ini, ia menoleh ke arah pintu. Lalu satu suapan ia arahkan pada ku. Kadang hal seperti ini yang membuat aku melupakan perihal kehamilan.
Ah, aku ingat bagaimana saat aku menangis kemarin karena melihat Ijem melahirkan anaknya. Aku merasa iri hanya dengan seekor sapi. Bahkan saat ku usap perut Ijem saat itu, tampak sekali babon sapi ku menikmatinya.
"Ijem dan anaknya sehat?" Tanya Mas Guntur.
Aku pun tersenyum menatap Mas Guntur.
"Lah seminggu dikota, yang ditanya Ijem. Bukan istrinya." Ucap ku pelan. Aku khawatir ibu dan bapak mendengar obrolan kami.
Mas Guntur tertawa. Ia Mengipas-ngipaskan tutup toples kerupuk ke arah tubuhnya. Keringat mengalir deras dari tubuhnya.
"Hahaha.... Ya kamu sudah jelas mas lihat sehat. Lah kalau ijem kan ndak ada suami nya. Hehe... masa' cemburu sama Ijem." Tawa khas Mas Guntur tampaknya menarik perhatian Ibu.
Tiba-tiba ibu ke arah dapur dan mengambil satu gelas air. Ia duduk di kursi tepat di sisi ku. Setelah ia tenggak satu gelas air putih, ia kembali menyakiti aku dengan kata-kata sarkasnya.
"Ya cemburu, lah sapi loh iso monak manak. Wajar Guntur lebih khawatir. Terus anaknya kalau banyak bisa dijual. Lah Ka-" Belum selesai ibu dengan kalimatnya.
Mas Guntur cepat menahan ucapan ibunya.
"Bu, mbok uwes toh Bu. Kita baru pulang. Lah Sekar cuma guyon loh Bu... Aku Cuma guyon nanyain Ijem." Ucap Mas Guntur kurang suka. Ia pun berdiri dari tempat duduknya. Ia pergi ke arah kamar Bapak.
Aku pun tak berani menatap ibu mertua ku. Aku ambil piring dan gelas sisa makan Mas Guntur. Namun aku tahu adab, bagaimana pun buruknya sikap mertuaku pada diriku, ia tetap perempuan yang telah melahirkan suamiku.
"Ibu mau saya buatkan kopi atau teh?" Tanya ku.
"Ndak usah." Ucapnya ketus seraya meninggalkan aku sendiri.
Jantung ku selalu berdetak tak karuan saat berdekatan dengan ibu, hal ini aku rasakan akhir akhir ini. Semenjak kedua mertuaku terang-terangan meminta aku mengizinkan Mas Guntur menikah dengan Arum. Namun saat aku mencuci piring, tangan ku gemetar. Satu piring bahkan ku letakkan kembali ke dalam bak hitam.
"Kamu dengar sendiri toh, kemarin Arum bilang terserah. Yang penting nikahnya tercatat dan resmi secara agama dan pemerintah. Dia ga mikir ekonomi. Lah wong gajinya itu sudah ada sendiri." Ucap Ibu dengan suara cemprengnya.
Aku meletakkan busa yang ku gunakan untuk menyabuni piring kotor. Jantung ku terasa sakit, padahal kemarin aku sudah ikhlas jika mas Guntur ingin menikah dengan Arum. Tidak, yang membuat ku sakit bukan itu. Pertanyaan ku tadi terjawab. Arum punya rasa pada Mas Guntur. Tiba-tiba mas Guntur mengambil piring yang telah ku masukan ke dalam bak. Ia membilas piring tersebut dan menarik tangan ku.
"Ayo pulang. Mas lelah... " Ucapnya pada ku.
Tatapannya pada ku tak berubah. Sekuatnya aku menahan rasa yang ingin aku tumpahkan. Selama di perjalanan pulang aku hanya menatap wajah Mas Guntur yang hanya menatap jalanan yang belum diaspal. Aku mengikuti langkah mas Guntur. Ah, Sekar Ayu Gumiwang. Nama mu ternyata tak secantik kehidupan mu. Bahkan nama Gumiwang yang Ayah ku sematkan untuk ku agar kelak aku menjadi pelopor, tampak tak berarti dalam hidup ku. Jika nama adalah doa, maka mungkin satu-satunya Sekar memang pantas untuk hidup ku. Sekar yang berarti bunga, ya. Aku bunga kehidupan mas Guntur.
Ia begitu mencintai aku, baik aku masih kuncup, atau kini telah mekar dan mungkin sarinya telah tiada. Ia masih mencintai ku. Ia masih menjaga hati ku, ia masih selalu menghibur ku.
Tiba dirumah. Ia mengalihkan perhatian ku dari kalimat ibu tadi. Ia paham betul, aku tak akan bertanya jika tidak dijelaskan. Ia memanggil ku.
"Dik." Ucapnya.
Baru saja aku ingin membongkar tasnya untuk mengambil baju kotor, agar bisa ku rendam. Aku duduk disisinya.
"Sapi yang lanang kita jual ya. Ada yang mau beli. Lumayan 20 juta. Bisa untuk modal wisudah Yadi dan kita mudik. Uang tabungannya kemarin sudah terpakai untuk perawatan Bapak toh?" Ucapnya.
Aku reflek dengan berlinang air mata. Ku kecup punggung tangannya. Bahkan beberapa kali.
"Alhamdulillah.... maturnuwun Mas... Maturnuwun.... " Ucapku bahagia. Aku begitu rindu pada kedua orang tua ku. Aku tak pernah merengek untuk pulang karena untuk pulang dari Sumatera ke Jawa tentu tak cukup uang satu juta, belum lagi kami harus menyewa orang untuk merawat ternak dan ladang saat meninggalkan rumah dalam keadaan berhari-hari.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
nyesek yah, ujian rumahtangga datang dari orang k-3, yang Sekar alami adalah kedua mertuanya,,,
2023-12-21
3
RizQiella
tegar bgt hatinya sekar
2023-11-10
1
Uyhull01
ya Allah jleb skli ucapan ibu mu mas guntur, sllu bikin elus dada
2023-05-23
0