Saat aku keluar dari ruangan dokter Obgyn, aku tak berani menatap kedua netra istriku. Gejolak di hati semakin bergemuruh. Aku bisa merasakan yang dikhawatirkan Sekar. Istri ku pasti semakin merasa terpuruk. Tujuh tahun kami menikah, rasanya baru saja aku dan Sekar merasakan kebahagiaan indahnya jatuh cinta saat setelah halal untuk saling berbagi rasa. Ya, aku yang saat diawal merasa tak tertarik padanya. Pikiran ku saat itu terlalu tinggi.
Saat dulu aku diajak sowan ke Gus Furqon. Pengasuh sekaligus putra dari Kyai Rohim yang terkenal dengan kesederhanaannya. Saat Gus Ali mengajak ku ke sana, ternyata beliau berniat meminta salah satu santri Gus Furqon menjadi istri santrinya,yaitu aku. Bagaimana aku tidak salah tingkah. Saat pertama sowan, yang keluar mengantarkan minuman untuk aku dan dan Gus Ali adalah sosok gadis cantik, pipinya chubby. Kulitnya putih, bulu matanya lentik, kecantikannya bertambah kala ku lirik ada baluran celak di matanya.
'Cantik' Batin ku saat itu.
Namun ketika Bu Nyai atau istri Gus Furqon hadir. Ia memanggil seorang perempuan atau gadis yang telah baligh dan lama mengabdi di pesantrennya.Kami sempat bertemu tatap. Tak ada desiran di hati ku. Entah aku berharap pada santri yang pertama keluar tadi atau memang Sekar tak berkulit putih. Kulitnya sawo mateng. Tak ada celak di sudut matanya. Namun aku tak mampu menolak saat Gus Ali sudah mengatakan bahwa aku cocok.
Maka aku menerima perjodohan itu. Namun masalah justru terus menghampiri. Ibu dan Bapak di kampung ternyata telah memilih seorang gadis untuk ku saat aku selesai mondok. Namun aku tak mungkin menolak Sekar. Karena aku dan Gus Ali telah mengunjungi rumahnya. Maka ku utarakan pada Bapak dan Ibu bahwa aku tak mungkin membatalkan pernikahan dengan Sekar. Tepat dua hari saat aku akan menikah, Mbah Kakung ku meninggal dunia. Maka Ibu dan Bapak tak bisa ikut menghadiri acara ijab qobul ku.
Bahkan satu minggu setelah menikah, masih dikediaman Sekar. Aku dan dirinya belum seutuhnya menjadi suami istri. Tetapi satu minggu aku bersama dengan dirinya di dalam kamar dan rumah. Ia seperti wujud nyata atau gambaran nyata kisah indah yang sering ku dengar disaat ngaji kitab Uqudullujain. Sebuah kitab yang membahas tentang hubungan suami istri.
Ia memang tak secantik abdi ndalem Kali Bening yang bernama Zhafirah. Tetapi ia begitu menghormati aku sebagai suami. Aku bahkan bak Raja dalam rumah tangga kami. Aku sampai salah tingkah sendiri. Entah rasa cinta atau simpati. Ketika ku boyong dirinya ke Sumatera,tanah kelahiran ku. Kembali Sekar hadir sebagai wujud istri sholehah. Namun logika ku terus merusak suasana hati. Aku masih bersikap dingin dengannya. Aku masih ingat kala itu, aku selalu menolak dirinya untuk memijat ku saat tubuh dilanda demam.
"Mas, saya pijat ya?" Ucapnya kala itu.
"Tidak usah." Jawab ku dingin, akal ku menolak. Tetapi hati ini begitu ingin ia merawat ku layaknya suami istri.
Belum lagi, ia akan selalu meminta izin pada ku untuk hal-hal sepele bagi ku. Tetapi akal ku mulai mengamini, aku menemukan bunga surga duniam perhiasan paling berharga bagi seorang lelaki. Ya, Sekar betul-betul mempraktekkan ilmu-ilmu dalam kitab-kitab kecil, namun banyak makna dan ilmu yang terkandung ketika ngaji di pondok pesantren.
"Mas, saya boleh puasa senin kamis?" Tanya nya saat sudah hampir beberapa bulan tinggal bersama.
"Ya, silahkan. Tapi kalau pas ketemu rewang, tidak usah puasa. " Jawab ku singkat.
Aku sudah hampir menjawab dengan ketus, namun hati ini menahan bibir ku. Aku cerna kalimatnya. Ia sudah menjalani kewajibannya. Ia memang harus meminta izin ku untuk puasa. Walau ia tahu, aku jarang menyentuhnya.
Namun cinta ini mampu hadir dan berbunga. Bahkan Sekar betul-betul menjadi Bunga dalam hatiku. Saat beberapa kali aku melihat kesabarannya menghadapi Ibu ku yang super cerewet. Aku sendiri kadang kewalahan menghadapi watak dan karakter Ibu. Tapi Sekar, Ia betul-betul bunga yang mewarnai hidup ku. Pribadinya, akhlaknya Sangat indah. Walau mungkin otak ku selalu melihat kekurangan nya, kulitnya. Entahlah, diawal-awal aku bahkan menyentuhnya hanya menggugurkan kewajiban ku. Tetapi sungguh ilmu membuat dirinya menghadirkan sebuah wujud sebaik-baiknya hubungan suami istri itu adalah yang membuat pasangan ketagihan. Dan Sekar,kini Ia menjadi candu ku.
Perlahan tapi pasti ku tunjukkan perhatian, kasih sayang. Cinta ku untuknya. Tahun ke tiga aku mulai melihat tawanya, keceriaannya. Sungguh Cinta ku pada Sekar membutakan akal ku yang selama ini selalu memprotes kulit istri ku yang tak putih. Suami mana yang tak bahagia, jika memiliki istri yang pandai sekali membangunkan aku disaat Shubuh. Tubuh yang terasa begitu lelah, karena aku bisa dikatakan hanya petani dan pekerja serabutan juga guru ngaji. Maka fisik lebih terkuras. Tetapi istriku itu, selalu mampu membangunkan aku dengan cara yang membuat aku pasti terbangun dengan mudah bahkan penuh semangat setelahnya untuk menjemput rezeki.
Ah aku jadi ingat saat ia tiba-tiba membuka mukenahnya di tengah malam, saat aku baru pulang dari ronda. Saat aku ingin ditemani olehnya, ia meminta izin untuk shalat lail yang sebentar lagi akan habis. Karena waktu sudah mepet shubuh. Aku hanya melongo saat ia membuka mukenahnya dan beringsut kea rah tempat tidur.
“Kenapa tidak jadi shalat?” Tanya ku padanya kala itu.
Ia memberikan senyumnya seraya menjawab pertanyaan ku.
“Shalat tahajud itu sunnah, maka bagaiamana aku melakukan Sunnah disaat ada satu kewajiban yang harus aku penuhi.” Jawabnya malu-malu.
Jika selama ini ia bebas shalat lail, karena aku jarang meminta hak ku. Maka saat hubungan kami telah berada dalam saling mencintai, maka saat aku memintanya menemani aku. Ia baru sadar bahwa kewajiban seorang istri memenuhi panggilan kala suaminya menginginkannya.
Tidak itu saja, aku berharap berjumpa untuk kedua kalinya dengan Sekar. Kelak, di akhirat aku ingin berjumpa dirinya di surga sebagai bidadari ku. Bagaimana aku tak Bahagia, istri ku itu mencintai aku tanpa ia menduakan Rabbnya. Aku ingat betul disaat kemarau di desa kami hampir taka da hujan 9 bulan lebih. Aku harus membawa drigen ke tempat Pamsimas yang berada cukup jauh dari rumah. Kala itu aku lupa mengisi jeding kamar mandi kami yang berada di luar rumah dengan air, sumur kami akan habis airnya, Namun seorang lelaki ketika sudah memiliki Hasrat untuk bersama istri nya, ia bahkan lupa perkara air untuk mandi dan wudhu untuk shalat shubuh tidak ada. Sehingga waktu hampir shubuh, dia membangunkan aku karena adzan shubuh hampir berkumandang.
“Ada apa dik?” tanya ku dengan suara khas bangun tidur.
“Aku tidak bisa mandi junub, mas. Jedingnya kosong. Cuma ada air satu ember cat.” Ucapnya yang duduk disisi ku seraya memegang handuk. Aku mengusap wajah ku. Jika perempuan lain mungkin akan menunda sampai siang mandinya. Tetapi Sekar, ia malu jika harus numpang mandi di rumah ibu. Akhirnya pagi buta kami pergi ke kali yang cukup jauh dari rumah menggunakan sepeda motor win ku.
Lelaki mana tidak semangat menjemput nafkah, saat kebutuhan dzohir dan batinnya terpenuhi oleh istri. Tak pernah ada penolakan. Maka aku pun tak menyadari jika kami menikah sudah hampir 7 tahun. Kalau bukan karena aku kasihan pada dirinya. Tak akan aku paksa dirinya untuk periksa ke ahli kandungan. Ibu, ya Ibu yang selalu menyudutkan Sekar. Hal itu yang membuat ku tak tega. Aku tak mau timpang. Ibu adalah perempuan yang telah melahirkan ku. Surga ku ada pada Ibu. Sedangkan Sekar, aku telah berjanji kepada orang tuanya. Aku akan menggauli ia dengan baik. Bukan perihal ranjang saja. Tetapi dalam perkara hati, itu pun harus tetap di jaga.
Aku tahu, Sekar tak pernah menolak saat aku meminta sesuatu. Termasuk saat aku meminta dirinya untuk ikut ke kota. Aku tak mampu bisa berkata-kata saat dokter mengatakan jika Sekar bermasalah pada Tuba falopi. Aku hanya bisa menggenggam tangannya. Bahkan saat makan pun, ia masih bisa melayani aku dengan baik.
'Sungguh kecantikan akhlak mu begitu membuat ku semakin mencintai mu.' Ucap ku dalam hati saat ku sodorkan air kobokan ke arahnya.
Aku bahkan memilih memejamkan mata selama pulang dari kota. Hanya genggaman tangan ku pada tangan Sekar yang membuat ku tenang. Aku takut, takut dia meninggalkan aku. Aku memejamkan mata, karena diam lebih baik disaat bertanya atau memberi semangat pada istriku. Aku biarkan dia sibuk dengan pikirannya. Karena dari wajahnya, lirikan matanya. Aku tahu, ia tersakiti akan takdir. Takdir yang mengatakan bahwa ia memiliki kekurangan. Tetapi aku yakin, Sekar Ayu Gumiwang. Kamu adalah perempuan yang menghiasi hidupku. Aku lebih suka mengartikan Gumiwang dengan sinar daripada katanya Pelopor seperti harapan ayahnya. Karena hadirnya betul-betul menyinari hidup ku.
Senyumnya, selalu mampu menutupi luka, gelisah, resahnya. Tujuh tahun menikah, ia tak pernah mengeluh akan perlakuan ibu. Bahkan satu kali pun ia tak merengek untuk mudik. Saat berkali-kali uang tabungan kami untuk mudik terpaksa dipakai untuk keperluan Yadi dan Yani. Ah, andai dulu aku menikah dengan perempuan yang aku kagumi itu atau sahabatnya Sekar. Apakah ia akan sekuat ini, dan sangat sabar. Aku bahkan menyimpan air mata saat-saat dimana Sekar masih bisa tertawa disaat kami hanya mampu makan nasi putih dengan masako. Kebutuhan dua adik ku yang masih kuliah membuat kami harus hidup prihatin.
Setiap pernikahan sepertinya pasti ada air mata. Baik air mata pernikahan atau air mata bahagia. Seperti malam itu, permintaan Bapak pada ku membuat aku ingin sekali berteriak dan memberontak. Tetapi semua itu tak mungkin kulakukan. Aku adalah santri, dimana kami diajarkan adab kepada orang tua. Sekalipun orang tua salah,kami hanya boleh menasehati dengan lemah lembut. Jika mereka marah, kami hanya diminta untuk diam. Tak boleh meninggikan suara dihadapan orang tua.
Bagaimana aku bisa menduakan Sekar, ia adalah perempuan hebat bagi ku. Istri mana yang sanggup hanya makan seadanya. Uang yang didapat suami untuk biaya adik ipar dan membantu biaya kontrol bapak setiap bulan. Istri mana yang bisa taat sekali pada suami seperti Sekar. Ia tak akan membeli sesuatu apapun sebelum meminta izin ku. Bahkan Emas kawin yang dulu ku berikan 10gram kalung emas. Ia lepas dari lehernya. Ia berikan pada ku untuk membeli anakan sapi. Hingga kini sapi itu memiliki anak, dan sapi itu sehat juga menghasilkan keturunan yang sehat juga besar. 'Ijem'. Sekar suka memanggilnya seperti itu. Karena saat kami membelinya, matanya selalu terpejam.
Andai dulu aku ngotot menikah dengan perempuan yang kulihat berkulit putih ketika di pondok Gus Furqon. Apakah dia mau membantu ku ketika aku sibuk mengurus jenazah. Atau aku sibuk memenuhi permintaan Ibu dan Bapak. Sekar bahkan sangat cekatan menggunakan arit Bali milik ku ketika mengarit di sebelah rumah untuk makan Ijem. Kadang, aku pulang berkebun dibuat geleng-geleng kepala. Istri ku itu sudah membersihkan kandang sapi. Maka jangan heran saat di belakang rumah terdapat sayur-sayuran yang begitu subur. Kotoran sapi digunakannya untuk pupuk agar tanah yang sebelum ditanaminya sayur menjadi subur. Kami jarang membeli sayur. Sekar yang pertama kuragukan untuk menjadi istriku, justru menjadi pendamping hidup ku yang begitu kuat. Bahkan aku bisa kuat seperti sekarang dan banyak menghabiskan waktu ku untuk hal-hal bermanfaat karena istri ku begitu tangguh.
Aku terkenal kereng di luar. Tapi aku selalu memperlakukan istriku dengan baik, lemah lembut. Karena aku takut nanti, di hari akhir nanti. Aku yang mengaku cinta pada Rasulullah tetapi aku tak memperlakukan istriku dengan baik seperti apa yang telah Rasulullah ajarkan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
Ma Syaa Allah selalu suka sama karakter tokohnya, banyak inspirasinya walo mereka hidup sangat sederhana,,,
2023-12-21
3
Mukmini Salasiyanti
👍👍Guntur
2023-12-06
1
Uyhull01
kadang orang berpikiran buat apa mondok ini lah itu lah macem macem berkata, tp ketika anak itu manut dan taat serta orang tua mendukung anaknya d situlah keberkahan datang,bnyak perbedaan antara anak mondok dan anak sekolah, dan jgan lihat orang dri sgi penampilan, inilah sosok didikan Umi Laila Aby Rohim , Gus Furqon dan Umi Siti saat ia manut dan taat ,👍👍
2023-05-23
0