Bapak besok sudah bisa pulang, jika kondisinya sudah betul-betul membaik. Aku menunda kepulangan ku. Agar sekalian besok bersama Bapak. Namun hari ini aku di kejutkan dengan kehadiran Arum. Teman masa kecil ku itu datang bersama ibunya. Aku dan arum berteman sedari kecil. Mereka bisa dibilang hutang budi pada Bapak. Dulu saat Ayah Arum akan mencalonkan diri menjadi Lurah desa, Bapak yang memberikan modal dengan menjual dua bandot atau dua kambing jantan milik Bapak.
Ku lihat gadis itu tersenyum ke arah ku. Aku pun membalas senyumnya. Aku cepat keluar ketika ia menyapa ku. Aku tak ingin Bapak kembali mengutarakan keinginannya.
"Bagaimana kabarnya Mas?" Tanya Arum pada ku.
Bibir ku terasa kelu untuk menjawab sapaan dari gadis itu. Ku lihat lirikan dan tatapan Bapak dan Ibu ke arah ku. Cepat ku jawab.
"Alhamdulillah baik... Kamu sendiri? Lama tidak berjumpa." Jawab ku.
Kami duduk diatas tikar yang berada di sisi tempat brankar bapak. Namun aku harus mendesah pelan karena Bapak langsung membahas keinginannya pada Arum. Terlebih lagi ibu, gesture Ibu begitu ramah pada Sekar.
"Ini minum dulu Rum, Bu. Terimakasih sudah repot-repot tilik." Ucap ibu.
Bapak seraya bersandar di bantal. Mengutarakan niatnya.
"Bu Sofi, ini saya hanya ingin bertanya tentang wasiat almarhum. Maaf, bukan maksud menyinggung kamu Nak Arum. Tapi, kalau melihat sampai sekarang kamu masih sendiri. Apa tidak semua adalah pertanda kalau wasiat almarhum bapak mu, untuk menikahkan kamu dengan Guntur itu menjadi penghalang jodoh mu Nak?" Tanya Bapak pada Arum dan Bu Sofi.
Aku semakin gelisah. Andai aku bisa seperti anak lainnya. Berteriak atau menatap tajam Bapak. Tidak, tidak. Aku tidak diajarkan seperti itu dulu ketika di pondok pesantren. Aku hanya mampu berdehem dengan nada suara yang cukup rendah untuk mengingatkan orang tua ku. Bahwa aku harus patuh tapi tidak untuk yang melanggar syariat. Memang Poligami diperbolehkan dalam agama Islam. Tapi tidak, aku sadar diri, aku umatnya Rasulullah di akhir zaman. Secara ekonomi, secara ilmu, secara ketampanan, akhlak, aku belum bisa mempraktikkan Poligami.
"Pak.... Aku sudah menikah. Aku tidak mungkin menikahi Arum. Kondisi ekonomi ku dengan satu istri saja, bapak tahu sendiri." Ingat ku dengan tatapan memelas. Aku berharap Bapak tak kembali berangan-angan agar aku menikah dengan Arum.
Namun jawaban Ibu Sofi membuat aku merasa frustasi.
"Loh, kalau cuma kendala nya ekonomi. Ya ndak usah khawatir Nak Guntur. Arum sudah punya penghasilan tetap. Wong dia sudah punya penghasilan tetap. Ibu juga sebenarnya sudah lama mikir ini. Kok setiap ada yang mau serius dengan Arum, nanti tiba-tiba dibatalkan. Apa ya karena wasiat Bapaknya Arum." Ucap Bu Sofi.
Ku lirik Arum. Dia hanya tertunduk. Namun anggukan kepalanya membuat aku memilih keluar dari ruangan tersebut.
"Iya toh Rum?" Tanya Bu Sofi seraya menyenggol lengan Arum dengan tangannya.
Anggukan dari Arum membuat aku bingung. Bagaimana bisa, gadis sudah mapan, cantik mau menikah dengan aku yang hanya petani serta biasa saja dari semua hal.Kembali aku di buat tak habis pikir, ibu Sofi kembali mengucapkan kalimat yang sepertinya menjadi wakil dari Arum.
"Yang penting kalian menikah secara sah di mata agama dan Pemerintah. Itu tok. aku rasa istri mu ndak keberatan. Wong kemarin aku ketemu di pengajian. Dia sepertinya Nriman orang nya." Ucap Bu Sofi seraya memeluk Arum.
Aku mengurai rambut ku berkali-kali. Mulut yang dari tadi terasa masam. Semakin terasa masam. Kepala ku pun terasa sakit di bagian dahi. Aku memutuskan untuk keluar dengan alasan ingin merokok.
"Maaf Bu, Aku permisi dulu," Pamit ku pada semua.
Namun Ibu Ku yang cerewet, cepat menahan langkahku.
"Loh, Kamu itu. Ndak sopan. Itu Bu Sofi lagi ngajak ngobrol serius. Kamu tinggal pergi." Ucap Ibu pada ku dengan kedua bola matanya yang membesar.
Aku berdiri dihadapan Bu Sofi dan Arum. Dengan hati-hati aku ucapkan permohonan maaf ku pada Arum dan keduanya.
"Maaf Bu, Jika Arum siap di madu. Aku tidak bisa mempraktekkan poligami. Aku belum sanggup baik dzohir dan Bathin. Aku tidak ingin melukai istri ku. Aku mencintai istri ku, maaf Bu Le. Semoga Arum bisa mendapatkan lelaki yang lebih baik dari saya." Jawab ku sopan.
Namun Bapak yang merasa tak suka jawaban ku langsung memberikan statemen yang mengumbar aib rumah tangga ku. Di depan orang lain.
"Apa karena cinta kamu bisa punya keturunan? Bapak yakin yang punya masalah itu Sekar. Buktinya, Ibu mu sering melihat dia membeli banyak kecambah setiap harinya. Kalau tidak mau poligami, ya ceraikan saja Sekar." Ucap Bapak.
Aku memejamkan mata, dadaku sesak sekali. Aku pun meninggalkan ruangan itu.
"Guntur mau merokok dulu pak... Mari Bu Lek, Rum." Pamit ku.
Aku pergi ke arah depan rumah sakit. Aku mencari kawasan khusus rokok. Ku pilih salah satu pohon besar untuk aku duduk di bawahnya. Aku betul-betul ingin marah pada Bapak dan Ibu. Beruntung tidak ada sekar. Ah, Sekar. Istriku itu wujud istri sholehah di zaman sekarang. Aku ingat bagaimana aku dan Sekar berdamai saat tiga malam saat aku pulang untuk beristirahat dan mengambil baju ganti, Aku harus tidur di masjid tiga malam. Karena Sekar terus mendesak ku untuk memenuhi permintaan Bapak. Aku tahu, ia merasa rendah diri. Aku tahu ia merasa putus asa. Aku menarik sudut bibir ku.
Aku membayangkan malam dimana saat Sekar menghubungi aku lewat ponsel karena aku masih tidur di teras masjid. Beberapa waktu lalu aku begitu kesal karena ia meminta ku untuk menikahi Arum atau poligami. Tidak tahukah dirinya jika cintaku sebagai manusia untuknya utuh, jika terbagi itu dengan Ibu dan bapak. Malam itu ponsel ku berdering. Aku tak pernah mengabaikan panggilan dari nya.
"Mas, masih marah?" Tanya nya pada ku.
"Marah tidak, tapi mas malas berdebat sama kamu. Kalau masih berpikir mas harus poligami, mas ndak mau. Lebih baik kedinginan di teras masjid daripada harus berdebat sama istri. Mas takut nanti mas emosi, mas ndak mau seperti kemarin. Mas bentak kamu." Jawab ku.
"Aku minta maaf mas... Aku cuma merasa bukan yang terbaik untuk mas." Jawabnya lirih.
Aku bisa mendengar hembusan nafasnya.
"Sekar.... Kamu tahu, kamu yang terbaik untuk Mas. Dan Allah memilih kamu untuk ku. Aku untuk kamu. Maka sekarang dan besok, apapun yang terjadi. Ada atau tidak nya kita anak. Kita bisa sama-sama meraih ridho Allah dengan sama-sama beribadah. Bukan kan kita di dunia ini diminta bersujud kepada Allah. Maka nikmati, cintai apa yang Allah berikan pada Kita." Jelas ku seraya menyandarkan kepala pada tiang yang ada di masjid.
"Tapi, Mbak Arum lebih cantik dari aku, Mas... " Lirihnya lagi.
Aku tutup panggilan darinya kala itu. Aku bergegas pulang. Aku tak bisa membiarkan ia menangis seorang diri. Ia bunga hidup ku, pelita hidup ku. Bagaimana aku membiarkan Bunga dalam hidupku menangis dan merasa rendah diri. Aku setengah berlari. Aku masuk dari pintu dapur yang biasanya tidak di kunci sekar jika masih sore seperti ini.
Ia menyambut ku di depan pintu kamar. Benar dugaan ku, ia sudah berlinang air mata..
"Sekar sayang, cantik itu bukan di lihat dari seberapa banyak ia di sukai banyak orang,di kagumi banyak orang ,di puji banyak orang ,akan tetapi kecantikan sesungguhnya di lihat dari seberapa mampu ia mengkhususkan dirinya hanya untuk satu orang ,yakni kekasih Halal nya. Dan itu Kamu. Itu kamu Sekar Ayu Gumiwang. Istri ku." Ucap ku seraya memeluk tubuhnya erat.
Ia melingkarkan tangannya di pinggang ku. Malam itu kami menangis bersama karena sama-sama merasa bahwa kami butuh kekuatan cinta untuk mengarungi badai, dan saat ini ombak besar sedang menghantam biduk rumah tangga kami.
Beruntung aku mondok dulu, sehingga aku lebih banyak stok sabar menghadapi situasi pelik begini. Aku lebih melihat ke hadist dari Abu Darda' yang isinya memberi opsi pada ku untuk memilih apakah mau mematuhi orang tua atau memilih Sekar. Aku memilih tetap Bersama Sekar dan tak akan poligami, itu adalah sesuai di hadist tersebut yaitu pilihan yang paling maslahat dan aku merasa tak perlu merasa wajib karena diperintah bapak dan Ibu. Toh dokter bilang kami masih punya kesempatan untuk memiliki keturunan. Walau Sebagian orang menikah memiliki tujuan untuk memiliki keturunan, tapi aku lebih ke Ibadah.
Bagi ku bagaimana bisa aku yang makhluk kecil ini mengatur dan mendesak pemilik nyawa ini untuk mewujudkan mimpi ku, memaksa beliau memberikan kehidupan seperti yang aku inginkan. Mungkin dengan cobaan sulitnya aku dan Sekar memiliki keturunan karena Allah sedang ingin mengangkat derajat kami. Aku akan tetap bersabar dengan segala kekurangan dan kelebihan Sekar. Ada banyak jalan untuk mendapatkan keberkahan dan surga jika memang Allah lebih ridho kami tak memiliki keturunan, kemanfaatan umur. Itu yang akan aku lakukan bersama bunga kehidupan ku, Sekar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ceritanya benar" menguras emosi jiwa😪😪
2023-12-21
3
Uyhull01
aku tau gimna rasanya jd kmu sekar tp bedanya Alhmdulillah mertua gak pernah nyuruh paksu nikah lgi,🤭
skrng pun masih menanti keturunan, d periksa ya alhamdulillah normal dan sehat dua dua nya , mungkin emng blm waktunya aja,
2023-05-23
0
wong ndeso
top pokok e
2023-05-16
1