NovelToon NovelToon

The Tears Of Wedding

Bab 1 Air Mata Pernikahan Ku

Langkah kaki ku terasa lemah, aku hanya bisa menatap sendu setiap orang yang lalu lalang di depan rumah sakit. Tampak beberapa penjual makanan dengan membawa keranjang kecil di tangan mereka, dari perempuan dan anak kecil sibuk menawarkan dagangannya. Belum lagi keluar masuk orang-orang dari luar dan dalam rumah sakit. Aku dan suamiku sedang berada di warung makan yang berada tepat di depan rumah sakit Umum Tunas Bangsa. Kami duduk di bibir pintu masuk rumah makan tersebut, sehingga aku bisa melihat jelas pemandangan yang ada di depan rumah sakit. Suara pengamen yang berada di depan warung makan pun seolah menambah rasa gundah ku. Bait lagu yang mengungkapkan ‘pulangkan aku pada ayah ibu ku’.

Siapa yang tak merasakan kesedihan yang begitu mendalam. 7 tahun menikah, namun aku dan suami ku belum dikaruniai seorang anak. Bukankah tujuan menikah salah satunya memiliki keturunan. Setiap yang menikah pasti mendambakan kehadiran anak. Akan tetapi kenyataan yang aku terima, satu jam yang lalu. Seorang dokter spesialis kandungan mengatakan bahwa aku dan suami kesulitan mendapatkan buah hati, karena masalah terdapat pada rahim ku. Saat waktu libur waktu mondok. Aku pulang kerumah, dan kejadian yang menjadi sebab hari ini aku harus menerima pil pahit. Dimana dulu, aku terjatuh dari sepeda. Kejadian itu membuat aku harus dilarikan kerumah sakit untuk operasi panggul.

Tuba falopi ku bermasalah, Tuba falopi adalah saluran yang menghubungkan ovarium dan rahim. Ketika ovulasi, sel telur akan berjalan dari ovarium menuju rahim melalui tuba falopi. Di saluran ini lah sel telur akan bertemu dengan sel s p e r m a untuk menghasilkan p e m b u a h a n. Itulah penjelasan yang aku bisa dapatkan dari dokter spesialis kandungan yang memeriksaku tadi.  Sebuah pertanyaan tentang apakah aku pernah menjalani operasi di bagian perut atau panggul, serta beberapa penyebab lain yang biasanya menyebabkan tuba falopi seorang wanita tersumbat. Maka aku hanya bisa mengamini jika aku pernah di operasi bagian panggul saat masih remaja.

Tiba-tiba kurasakan genggaman pada tangan ku. Tangan yang terasa kasar di setiap sela antara jarinya. Mas Guntur, ia adalah seorang lelaki yang melamar ku dengan perantara Gus Furqon. Saat itu, ia ditemani oleh gurunya. Keinginannya menikah dengan seorang santri, ia utarakan pada Gus Ali. Seorang pengasuh dari sebuah pondok pesantren yang beda kabupaten dengan Pondok Pesantren Kali Bening. Mas Guntur menggenggam erat tangan ku. Ia tarik tangan kanan ku, ia sembunyikan di bawah meja makan.

 

“Wes, ndak usah dipikirkan. Dokter Cuma manusia, kita akan berusaha dan meminta pada Allah. Pintu ke surga bukan hanya lewat menjadi seorang ibu. Apapun yang terjadi, jangan berpikiran jika rasa cinta mas akan berkurang. Sedikit pun rasa sayang mas pada mu, tak berkurang hanya karena masalah ini. Seng penting, ndak usah cerita sama ibu.” Ucap Mas Guntur menenangkan hati ku.

Ah, ibu. Ya, Ibu nya mas mertua ku lah yang menjadi salah satu alasan aku dan Mas Guntur sampai harus mengambil tabungan kami di bank, untuk periksa ke dokter Obgyn. Kami harus merogoh uang lumayan hanya untuk periksa dan menebus beberapa obat. Hampir satu juta lebih kami harus membayar ketika selesai pemeriksaan, biaya pemeriksaan dan beberapa obat atau vitamin. Semua kami lakukan karena setiap hari, kedua orang tua mas Guntur selalu membahas perihal anak. Mas Guntur yang merasa bahwa diriku selalu disudutkan oleh ibunya, maka ia pun meminta ku agar mau periksa. Setidaknya, ikut program hami. Kami memang tadi mendaftarkan diri untuk mengikuti program kehamilan.

Mas Guntur begitu paham akan perasaanku, ia seoalah ahli nujum atau dukun. Tanpa aku menceritakan kesedihan ku, pasca keluar dari ruangan dokter spesialis kandungan tersebut, Mas Guntur sudah menebaknya dengan menenangkan hatiku.

“Kalau ibu bertanya? Kita ndak mungkin bohong mas…” Ucap ku pelan.

“Jawab saja, disuruh kontrol setiap vitaminnya habis. Toh memang tadi dokter bilang seperti tadi kan?” Tanya Mas Guntur.

“Tapi mas…” ucapku khawatir,

“Wes, maem dulu. Nanti keburu sopirnya telepon.” Ingat Mas Guntur pada ku.

Kami ke kota menggunakan angkutan umum, travel pribadi milik pak Kunto. Maklum, kami tinggal di desa. Dimana jarak untuk ke kota hampir 3 jam lamanya. Mas Guntur yang menginginkan kami tak menggunakan motor. Karena alasan SIM nya belum di perpanjang.

Tak berapa lama, kehadiran pelayan di warung itu membuat tanganku reflek mengambil gelas kopi, semangkuk pindang beserta lauk pauknya. Aku menyajikan di depan mas Guntur saat pelayan tersebut meletakan piring-piring tersebut di meja kami. Ketika semua selesai ku tata rapi di hadapan mas Guntur. Aku menyodorkan air kobokan kearah tangan mas Guntur. Ia pun hanya menyematkan senyumnya. Ia pun memberikan satu mangkok air kobokan ke arah ku. Mau tidak mau ku tarik sudut bibir ku, aku tak ingin menambah rasa duka mas Guntur.

Bagaimanapun, ia pasti merasakan hal yang sama dengan diriku. Kami membaca doa makan, sudah menjadi kebiasaan mas Guntur, mau ditempat ramai atau dirumah. Ia akan makan dengan menggunakan tangan tanpa sendok. Aroma pindang tulang dari rumah makan itu pun membuat suasana makan mas Guntur terasa begitu bersemangat. Aku bisa melihat beberapa kali ia menghirup kuah pindang tersebut menggunakan sendok dengan tangan kanannya yang baru saja ia gunakan untuk menyuap nasi.

Aku sendiri tak menikmati satu suapan nasi dan pindang yang ada di hadapan ku. Aku masih memikirkan perihal kehamilan ku. Saat semua belum jelas saja, kedua mertuaku sudah begitu sering menyindirku. Apalagi untuk ke depan, saat jelas-jelas sumber kami tak memiliki anak karena masalah terletak pada diriku.

Hampir 3 jam perjalanan pulang, selama di perjalanan pulang aku hanya menatap keluar jendela. Berbeda dengan mas Guntur, suamiku itu bisa terlelap di sisi ku. Aku sudah paham bahwa suamiku tipe lelaki yang tak mengedepankan perasaan tetapi logika. Maka tak heran disaat aku merasa sedih, suamiku justru tertidur lelap selama perjalanan pulang. Belum lagi kondisi perut yang kenyang membuat dirinya semakin lelap, walau kendaraan yang kami tumpangi cukup ngebut.

Saat malam hari, aku pun berkunjung ke rumah mertuaku, seperti biasa. Aku membawa oleh-oleh dari kota tadi. Aku sudah menyiapkan hati, mental ku. Untuk menghadapi Bu Sumi, mertuaku. Mas Guntur lebih dulu berangkat. Ia tadi menghadiri kenduri di tetangga yang tak jauh dari rumah Bu Sumi. Jarak rumah ku dengan rumah mertuaku sekitar 10 rumah. Maka aku pun berjalan sambil membawa bungkusan yang berisi salak dan buah naga. Buah favorit kedua mertua ku. Serta sebuah roti yang hanya di jual di minimarket atau supermarket. Sebuah roti tawar yang terasa begitu lembut dan empuk.

Kembali malam ini, air mata ku jatuh. Air mata pernikahan ku kembali membasahi kedua pipi ku. Tepat ketika aku sudah berjarak 2 meter saja dari rumah Bapak dan Ibu mertuaku. Ku dengar suara lantang mertua laki-laki ku tampak sedang meninggikan suaranya. Rumah yang terbuat dari papan tersebut membuat aku berhenti dan menyandarkan tubuh ku pada dinding papan yang berada di sisi kanan rumah. Tangan ku gemetar, air hangat pun membasahi pipi ku. Bahkan senter yang ku pegang pun terjatuh ke tanah yang basah karena baru saja di guyur hujan. Dada ku begitu sesak. Ku tutup mulutku dengan ujung jilbab. Aku tak ingin mas Guntur atau kedua mertuaku tahu jika aku ada disana. Karena suara dengan nada tinggi terdengar begitu jelas di telingaku.

“Bapak mau kamu menceraikan Sekar. Atau jika tidak, Sekar harus mengizinkan kamu menikah lagi dengan Arum! Titik! Tidak ada tapi-tapi!” Bentak Pak Kisno yang tak lain adalah ayah mertuaku.

Bab 2 Mengenang Masalalu

Ku seka air mata yang membasahi pipi. Aku mengatur nafas, serta aku menengadahkan kepala ke arah langit. Aku tak ingin, mas guntur dan kedua mertua ku tahu, jika aku mendengar pembicaraan mereka. Beberapa kali ku tarik nafas dalam dan aku hembuskan kembali. Senter yang tadi tergeletak di atas tanah, ku ambil kembali.

“Bismillahirrahmanirrahim…. “ Ucap ku seraya melangkahkan kaki ke arah pintu rumah mertua ku.

Sengaja ku seret langkah kakiku, agar suara sandalku terdengar oleh penghuni rumah yang tampak sedang emosi dan membicarakan aku. Seketika, hening. Tak ada suara dari dalam rumah. Ku ucapkan salam saat berada di ambang pintu ruang tamu. Aku bisa melihat mas Guntur duduk di sisi kanan mertua laki-laki ku. Beliau termasuk sesepuh di desa ini. Masyarakat biasa memanggilnya dengan sapaan Pak Kisno. Sedangkan ibu mertuaku duduk di sisi kiri bapak. Aku berjalan ke arah mereka. Ku cium punggung tangan Mas Guntur serta kedua mertuaku.

Aku sudah kenyang dengan perlakuan Bu Sumi, ibu mertuaku. Ia hanya akan bersikap dingin dengan diriku.

“Ini ada oleh-oleh dari kota tadi Bu, mau kemari sore tadi. Saya pagi tadi belum sempat mencuci. Jadi saya nyuci dulu sore tadi.” Ucap ku sopan.

Ibu mengambil kantong kresek berwarna hitam dari tangan ku. Ia pun masuk dengan membawa oleh-oleh tersebut. Aku mengikuti ibu ke arah dapur. Aku mengambil satu piring untuk menata buah yang ku beli di kota tadi siang. Serta satu piring untuk roti tawar yang juga aku belikan, makanan ini adalah favorit bapak. Belum selesai rasanya aku menenangkan hatiku, kembali hati ini menjerit. Akan tetapi, ilmu dan adab menuntut bibir ku tertutup rapat. Menuntut tubuhku, mata ku hanya mampu menunduk saat ibu mertuaku kembali bersikap dan bertanya dengan nada menyudutkan aku.

“Terus yang salah siapa? Kamu apa Guntur yang punya masalah?!” Tanya Bu Sumi seraya melipat kantong kresek hitam tadi menjadi bentuk segitiga, lalu ia selipkan di sisi rak piring.

Aku duduk di kursi meja makan, namun tubuh ku lemah, kaki ku terasa gemetar. Aku tak biasa berkata bohong. Aku bingung akan jawaban yang aku berikan. Ibu kembali ke arah ku. Ia tarik kursi kayu yang terbuat dari kayu medang. Lalu ia menata piring yang tadi telah aku isi buah salak dan roti tawar.

“Kamu itu Kar, lah kalau ditanya yo njawab! Kebiasaan.” Ucap Ibu gusar.

Jari-jariku m e r e m a s ujung jilbab ku yang terjuntai.

“Dokter bilang disuruh kontrol kalau vitaminnya habis Bu,” Jawab ku pelan.

Ku raih nampan yang ada di atas meja, namun tangan ku di tepis oleh ibu mertua ku. Ibu berdiri dan mengangkat nampan itu. Ia berdiri dan berjalan di sisi ku. Ibu setengah membungkuk seraya memegang nampan. Ia membisikkan satu kalimat yang menghujam hati ku.

“Kalau kamu yang bermasalah, tinggalkan Guntur. Aku ndak mau nanti anak ku tidak punya keturunan! Aku yang melahirkan dan membesarkan Guntur. Aku tahu dari mimik wajahnya, kamu sumber masalah ini!” Bisik ibu pada telingaku.

Tanpa menoleh ke arah ku, Ibu berjalan ke arah ruang depan. Meninggalkan aku seorang diri di dapur. Ku seka air mata yang hampir jatuh dengan ruas jari telunjuk ku, seraya ku tatap langit-langit dapur yang semuanya berwarna hitam karena lamanya terkena asap yang berasal dari kayu bakar.

‘Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Sabar Sekar, hidup ini tempatnya kita diuji.’ Batin ku.

Saat nafas ku sudah teratur, aku kembali ke ruang depan. Aku duduk di sisi Mas Guntur. Hampir setengah jam, kami mengobrol. Hanya obrolan seputar Yadi dan Yani.  Yadi adalah adik mas Guntur yang paling bungsu. Ia masih kuliah di Jombang. Sedang menempuh S2. Sedangkan Yani adalah adik tepat setelah mas Guntur. Yani adalah seorang pekerja di leasing yang ada di Kota. Tak ada obrolan hangat, hanya ada obrolan dimana, Bapak dan Ibu terus saja membanggakan Yadi dan Yani. Seolah aku dan mas Guntur tak ada peran dibalik kesuksesan dua adik ipar ku itu. Ya, Saat aku pertama menikah dengan mas Guntur, dua adiknya masih sama-sama kuliah.

Tentu saja yang menguliahkan Mas Guntur, karena Bapak sudah sepuh. Hanya aku dan suamiku yang tahu perjuangan kami dalam mengantarkan kedua adik kami menggapai cita-cita mereka. Meraih pendidikan hingga S1, Yadi bahkan hampir menyelesaikan pendidikan S2 nya. Aku bahkan hampir lupa rasanya makan dengan garam saja atau makan hanya dengan masako saja bersama mas Guntur.  Saat dimana harga getah karet dan sawit sedang merosot tajam sedangkan Yadi mau wisudah. Yani juga baru menikah.

Hal itu kami alami dan lewati di awal-awal pernikahan kami. Pahit, manis, asam nya kehidupan dalam berumah tangga telah aku lalui selama menikah dengan Mas Guntur.Tetapi, rasa cinta dan paham arti sebuah pernikahan. Aku tak pernah mengeluh pada kedua orang tua ku yang ada di pulau Jawa. Aku pun tak memiliki ponsel android, hanya ada ponsel kecil yang ku beli dari hasil penjualan ponsel android ku, saat Yadi akan wisudah di S1 nya. Yani yang memaksa ikut hadir, membuat biaya ongkos bertambah. Tabungan yang tak ada lagi, membuat aku berinisiatif menjual ponselku. Aku hanya menganggap benda itu tak terlalu bermanfaat saat itu.

Mas Guntur yang terlihat tak betah, setengah jam berbicara dengan kedua orang tuanya. Ia pun mengajak ku pulang dengan alasan lelah.

“Saya pulang dulu Pak, Bu. Besok pagi-pagi mau ngarit di Liter Q. Hari ini tidak ngarit.” Pamit Mas Guntur pada kedua orang tuanya.

Aku mengekor di belakang Mas Guntur. Kami pulang kerumah melewati jalan yang belum di cor atau di aspal. Sebuah jalan pintas yang masih tanah merah dan akan berakhir di pekarangan belakang rumah kami. Sebuah rumah yang hanya memiliki luas 6 x 5 meter. Rumah mungil yang jauh dari kesan mewah. Kami membangun itu dari hasil sumbangan saat baru selesai menikah. Uang amplop yang diberikan oleh teman dan tamu undangan, kami gunakan membangun gubuk mungil yang sangat nyaman, aman bagi ku. Aman dari setiap sindiran ibu mertuaku, nyaman karena kami bisa melakukan apapun bersama. Dimana bagi sebagian masyarakat disini hal tabuh. Apalagi seorang suami sampai ikut aktifitas di dapur seperti memasak dan beberes rumah.

Saat kami berjalan beriringan, Mas Guntur merangkul pundakku.Jalan cukup sepi, karena itu hanya jalan pintas yang memang sengaja dibuat oleh Mas Guntur agar cepat menuju rumah kedua orang tuanya.

“Dek, Ibu tadi bilang apa pas di dapur?” Tanya Mas Guntur seraya mengeratkan pelukannya. Kulihat arah sinar senter yang berasal dari arah kepala mas Guntur. Cahayanya menerangi jalan kami untuk menuju rumah.

“Tak ada, Ibu tak bilang apa-apa.” Kilah ku pada Mas Guntur.

Aku tahu suamiku adalah lelaki yang begitu mencintai istrinya. Ia juga anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Hal itu membuat aku merasa cukup aku telan sendiri apa yang aku dapatkan dari Ibu. Aku tak ingin hati Mas Guntur bertambah penat dan lelah sehingga marah atau jengkel pada perempuan yang telah melahirkannya, membesarkan dirinya. Belum lagi, suami ku adalah pekerja keras. Waktunya mencari nafkah bukan untuk diriku sendiri tapi untuk adiknya juga kedua orang tuanya. Membuat aku tak ingin menambah beban pikiran suamiku dengan masalah sifat ibunya yang masih belum menerima ku sebagai menantunya.

Ya, aku memang sepertinya tak diterima oleh Ibu. Karena aku ingat betul bagaimana hari-hari pertama aku menginjakkan kakiku di Pulau Sumatera ini dan desa ini khususnya. Ibu begitu kaku, dingin. Satu alasan yang membuat Mas Guntur membeli tanah dan membangun rumah yang terbuat dari batu bata. Dinding rumah kami bahkan belum di plaster. Sehingga kadang membuat Mas Guntur yang baru pulang dari ladang menjadikan dinding sebagai alat penggaruk punggungnya jika aku sedang tak ada di rumah.

Tiba di rumah, kami mengucapkan salam, walau di dalam rumah tak ada siapapun. Sesuai apa yang kami dapatkan ketika mondok. Ada atau tidak ada orang di dalam rumah. Saat kita masuk, hendaknya kita mengucapkan salam. Dimana Gus Furqon dawuh, ‘Ketika memasuki rumah yang tak berpenghuni, bukan ucapan 'assalamua'alaikum', tapi ucapkan 'assalamu alaina wa'ala ibadillahish shalihin'.

Masuk kedalam rumah, kami beristirahat. Malam kian larut, aku justru masih memikirkan ucapan mertuaku tadi. Kalimat Bapak yang menginginkan Mas Guntur untuk menikah lagi dengan teman masa kecilnya, membuat aku tak mampu terlelap. Pelukan erat mas Guntur pada pinggang ku membuat aku mengusap punggung tangannya. Ku genggam tangan lelaki yang sudah hampir 7 tahun ini menafkahi aku lahir dan batin. Yang selalu bersikap lemah lembut pada ku walau ketika diluar, ia terkenal ‘kereng’ dalam bahasa jawa yang berarti keras. Tapi tidak pada ku.

Aku pun kembali teringat saat-saat pertama aku bertemu dengan mas Guntur. Rasa sedih dan lelah karena tadi siang dari kota, membuat aku tak bisa tidur. Aku pun mengenang kembali hari-hari pertama ku bersama bertemu Mas Guntur hingga aku menikah dengannya.

Flashback On

"Astaghfirullah... Zha... Senengan e.. ngagetin ae." Ucap ku kesal karena tiba-tiba adik tingkat ku yang sama-sama jadi abdi ndalem di kediaman Umi Siti tiba-tiba menepuk pundakku.

"Mbak, wau Kulo saking Ajeng dugiaken unjuk an damel tamu umi , kabaripun santri beliau tasek pados jodo." Ucapnya seraya memeluk nampan yang bermotif kembang.

{Mbak, tadi aku dari depan mengantar minum untuk tamunya Umi. Kabarnya santri beliau lagi cari jodoh.}

"Lah terus?" Ucap ku penasaran.

Aku kembali fokus pada pakaian yang sedang aku pilah untuk di gosok.

"Lah, yang sudah baligh kan Mbak Sekar kalau di abdi ndalemnya Umi. Kok aku mikirnya yang bakal di jodohkan sama santrinya Gus Ali itu ya Mbak Sekar." Ucap Zhafirah ceplas seplos.

Aku reflek memukul kepalanya dengan boneka bantal milik Ning Binti yang baru saja ku cuci.

"Bilang saja kamu pingin momong Ning Binti, biar ga di pawon. Iya toh. Jadi kamu ngarepnya begitu." Tukas ku pada Zhafirah.

Gadis itu tersenyum  dan menggaruk kepalanya.

"Yo ndak ngunu loh mbak...." Ucapnya keberatan.

"Soalnya Gus Ali matur yang biasa jadi abdi ndalem." Ujar Zhafirah.

Aku pun menghentikan kegiatan ku. Aku jadi penasaran, siapa santri Gus Ali yang terkenal dengan majelis shalawatnya di Kabupaten ini. Belum hilang rasa penasaran ku, tiba-tiba Umi Siti datang dan memanggil nama ku.

"Sekar, Nduk. Mriki sekedhap." Panggil Umi Siti.

{Sekar, Nduk. Kemari sebentar}

Jantung ku sudah terasa berdebar tak menentu, khawatir tebakan Zhafirah benar.

Bab 3 Gejolak Rumahtangga Sekar

Aku mengikuti Umi Siti ke arah ruang depan, tempat yang biasa digunakan untuk menerima tamu beliau. Tiba ruangan tersebut. Jantungku berdegup kencang. Aku merasakan apa yang orang sebut nervous. Karena saat aku duduk di sisi Umi siti. Aku hanya mampu mendengar percakapan Gus Furqon dengan tamunya yaitu Gus Ali. Tanpa berani mengangkat wajah ku.

“Ini santrinya Gus. Namanya Sekar. Asli Jawa Tengah.” Kenal Gus Furqon pada tamunya.

"Lah cocok, Ini Guntur juga asli Jawa tapi Jasum, Jawa Sumatera." Ucap Gus Ali.

Tak lama Gus Ali pun meminta pendapat Guntur, jawaban santri Gus Ali itu pun membuat aku merasa salah tingkah sekaligus penasaran.

“Kula manut Yai.” Jawab lelaki itu yang terdengar dengan suara cukup tegas walau pelan.

{Saya Nurut Kyai}

Aku semakin bingung, jantung ku terasa berdetak tak karuan. Ayah ku memang meminta pada Gus Furqon saat terkahir kali sambang. Beliau menitipkan aku, jika ada yang melamar. Karena keinginan ku untuk mengabdi dulu di pondok membuat Ayah ku menyerahkan perihal untuk memilih dan menerima jodoh ku pada Gus Furqon dan Umi Siti. Tiba giliran ku yang ditanya oleh Umi Siti, Aku melirik ke arah Umi Siti. Sulit sekali bibir ini mengeluarkan kata, aku pun mengangkat wajah ku ketika Umi Siti memintanya. Namun cepat aku menundukkan wajah ku lagi, karena pandangan mata ku bertabrakan dengan tatapan bernama Guntur yang tajam. Kami cepat menunduk karena sama-sama malu. Ada rasa kurang suka pada lelaki ini, ia diluar harapan ku. Karena terbiasa melihat dan mengagumi santri-santri yang sering aku kagumi. Lelaki bernama Guntur ini tak bisa membuat hati ku berbunga atau berdesir.

Sejak saat itu, Gus Furqon dan Umi Siti membicarakan perihal lamaran ini pada kedua orang tua ku, sehingga berujung dengan aku menikah dengan lelaki yang tak aku cintai, lelaki yang tak mampu membuat aku memiliki rasa sayang dan kagum. Aku memahami jika menuruti orang tua maka keberkahan umur yang panjang akan kita miliki, jika kita manut sama guru, ada keberkahan ilmu disana. Maka ku amini keinginan yang menjadi doa restu orang tua dan guru ku. Dan hal yang aku justru mempraktekkan semua yang aku anggap tak berguna saat mondok. Apa yang menjadi nasehat Umi Siti semua seolah aku temui dan menjadi makanan ku sehari-hari. Aku manut suami ke tempat dimana ia tinggal. Aku menikah dengan masalah yang datang silih berganti, dari cinta yang belum hadir, rasa kecewa, sendiri, menyesal hingga terakhir rasa terkucilkan di keluarga karena aku tak kunjung hamil.

Flashback Off.

Tiga hari berlalu, Mas Guntur tak membahas apa yang menjadi keinginan Bapak. Aku sebenarnya menanti hal itu. Aku yang bodoh atau aku memang sedang pada titik terendah karena lelah dengan setiap ujian yang datang. Mas Guntur tak mungkin akan menceritakan hal yang akan menyakiti aku. Suami ku itu, begitu baik akhlaknya pada ku. Tujuh tahun aku di bawa ke daerah ini, dimana ia pulau Sumatera namun warga dan lingkungannya hampir semua berbahasa jawa dan adat Jawa.

Tiba-tiba, sore hari. Mas Guntur pulang dengan keadaan tergesa-gesa. Ia bahkan membuka bajunya tepat setelah masuk dari luar rumah.

“Ambilkan baju kemeja hitam Mas.” Titahnya pada ku.

Aku pun tanpa bertanya cepat menuju kamar, kuambil kemeja yang ia maksud. Saat aku menyerahkannya. Seraya mengenakan kemeja tersebut mas Guntur cepat ke arah lemari dimana biasa ia simpan dompetnya. Lalu ia berbalik ke arah ku.

“Dik, mas minta uang untuk bawa Bapak ke Kota. Bapak kritis. Puskesmas tidak sanggup menangani. Mas minta uang untuk ambulan dan pegangan selama disana. Kamu dirumah dulu, Soalnya ibu dirawat di Puskesmas.” Jelas Mas Guntur seraya berkali-kali mengelap keringatnya yang mengalir deras.

Setahu ku pagi tadi suamiku ini berpamitan untuk membuka satu lahan baru bersama kelompok taninya. Namun tiba-tiba aku mendengar kabar jika Bapak harus dirawat di kota. Aku pun kembali seperti biasa. Tanpa banyak bertanya dan komentar, ku ambil uang yang biasa ku simpan di sela-sela baju. Ku hitung uang yang kusimpan, aku khawatir kurang. Maka ku buka satu amplop yang ku simpan di bawah alas lempitan baju. Uang itu sebenarnya adalah tabungan ku untuk pulang ke Jawa. Aku sudah rindu pada Bapak dan Ibu. Sudah hampir 7  tahun, aku tak pulang. Rencana ku, Idul Fitri ini. Aku ingin pulang, aku rindu. Rindu kampung halaman, rindu Ibu, Bapak ku.

“Maaf ya, Mas akan berusaha lebih giat lagi. Mas janji. Tahun ini kita mudik.” Ucap Mas Guntur pada ku.

Ku peluk tubuh suamiku yang masih tercium aroma keringat.

“Seng penting mas Ridho. Mau bagaimana dan gimana, aku insyaallah siap dan nerima mas. Aku Cuma berharap dianggap Gusti Allah sebagai hambanya yang nriman dan manut.” Jawab ku seraya melerai pelukan dan mengambil satu botol kecil yang biasa menjadi botol parfum Mas Guntur saat akan pergi, namun ku gunakan saat suami ku berada di rumah.

Kami pun pergi ke puskesmas, namun saat aku tiba disana. Ibu sudah ada di ruangan Bapak. Ia ngotot ingin ikut ke kota. Sedangkan tadi ia pingsan. Karena tak ingin berdebat juga khawatir kondisi Bapak. Mas Guntur pun membiarkan ibunya ikut. Akhirnya aku harus dirumah. Karena tak mungkin aku ikut, karena Ijem satu dua hari ini akan melahirkan. Belum lagi kami punya 3 sapi lain yang harus di beri makan 4 kali sehari.Karena malam hari kadang harus diberi makan agar tidak berisik. Selepas kepergian ambulan, aku pun pulang dengan menumpang pada seseorang.

Satu minggu dirawat dirumah sakit kota, mertua ku telah kembali kerumah. Sebuah tradisi di desa ini yang masih di jaga yaitu ‘tilik’.Satu kegiatan yang dilakukan ketika ada warga, tetangga atau keluarga yang sakit. Maka kediaman mertuaku cukup ramai. Aku bahkan mondar mandir membuatkan minuman untuk tamu yang datang dan membawa masuk oleh-oleh mereka. Dan kembali hati ini tersayat karena ucapan ibu mertuaku. Disaat banyak tetangga yang datang membesuk, mereka bertanya perihal apa kok tiba-tiba dirawat di kota. Jawaban ibu mertuaku menohok hati ku dan merubah air wajah ku seketika dihadapan tamu.

“Lah, aslinya bapaknya ini pikiran. Yani anaknya sudah mau dua. Lah Guntur yang sudah 7 tahun menikah belum punya anak. Bapaknya ini nggerundel terus, kapan punya cucu dari Guntur.” Ucap Ibu dengan suara yang sengaja sedikit di keraskan agar aku mendengarnya.

Ku lirik mas Guntur yang duduk di sisi Bapak. Wajahnya merah, mas Guntur pasti tak suka ibu kembali menyindir perihal momongan dihadapan orang banyak. Setelah tamu pulang, mas Guntur menasehati ibunya untuk tidak menyudutkan aku. Namun Ibu mertua ku itu selalu merasa paling benar sendiri.

“Kamu itu, apa karena hasutan istri mu jadi berani sama Ibu. Ibu Cuma jawab apa adanya.” Ucap Ibu dengan Gusar.

Aku pun meminta mas Guntur untuk memilih diam dengan kedipan mataku. Mas guntur mendesah pelan, ia memakai kopiahnya yang ia letakkan di atas meja tadi.

“Ya sudah, kami pamit dulu Bu. Assalammualaikum.” Pamit Mas Guntur. Aku mengekor dibalik tubuh mas Guntur.

Semenjak hari itu, aku semakin disudutkan, Ibu mertuaku seolah membangun tembok diantara aku dan dirinya. Dari gulai yang aku antar selalu tak disentuh, bahkan berakhir dengan berhari-hari di hangatkan dan berujung di adonan dedak untuk makan ayam. Bahkan kehadiran ku dirumah Ibu tak pernah dianggap. Aku seolah tak ada. Tak diajak bicara, tak di tatap. Bapak juga mulai terang-terangan menunjukkan rasa tak suka pada diriku. Hal itu terjadi hampir beberapa bulan. Perdebatan tak terelakkan lagi ketika malam hari saat aku dan mas Guntur berkunjung kerumah Ibu dan Bapak. Satu permintaan yang dulu pernah di utarakan pada Mas Guntur, kini di utarakan di hadapan ku.

“Sekar, kamu kan sudah lama menikah dengan Guntur. Kata Ibunya Guntur, kamu yang bermasalah. Jadi kamu harus mengizinkan Guntur menikahi anak pak Atmo, Arum. Kalau tidak mau ya kamu boleh meninggalkan Guntur.” Suara Bapak tegas.

Aku hanya membenamkan kepala ku ke arah dada. Ku tahan air hangat yang ingin membasahi pipiku.

“Bapak! Aku sudah bilang, aku tidak akan menikah lagi apalagi berpisah dengan Sekar!” Jawab Mas Guntur Gusar.

Aku menarik lengan Mas Guntur. Suami ku itu telah berdiri.

“Mas, istighfar….” Ingatku pada mas Guntur.

Ia duduk kembali dan beristighfar.

Namun kami tiba-tiba panik karena Bapak memegang dadanya dan merosot dari kursi.

“Bapak!” Ucap kami bersamaan.

Malam itu kembali Bapak dilarikan ke rumah sakit, karena alat di puskesmas belum memadai. Beberapa hari di rawat, kondisi bapak kian kritis. Saat di sela-sela ia tersadar, hanya ucapan akan permintaanya pada Mas Guntur untuk menikahi Arum yang keluar dari bibir keringnya.

“Tur… Bapak sudah janji. Menikahlah Tur…. Bapak pengen cucu…” Ucapnya lirih.

Kondisi beliau masih kritis dan harus dipasang banyak alat pada tubuhnya. Merasa lelah karena hampir satu minggu di rumah sakit, Mas Guntur minta gantian dengan Yani dan suaminya. Tiba dirumah, aku melihat suami ku terlihat memijat dahinya berkali-kali.

“Ada paracetamol Dik?” Tanya Mas Guntur.

Aku bergegas ke keranjang kecil yang kusimpan di sisik televisi. Dan ku berikan padanya dengan segelas air putih.

“Aku kerokin yan Mas?” Tanyaku pada Mas Guntur.

Ia mengangguk. Ia pun membuka bajunya dan duduk bersila. Aku mengambil mangkuk kecil yang telah berisi minyak kelapa dan minyak kayu putih serta uang koin, Ku torehkan goresan koin pada punggung kekar suami ku.  Tubuhnya meliuk-liuk, padahal aku sangat pelan menarik koin itu. Setelah rata punggungnya dengan loreng-loreng hasil kerokan, aku memijat pundak dan kepalanya. Aku tempelkan kepalanya pada perut ku. Seraya aku bertumpu dengan kedua lutut ku, jari-jari ku memijat dahi mas Guntur, kepalanya pun menengadahkan ke arah langit-langit. Ia begitu menikmati pijatan ku. Karena telah dua hari berada dirumah, aku pun memulai obrolan.

“Mas, besok jadi berangkat?” Tanya ku pada Mas Guntur yang berencana akan ke kota lagi untuk bergantian menunggu Bapak.

“Iya, kamu dirumah saja. Sapinya ga ada yang urus, padinya juga sudah waktunya untuk di tunggu. Manuknya pesta kalau ditinggal. Maaf ya dik, tak aja merantau ke sini malah hidup mu ga bahagia.” Ucap Guntur.

Aku menghentikan pijatan ku pada dahinya, aku mengecup dahinya. Ku pegang dagunya, Mas Guntur membuka kedua matanya.

“Siapa bilang aku tidak bahagia. Kalau tidak bahagia. Aku tak mungkin bertahan selama ini ndak mudik-mudik.” Ucap ku.

Mas Guntur berputar dan menarik tubuhku, ia pun memeluk tubuh ku dalam pangkuannya.

“Terima kasih, ternyata menikah itu tak harus diawali dengan cinta tapi. Setelah menikahlah yang dibutuhkan cinta, mas sangat mencintai kamu, Dik.” Ucap Mas Guntur.

Ku pegang pipinya dengan satu tangan ku.

Kami saling tatap dan saling berbagi sentuhan cukup lama. Setelah itu, aku pun mengucapkan satu hal yang membuat Mas Guntur untuk pertama kalinya membentak ku.

“ Mas, Aku ikhlas dan ridho jika mas Ingin menikahi Arum. Surga ku ada pada mas, tapi surga mas ada pada orang tua mas.”

Mas Guntur melerai pelukannya. Ia menatap ku tajam.

“Mas, aku ikhlas. Asal mas bisa punya keturunan…” Ucap ku lirih.

“Sekar! Apa kamu juga ingin menambah rasa penat di hati ku dengan permintaan gila itu!” Bentaknya padaku. Ia menggeser tubuh ku dan meninggalkan aku seorang diri.

Setelah kejadian itu, mas Guntur mendiamkan aku.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!