Aku mengikuti Umi Siti ke arah ruang depan, tempat yang biasa digunakan untuk menerima tamu beliau. Tiba ruangan tersebut. Jantungku berdegup kencang. Aku merasakan apa yang orang sebut nervous. Karena saat aku duduk di sisi Umi siti. Aku hanya mampu mendengar percakapan Gus Furqon dengan tamunya yaitu Gus Ali. Tanpa berani mengangkat wajah ku.
“Ini santrinya Gus. Namanya Sekar. Asli Jawa Tengah.” Kenal Gus Furqon pada tamunya.
"Lah cocok, Ini Guntur juga asli Jawa tapi Jasum, Jawa Sumatera." Ucap Gus Ali.
Tak lama Gus Ali pun meminta pendapat Guntur, jawaban santri Gus Ali itu pun membuat aku merasa salah tingkah sekaligus penasaran.
“Kula manut Yai.” Jawab lelaki itu yang terdengar dengan suara cukup tegas walau pelan.
{Saya Nurut Kyai}
Aku semakin bingung, jantung ku terasa berdetak tak karuan. Ayah ku memang meminta pada Gus Furqon saat terkahir kali sambang. Beliau menitipkan aku, jika ada yang melamar. Karena keinginan ku untuk mengabdi dulu di pondok membuat Ayah ku menyerahkan perihal untuk memilih dan menerima jodoh ku pada Gus Furqon dan Umi Siti. Tiba giliran ku yang ditanya oleh Umi Siti, Aku melirik ke arah Umi Siti. Sulit sekali bibir ini mengeluarkan kata, aku pun mengangkat wajah ku ketika Umi Siti memintanya. Namun cepat aku menundukkan wajah ku lagi, karena pandangan mata ku bertabrakan dengan tatapan bernama Guntur yang tajam. Kami cepat menunduk karena sama-sama malu. Ada rasa kurang suka pada lelaki ini, ia diluar harapan ku. Karena terbiasa melihat dan mengagumi santri-santri yang sering aku kagumi. Lelaki bernama Guntur ini tak bisa membuat hati ku berbunga atau berdesir.
Sejak saat itu, Gus Furqon dan Umi Siti membicarakan perihal lamaran ini pada kedua orang tua ku, sehingga berujung dengan aku menikah dengan lelaki yang tak aku cintai, lelaki yang tak mampu membuat aku memiliki rasa sayang dan kagum. Aku memahami jika menuruti orang tua maka keberkahan umur yang panjang akan kita miliki, jika kita manut sama guru, ada keberkahan ilmu disana. Maka ku amini keinginan yang menjadi doa restu orang tua dan guru ku. Dan hal yang aku justru mempraktekkan semua yang aku anggap tak berguna saat mondok. Apa yang menjadi nasehat Umi Siti semua seolah aku temui dan menjadi makanan ku sehari-hari. Aku manut suami ke tempat dimana ia tinggal. Aku menikah dengan masalah yang datang silih berganti, dari cinta yang belum hadir, rasa kecewa, sendiri, menyesal hingga terakhir rasa terkucilkan di keluarga karena aku tak kunjung hamil.
Flashback Off.
Tiga hari berlalu, Mas Guntur tak membahas apa yang menjadi keinginan Bapak. Aku sebenarnya menanti hal itu. Aku yang bodoh atau aku memang sedang pada titik terendah karena lelah dengan setiap ujian yang datang. Mas Guntur tak mungkin akan menceritakan hal yang akan menyakiti aku. Suami ku itu, begitu baik akhlaknya pada ku. Tujuh tahun aku di bawa ke daerah ini, dimana ia pulau Sumatera namun warga dan lingkungannya hampir semua berbahasa jawa dan adat Jawa.
Tiba-tiba, sore hari. Mas Guntur pulang dengan keadaan tergesa-gesa. Ia bahkan membuka bajunya tepat setelah masuk dari luar rumah.
“Ambilkan baju kemeja hitam Mas.” Titahnya pada ku.
Aku pun tanpa bertanya cepat menuju kamar, kuambil kemeja yang ia maksud. Saat aku menyerahkannya. Seraya mengenakan kemeja tersebut mas Guntur cepat ke arah lemari dimana biasa ia simpan dompetnya. Lalu ia berbalik ke arah ku.
“Dik, mas minta uang untuk bawa Bapak ke Kota. Bapak kritis. Puskesmas tidak sanggup menangani. Mas minta uang untuk ambulan dan pegangan selama disana. Kamu dirumah dulu, Soalnya ibu dirawat di Puskesmas.” Jelas Mas Guntur seraya berkali-kali mengelap keringatnya yang mengalir deras.
Setahu ku pagi tadi suamiku ini berpamitan untuk membuka satu lahan baru bersama kelompok taninya. Namun tiba-tiba aku mendengar kabar jika Bapak harus dirawat di kota. Aku pun kembali seperti biasa. Tanpa banyak bertanya dan komentar, ku ambil uang yang biasa ku simpan di sela-sela baju. Ku hitung uang yang kusimpan, aku khawatir kurang. Maka ku buka satu amplop yang ku simpan di bawah alas lempitan baju. Uang itu sebenarnya adalah tabungan ku untuk pulang ke Jawa. Aku sudah rindu pada Bapak dan Ibu. Sudah hampir 7 tahun, aku tak pulang. Rencana ku, Idul Fitri ini. Aku ingin pulang, aku rindu. Rindu kampung halaman, rindu Ibu, Bapak ku.
“Maaf ya, Mas akan berusaha lebih giat lagi. Mas janji. Tahun ini kita mudik.” Ucap Mas Guntur pada ku.
Ku peluk tubuh suamiku yang masih tercium aroma keringat.
“Seng penting mas Ridho. Mau bagaimana dan gimana, aku insyaallah siap dan nerima mas. Aku Cuma berharap dianggap Gusti Allah sebagai hambanya yang nriman dan manut.” Jawab ku seraya melerai pelukan dan mengambil satu botol kecil yang biasa menjadi botol parfum Mas Guntur saat akan pergi, namun ku gunakan saat suami ku berada di rumah.
Kami pun pergi ke puskesmas, namun saat aku tiba disana. Ibu sudah ada di ruangan Bapak. Ia ngotot ingin ikut ke kota. Sedangkan tadi ia pingsan. Karena tak ingin berdebat juga khawatir kondisi Bapak. Mas Guntur pun membiarkan ibunya ikut. Akhirnya aku harus dirumah. Karena tak mungkin aku ikut, karena Ijem satu dua hari ini akan melahirkan. Belum lagi kami punya 3 sapi lain yang harus di beri makan 4 kali sehari.Karena malam hari kadang harus diberi makan agar tidak berisik. Selepas kepergian ambulan, aku pun pulang dengan menumpang pada seseorang.
Satu minggu dirawat dirumah sakit kota, mertua ku telah kembali kerumah. Sebuah tradisi di desa ini yang masih di jaga yaitu ‘tilik’.Satu kegiatan yang dilakukan ketika ada warga, tetangga atau keluarga yang sakit. Maka kediaman mertuaku cukup ramai. Aku bahkan mondar mandir membuatkan minuman untuk tamu yang datang dan membawa masuk oleh-oleh mereka. Dan kembali hati ini tersayat karena ucapan ibu mertuaku. Disaat banyak tetangga yang datang membesuk, mereka bertanya perihal apa kok tiba-tiba dirawat di kota. Jawaban ibu mertuaku menohok hati ku dan merubah air wajah ku seketika dihadapan tamu.
“Lah, aslinya bapaknya ini pikiran. Yani anaknya sudah mau dua. Lah Guntur yang sudah 7 tahun menikah belum punya anak. Bapaknya ini nggerundel terus, kapan punya cucu dari Guntur.” Ucap Ibu dengan suara yang sengaja sedikit di keraskan agar aku mendengarnya.
Ku lirik mas Guntur yang duduk di sisi Bapak. Wajahnya merah, mas Guntur pasti tak suka ibu kembali menyindir perihal momongan dihadapan orang banyak. Setelah tamu pulang, mas Guntur menasehati ibunya untuk tidak menyudutkan aku. Namun Ibu mertua ku itu selalu merasa paling benar sendiri.
“Kamu itu, apa karena hasutan istri mu jadi berani sama Ibu. Ibu Cuma jawab apa adanya.” Ucap Ibu dengan Gusar.
Aku pun meminta mas Guntur untuk memilih diam dengan kedipan mataku. Mas guntur mendesah pelan, ia memakai kopiahnya yang ia letakkan di atas meja tadi.
“Ya sudah, kami pamit dulu Bu. Assalammualaikum.” Pamit Mas Guntur. Aku mengekor dibalik tubuh mas Guntur.
Semenjak hari itu, aku semakin disudutkan, Ibu mertuaku seolah membangun tembok diantara aku dan dirinya. Dari gulai yang aku antar selalu tak disentuh, bahkan berakhir dengan berhari-hari di hangatkan dan berujung di adonan dedak untuk makan ayam. Bahkan kehadiran ku dirumah Ibu tak pernah dianggap. Aku seolah tak ada. Tak diajak bicara, tak di tatap. Bapak juga mulai terang-terangan menunjukkan rasa tak suka pada diriku. Hal itu terjadi hampir beberapa bulan. Perdebatan tak terelakkan lagi ketika malam hari saat aku dan mas Guntur berkunjung kerumah Ibu dan Bapak. Satu permintaan yang dulu pernah di utarakan pada Mas Guntur, kini di utarakan di hadapan ku.
“Sekar, kamu kan sudah lama menikah dengan Guntur. Kata Ibunya Guntur, kamu yang bermasalah. Jadi kamu harus mengizinkan Guntur menikahi anak pak Atmo, Arum. Kalau tidak mau ya kamu boleh meninggalkan Guntur.” Suara Bapak tegas.
Aku hanya membenamkan kepala ku ke arah dada. Ku tahan air hangat yang ingin membasahi pipiku.
“Bapak! Aku sudah bilang, aku tidak akan menikah lagi apalagi berpisah dengan Sekar!” Jawab Mas Guntur Gusar.
Aku menarik lengan Mas Guntur. Suami ku itu telah berdiri.
“Mas, istighfar….” Ingatku pada mas Guntur.
Ia duduk kembali dan beristighfar.
Namun kami tiba-tiba panik karena Bapak memegang dadanya dan merosot dari kursi.
“Bapak!” Ucap kami bersamaan.
Malam itu kembali Bapak dilarikan ke rumah sakit, karena alat di puskesmas belum memadai. Beberapa hari di rawat, kondisi bapak kian kritis. Saat di sela-sela ia tersadar, hanya ucapan akan permintaanya pada Mas Guntur untuk menikahi Arum yang keluar dari bibir keringnya.
“Tur… Bapak sudah janji. Menikahlah Tur…. Bapak pengen cucu…” Ucapnya lirih.
Kondisi beliau masih kritis dan harus dipasang banyak alat pada tubuhnya. Merasa lelah karena hampir satu minggu di rumah sakit, Mas Guntur minta gantian dengan Yani dan suaminya. Tiba dirumah, aku melihat suami ku terlihat memijat dahinya berkali-kali.
“Ada paracetamol Dik?” Tanya Mas Guntur.
Aku bergegas ke keranjang kecil yang kusimpan di sisik televisi. Dan ku berikan padanya dengan segelas air putih.
“Aku kerokin yan Mas?” Tanyaku pada Mas Guntur.
Ia mengangguk. Ia pun membuka bajunya dan duduk bersila. Aku mengambil mangkuk kecil yang telah berisi minyak kelapa dan minyak kayu putih serta uang koin, Ku torehkan goresan koin pada punggung kekar suami ku. Tubuhnya meliuk-liuk, padahal aku sangat pelan menarik koin itu. Setelah rata punggungnya dengan loreng-loreng hasil kerokan, aku memijat pundak dan kepalanya. Aku tempelkan kepalanya pada perut ku. Seraya aku bertumpu dengan kedua lutut ku, jari-jari ku memijat dahi mas Guntur, kepalanya pun menengadahkan ke arah langit-langit. Ia begitu menikmati pijatan ku. Karena telah dua hari berada dirumah, aku pun memulai obrolan.
“Mas, besok jadi berangkat?” Tanya ku pada Mas Guntur yang berencana akan ke kota lagi untuk bergantian menunggu Bapak.
“Iya, kamu dirumah saja. Sapinya ga ada yang urus, padinya juga sudah waktunya untuk di tunggu. Manuknya pesta kalau ditinggal. Maaf ya dik, tak aja merantau ke sini malah hidup mu ga bahagia.” Ucap Guntur.
Aku menghentikan pijatan ku pada dahinya, aku mengecup dahinya. Ku pegang dagunya, Mas Guntur membuka kedua matanya.
“Siapa bilang aku tidak bahagia. Kalau tidak bahagia. Aku tak mungkin bertahan selama ini ndak mudik-mudik.” Ucap ku.
Mas Guntur berputar dan menarik tubuhku, ia pun memeluk tubuh ku dalam pangkuannya.
“Terima kasih, ternyata menikah itu tak harus diawali dengan cinta tapi. Setelah menikahlah yang dibutuhkan cinta, mas sangat mencintai kamu, Dik.” Ucap Mas Guntur.
Ku pegang pipinya dengan satu tangan ku.
Kami saling tatap dan saling berbagi sentuhan cukup lama. Setelah itu, aku pun mengucapkan satu hal yang membuat Mas Guntur untuk pertama kalinya membentak ku.
“ Mas, Aku ikhlas dan ridho jika mas Ingin menikahi Arum. Surga ku ada pada mas, tapi surga mas ada pada orang tua mas.”
Mas Guntur melerai pelukannya. Ia menatap ku tajam.
“Mas, aku ikhlas. Asal mas bisa punya keturunan…” Ucap ku lirih.
“Sekar! Apa kamu juga ingin menambah rasa penat di hati ku dengan permintaan gila itu!” Bentaknya padaku. Ia menggeser tubuh ku dan meninggalkan aku seorang diri.
Setelah kejadian itu, mas Guntur mendiamkan aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ah mewek bacanya😭😭😭
2023-12-21
3
RizQiella
padahal hati sekar sakit ketika berkata seperti itu....
2023-11-10
1
Rumi29
sama kak,di rumah juga gitu mau ada yg sakit,sunat,meninggal(klo meninggal bawa beras)melahirkan,orang mau mondok,haji,umroh,dll dan hajatan tp yg dateng cuma yg di undang doang.
2023-10-03
1