Aku biasa ndarus di pagi atau malam hari selama Ramadhan. Kegiatan yang rutin dilakukan jamaah masjid kami. Seperti pagi ini, aku sedang membersihkan masjid, selesai ndarus. Itu sering aku kerjakan bersmaa beberapa jamaah ibu-ibu. Saat bagian dalam telah selesai di bersihkan. Aku pun berniat membersihkan bagian wudhu yang perempuan.
Saat aku berjalan ke arah tempat wudhu. Ani, seorang tetangga ku yang tinggal di sebelah rumah ku. Ia membantu ku menyikat keramik di bagian wudhu serta kamar mandi di bagian kanan masjid yang di khausus kan untuk perempuan.
"Kar.... kamu lulusan pondok pesantren, bukan? ." Ucap Ani seraya mencabut beberapa rumput yang tumbuh si sekitar parit.
"Ya, ada apa mbak Ani?" Tanya Sekara.
Ani pun duduk di keramik pinggiran masjid. Ia melihat salah satu pelepah pisang yang telah layu dan masuk ke arah pagar masjid.
"Ndak bawa pisau tadi ya? Itu bikin risih." tatapnya pada pelepah pisang yang menjulur ke arah masjid.
Aku mengikuti anak matanya. Aku kembali menyikat dinding keramik menggunakan sikat hitam.
"Kar.... " Panggil Mbak Ani lagi.
Aku menoleh ke arah Mbak Ani. Merasa ia ada yang ingin dibicarakan. Aku pun menghentikan kegiatan ku. Aku duduk di sisinya. Seraya membenarkan sapu lidi yang ikatannya sudah tak lagi kencang.
"Ada apa mbak Ani? Bertengkar lagi sama mas Yono? " Tanya ku penasaran.
Aku adalah tempat curhat hampir beberapa tetangga dan teman. Entah mereka merasa nyaman atau memang merasa apa yang mereka ceritakan tak akan kemana-mana. Tapi hampir setiap mereka ada masalah, maka aku adalah tong sampah mereka. Kadang aku yang hanya ibu rumah tangga ini dijadikan curhat oleh salah satu kepala sekolah di SD Neger di sekitar rumah ku.
"Tadi itu kan ibu-ibu pada bahas masalah mandi junub.... " Ucap mbak Ani malu-malu.
Aku melirik dirinya yang tampak mengambil satu lidi dan mengujirnya di paving block.
"Terus?" Tanya ku.
"Hehehe.... " Ia malah tertawa kecil seraya mengusap kepalanya.
"Mau nanya sama Umi Ayu tadi, aku ya malu. Apalagi kemarin." Ucapnya.
Aku semakin penasaran apa yang ingin ditanyakan atau diceritakan mbak Ani pada ku.
"Anu, kan katanya ga boleh menelan cairan yang itu.... " Ucapnya malu-malu.
Aku menarik sudut bibir ku dan tersenyum. Bahuku bahkan sedikit berguncang mendengar kalimat Mbak Ani.
"Ya. terus....? " Tanya ku lagi.
"Tadi itu kan Bu Susi nanya. Kalau pas haid, boleh tidak bantu suami pakai tangan dan mulut. Nah yang jadi pertanyaan ku... " Ucapnya pelan.
Aku semakin penasaran pada pertanyaan Mbak Ani. Ia tampak menoleh ke kanan dan ke kiri. Ia memang sering bertanya pada ku perihal yang menyangkut agama, termasuk kadang perihal kapan masa sucinya setelah haid,maklum ia KB. Tentu saja ia datang dengan membawa catatan atau buku hariannya yang pernah aku berikan agar mudah sama-sama belajar. Lalu ia bergeser ke arah ku. Sehingga kami duduk cukup dekat tanpa sela.
"Lah misal nonton film dewasa Kar? Terus ada cairan yang keluar... opo harus mandi wajib? " Tanya Mbak Ani pada ku.
Entah wajah ku merona atau tidak, karena kulit ku yang tak terlalu putih, karena saat masih kecil aku bahkan di beri julukan Si Reng. Karena kulit ku paling gelap sendiri dibandingkan kakak-kakak ku.
Aku menatap Mbak Ani tak percaya. Daripada menginterogasi dirinya apakah sering menonton film atau tidak. Aku lebih fokus ke apakah Mbak Ani tahu membedakan cairan yang keluar dari ke ma lu annya atau tidak.
"Mbak Ani, jangan sering-sering atau lebih baik ndak usah nonton yang begituan. Banyak mudharatnya juga bahaya buat hubungan Mbak Ani dan Mas Yono."Ingat ku.
" Iyo, iyo. Nasihat Umi Ayu waktu pas ngaji bulan kemarin aku yo sudah catet. Tapi misal ke bablasan pas nonton pacebuk." Jawabnya cepat.
"Sekarang, mbak Ani bisa ga membedakan yang keluar dari itunya mbak Ani, cairan apa?" Tanya ku padanya setengah berbisik.
Karena khawatir ada yang mendengar percakapan kami, soalnya lagi ada pengecatan juga di bagian depan masjid.
"Ya ga tahu, pokoknya kalau barusan nonton mesti basah." Ucap Mbak Ani pada ku.
Aku mengingat kembali materi ini. Dimana m a n i atau s p e r m a itu tidak najis, tetapi seseorang yang mengeluarkannya wajib mandi besar. Menurut para ulama, setidaknya ada tiga hal yang membedakan antara m a n i dengan madzi dan wadi. Pertama, baunya ketika basah seperti bau adonan roti dan tepung, sedang ketika sudah mengering seperti bau telor. Kedua, keluarnya memuncrat. Ketiga, berasa nikmat ketika keluar dan setelah itu melemahlah d z a k a r dan s y a h w a t.
"Lah saya ga tahu muncrat ga nya Kar." Jawab Mbak Ani lugu.
"Kalau untuk perempuan memang tidak disyaratkan muncrat Mbak " Ucap Sekar.
“Mungkin yang keluar madzi mbak.” Jawab ku.
“Jadi mandi wajib atau tidak? Kan najis?” Tanya nya pelan dan setengah berbisik.
“Yo itu najis. Cukup dibersihkan atau di cuci dahulu baru kemudian wudhu. Tapi kalau mau lebih hati-hati ya mandi Mbak, ganti baju dan dalemannya.” Ucap ku.
“Lah wong pas di jalan kayak kemarin pas di bus iku loh Kar.” Ucapnya ceplas ceplos.
Aku menggelengkan kepala ku. Baru aku akan berdiri untuk membuang sampah ke tempat pembakaran. Tangan ku ditarik oleh Mbak Ani.
“Ko sek toh Kar, belum rampung.” Cegahnya.
Aku duduk lagi di tempat semula. Aku menunggu pertanyaan yang masi membuat ia bingung.
“Anu, misal kitanya bantu suami pakai tangan.” Ucapnya malu-malu.
Aku masih belum mudeng apa kemana arah pembicaraan ini.
“Apanya yang pakai tangan?”Tanya ku yang sudah mengerutkan dahi.
“Ssssttt… ojo banter-banter toh.”Ucapnya.
Aku menarik tangannya yang menyumpal mulutku.
“Pas kita atau melayani suami…tapi pakek tangan.... itu… itu…” Ucap Mbak Ani seraya menyatukan kedua telunjuknya seperti orang bingung.
“O….hehe…” Aku terkekeh mengingat pertanyaanya tadi.
“Aku malu lah kalau harus tanya Umi Ayu, apalagi di depan ibu-ibu yang mulutnya kayak ember bocor. Lah kalau kamu, aku dapat solusi, wes ga bocor blas.” Ucapnya sumringah.
“Ya tergantung, yang keluar. Kalau m a n i mandi junub Mbak. Tapi kalau bukan, itu cukup di cuci sampai bersih tangannya…” Ucap ku.
“Oh….. Begunu… Berarti kalau pakai mulut ndak perlu mandi, cukup cuci saja mulut sampai bersih.” Gumamnya seraya manggut-manggut.
Seketika kami saling pandang, otak ku akhirnya ikut traveling mendengar gumaman Mbak Ani. Wajah kami sama-sama merah. Aku bergegas meninggalkan Mbak Ani sendiri. Seketika perut ku mual, ku tahan rasa ingin muntah ku dengan menutup kedua mulut ku rapat-rapat dan ditambah tangan kiri ku menutupnya.
“Kar…” Panggil Mbak Ani kepada ku.
Ia berlaari ke arah ku, saat ia berhasil mengejar ku, ia berjalan mengiringi langkah ku.
“Ojo cerito-cerito karo sopo-sopo yo…” UCapnya pelan.
Aku hanya mengangguk dan bergegas untuk pulang. Rasa mual pada perut ku kian terasa, otak ku yang tiba-tiba traveling karena gumaman Mbak Ani membuat aku berpotensi muntah, dan tentu saja batal puasa ku. Tiba dirumah saat melihat Mas Guntur sedang mencari baju di lemari dengan hanya berlilit kan handuk. Otomatis otak ku kembali menghubungkan sesuatu yang tadi sempat ku dengar dan tak pernah aku lakukan. Membayangkan saja mau muntah, betul saja. Tiba-tiba aku tak mampu menahan rasa mual, Rasanya semua isi di lambungku naik ke tenggorokan, aku tak mampu menahannya lagi, aku pun berlari ke kamar mandi dan aku memuntahkan isi perut ku yang telah berada di tenggorokan.
“Ueeekkkk.. ueeekkk…”
“Dek….”Panggil Mas Guntur.
Saat aku merasa baikan, aku kembali ke kamar.
“Kita ke bidan ya? Mungkin kamu hamil…” Ajak Mas Guntur dengan wajah sumringah.
Tiba-tiba rasa mual ku hilang dan berganti rasa perih di hati.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
waduh beda pemikiran nih muntahnya
2023-12-22
3
Uyhull01
huuu mas Guntur knpa langsung suruh ke bidan aduhhh klo ternyata itu bukan bisa nambah nambah sakit Sekar lhoo mas,
2023-05-29
0
Uyhull01
pertanyaan ini bkan cuma dpt ilmu tp mngingatkn ku pda waktu Umi laila suruh Mbak Ayu membca surat salah satu Santri kalong d luar kendali smpe HB, yaitu gtu mau muntah muntah bca isi surat nya,🤭
2023-05-29
1