Tiba di Kali Bening, Sekar tampak bernostalgia di setiap sudut Pondok Pesantren yang terkenal dengan pengasuhnya yang begitu sederhana dan memiliki banyak jamaah juga santri. Sekar bahkan terlihat berbinar kala ia menunjukkan satu pohon mangga yang merupakan tempat favorit dirinya bersama Zhafira, sekedar duduk atau mengasuh putri Umi Siti.
"Dulu kami sering duduk disana, Zhafira jarang di kunjungi ibunya. Maka kalau ibu atau bapak sambang, aku akan mengajaknya untuk makan bersama kiriman Ibu. Ah jadi kangen Zhafira, tidak menyangka nasib seseorang ya, Mas." Ucapnya pada ku seraya menatap pohon bangga yang di bawahnya banyak terdapat daun yang berguguran.
Suasana lebaran seperti saat ini, maka para santri abdi ndalem hanya tersisa beberapa yang tak pulang.
"Kabarnya sahabat mu itu malah bolak balik keluar negeri sudah kaya dari rumah kita ke pasar pekan." Komentar ku yang memang pernah melihat sahabat Sekar di sebuah layar televisi milik Ibu.
"Allah menunjukkan bahwa nasib seseorang bisa berubah asal dia mau bersungguh-sungguh dan bersabar. Zhafira selama di pondok begitu serius belajar dan mengabdi. Disamping itu dia memang cerdas anaknya." Ucap Sekar seraya melangkah ke arah ndalem nya Umi Siti.
Tampak seorang santri lelaki yang sibuk dengan sapu lidi. ia tampak menunduk dan berhenti menyapu kala kami lewat. Aku jadi teringat saat dulu aku juga tak akan pulang saat hari raya idul fitri. 6 tahun aku mondok di jawa, aku tak pernah pulang saat hari raya. Karena faktor ongkos, aku juga berharap sebuah keberkahan menemani Bu Nyai dan Abah Yai selama pondok sepi ditinggal santrinya mudik.
Maka kini aku pun merasakan bagaimana aku menjadi pribadi yang cukup dibilang idaman para istri. Itu yang sering sekar katakan padaku saat tetangga mengatakan jika Sekar beruntung memiliki suami seperti diriku. Ya, jika bagi sebagian lelaki akan sungkan atau segan membantu istri dirumah. Aku tidak demikian. Bahkan membuat kopi pun aku tak menunggu istri ku, ia sudah terlalu lelah mengurus rumah. Maka sebisa mungkin aku mengerjakan apa yang bisa aku kerjakan, termasuk memasak dan mencuci. Namun satu-satunya yang aku tak bisa bantu adalah melipat pakaian. Entahlah pekerjaan rumah satu itu terlalu membosankan. Aku lebih memilih hanger untuk merapikan pakaian jika Sekar sedang sibuk di Pesantren Umi Ayu yang berada di desa sebelah.
Tiba di ndalem Gus Furqon. Ternyata beliau sedang berada di ndalem nya Kyai Rohim. Aku pun mengikuti langkah kaki Sekar. Tiba di ndalem Kyai Rohim, tampak Umi Siti merapikan toples dan air mineral yang berada di karpet yang berada di kediaman Umi Laila. Umi Siti tampak bergegas menyambut kami. Aku bisa melihat bagaimana Umi Siti begitu senang dengan kehadiran Sekar.
"Masyaallah... Sekar... " Ucap Umi Siti.
Sekar cepat menyalami Umi Siti. Kami pun duduk di ruangan tersebut. Umi Siti memanggil satu santri yang ia minta untuk memanggil Gus Furqon. Tak lama kami pun berbincang beberapa hal.
"Umi dan Abi baru saja berangkat ke Jakarta, lah kemarin banyak yang datang juga. Zhafira juga kemari bersama suaminya dan juga ibu mertuanya." Ucap Umi Siti seraya mempersilahkan kami untuk menikmati beberapa kue dan teh hangat.
Saat Gus Furqon duduk di antara kami. Aku pun memikirkan cara untuk meminta petuah dari Gus Furqon. Karena Sekar juga lama menjadu abdi ndalem Gus Furqon. Sudah kupastikan jika kali ini aku akan menyamarkan masalah ku. Agar Aku mendapatkan satu sudut pandang yang berbeda. Jika tadi aku mengatakan Sekar yang bermasalah dengan tuba falopinya. Kali ini tidak, aku akan mengatakan bahwa aku yang bermasalah.
"Yai..., kulo ajeng taken badhe sa bab. Kulo nyuwun bimbingan kyai lan bu nyai." Ucap ku dengan kepala tertunduk.
{Kyai, saya mau bertanya akan satu hal. Saya memohon bimbingan Kyai dan Bu Nyai.}
Ku lirik Sekar. Aku yakin dia akan sedikit kaget mendengar pernyataan ku. Namun ini harus ku lakukan. Aku bingung kepada siapa meminta nasihat akan kegelisahan hati ini.
"Pripun Yai, kangge nyikapi omah-omah ingkang mboten kunjung nggadhahi lare?" Tanya ku pelan.
{Bagiamana untuk menyikapi pernikahan yang tak kunjung memiliki anak?}
"Kita manusia memang boleh berkehendak Kang Guntur. Tetapi untuk menentukannya hanya kehendak Allah saja yang menentukannya. Termasuk perihal keturunan." Ucap Gus Furqon.
Umi Siti bertanya pada kami tentang sudah berapa lama kami tak memiliki anak. Aku pun menjawab sudah hampir 8 tahun. Umi Siti tampak ragu-ragu. Namun aku cepat menjawab sebelum Sekar menceritakan hal yang sama seperti aku tadi di hadapan Gus Ali. Bagi ku, Gus Ali tak salah. Beliau guru, beliau memiliki ilmu dan tentunya beliau memiliki pandangan lain tentang pernikahan. Bahkan beliau mengupas tuntas bab pasal yang memperbolehkan istri mengizinkan suaminya untuk menikah lagi agar pernikahan kedua sang suami sah di mata hukum.
"Saya memiliki masalah dengan kesuburan Yai... Maka sebenarnya saya bingung. Saya merasa kasihan pada Sekar. Namun saya tak ingin melakukan perceraian. Saya mohon bimbingan nya Yai, Bu Nyai." Ucap ku cepat. Aku bisa melihat Sekar melirik aku. Aku pun melakukan hal yang sama.
Kami sama-sama menunduk tak berani menatap guru kami. Entahlah walau sudah tak lagi mondok, rasanya kami masih menjadi santri beliau.
"Perihal anak ini bukan hanya kita manusia biasa mengalami cobaan seperti ini. Para nabi pun ada yang mengalami. Nabi Luth tak punya anak lelaki, nabi Ibrahim tak punya anak perempuan. Tapi sedangkan nabi Adam dan Rasulullah, beliau mempunyai anak laki-laki dan perempuan. Maka hal ini kita bisa melihat bahwa Allah menakdirkan bermacam-macam kondisi orang tua karena Allah maha Mengetahui atau Al 'Alim. Dan Allah Maha Kuasa atau Al Qadir. Maka terhadap kita manusia biasa pun Allah lebih mengetahui dan lebih kuasa akan takdir kita, lah pada para kekasih nya pun Allah menakdirkan bermacam-macam karunia yang berbeda pula." Ucap Gus Furqon.
"Bagaimana jika ikhtiar kami tak membuahkan hasil hingga kami tak memiliki anak hingga akhir hayat kami?" Tanya ku.
"Tidak memiliki anak di dunia bukan berarti kita tidak bisa memiliki nya di akhirat. Pada QS. Az Zuhkruf ayat 71 menjelaskan bahwa kelak Surga itu terdapat segala yang kita inginkan hati dan kekal." Ucap Umi Siti.
"Sebenarnya selagi menanti ikhtiar kita menjadi keberhasilan, termasuk perihal keturunan. Kita bisa memanfaatkan waktu kita dalam kehidupan. Jadi jangan fokus pada satu masalah saja Kang. Kita bisa memaksimalkan raga dan kehidupan kita yang dengan memanfaatkannya untuk menjalin hubungan kepada Allah yaitu beribadah. Tetapi tidak lupa untuk tetap memberi manfaat secara horizontal kepada lingkungan kita. Salah satunya dengan berjuang dan memberi kemaslahatan serta manfaat bagi sesama. Contoh sekarang ada banyak kegiatan yang bermanfaat. Sibukan diri untuk kegiatan-kegiatan yang bermanfaat. Maka nanti masalah kita sendiri akan selesai dengan sendirinya Kang. Saya sudah membuktikan sendiri itu." Ucap Gus Furqon yang kini menjadi salah satu ketua Organisasi di tingkat Kabupaten.
Aku merenungi apa yang diucapkan Gus Furqon. Selama ini, Sekar lebih banyak dirumah. Jika keluar rumah. Ia hanya akan mengaji bersama ibu-ibu pengajian. Maka aku baru terpikirkan, aku akan meminta sekar Aktif dalam keorganisasian di desa dan menggali potensi dirinya. Agar ia tak kian sibuk memikirkan untuk aku menikah lagi.
"Jangan terlalu gundah Kang, Sayyidah Aisyah pun tidak memiliki anak. Namun beliau bisa begitu sabar menahan sesaknya hati, kala ia tak bisa menyalurkan naluri keibuannya karena Rasulullah yang begitu pandai dan bijaksana dalam menyikapi polemik rumah tangga. Sehingga muncul panggilan Ummu Abdullah. Disini adalah peran pasangan untuk bisa mencurahkan kasih sayang dan dukungan untuk salah satu pasangan kita. Hingga pernikahan menjadi menyenangkan, bahagia walau tanpa kehadiran anak." Jelas Umi Siti.
Seketika aku ingat kisah itu. Ya, kisah asal mula kenapa Sayyidah Aisyah memiliki nama panggilan Ummu Abdullah.. Dimana saat itu Sayyidah Aisyah meminta Rasulullah membuatkan nama panggilan untuk beliau. Beliau ingin seperti teman-temannya yang memiliki nama panggilan yang menggunakan nama salah satu anak. Dan pada saat Abdullah bin Zubair atau putri dari Asma binti Abu Bakar. Sayyidah Aisyah membwa Abdullah kepada Nabi Muhammad. Rasulullah lalu men-tahnik-nya atau mengolesi langit-langit mulut Abdullah dengan sebiji kurma yang telah beliau kunyah.
Tahnik yang dilakukan Rasulullah kepada Abdulllah bin Zubair adalah wujud kasih sayang sekaligus memberkahi Abdullah. Bagaimana tidak berkah, dengan begitu berarti beliau telah memasukkan ludahnya kepada Abdullah bin Zubair. Oleh karenanya Sayyidah Aisyah diberi nama panggilan oleh Rasulullah dengan Ummu Abdillah yang berarti ibunda Abdullah. Bahkan dalam satu Riwayat lain Sayyidah Aisyah diberi nama lain yaitu Muwaffaqah atau Wanita yang diberi petunjuk.
‘Aku megerti makna yang tersirat dari nasihat Gus Furqon dan Umi Siti. Insyaallah aku sudah paham apa yang akan aku lakukan ke depan.’ Batin ku.
Saat aku dan Sekar bertolak ke kediaman Yadi, kami akan menghadiri acara wisuda Yadi. Di dalam Bis Sekar bertanya perihal kenapa aku mengatakan jika aku yang memiliki masalah dalam hal keturunan.
“Kenapa bohong?” Tanya Sekar pada ku saat kami berada dalam bis.
“Jika kamu bisa menyembunyikan kesedihan mu karena mendengar percakapan ku dengan Gus Ali, maka aku bisa menyembunyikan masalah kita, agar kamu bisa berpikir jernih untuk tidak meminta aku menikah lagi atau menuruti kemauan bapak dan ibu. Kamu masih bisa hamil. Dan biarkan Allah yang Maha mengetahui kapan kamu diberikan kesempatan untuk hamil. Lihatlah Sayyidah Aisyah. Apakah beliau bersedih seumur hidup beliau hanya karena tak bisa melahirkan keturunan? Beliau bahkan merupakan bagian dari pembawa hadits,bahkan banyak menjadi rujukan dari para sahabat senior lainnya dalam persoalan bagaimana memahami dan melakukan penyimpulan hukum. Sekarang kita fokus pada apa yang bisa kita lakukan di usia kita tanpa kehadiran buah hati, di agama Allah. Untuk keluarga, masyarakat. Biarkan Allah yang Maha Kuasa berkhendak atas setiap apa yang ditakdirkan untuk kita.” Jelas ku padanya.
Ku sandarkan kepala ku di pundaknya, aku memejamkan kedua mata. Ku biarkan ia meneteskan air mata. Aku tahu, ia butuh menangis untuk melapangkan rongga hatinya. Maka aku hanya akan ada untuk dirinya bersandar. Aku memejamkan mata dan memikirkan, tentang perihal mengadopsi anak. Namun anak siapa. Entahlah, sekarang aku hanya ingin Sekar tak kembali menuntut ku untuk menikahi Arum atau perempuan mana pun.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Sugiharti Rusli
ternyata kalo dapat insight dari guru lain yang bijak bisa dapat pencerahan yah Tur,,,
2023-12-22
2
Dafina Delisha
Suami pengertian, bertanggung jawab seperti ini yg diinginkan para perempuan.. bukan lelaki yg dengan mudahnya nikah lagi dengan alasan keturunan...
2023-10-12
0
solihin 78
koq saya mberebes tanpa terasa ya membaca bagian ini 😭😭😭😭😭😭
2023-08-10
2