Bab 2 Mengenang Masalalu

Ku seka air mata yang membasahi pipi. Aku mengatur nafas, serta aku menengadahkan kepala ke arah langit. Aku tak ingin, mas guntur dan kedua mertua ku tahu, jika aku mendengar pembicaraan mereka. Beberapa kali ku tarik nafas dalam dan aku hembuskan kembali. Senter yang tadi tergeletak di atas tanah, ku ambil kembali.

“Bismillahirrahmanirrahim…. “ Ucap ku seraya melangkahkan kaki ke arah pintu rumah mertua ku.

Sengaja ku seret langkah kakiku, agar suara sandalku terdengar oleh penghuni rumah yang tampak sedang emosi dan membicarakan aku. Seketika, hening. Tak ada suara dari dalam rumah. Ku ucapkan salam saat berada di ambang pintu ruang tamu. Aku bisa melihat mas Guntur duduk di sisi kanan mertua laki-laki ku. Beliau termasuk sesepuh di desa ini. Masyarakat biasa memanggilnya dengan sapaan Pak Kisno. Sedangkan ibu mertuaku duduk di sisi kiri bapak. Aku berjalan ke arah mereka. Ku cium punggung tangan Mas Guntur serta kedua mertuaku.

Aku sudah kenyang dengan perlakuan Bu Sumi, ibu mertuaku. Ia hanya akan bersikap dingin dengan diriku.

“Ini ada oleh-oleh dari kota tadi Bu, mau kemari sore tadi. Saya pagi tadi belum sempat mencuci. Jadi saya nyuci dulu sore tadi.” Ucap ku sopan.

Ibu mengambil kantong kresek berwarna hitam dari tangan ku. Ia pun masuk dengan membawa oleh-oleh tersebut. Aku mengikuti ibu ke arah dapur. Aku mengambil satu piring untuk menata buah yang ku beli di kota tadi siang. Serta satu piring untuk roti tawar yang juga aku belikan, makanan ini adalah favorit bapak. Belum selesai rasanya aku menenangkan hatiku, kembali hati ini menjerit. Akan tetapi, ilmu dan adab menuntut bibir ku tertutup rapat. Menuntut tubuhku, mata ku hanya mampu menunduk saat ibu mertuaku kembali bersikap dan bertanya dengan nada menyudutkan aku.

“Terus yang salah siapa? Kamu apa Guntur yang punya masalah?!” Tanya Bu Sumi seraya melipat kantong kresek hitam tadi menjadi bentuk segitiga, lalu ia selipkan di sisi rak piring.

Aku duduk di kursi meja makan, namun tubuh ku lemah, kaki ku terasa gemetar. Aku tak biasa berkata bohong. Aku bingung akan jawaban yang aku berikan. Ibu kembali ke arah ku. Ia tarik kursi kayu yang terbuat dari kayu medang. Lalu ia menata piring yang tadi telah aku isi buah salak dan roti tawar.

“Kamu itu Kar, lah kalau ditanya yo njawab! Kebiasaan.” Ucap Ibu gusar.

Jari-jariku m e r e m a s ujung jilbab ku yang terjuntai.

“Dokter bilang disuruh kontrol kalau vitaminnya habis Bu,” Jawab ku pelan.

Ku raih nampan yang ada di atas meja, namun tangan ku di tepis oleh ibu mertua ku. Ibu berdiri dan mengangkat nampan itu. Ia berdiri dan berjalan di sisi ku. Ibu setengah membungkuk seraya memegang nampan. Ia membisikkan satu kalimat yang menghujam hati ku.

“Kalau kamu yang bermasalah, tinggalkan Guntur. Aku ndak mau nanti anak ku tidak punya keturunan! Aku yang melahirkan dan membesarkan Guntur. Aku tahu dari mimik wajahnya, kamu sumber masalah ini!” Bisik ibu pada telingaku.

Tanpa menoleh ke arah ku, Ibu berjalan ke arah ruang depan. Meninggalkan aku seorang diri di dapur. Ku seka air mata yang hampir jatuh dengan ruas jari telunjuk ku, seraya ku tatap langit-langit dapur yang semuanya berwarna hitam karena lamanya terkena asap yang berasal dari kayu bakar.

‘Astaghfirullah… Astaghfirullah… Astaghfirullah… Sabar Sekar, hidup ini tempatnya kita diuji.’ Batin ku.

Saat nafas ku sudah teratur, aku kembali ke ruang depan. Aku duduk di sisi Mas Guntur. Hampir setengah jam, kami mengobrol. Hanya obrolan seputar Yadi dan Yani.  Yadi adalah adik mas Guntur yang paling bungsu. Ia masih kuliah di Jombang. Sedang menempuh S2. Sedangkan Yani adalah adik tepat setelah mas Guntur. Yani adalah seorang pekerja di leasing yang ada di Kota. Tak ada obrolan hangat, hanya ada obrolan dimana, Bapak dan Ibu terus saja membanggakan Yadi dan Yani. Seolah aku dan mas Guntur tak ada peran dibalik kesuksesan dua adik ipar ku itu. Ya, Saat aku pertama menikah dengan mas Guntur, dua adiknya masih sama-sama kuliah.

Tentu saja yang menguliahkan Mas Guntur, karena Bapak sudah sepuh. Hanya aku dan suamiku yang tahu perjuangan kami dalam mengantarkan kedua adik kami menggapai cita-cita mereka. Meraih pendidikan hingga S1, Yadi bahkan hampir menyelesaikan pendidikan S2 nya. Aku bahkan hampir lupa rasanya makan dengan garam saja atau makan hanya dengan masako saja bersama mas Guntur.  Saat dimana harga getah karet dan sawit sedang merosot tajam sedangkan Yadi mau wisudah. Yani juga baru menikah.

Hal itu kami alami dan lewati di awal-awal pernikahan kami. Pahit, manis, asam nya kehidupan dalam berumah tangga telah aku lalui selama menikah dengan Mas Guntur.Tetapi, rasa cinta dan paham arti sebuah pernikahan. Aku tak pernah mengeluh pada kedua orang tua ku yang ada di pulau Jawa. Aku pun tak memiliki ponsel android, hanya ada ponsel kecil yang ku beli dari hasil penjualan ponsel android ku, saat Yadi akan wisudah di S1 nya. Yani yang memaksa ikut hadir, membuat biaya ongkos bertambah. Tabungan yang tak ada lagi, membuat aku berinisiatif menjual ponselku. Aku hanya menganggap benda itu tak terlalu bermanfaat saat itu.

Mas Guntur yang terlihat tak betah, setengah jam berbicara dengan kedua orang tuanya. Ia pun mengajak ku pulang dengan alasan lelah.

“Saya pulang dulu Pak, Bu. Besok pagi-pagi mau ngarit di Liter Q. Hari ini tidak ngarit.” Pamit Mas Guntur pada kedua orang tuanya.

Aku mengekor di belakang Mas Guntur. Kami pulang kerumah melewati jalan yang belum di cor atau di aspal. Sebuah jalan pintas yang masih tanah merah dan akan berakhir di pekarangan belakang rumah kami. Sebuah rumah yang hanya memiliki luas 6 x 5 meter. Rumah mungil yang jauh dari kesan mewah. Kami membangun itu dari hasil sumbangan saat baru selesai menikah. Uang amplop yang diberikan oleh teman dan tamu undangan, kami gunakan membangun gubuk mungil yang sangat nyaman, aman bagi ku. Aman dari setiap sindiran ibu mertuaku, nyaman karena kami bisa melakukan apapun bersama. Dimana bagi sebagian masyarakat disini hal tabuh. Apalagi seorang suami sampai ikut aktifitas di dapur seperti memasak dan beberes rumah.

Saat kami berjalan beriringan, Mas Guntur merangkul pundakku.Jalan cukup sepi, karena itu hanya jalan pintas yang memang sengaja dibuat oleh Mas Guntur agar cepat menuju rumah kedua orang tuanya.

“Dek, Ibu tadi bilang apa pas di dapur?” Tanya Mas Guntur seraya mengeratkan pelukannya. Kulihat arah sinar senter yang berasal dari arah kepala mas Guntur. Cahayanya menerangi jalan kami untuk menuju rumah.

“Tak ada, Ibu tak bilang apa-apa.” Kilah ku pada Mas Guntur.

Aku tahu suamiku adalah lelaki yang begitu mencintai istrinya. Ia juga anak yang berbakti kepada kedua orang tuanya. Hal itu membuat aku merasa cukup aku telan sendiri apa yang aku dapatkan dari Ibu. Aku tak ingin hati Mas Guntur bertambah penat dan lelah sehingga marah atau jengkel pada perempuan yang telah melahirkannya, membesarkan dirinya. Belum lagi, suami ku adalah pekerja keras. Waktunya mencari nafkah bukan untuk diriku sendiri tapi untuk adiknya juga kedua orang tuanya. Membuat aku tak ingin menambah beban pikiran suamiku dengan masalah sifat ibunya yang masih belum menerima ku sebagai menantunya.

Ya, aku memang sepertinya tak diterima oleh Ibu. Karena aku ingat betul bagaimana hari-hari pertama aku menginjakkan kakiku di Pulau Sumatera ini dan desa ini khususnya. Ibu begitu kaku, dingin. Satu alasan yang membuat Mas Guntur membeli tanah dan membangun rumah yang terbuat dari batu bata. Dinding rumah kami bahkan belum di plaster. Sehingga kadang membuat Mas Guntur yang baru pulang dari ladang menjadikan dinding sebagai alat penggaruk punggungnya jika aku sedang tak ada di rumah.

Tiba di rumah, kami mengucapkan salam, walau di dalam rumah tak ada siapapun. Sesuai apa yang kami dapatkan ketika mondok. Ada atau tidak ada orang di dalam rumah. Saat kita masuk, hendaknya kita mengucapkan salam. Dimana Gus Furqon dawuh, ‘Ketika memasuki rumah yang tak berpenghuni, bukan ucapan 'assalamua'alaikum', tapi ucapkan 'assalamu alaina wa'ala ibadillahish shalihin'.

Masuk kedalam rumah, kami beristirahat. Malam kian larut, aku justru masih memikirkan ucapan mertuaku tadi. Kalimat Bapak yang menginginkan Mas Guntur untuk menikah lagi dengan teman masa kecilnya, membuat aku tak mampu terlelap. Pelukan erat mas Guntur pada pinggang ku membuat aku mengusap punggung tangannya. Ku genggam tangan lelaki yang sudah hampir 7 tahun ini menafkahi aku lahir dan batin. Yang selalu bersikap lemah lembut pada ku walau ketika diluar, ia terkenal ‘kereng’ dalam bahasa jawa yang berarti keras. Tapi tidak pada ku.

Aku pun kembali teringat saat-saat pertama aku bertemu dengan mas Guntur. Rasa sedih dan lelah karena tadi siang dari kota, membuat aku tak bisa tidur. Aku pun mengenang kembali hari-hari pertama ku bersama bertemu Mas Guntur hingga aku menikah dengannya.

Flashback On

"Astaghfirullah... Zha... Senengan e.. ngagetin ae." Ucap ku kesal karena tiba-tiba adik tingkat ku yang sama-sama jadi abdi ndalem di kediaman Umi Siti tiba-tiba menepuk pundakku.

"Mbak, wau Kulo saking Ajeng dugiaken unjuk an damel tamu umi , kabaripun santri beliau tasek pados jodo." Ucapnya seraya memeluk nampan yang bermotif kembang.

{Mbak, tadi aku dari depan mengantar minum untuk tamunya Umi. Kabarnya santri beliau lagi cari jodoh.}

"Lah terus?" Ucap ku penasaran.

Aku kembali fokus pada pakaian yang sedang aku pilah untuk di gosok.

"Lah, yang sudah baligh kan Mbak Sekar kalau di abdi ndalemnya Umi. Kok aku mikirnya yang bakal di jodohkan sama santrinya Gus Ali itu ya Mbak Sekar." Ucap Zhafirah ceplas seplos.

Aku reflek memukul kepalanya dengan boneka bantal milik Ning Binti yang baru saja ku cuci.

"Bilang saja kamu pingin momong Ning Binti, biar ga di pawon. Iya toh. Jadi kamu ngarepnya begitu." Tukas ku pada Zhafirah.

Gadis itu tersenyum  dan menggaruk kepalanya.

"Yo ndak ngunu loh mbak...." Ucapnya keberatan.

"Soalnya Gus Ali matur yang biasa jadi abdi ndalem." Ujar Zhafirah.

Aku pun menghentikan kegiatan ku. Aku jadi penasaran, siapa santri Gus Ali yang terkenal dengan majelis shalawatnya di Kabupaten ini. Belum hilang rasa penasaran ku, tiba-tiba Umi Siti datang dan memanggil nama ku.

"Sekar, Nduk. Mriki sekedhap." Panggil Umi Siti.

{Sekar, Nduk. Kemari sebentar}

Jantung ku sudah terasa berdebar tak menentu, khawatir tebakan Zhafirah benar.

Terpopuler

Comments

Sugiharti Rusli

Sugiharti Rusli

eh baru notice ini Sekar yang putranya nolong Gendhis bukan yah yang pernah akan dilecehkan,,,

2023-12-21

2

Rumi29

Rumi29

kek aku klo kadang lagi males di dapur ramee pol pas ada acara yo momong neng kecil🤭😂

2023-10-03

1

solihin 78

solihin 78

mertua koq gitu

2023-08-09

0

lihat semua
Episodes
1 Bab 1 Air Mata Pernikahan Ku
2 Bab 2 Mengenang Masalalu
3 Bab 3 Gejolak Rumahtangga Sekar
4 Bab 4 Aku, Sekar Ayu Gumiwang
5 Bab 5 Cinta Ku Untuk Sekar (POV Guntur)
6 Bab 6 Cintaku hanya Untuk Sekar (POV Guntur)
7 Bab 7 Yadi dan Keinginannya
8 Bab 8 Mual dan Muntah
9 Bab 9 Bertemu Arum
10 Bab 10 Amarah ku
11 Bab 11 Permohonan Arum
12 Bab 12 Cinta mu, Memuliakan Aku.
13 Bab 13 Kesempurnaan Cinta
14 Bab 14 Kegundahan hati ku (POV Guntur)
15 Bab 15 Sowan ke Kali Bening
16 Bab 16 Sekar, Si Hitam Manis Ku (POV Guntur)
17 Bab 17 Permintaan Mas Guntur
18 Bab 18 Perjalanan Pulang (POV Guntur)
19 Bab 19 Semua Punya Masalah (POV Guntur)
20 Bab 20 Ujian Guntur (POV Guntur)
21 Bab 21 Tawaran Sopir (POV Guntur)
22 Bab 22 Tak terduga (POV Guntur)
23 Bab 23 Besti Sekar (POV Guntur)
24 Bab 24 Kegelisahan hatiku
25 Bab 25 Melepas Rindu
26 Bab 26 Ridho Mu, Tiket ku Ke Surga
27 Bab 27 Pentingnya Ilmu
28 Bab 28 Bertemu Umi Laila
29 Bab 29 Pulang
30 Bab 30 Madu Ku
31 Bab 31 Fitnah yang Mengarah kepada Ku
32 Bab 32 Jalan Surga ku
33 Bab 33 Ingat Dosa masa lalu
34 Bab 34 Arum
35 Bab 35 Kematangan Emosi
36 Bab 36 Sosok Umi Ayu refleksi Umi Laila
37 Bab 37 Ikhlas Itu urusan sama Allah bukan Manusia
38 Bab 38 Pertikaian Ibu dan Mas Guntur
39 Bab 39 Diluar Batas Sabar (POV Guntur)
40 Bab 40 Ketenangan dari Sekar (POV Guntur)
41 Bab 41 Satu hal Mengagetkan
42 Bab 42 Seseorang dari Masa Lalu
43 Bab 43 Aku, Bidadari mas Guntur.
44 Bab 44 Apakah cinta ku bisa sedalam Sayyidah Zainab pada suaminya?
45 Bab 45 Kemuliaan (POV Guntur)
46 Bab 46 Kebingungan Ku (POV Guntur)
47 Bab 47 Gosip Tentang mas Guntur
48 Bab 48 Korban Cinta
49 Bab 49 Niat kami (POV Guntur)
50 Bab 50 Perhiasan Paling Indah (POV Guntur)
51 Bab 51 Kabar Bahagia
52 Bab 52 Terbentur Biaya
53 Bab 53 Ziyah, Cahaya ku
54 Bab 54 Jagalah Hati
55 Bab 55 Pasangan Aneh atau Pasangan Spesial
56 Bab 56 Guru Ku (POV Guntur)
57 Bab 57 Ambisi Pak Marhen (POV Guntur)
58 Bab 58 Niat Suami Ku
59 Bab 59 Mohon Doa Restu (POV Guntur)
60 Bab 60 Hoaks
61 Bab 61 Kedatangan Pak Marhen
62 Bab 62 Klenik
63 Bab 63 Nderek Yai lan Bu Nyai
64 Bab 64 A1
65 Bab 65 Pasca Pemilihan
66 Bab 66 Kades Viral
67 Bab 67 CELENG
68 Bab 68 Air Mata Kebahagiaan
69 Bab 69 Kades Kere
70 Bab 70 Pro Kontra Kebijakan mas Guntur
71 Bab 71 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Warga (pov Guntur)
72 Bab 72 Mas Guntur punya Mata Batin?
73 BAB 73 TAK ADA BENIH YANG TAK TUMBUH JIKA DISEMAI
74 Bab 74 Mas Guntur, Kamu dimana?
Episodes

Updated 74 Episodes

1
Bab 1 Air Mata Pernikahan Ku
2
Bab 2 Mengenang Masalalu
3
Bab 3 Gejolak Rumahtangga Sekar
4
Bab 4 Aku, Sekar Ayu Gumiwang
5
Bab 5 Cinta Ku Untuk Sekar (POV Guntur)
6
Bab 6 Cintaku hanya Untuk Sekar (POV Guntur)
7
Bab 7 Yadi dan Keinginannya
8
Bab 8 Mual dan Muntah
9
Bab 9 Bertemu Arum
10
Bab 10 Amarah ku
11
Bab 11 Permohonan Arum
12
Bab 12 Cinta mu, Memuliakan Aku.
13
Bab 13 Kesempurnaan Cinta
14
Bab 14 Kegundahan hati ku (POV Guntur)
15
Bab 15 Sowan ke Kali Bening
16
Bab 16 Sekar, Si Hitam Manis Ku (POV Guntur)
17
Bab 17 Permintaan Mas Guntur
18
Bab 18 Perjalanan Pulang (POV Guntur)
19
Bab 19 Semua Punya Masalah (POV Guntur)
20
Bab 20 Ujian Guntur (POV Guntur)
21
Bab 21 Tawaran Sopir (POV Guntur)
22
Bab 22 Tak terduga (POV Guntur)
23
Bab 23 Besti Sekar (POV Guntur)
24
Bab 24 Kegelisahan hatiku
25
Bab 25 Melepas Rindu
26
Bab 26 Ridho Mu, Tiket ku Ke Surga
27
Bab 27 Pentingnya Ilmu
28
Bab 28 Bertemu Umi Laila
29
Bab 29 Pulang
30
Bab 30 Madu Ku
31
Bab 31 Fitnah yang Mengarah kepada Ku
32
Bab 32 Jalan Surga ku
33
Bab 33 Ingat Dosa masa lalu
34
Bab 34 Arum
35
Bab 35 Kematangan Emosi
36
Bab 36 Sosok Umi Ayu refleksi Umi Laila
37
Bab 37 Ikhlas Itu urusan sama Allah bukan Manusia
38
Bab 38 Pertikaian Ibu dan Mas Guntur
39
Bab 39 Diluar Batas Sabar (POV Guntur)
40
Bab 40 Ketenangan dari Sekar (POV Guntur)
41
Bab 41 Satu hal Mengagetkan
42
Bab 42 Seseorang dari Masa Lalu
43
Bab 43 Aku, Bidadari mas Guntur.
44
Bab 44 Apakah cinta ku bisa sedalam Sayyidah Zainab pada suaminya?
45
Bab 45 Kemuliaan (POV Guntur)
46
Bab 46 Kebingungan Ku (POV Guntur)
47
Bab 47 Gosip Tentang mas Guntur
48
Bab 48 Korban Cinta
49
Bab 49 Niat kami (POV Guntur)
50
Bab 50 Perhiasan Paling Indah (POV Guntur)
51
Bab 51 Kabar Bahagia
52
Bab 52 Terbentur Biaya
53
Bab 53 Ziyah, Cahaya ku
54
Bab 54 Jagalah Hati
55
Bab 55 Pasangan Aneh atau Pasangan Spesial
56
Bab 56 Guru Ku (POV Guntur)
57
Bab 57 Ambisi Pak Marhen (POV Guntur)
58
Bab 58 Niat Suami Ku
59
Bab 59 Mohon Doa Restu (POV Guntur)
60
Bab 60 Hoaks
61
Bab 61 Kedatangan Pak Marhen
62
Bab 62 Klenik
63
Bab 63 Nderek Yai lan Bu Nyai
64
Bab 64 A1
65
Bab 65 Pasca Pemilihan
66
Bab 66 Kades Viral
67
Bab 67 CELENG
68
Bab 68 Air Mata Kebahagiaan
69
Bab 69 Kades Kere
70
Bab 70 Pro Kontra Kebijakan mas Guntur
71
Bab 71 Keadilan Sosial Bagi Seluruh Warga (pov Guntur)
72
Bab 72 Mas Guntur punya Mata Batin?
73
BAB 73 TAK ADA BENIH YANG TAK TUMBUH JIKA DISEMAI
74
Bab 74 Mas Guntur, Kamu dimana?

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!