Sudah tiga bulan, Andien dikurung di dalam kamar, di rumahnya. Tanpa ada yang peduli. Andien sendiri tidak menunjukkan perubahan yang positif, dia tetap sama. Selalu duduk disudut kamarnya, dengan pandangan kosong, dan sesekali histeris kala kejadian nahas itu terlintas dalam ingatannya, seperti rekaman film yang diputar. Semua kejadian, yang menghancurkan hidupnya, serasa nyata, kala setiap adegannya melintas dalam ingatannya.
Melihat kondisi kekasihnya yang menyedihkan, dan perlakuan dari keluarga Andien, Shakti dengan berani membawa Andien pergi dari rumah itu. Dia bahkan siap, kalau harus berurusan dengan kepolisian demi kekasihnya. Tapi, seolah tak peduli, keluarga Andien membiarkan saja Shakti membawa Andien pergi dari rumah mereka. Mungkin mereka bersyukur, setidaknya pembawa aib itu menjauh dari keluarganya.
Shakti membawa Andien ke rumah sakit Jiwa, menempatkannya di sana, untuk mendapatkan perawatan. Bahkan, dia menggaji khusus dua perawat yang ditugaskan untuk merawat dan menjaga Andien.
Sejak itulah, Shakti ingin berubah. Dia tidak lagi ikut balap liar, tidak juga ikut geng motor. Dan tawuran pun dia tinggalkan. Dia juga yang meminta untuk direhabilitasi atas kecanduannya terhadap narkoba. Itu semua seperti yang diinginkan Andien, dan Shakti berusaha melakukannya.
Dan setelah menjalani pengobatan kecanduan terhadap narkoba, Shakti memutuskan untuk kuliah kedokteran.
FLASH BACK OFF
.
.
.
.
.
"Apa karena kejadian itu, kamu jadi merasa bersalah?" tanya Zia setelah mendengar cerita Shakti tentang Andien.
Shakti mengangguk.
"Dan aku adalah orang yang harus bertanggung jawab atas apa yang menimpa Andien," lanjut Shakti. Shakti menangis, kala menceritakan masa lalu yang menyakitkan itu. Dia menunjukkan sisi lemahnya di depan Zia untuk pertama kalinya.
Zia yang mengetahui kepedihan masa lalu suaminya, dan melihat betapa rapuhnya dia sekarang, tak bisa menyembunyikan perasaan sedihnya. Dia mendekat ke tubuh Shakti, merengkuhnya, dan membawanya kedalam dekapannya. Membiarkan suaminya menangis di sana, seperti seorang ibu yang mendekap anaknya penuh sayang.
Shakti menangis di pelukan Zia, seperti anak kecil. Dia menumpahkan perasaan yang selama ini dia pendam. Perasaan sakitnya, perasaaan bersalahnya, dan penyesalannya atas apa yang menimpa kekasihnya.
Zia menegakkan tubuh Shakti, menghapus air disudut mata suaminya, dan mengelus pipinya dengan sayang. "Jangan menangis lagi, sudah cukup menagisnya. Andien tidak akan suka kalau kamu menyalahkan dirimu sendiri," ucap Zia lembut.
"Kamu sudah mengusahakan yang terbaik untuk Andien, dan sekarang, usahakan yang terbaik untuk dirimu ... demi Andien."
Ucapan Zia ini mampu menghipnotis Shakti. Tak disangkanya, istri kecilnya yang masih berstatus pelajar SMA ini, bisa berbicara bijak layaknya orang dewasa yang sudah berpengalaman. Istri yang selalu diabaikannya. Bukan karena ia benci, tapi lebih karena menjaga, agar ia tak jatuh cinta, pun, agar istrinya ini tak terluka.
"Apa kamu mentato seluruh punggungmu untuk menyamarkan bekas luka dari sabetan pedang itu?"
Zia yang tiba-tiba bertanya soal tato di tubuhnya membuat Shakti membuka lebar matanya yang sembab.
"Ya ... aku cuma pengen tau aja, kenapa seorang dokter seperti kamu mentato tubuhnya. Apa nggak bikin pasiennya takut?" lanjut Zia dengan nada menggoda, berharap suaminya tersenyum.
"Awalnya memang iya, bekas luka itu selalu mengingatkan ku akan rasa bersalah ku, atas kejadian tujuh tahun yang lalu. Tapi lama-lama, aku menyukai seni tato di punggungku. Dan, pasien ku tidak akan takut, karena mereka tidak bisa melihatnya." jawab shakti akhirnya.
Shakti memang memiliki tato di beberapa bagian tubuhnya, tapi masih bisa tertutup oleh kemeja yang ia kenakan saat ia bertugas sebagai dokter.
"Kau tahu, saat pertama kali aku melihat tato di tubuh mu. Aku kira aku salah menikahi orang. Katanya dokter, tapi kok lebih mirip preman," goda Zia.
"Apa kamu menyesal menikah dengan preman ini?"
Zia menatap Shakti dan menggelengkan kepalanya. Tanpa diduga lagi-lagi Zia mengalungkan lengannya ke leher Shakti, dan mencium bibir suaminya itu.
Shakti yang awalnya diam, akhirnya merespon ciuman Zia. Dia membuka mulutnya, dan mengambil alih permainan lidah itu.
Zia tahu ini gila. Di saat suaminya yang telah selesai menceritakan kisah masa lalunya yang begitu menyakitkan, dia malah mengubah suasana yang tadinya penuh haru berubah menjadi penuh hasrat.
Zia hanya ingin suaminya ini tidak larut dalam penyesalan kisah masa lalu. Dia tak tahu harus bagaimana agar suasana hati sang suami yang dipenuhi kesedihan ini terhenti, paling tidak untuk saat ini. Dan yang terlintas di otaknya adalah tindakannya sekarang ini.
Mereka larut dalam ciuman yang memabukkan ini, hingga kehilangan kesadaran tentang bagaimana sikap mereka selama ini. Shakti yang selalu menahan diri, agar tak terlalu dekat dengan istrinya. Dan Zia yang selalu berusaha menjadi istri yang sesungguhnya untuk suaminya.
Shakti melepaskan tautan bibirnya saat merasa Zia kehabisan nafas. Dia tersenyum menatap Zia, senyum yang tulus, yang tak lagi dia sembunyikan.
Senyum termanis yang pernah Zia lihat.
"Tidurlah, biar besok nggak kesiangan," ucap Shakti.
"Aku tidak bisa tidur sekarang" jawab Zia menatap Shakti penuh arti.
"Jangan sekarang," jawabnya dengan tersenyum tipis.
Shakti yang melihat ada hasrat di mata istrinya itu, memilih untuk memadamkannya. Shakti belum siap kalau harus menjalankan kewajibannya sebagai suami untuk saat ini. Pikirannya masih dipenuhi rasa takut, jika nanti dia harus meninggalkan istrinya.
Setidaknya sampai saat itu tiba, dia ingin Zia masih tetap murni. Agar dia bisa menjalani masa depannya dengan mudah. Meskipun Zia akan tetap terluka.
"Ayo tidur, jangan sampai kita berdua khilaf." Ajaknya sambil berdiri menarik tangan Zia.
"Aku bahkan menginginkannya," jawab Zia santai.
Shakti langsung menoleh menatap Zia.
"Iya ... aku menunggu kamu khilaf," lanjutnya tanpa malu disertai senyuman.
sontak Shakti menyentil dahi Zia.
'pletak'
"Aww!!!" pekik Zia.
"Jangan mikir yang enggak-enggak. Pikirkan dulu ujian kamu, biar lulus dengan nilai yang bagus. Belum waktunya buat kamu mikirin hubungan suami istri," lanjut Shakti.
"Lah, kita kan memang suami istri. Aku bahkan di ijinkan menuntut hak ku sebagai istri untuk mendapatkan nafkah batin," jawab Zia.
Shakti terdiam, tidak menyangka istri kecilnya akan menjawab demikian. Mengungkit soal kewajiban dan hak suami istri.
"Aku akan penuhi kewajibanku kalau kamu sudah cukup umur, aku tidak mau dianggap pedhofil ."
" Aku sudah cukup umur, aku sudah 17 tahun. Bahkan sudah memiliki KTP. Soal sekolahku, sebentar lagi aku lulus." ucapnya mengingatkan Shakti akan umurnya.
"Kalau kamu takut aku hamil, kita bisa memakai kontrasepsi, atau kita menggunakan metode kontrasepsi alami," lanjut Zia.
Shakti menatap heran istri kecilnya ini. Dari mana dia tau soal jenis kontrasepsi.
"Aku pernah baca di artikel tentang pernikahan. Malam pertama, sampai kontrasepsi dan jenisnya," jawab Zia menjelaskan tanpa diminta. Seolah tau apa yang Shakti pikirkan.
"Ok ... simpan pengetahuan kamu untuk nanti. Sekarang ayo kita tidur!" tukas Shakti, yang langsung menarik Zia masuk ke kamar mereka.
Tak ada penolakan kali ini, Zia pasrah mengikuti suaminya untuk masuk.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Kuharapkan dukungan kalian ... LIKE, KOMEN dan VOTE yak.
tengkyu❤❤❤sayang hee
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments
Dewi Avandia
aku bingung antara mau dukung andien sama shakti atau zia sama shakti
entahlah,posisi nya memang begitu sulit
2022-01-26
2
Evi Kismiati
zia2 somplak lu
2021-01-22
1
Cen Li
bagus ceritanya ☺
2020-11-23
1