Terjerat Pesona Dokter Luna
Sepasang kaki jenjang dengan heels setinggi lima centimeter melangkah pelan memasuki instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta yang ada di Jakarta. Rambut panjang terikat dengan rapi, jas putih kebanggaan melekat di tubuh semampainya.
Sejak kenaikan kelas tiga menengah atas, hingga meraih gelar dokternya, Luna sama sekali tidak memanfaatkan nama besar ayahnya. Bahkan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta yang besar di Jakarta pun, karena ia memang berkompeten. Berjuang sendiri melalui seleksi.
Luna melenggang pelan pada mesin scanner sidik jari untuk absen. Lalu bersiap menjalankan tugasnya. Usai meletakkan tas kerjanya, Luna kembali bergabung dengan para perawat dan teman sejawatnya. Suasana sedikit lengang, belum ada satu pun pasien yang memasuki IGD tersebut.
“Malam, Dokter,” sapa salah satu perawat yang berada di depannya.
“Selamat malam, Sus. Hari ini kelihatannya sepi ya,” gumam Luna memijit lehernya sembari menguap.
Tiba-tiba semua gerakan terhenti, pandangan semua staff dan petugas medis mengarah pada gadis itu. Tatapan yang sama sekali tak terbaca sekaligus membuat Luna bergidik. Ia menelan salivanya gugup. Kebingungan mulai melandanya saat semua mata tertuju padanya begitu tajam.
“Dokter, apakah Anda tahu bahwa tidak boleh mengatakan kalimat keramat di ruang IGD ini?” tanya perawat itu lagi. Semua mata sama sekali tidak berkedip menatapnya. Ia seolah tengah dikuliti hidup-hidup.
“A ... apa maksudnya?” Luna bertanya balik. Keningnya berkerut dalam dengan detak jantung yang mulai tidak stabil. Rasa kantuknya sudah menguap entah ke mana.
Belum sempat mendapat jawaban, sirine ambulans memekik dari arah kejauhan menuju ke IGD. Suaranya semakin keras dan bising, semua orang memejamkan mata sembari menghela napas berat. Mereka sadar, sebentar lagi akan menghadapi sesuatu yang berat semalaman.
Pintu terbuka lebar-lebar. “Dokter, suster, semuanya mohon bersiap. Terjadi kebakaran di Apartemen Sasmita hingga mengakibatkan banyak korban luka-luka. Sebagian sudah menuju ke sini,” tutur satpam yang muncul dengan napas terengah-engah.
Ruangan dingin yang sempat hening itu seketika menjadi riuh. Bag big bug petugas medis menyiapkan segala peralatan medis, sekaligus ada yang langsung stand by di luar menyambut korban yang datang.
“Ini akibatnya kalau kamu mengucapkan kalimat keramat itu, dasar bodoh!” sinis Dokter Adira, yang juga bertugas satu sift bersama Luna.
“Masa iya sih?” gumam Luna tak percaya, buru-buru menyiapkan diri. Tidak terlalu mempermasalahkan umpatan teman sejawatnya itu.
Keduanya dulu.memang satu universitas, Adira selalu iri dengan pencapaian Luna yang selalu di atasnya. Garis takdir sepertinya selalu mempertemukan mereka, membuat Adira tidak bisa menghapus kebenciannya.
Benar saja, bukan hanya satu mobil ambulan yang datang. Mungkin puluhan sudah mulai berjajar hingga pintu masuk. Satu per satu brankar diturunkan, segera masuk ke IGD untuk mendapat penanganan. Jerit tangis dan kesakitan memekakkan telinga. Berbagai luka bakar terlihat menyayat hati. Bahkan tak sedikit korbannya adalah anak-anak.
...\=\=\=ooo\=\=\=...
Tidak jauh dari Rumah Sakit Andora, sekelompok pemuda terlibat perkelahian sengit. Dua geng motor saling serang, baku hantam tak peduli muka mereka yang sudah babak belur.
“Arash, aku nggak sempat panggil yang lain. Kita kalah jumlah!” ucap Omed cepat pada sahabatnya sembari mengelak pukulan-pukulan musuh yang menyerangnya.
Mereka berdua tiba-tiba diserang saat akan datang ke markas. Motor mereka dihadang oleh sepuluh motor musuhnya, lalu turun dan menghajar dengan brutal. Kesempatan emas, karena ketua dan wakil geng motor Arthropoda itu tidak bersama para anggotanya.
Jabatan pemimpin yang diemban oleh Arash, membuat lelaki itu memiliki harga diri yang tinggi. Ia harus berjuang mati-matian menumbangkan lima lawan di depannya. Mengalah? Tidak ada kamus dalam hidup Arash.
“Tidak, aku akan berjuang sampai titik penghabisan!” balasnya sembari memberi serangan balik bertubi-tubi. Pukulan dan tendangan terus dihujamkan pada lawan, tak peduli darah mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya.
Tengah malam memang tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Kalaupun ada, mereka langsung putar balik karena melihat kebrutalan para anak-anak muda itu. Takut menjadi sasaran.
“Cih! Beraninya keroyokan. Mana ketua kalian? Banci!” teriak Arash penuh emosi, sulit sekali lelaki satu ini ditumbangkan. Padahal mereka berlima, tiga di antaranya terhempas bergelimang di aspal. Begitu pun Omed, juga menghadapi lima anggota Geng J-Black.
Mendengar hinaan Arash, salah seorang anggota musuh meraih sebuah batu cukup besar. Beranjak cepat lalu menghantam kepala Arash dengan sangat kuat. Cairan merah pun langsung menyembur, pandangan Arash sedikit kabur. Ia membungkuk, menggelengkan kepala, ditambah tendangan di punggungnya.
Tubuh Arash ambruk, tendangan bertubi-tubi langsung dihantam pada tubuh lelaki itu. Terlambat, hendak bangun kepalanya semakin berat, matanya berkunang-kunang.
“Arash!” Omed sendiri kehilangan fokus karena melihat bosnya terjatuh. Ia juga harus terjerembap karena terkena beberapa kali serangan.
Tak berapa lama, klakson panjang dan geber motor mulai bersahutan menuju ke arah mereka. Para anggota Arthropoda berbondong-bondong menghampiri. Melihat Arash dan Omed yang dikeroyok, mereka langsung naik pitam. Segera turun dan menghajar mereka satu per satu. Kalah telak, musuh pun berlarian menuju motor mereka untuk melarikan diri.
Hendak mengejar, Omed berteriak menghentikan mereka. “Tunggu! Bos terluka! Cepat bawa ke rumah sakit!”
Barulah mereka tersadar, pakaian Arash berlumuran darah. Terutama bagian kerah kemejanya. Jaket denim yang ia kenakan juga basah, noda merah itu tersamarkan. “Bos, masih dengar kami?” tanya salah satu bawahannya menepuk-nepuk pipi Arash.
“Hemm, ya! Aku belum mati!” gumam Arash setengah terpejam. Menikmati dentuman hebat di kepalanya.
Dua di antaranya segera menghentikan taksi, kemudian membantu Arash masuk sekaligus menemaninya sampai ke rumah sakit. Anggota lainnya juga menyusul, mengiring kepergian Arash.
...\=\=\=\=ooo\=\=\=\=...
Keramaian juga tercipta di rumah sakit. Para pria berjaket denim senada, dengan bordir kalajengking di punggungnya, menyibak kerumunan orang-orang yang menghalangi jalan masuk IGD.
“Minggir-minggir semua! Beri jalan!” teriak mereka.
Tak didengar, mereka bahkan menarik paksa orang-orang, yang tengah mencari keluarganya pasca mengalami kecelakaan. Hingga sebuah kursi panjang menjadi tempat mendaratnya Arash. Pria itu duduk dengan napas tersengal, namun masih sadar meski bersimbah darah.
“Dokter! Dokter! Segera tangani bos saya!” teriak Omed menggema di ruangan. Kedua alisnya bertaut dalam, semua petugas medis sangat sibuk dan tak ada satu pun yang menghampirinya. Bahkan teriakannya seolah tak didengar. Semua mondar-mandir menangani setiap pasien.
Kesal karena diabaikan, Omed mencengkeram kerah perawat pria yang berlalu lalang di depannya. “Heh! Kau tidak dengar aku teriak-teriak, hah? Atau perlu aku beri sentuhan agar telingamu bisa berfungsi dengan baik?” ancamnya membuat perawat itu gemetar.
“Ma ... maaf, Tuan.”
“Cepat panggil Dokter dan minta untuk menangani bos kami!” teriak Omed menggelegar, mengangkat satu tangannya dan hampir melayangkan sebuah pukulan.
Belum sempat mendarat, sebuah tangan mencekalnya, “Ada apa ini?” tanya Luna menatapnya tajam.
Para keluarga pasien segera menyingkir mencari tempat yang sekiranya aman. Para gengster itu terlihat menyeramkan di mata mereka.
Arash beranjak berdiri, berjalan sedikit terseok hingga berhenti di hadapan Luna. Ia menepis tangan Luna dari Omed dan menatap gadis itu dengan remeh. “Kau dokter?” tanya Arash mencebik.
Luna memperlihatkan name tag nya, “Bisa baca ‘kan? Jika ingin diperiksa silakan daftar dulu, jangan malah membuat keributan,” cetus Luna.
“Ck! Panggilkan aku dokter laki-laki! Usir wanita ini dari hadapanku!” titahnya pada para anak buah yang sedari tadi berdiri di sekelilingnya.
Mereka serentak membungkuk, “Baik, Tuan.” Langkah mereka serentak mendekati Luna. Gadis itu menghela napas panjang.
Lengan Omed melingkar di bahunya, “Bos kami tidak membutuhkan dokter wanita. Tidak level. Jadi pergilah selagi kami belum melakukan pemaksaan,” bisiknya.
Luna memutar bola matanya malas, ia kesal karena diremehkan oleh para lelaki itu. Apalagi ada yang dengan lancang melingkarkan lengannya di bahunya.
“Sepertinya Anda harus diberi pelajaran agar bisa menghargai wanita,” ucap Luna sebelum akhirnya meraih lengan itu, memutar tubuh dan memiting lengan Omed hingga terdengar suara “Krek!”
“Aaarggh!" jerit Omed tidak menyangka akan mendapat serangan.
Luna mendorong pantat lelaki itu hingga terjerembap di kursi tunggu. Arash terperanjat, gerakannya sangat cepat, ia sendiri tidak akan menyangka.
Beberapa anggota Arthropoda lainnya segera ikut menyerang. Gadis itu bergerak lincah, melompat, menendang sebuah kursi hingga ada yang terjatuh. Bibirnya tersenyum tipis.
“Cukup! Hentikan!” teriak Arash mengangkat tangannya. Decak kagum berpendar dari manik hitam legamnya. Kakinya melangkah mendekati Luna. Menatap gadis itu lekat-lekat.
Bersambung~
Selamat datang di dunia Luna~ Favoritin ygy, biar gak ketinggalan updatenya. Jan lupa jejak cinta, like komennya 💋💋
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 65 Episodes
Comments
⏤͟͟͞R. ALICE off
ini luna anaknya leon apa bukan ya
2024-08-26
1
anonim
ini nich...berjodohkah...
2023-11-23
0
Iin Karmini
dari mata turun ke hati...ter luna luna jadinya
2023-10-23
1