NovelToon NovelToon

Terjerat Pesona Dokter Luna

Bab 1 : Pertemuan

Sepasang kaki jenjang dengan heels setinggi lima centimeter melangkah pelan memasuki instalasi gawat darurat di sebuah rumah sakit swasta yang ada di Jakarta. Rambut panjang terikat dengan rapi, jas putih kebanggaan melekat di tubuh semampainya.

Sejak kenaikan kelas tiga menengah atas, hingga meraih gelar dokternya, Luna sama sekali tidak memanfaatkan nama besar ayahnya. Bahkan untuk bekerja di salah satu rumah sakit swasta yang besar di Jakarta pun, karena ia memang berkompeten. Berjuang sendiri melalui seleksi.

Luna melenggang pelan pada mesin scanner sidik jari untuk absen. Lalu bersiap menjalankan tugasnya. Usai meletakkan tas kerjanya, Luna kembali bergabung dengan para perawat dan teman sejawatnya. Suasana sedikit lengang, belum ada satu pun pasien yang memasuki IGD tersebut.

“Malam, Dokter,” sapa salah satu perawat yang berada di depannya.

“Selamat malam, Sus. Hari ini kelihatannya sepi ya,” gumam Luna memijit lehernya sembari menguap.

Tiba-tiba semua gerakan terhenti, pandangan semua staff dan petugas medis mengarah pada gadis itu. Tatapan yang sama sekali tak terbaca sekaligus membuat Luna bergidik. Ia menelan salivanya gugup. Kebingungan mulai melandanya saat semua mata tertuju padanya  begitu tajam.

“Dokter, apakah Anda tahu bahwa tidak boleh mengatakan kalimat keramat di ruang IGD ini?” tanya perawat itu lagi. Semua mata sama sekali tidak berkedip menatapnya. Ia seolah tengah dikuliti hidup-hidup.

“A ... apa maksudnya?” Luna bertanya balik. Keningnya berkerut dalam dengan detak jantung yang mulai tidak stabil. Rasa kantuknya sudah menguap entah ke mana.

Belum sempat mendapat jawaban, sirine ambulans memekik dari arah kejauhan menuju ke IGD. Suaranya semakin keras dan bising, semua orang memejamkan mata sembari menghela napas berat. Mereka sadar, sebentar lagi akan menghadapi sesuatu yang berat semalaman.

Pintu terbuka lebar-lebar. “Dokter, suster, semuanya mohon bersiap. Terjadi kebakaran di Apartemen Sasmita hingga mengakibatkan banyak korban luka-luka. Sebagian sudah menuju ke sini,” tutur satpam yang muncul dengan napas terengah-engah.

Ruangan dingin yang sempat hening itu seketika menjadi riuh. Bag big bug petugas medis menyiapkan segala peralatan medis, sekaligus ada yang langsung stand by di luar menyambut korban yang datang.

“Ini akibatnya kalau kamu mengucapkan kalimat keramat itu, dasar bodoh!” sinis Dokter Adira, yang juga bertugas satu sift bersama Luna.

“Masa iya sih?” gumam Luna tak percaya, buru-buru menyiapkan diri. Tidak terlalu mempermasalahkan umpatan teman sejawatnya itu.

Keduanya dulu.memang satu universitas, Adira selalu iri dengan pencapaian Luna yang selalu di atasnya. Garis takdir sepertinya selalu mempertemukan mereka, membuat Adira tidak bisa menghapus kebenciannya.

Benar saja, bukan hanya satu mobil ambulan yang datang. Mungkin puluhan sudah mulai berjajar hingga pintu masuk. Satu per satu brankar diturunkan, segera masuk ke IGD untuk mendapat penanganan. Jerit tangis dan kesakitan memekakkan telinga. Berbagai luka bakar terlihat menyayat hati. Bahkan tak sedikit korbannya adalah anak-anak.

...\=\=\=ooo\=\=\=...

Tidak jauh dari Rumah Sakit Andora, sekelompok pemuda terlibat perkelahian sengit. Dua geng motor saling serang, baku hantam tak peduli muka mereka yang sudah babak belur.

“Arash, aku nggak sempat panggil yang lain. Kita kalah jumlah!” ucap Omed cepat pada sahabatnya sembari mengelak pukulan-pukulan musuh yang menyerangnya.

Mereka berdua tiba-tiba diserang saat akan datang ke markas. Motor mereka dihadang oleh sepuluh motor musuhnya, lalu turun dan menghajar dengan brutal. Kesempatan emas, karena ketua dan wakil geng motor Arthropoda itu tidak bersama para anggotanya.  

Jabatan pemimpin yang diemban oleh Arash, membuat lelaki itu memiliki harga diri yang tinggi. Ia  harus berjuang mati-matian menumbangkan lima lawan di depannya. Mengalah? Tidak ada kamus dalam hidup Arash.

“Tidak, aku akan berjuang sampai titik penghabisan!” balasnya sembari memberi serangan balik bertubi-tubi. Pukulan dan tendangan terus dihujamkan pada lawan, tak peduli darah mengalir dari sudut bibir dan pelipisnya.

Tengah malam memang tidak banyak kendaraan yang berlalu lalang. Kalaupun ada, mereka langsung putar balik karena melihat kebrutalan para anak-anak muda itu. Takut menjadi sasaran.

“Cih! Beraninya keroyokan. Mana ketua kalian? Banci!” teriak Arash penuh emosi, sulit sekali lelaki satu ini ditumbangkan. Padahal mereka berlima, tiga di antaranya terhempas bergelimang di aspal. Begitu pun Omed, juga menghadapi lima anggota Geng J-Black.

Mendengar hinaan Arash, salah seorang anggota musuh meraih sebuah batu cukup besar. Beranjak cepat lalu menghantam kepala Arash dengan sangat kuat. Cairan merah pun langsung menyembur, pandangan Arash sedikit kabur. Ia membungkuk, menggelengkan kepala, ditambah tendangan di punggungnya.

Tubuh Arash ambruk, tendangan bertubi-tubi langsung dihantam pada tubuh lelaki itu. Terlambat, hendak bangun kepalanya semakin berat, matanya berkunang-kunang.

“Arash!” Omed sendiri kehilangan fokus karena melihat bosnya terjatuh. Ia juga harus terjerembap karena terkena beberapa kali serangan.

Tak berapa lama, klakson panjang dan geber motor mulai bersahutan menuju ke arah mereka. Para anggota Arthropoda berbondong-bondong menghampiri. Melihat Arash dan Omed yang dikeroyok, mereka langsung naik pitam. Segera turun dan menghajar mereka satu per satu. Kalah telak, musuh pun berlarian menuju motor mereka untuk melarikan diri.

Hendak mengejar, Omed berteriak menghentikan mereka. “Tunggu! Bos terluka! Cepat bawa ke rumah sakit!”

Barulah mereka tersadar, pakaian Arash berlumuran darah. Terutama bagian kerah kemejanya. Jaket denim yang ia kenakan juga basah, noda merah itu tersamarkan. “Bos, masih dengar kami?” tanya salah satu bawahannya menepuk-nepuk pipi Arash.

“Hemm, ya! Aku belum mati!” gumam Arash setengah terpejam. Menikmati dentuman hebat di kepalanya.

Dua di antaranya segera menghentikan taksi, kemudian membantu Arash masuk sekaligus menemaninya sampai ke rumah sakit. Anggota lainnya juga menyusul, mengiring kepergian Arash.

...\=\=\=\=ooo\=\=\=\=...

Keramaian juga tercipta di rumah sakit. Para pria berjaket denim senada, dengan bordir kalajengking di punggungnya, menyibak kerumunan orang-orang yang menghalangi jalan masuk IGD.

“Minggir-minggir semua! Beri jalan!” teriak mereka.

Tak didengar, mereka bahkan menarik paksa orang-orang, yang tengah mencari keluarganya pasca mengalami kecelakaan. Hingga sebuah kursi panjang menjadi tempat mendaratnya Arash. Pria itu duduk dengan napas tersengal, namun masih sadar meski bersimbah darah.

“Dokter! Dokter! Segera tangani bos saya!” teriak Omed menggema di ruangan. Kedua alisnya bertaut dalam, semua petugas medis sangat sibuk dan tak ada satu pun yang menghampirinya. Bahkan teriakannya seolah tak didengar. Semua mondar-mandir menangani setiap pasien.

Kesal karena diabaikan, Omed mencengkeram kerah perawat pria yang berlalu lalang di depannya. “Heh! Kau tidak dengar aku teriak-teriak, hah? Atau perlu aku beri sentuhan agar telingamu bisa berfungsi dengan baik?” ancamnya membuat perawat itu gemetar.

“Ma ... maaf, Tuan.”

“Cepat panggil Dokter dan minta untuk menangani bos kami!” teriak Omed menggelegar, mengangkat satu tangannya dan hampir melayangkan sebuah pukulan.

Belum sempat mendarat, sebuah tangan mencekalnya, “Ada apa ini?” tanya Luna menatapnya tajam.

Para keluarga pasien segera menyingkir mencari tempat yang sekiranya aman. Para gengster itu terlihat menyeramkan di mata mereka.

Arash beranjak berdiri, berjalan sedikit terseok hingga berhenti di hadapan Luna. Ia menepis tangan Luna dari Omed dan menatap gadis itu dengan remeh. “Kau dokter?” tanya Arash mencebik.

Luna memperlihatkan name tag nya, “Bisa baca ‘kan? Jika ingin diperiksa silakan daftar dulu, jangan malah membuat keributan,” cetus Luna.

“Ck! Panggilkan aku dokter laki-laki! Usir wanita ini dari hadapanku!” titahnya pada para anak buah yang sedari tadi berdiri di sekelilingnya.

Mereka serentak membungkuk, “Baik, Tuan.” Langkah mereka serentak mendekati Luna. Gadis itu menghela napas panjang.

Lengan Omed melingkar di bahunya, “Bos kami tidak membutuhkan dokter wanita. Tidak level. Jadi pergilah selagi kami belum melakukan pemaksaan,” bisiknya.

Luna memutar bola matanya malas, ia kesal karena diremehkan oleh para lelaki itu. Apalagi ada yang dengan lancang melingkarkan lengannya di bahunya.

“Sepertinya Anda harus diberi pelajaran agar bisa menghargai wanita,” ucap Luna sebelum akhirnya meraih lengan itu, memutar tubuh dan memiting lengan Omed hingga terdengar suara “Krek!”

“Aaarggh!" jerit Omed tidak menyangka akan mendapat serangan.

Luna mendorong pantat lelaki itu hingga terjerembap di kursi tunggu. Arash terperanjat, gerakannya sangat cepat, ia sendiri tidak akan menyangka.

Beberapa anggota Arthropoda lainnya segera ikut menyerang. Gadis itu bergerak lincah, melompat, menendang sebuah kursi hingga ada yang terjatuh. Bibirnya tersenyum tipis.

“Cukup! Hentikan!” teriak Arash mengangkat tangannya. Decak kagum berpendar dari manik hitam legamnya. Kakinya melangkah mendekati Luna. Menatap gadis itu lekat-lekat.

Bersambung~

Selamat datang di dunia Luna~ Favoritin ygy, biar gak ketinggalan updatenya. Jan lupa jejak cinta, like komennya 💋💋

Bab 2 : Hancur

Sorot mata Luna begitu tajam, siap mencabik-cabik siapa pun yang mengusiknya. Tidak ada raut ketakutan yang berpendar dari wajah cantik itu. Tetap tenang dalam kondisi apa pun.

“Ternyata ... menarik!” gumam Arash mengelus pipi Luna.

Geram, gadis itu melirik luka Arash lalu menepis lengan dan mencengkeramnya dengan kuat. Tangan lainnya menyentil luka Arash hingga pria itu memekik kesakitan.

“Aaarggh!”

“Bos!” teriak para anak buahnya hendak menyerang Luna. Namun, gadis itu menendang salah satu tulang kering mereka, terjatuh hingga bertabrakan dengan yang lainnya.

“Jangan memperlambat penanganan pasien. Silakan keluar dan lakukan pendaftaran!” tegas dokter cantik itu melirik dengan ekor mata tajamnya.

“Hei! Jangan macam-macam pada bos kami. Anda tidak tahu siapa dia? Bos adalah penguasa di daerah Andora ini! Jadi, sudah sepatutnya Anda memprioritaskannya!” pekik Omed memeluk salah satu lengannya yang masih nyeri.

Luna segera membimbing Arash untuk naik ke salah satu brankar. Mengabaikan teriakan Omed yang terdengar geram. Beberapa peralatan medis sudah disiapkan oleh perawat di sana. “Bersikaplah selayaknya pasien. Tidak peduli kamu anak pejabat, konglomerat atau presiden sekalipun. Setiap orang yang butuh penanganan di sini tetaplah seorang pasien. Tidak lihat, keadaan saat ini sedang darurat? Banyak korban kebakaran yang menderita luka lebih serius.”

Perlahan, Luna mulai fokus membersihkan luka-luka Arash. “Ini harus dijahit. Lukanya terlalu dalam,” ujarnya setelah menyibak rambut Arash dan menentukan kedalamannya. Lelaki itu menikmati setiap sentuhan Luna. Apalagi, aroma tubuhnya yang menguar membuat seluruh persendiannya serasa mau lepas.

“Lakukan saja apa pun, Dok. Aku bersedia menjalani rawat inap selama apa pun yang Dokter mau,” sahut Arash tersenyum smirk.

Menghentikan kegiatannya sejenak, Luna menegakkan tubuhnya, melayangkan tatapan serius pada Arash. Wajahnya teramat datar, “Anda sudah boleh pulang setelah luka itu dijahit,” tutur Luna menghela napas kasar.

Arash mendelik, rasanya ia enggan kehilangan kesempatan emas untuk dekat dengan dokter cantik yang menarik di matanya. Ah, memang dasarnya mata keranjang. Lihat yang bening sedikit langsung jelalatan.

“Aduduh! Aduh, Dok! Kepalaku rasanya sakit sekali, Dok. Jangan-jangan otakku sedikit geser ini!” keluh lelaki itu merebahkan tubuh di atas ranjang. Sialnya, dia lupa letak lukanya tepat di kepala belakang. Ekspresi Arash benar-benar kesakitan karena memang lukanya terbentur dengan brankar.

“Andin, tolong siapkan pasien ini untuk menjalani MRI dan CT-Scan,” tukas Luna pada salah satu perawat yang membantunya sedari tadi.

“Baik, Dok!”

Dalam hati Arash bersorak begitu gembira usai mendengar jawaban Luna. Sudah dipastikan, ia akan lebih lama berada di rumah sakit. Dan tentunya, akan lebih sering bertemu dengan dokter cantik itu.

“Masih bisa bangun? Saya harus lanjutkan agar pendarahan berhenti,” tanya Luna sedikit membungkuk.

“Iya, Dok. Tolong dibantu,” ujar Arash bersikap seolah tidak bisa bergerak dan lemas tak bertenaga. Hanya Omed yang tersisa di dalam IGD, karena yang lain harus menunggu di luar ruangan.

Arash bersorak dalam hati, karena tubuhnya terus bersinggungan dengan dokter itu. Ia juga mempertahankan ekspresi sakitnya untuk menarik simpati Luna. Dengan perlahan, Luna membantunya bangun. Mengukur tensinya, lalu mulai memberi suntikan anestesi. Setelahnya mulai menjahit luka-luka di kepalitu—rash.

\=\=\=000\=\=\=

Sementara itu, di kediaman Frederick....

“Arash! Arash! Di mana tuh anak!” teriak seorang pria paruh baya mendobrak pintu kamar putranya, dengan selebar kertas di tangannya.

"Ada apa sih, Mas? Enggak capek apa teriak-teriak melulu setiap hari. Arash pasti capek dengernya! Pelankan sedikit suaramu,” sanggah Novita—ibu kandung Arash. Wanita paruh baya itu menghampiri suami temperamennya.

Carlos berbalik, matanya sudah memerah karena memendam emosi sedari tadi. Cengkeraman di tangannya semakin kuat lalu melempar tepat di wajah istrinya.

"Pelankan pelankan bagaimana? Diteriaki setiap hari saja masih bisa di skors pihak kampus. Apalagi dikasih tahu pelan-pelan. Mau sampai kapan dia di bangku kuliah? Sampai tua, hah? Ini akibat didikan kamu yang selalu memanjakannya, Novita!” berang lelaki itu mendorong bahu istrinya hingga terjerembap ke belakang.

Novita memekik kesakitan, napasnya tersengal mengambil gumpalan kertas dan membukanya dengan perlahan. Beberapa pelayan di rumah itu tidak ada yang berani mendekat. Pemandangan dan pekikan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari untuk mereka. Jika bukan demi uang, mereka pasti sudah memutuskan resign sejak lama.

“Apa ini? Bagaimana bisa?” gumam Novita dengan bibir bergetar.

“Itu semua gara-gara kamu yang bodoh mendidik anak! Tidak becus! Bisanya Cuma shopping ngabisin duit suami! Kalian berdua sama saja! Sama-sama beban keluarga!” teriak Carlos memberi sebuah tamparan di pipi Novita  demi melampiaskan amarahnya. Pria berperut buncit itu memang ringan tangan.

Novita memalingkan muka, sudut bibirnya berdarah. Kebas dan perih mulai menjalar di pipinya. Wanita itu mengatur napas, beranjak berdiri lalu mencengkeram kerah kemeja suaminya.

“Bertahun-tahun kamu tidak pernah menganggap aku sebagai istri. Bertahun-tahun kita hidup satu atap dan kamu hanya memperlakukanku seperti pelayan di rumah ini. Aku menghabiskan banyak uangmu agar kamu berhenti berselingkuh dengan sekretaris sialanmu itu, Mas!” teriaknya menggema mengoyak kerah kemeja suaminya.

DEG!

Wajah bengis itu mendadak pias saat mendengar pengakuan terakhir istrinya. Ia sudah menutup perselingkuhannya rapat-rapat. Tidak menyangka jika sang istri bisa menciumnya.

“Aku bertahan menerima semua rasa sakit yang kamu berikan demi anak-anak, agar mereka tetap memiliki orang tua yang utuh! Tapi tetap saja, selingkuh itu penyakit yang tidak bisa disembuhkan sampai kapan pun. Selamanya kamu tidak akan berubah. Dan mulai detik ini, aku ingin kita berpisah,” tegas Novita dengan mata berkaca-kaca. Namun segenap kebencian dan kekecewaan terpancar jelas di matanya.

“Apa yang kamu katakan? Jangan menuduh tanpa bukti!” elak lelaki itu menyembunyikan kegugupannya.

Novita meraih ponselnya, ada beberapa rekaman CCTV di ruang kerja Carlos di perusahaan. Dua makhluk paling menjijikkan sering melakukan hal tak senonoh di kantor. Novita melempar ponsel tepat di dada suaminya. “Lihat! Setiap hari ini kan yang kalian lakukan? Menjijikkan! Noda lipstik di kerah kemeja kamu, parfum wanita yang setiap hari aku hirup dari jas kamu dan deretan video itu sudah cukup membuktikan kebejatan kamu! Aku mau cerai!” teriak Novita menggelegar. Air matanya yang selama ini ia tahan akhirnya begitu deras.

Tanpa mereka sadari, anak bungsunya terduduk di lantai membekap mulutnya sendiri untuk menahan tangis. Satu tangannya merekam detik-detik pertengkaran kedua orang tuanya. Dengan tangan gemetar, gadis itu mengirimkan video yang ia dapat pada sang kakak.

\=\=\=\=000\=\=\=\=

“Bos, ada pesan!” ujar Omed menyerahkan ponsel pada Arash.

“Skip aja kalau nggak penting,” tutur Arash yang sedang menunggu dipindahkan ke ruangan rawat inap usai ditangani oleh Luna.

"Dari Nona Anjeli,” sambung Omed lagi.

Arash segera beranjak, menyambar ponsel dari tangan Omed, tak sabar membukanya. Gemuruh di dadanya bertalu dengan kuat, giginya terdengar bergemeletuk. Deru napas yang memburu, memperlihatkan betapa emosinya dia saat ini. “Aaaargghh! Brengsek!” teriak Arash melempar ponselnya ke sembarang arah.

 

Bersambung~

Gaiiss.. bantu vote Cover dung.. di kolom komentar. Lebih bagus mana nih..

1 untuk ini

2 untuk ini....

bantu pilih yaa... maaciiww 💋💋💖

oiiyaa selamat lebaran... minal aidzin wal faidzin... maaf lahir batin ya semua.. yang mudik semoga lancar dan kembali dengan selamat.

Bab 3 : Mencari Alasan

Luna yang masih menangani pasien di samping Arash, mengernyitkan kening ketika mendengar keributan. Ia segera menyelesaikan tugasnya, memberi keterangan pada perawat di sebelahnya mengenai kondisi pasien dan tindakan yang harus dilakukan.

Setelahnya, Luna menyibak tirai pembatas melangkahkan kaki hingga kini kembali di brankar Arash, “Anda sudah baikan? Kalau sudah lebih baik rawat jalan saja, masih banyak pasien di luar sana yang membutuhkan pertolongan,” ucap perempuan itu dengan nada datar.

“Aaah! Tidak, belum, Dok. Kepala saya mau pecah rasanya,” aku Arash kembali merebahkan tubuhnya.

Luna menghela napas panjang, tatapannya beralih pada Omed. Seketika lelaki itu panik, tangannya masih belum pulih, takut jika harus berhadapan dengan dokter cantik itu. Luna semakin mendekat, tubuh Omed menegang, menelan saliva saja susah payah.

“Berikan tangan Anda!” ujar Luna menengadahkan tangan.

“Ti ... tidak, Dok!” tolak Omed memeluk lengannya.

“Biar saya lihat seberapa lukanya. Saya akan mengobatinya,” timpal Luna, sekalipun ia yang membuat luka. Luna juga tidak akan membiarkan orang lain kesakitan.

Wajah cantik yang datar itu membuat Omed meragu. Tak sabar, Luna mencekal paksa lengan Omed hingga memekik kesakitan. Luna merabanya dengan lembut, sesekali mengamati raut muka Omed. Dalam hati ingin tertawa, dua lelaki di depannya tidak sekuat tampang sangarnya.

Luna melakukan rotasi eksternal, memastikan seberapa parah pergeseran bahunya. “Pertahankan posisinya, saya akan segera kembali,” ucap Luna melepaskan lengan Omed di depan dada.

Tidak punya banyak waktu, Luna segera membebat lengan itu dengan perban, “Sepertinya Anda sudah pernah terluka sebelumnya. Dan Anda biarkan saja, andai masih diabaikan tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan tangan Anda akan diamputasi. Silakan beristirahat di rumah. Tiga hari lagi, kembali ke sini untuk kontrol!” titah Luna menuliskan resep obat dan memberikannya pada Omed. “Jangan lupa dibayar, karena rumah sakit ini bukan punya bapak Anda,” canda Luna dengan sedikit senyum.

“Tuan Arash, bisa pindah ruangan sekarang! Mari saya antar,” tutur salah satu suster membawakan sebuah kursi roda.

Sempat saling bertukar pandang, Luna hanya mengangguk dengan senyum tipis. Kemudian meninggalkan mereka untuk menangani pasien yang terus berdatangan.

...\=\=\=000\=\=\=...

"Dari informasi, Arash dirawat di rumah sakit ini karena tawuran. Cepat temukan bedebah sialan itu. Seret dan bawa ke sini! Memalukan!" teriak Carlos pada beberapa orang sewaannya.

"Siap, Tuan!" tegas beberapa pria berperawakan besar dengan jas rapi membalut tubuh mereka.

Rencana mereka didengar oleh salah satu anggota Arthropoda. Ia segera berlari menuju kamar sang bos. Terpaksa, karena ponsel Arash hancur berkeping-keping semalam.

"Bos! Bos! Ayah Anda di bawah, bawa pasukan khusus. Cepat keluar dari sini. Kami akan mengalihkan perhatian mereka!" teriak Aldo, membangunkan paksa Arash.

"Ck! Sial!" umpat Arash melepas paksa infus yang menancap di punggung tangannya. Ia segera turun, posisinya digantikan oleh Aldo, memunggungi pintu dan menaikkan selimut hingga lehernya.

Dengan langkah tertatih, Arash keluar kamar. Dua anak buahnya yang berjaga di depan kamar, diminta tetap di sana, agar suruhan sang ayah tidak curiga. Omed juga tidak bisa mendampinginya karena cedera yang dialami.

Arash semakin jauh, bersembunyi di celah-celah koridor ketika melihat pria mencurigakan di depannya. Tidak peduli ketika kepalanya yang semakin berdenyut nyeri.

Sesampainya di kamar inap Arash, para pria suruhan Carlos mendelik karena bukan Arash yang ada di ranjang pasien tersebut. Mereka membangunkan Aldo dengan paksa, mencengkeram kerah jaketnya. "Di mana Tuan Arash?" tanya lelaki paruh baya itu.

"Tidak tahu!" jawab Aldo mengedikkan bahu.

"Jangan pernah berani membodohi kami!" pekik pria itu lagi menggoyangkan tubuh Aldo.

"Saya benar-benar tidak tahu, Om!"

Kesal tak mendapat jawaban, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Aldo. Mereka lalu keluar mencari keberadaan Arash. Di depan pintu kamar, mereka juga melakukan hal yang sama pada anggota Arthropoda lainnya. Tidak mendapat jawaban memuaskan, mereka berlari mengelilingi rumah sakit tersebut.

...****************...

Pagi telah menggantikan sang malam, menghangatkan bumi dengan pancaran sinar ultraviolet yang cukup menyengat. Luna terduduk dengan lemas, meraih sebotol minuman di meja kerjanya lalu meneguknya dengan cepat. Tenaganya benar-benar terkuras habis semalaman.

“Syukurlah, semua terkendali,” desahnya menyibak rambutnya yang berantakan. Ia bisa bernapas lega usai pergantian sift beberapa menit yang lalu. Gadis itu melepas jas putih kebanggaannya, menangkupkan pada kursi putarnya.

Dengan malas, Luna beranjak dari kursinya. Menyematkan tas di salah satu bahunya, dengan sebuah modul tebal di pelukannya. Modul pengobatan teknik akupunktur yang diturunkan dari ibunya. Dia masih harus banyak belajar, sehingga ke mana-mana harus membawa buku besar itu.

Saat melalui koridor yang begitu sepi, Luna menghentikan langkahnya. Matanya menajam saat menemukan beberapa orang berjas berlarian sembari celingukan, seperti tengah berkejaran. Ia terdiam, mengamati situasi yang terjadi.

“Berpencar!” teriak salah satunya. Mereka segera berlari ke segala arah. Tak berapa lama, disusul para anak muda yang mengenakan jaket senada dengan pasiennya semalam. Mereka juga tampak sedang mencari-cari seseorang.

Luna menggigit bibirnya, perasaannya mendadak tidak enak, pikirannya menerawang jauh pada Arash. “Apa mereka mencari lelaki itu?”

Tidak ingin ikut campur, Luna melenggang menuju parkiran. Seluruh tubuhnya serasa pegal. Ingin segera pulang mengistirahatkan jiwa raganya.

Tiba di basemen khusus tenaga medis dan karyawan, Luna menekan alarm kunci mobilnya. Hazzard lamp menyala, memudahkan gadis itu menemukan kendaraannya.

Tanpa dia sadari, Arash yang tengah kabur dari orang-orang suruhan ayahnya, bersembunyi di basemen tersebut. Mendengar alarm mobil menyala, Arash mengendap-endap mendekati kendaraan itu, membuka pintu penumpang dan segera masuk.

Luna baru sampai beberapa menit setelahnya, kebetulan jarak parkirnya cukup jauh. Dia berkendara seperti biasa keluar dari area rumah sakit. Di tengah perjalanan, Luna mengantuk. Hampir saja menabrak trotoar andai ia tak buru-buru menarik kesadaran dan menginjak pedal rem kuat-kuat.

“Bisa bawa mobil nggak sih?” teriak Arash menegakkan duduknya.

Secepat kilat, Luna berbalik ketika mendengar suara Arash. Matanya membelalak lebar, “Heh, ngapain kamu di sini?” pekik Luna.

Arash mematung, bola matanya bergerak tak tentu arah. Gara-gara rem mendadak, tanpa sadar ia justru bersuara. Bibirnya terbuka, otaknya berpikir cepat untuk mencari alasan.

 

Bersambung~

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!