Luna yang masih menangani pasien di samping Arash, mengernyitkan kening ketika mendengar keributan. Ia segera menyelesaikan tugasnya, memberi keterangan pada perawat di sebelahnya mengenai kondisi pasien dan tindakan yang harus dilakukan.
Setelahnya, Luna menyibak tirai pembatas melangkahkan kaki hingga kini kembali di brankar Arash, “Anda sudah baikan? Kalau sudah lebih baik rawat jalan saja, masih banyak pasien di luar sana yang membutuhkan pertolongan,” ucap perempuan itu dengan nada datar.
“Aaah! Tidak, belum, Dok. Kepala saya mau pecah rasanya,” aku Arash kembali merebahkan tubuhnya.
Luna menghela napas panjang, tatapannya beralih pada Omed. Seketika lelaki itu panik, tangannya masih belum pulih, takut jika harus berhadapan dengan dokter cantik itu. Luna semakin mendekat, tubuh Omed menegang, menelan saliva saja susah payah.
“Berikan tangan Anda!” ujar Luna menengadahkan tangan.
“Ti ... tidak, Dok!” tolak Omed memeluk lengannya.
“Biar saya lihat seberapa lukanya. Saya akan mengobatinya,” timpal Luna, sekalipun ia yang membuat luka. Luna juga tidak akan membiarkan orang lain kesakitan.
Wajah cantik yang datar itu membuat Omed meragu. Tak sabar, Luna mencekal paksa lengan Omed hingga memekik kesakitan. Luna merabanya dengan lembut, sesekali mengamati raut muka Omed. Dalam hati ingin tertawa, dua lelaki di depannya tidak sekuat tampang sangarnya.
Luna melakukan rotasi eksternal, memastikan seberapa parah pergeseran bahunya. “Pertahankan posisinya, saya akan segera kembali,” ucap Luna melepaskan lengan Omed di depan dada.
Tidak punya banyak waktu, Luna segera membebat lengan itu dengan perban, “Sepertinya Anda sudah pernah terluka sebelumnya. Dan Anda biarkan saja, andai masih diabaikan tidak menutup kemungkinan beberapa tahun ke depan tangan Anda akan diamputasi. Silakan beristirahat di rumah. Tiga hari lagi, kembali ke sini untuk kontrol!” titah Luna menuliskan resep obat dan memberikannya pada Omed. “Jangan lupa dibayar, karena rumah sakit ini bukan punya bapak Anda,” canda Luna dengan sedikit senyum.
“Tuan Arash, bisa pindah ruangan sekarang! Mari saya antar,” tutur salah satu suster membawakan sebuah kursi roda.
Sempat saling bertukar pandang, Luna hanya mengangguk dengan senyum tipis. Kemudian meninggalkan mereka untuk menangani pasien yang terus berdatangan.
...\=\=\=000\=\=\=...
"Dari informasi, Arash dirawat di rumah sakit ini karena tawuran. Cepat temukan bedebah sialan itu. Seret dan bawa ke sini! Memalukan!" teriak Carlos pada beberapa orang sewaannya.
"Siap, Tuan!" tegas beberapa pria berperawakan besar dengan jas rapi membalut tubuh mereka.
Rencana mereka didengar oleh salah satu anggota Arthropoda. Ia segera berlari menuju kamar sang bos. Terpaksa, karena ponsel Arash hancur berkeping-keping semalam.
"Bos! Bos! Ayah Anda di bawah, bawa pasukan khusus. Cepat keluar dari sini. Kami akan mengalihkan perhatian mereka!" teriak Aldo, membangunkan paksa Arash.
"Ck! Sial!" umpat Arash melepas paksa infus yang menancap di punggung tangannya. Ia segera turun, posisinya digantikan oleh Aldo, memunggungi pintu dan menaikkan selimut hingga lehernya.
Dengan langkah tertatih, Arash keluar kamar. Dua anak buahnya yang berjaga di depan kamar, diminta tetap di sana, agar suruhan sang ayah tidak curiga. Omed juga tidak bisa mendampinginya karena cedera yang dialami.
Arash semakin jauh, bersembunyi di celah-celah koridor ketika melihat pria mencurigakan di depannya. Tidak peduli ketika kepalanya yang semakin berdenyut nyeri.
Sesampainya di kamar inap Arash, para pria suruhan Carlos mendelik karena bukan Arash yang ada di ranjang pasien tersebut. Mereka membangunkan Aldo dengan paksa, mencengkeram kerah jaketnya. "Di mana Tuan Arash?" tanya lelaki paruh baya itu.
"Tidak tahu!" jawab Aldo mengedikkan bahu.
"Jangan pernah berani membodohi kami!" pekik pria itu lagi menggoyangkan tubuh Aldo.
"Saya benar-benar tidak tahu, Om!"
Kesal tak mendapat jawaban, sebuah bogem mentah mendarat di pipi Aldo. Mereka lalu keluar mencari keberadaan Arash. Di depan pintu kamar, mereka juga melakukan hal yang sama pada anggota Arthropoda lainnya. Tidak mendapat jawaban memuaskan, mereka berlari mengelilingi rumah sakit tersebut.
...****************...
Pagi telah menggantikan sang malam, menghangatkan bumi dengan pancaran sinar ultraviolet yang cukup menyengat. Luna terduduk dengan lemas, meraih sebotol minuman di meja kerjanya lalu meneguknya dengan cepat. Tenaganya benar-benar terkuras habis semalaman.
“Syukurlah, semua terkendali,” desahnya menyibak rambutnya yang berantakan. Ia bisa bernapas lega usai pergantian sift beberapa menit yang lalu. Gadis itu melepas jas putih kebanggaannya, menangkupkan pada kursi putarnya.
Dengan malas, Luna beranjak dari kursinya. Menyematkan tas di salah satu bahunya, dengan sebuah modul tebal di pelukannya. Modul pengobatan teknik akupunktur yang diturunkan dari ibunya. Dia masih harus banyak belajar, sehingga ke mana-mana harus membawa buku besar itu.
Saat melalui koridor yang begitu sepi, Luna menghentikan langkahnya. Matanya menajam saat menemukan beberapa orang berjas berlarian sembari celingukan, seperti tengah berkejaran. Ia terdiam, mengamati situasi yang terjadi.
“Berpencar!” teriak salah satunya. Mereka segera berlari ke segala arah. Tak berapa lama, disusul para anak muda yang mengenakan jaket senada dengan pasiennya semalam. Mereka juga tampak sedang mencari-cari seseorang.
Luna menggigit bibirnya, perasaannya mendadak tidak enak, pikirannya menerawang jauh pada Arash. “Apa mereka mencari lelaki itu?”
Tidak ingin ikut campur, Luna melenggang menuju parkiran. Seluruh tubuhnya serasa pegal. Ingin segera pulang mengistirahatkan jiwa raganya.
Tiba di basemen khusus tenaga medis dan karyawan, Luna menekan alarm kunci mobilnya. Hazzard lamp menyala, memudahkan gadis itu menemukan kendaraannya.
Tanpa dia sadari, Arash yang tengah kabur dari orang-orang suruhan ayahnya, bersembunyi di basemen tersebut. Mendengar alarm mobil menyala, Arash mengendap-endap mendekati kendaraan itu, membuka pintu penumpang dan segera masuk.
Luna baru sampai beberapa menit setelahnya, kebetulan jarak parkirnya cukup jauh. Dia berkendara seperti biasa keluar dari area rumah sakit. Di tengah perjalanan, Luna mengantuk. Hampir saja menabrak trotoar andai ia tak buru-buru menarik kesadaran dan menginjak pedal rem kuat-kuat.
“Bisa bawa mobil nggak sih?” teriak Arash menegakkan duduknya.
Secepat kilat, Luna berbalik ketika mendengar suara Arash. Matanya membelalak lebar, “Heh, ngapain kamu di sini?” pekik Luna.
Arash mematung, bola matanya bergerak tak tentu arah. Gara-gara rem mendadak, tanpa sadar ia justru bersuara. Bibirnya terbuka, otaknya berpikir cepat untuk mencari alasan.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Deasy Dahlan
cinta tak selebar daun kelor... arah.. luna
2024-10-11
0
anonim
weeeehhhhh....pucuk dicinta Luna pun tiba di mobilnya...eeehhh ada Arash yg numpang di dlmnya
2023-11-23
0
Iin Karmini
jawab arash..ngapain menclok d situ coba😅😅
2023-10-23
1