Arash menoleh, masih duduk di atas jok motornya. Keningnya mengernyit memperjelas pandangannya pada sosok wanita yang kini berlari ke arahnya. Bahkan dengan berani wanita itu merangkul bahu Arash, menghamburkan diri ke pelukannya.
“Dih! Playboy cap udang! Ah kekecilan, lobster kali yang lebih cocok!” cetus Luna memutar bola matanya malas.
Arash panik kala pandangannya beralih pada Luna. Bahkan kini ekor mata wanitanya itu memicing begitu tajam. Hidung kecilnya terlihat mengembang dan mengempis dengan cepat. Jelas, emosinya tengah membuncah.
“Luna!” panggil Arash panik sembari berusaha melepaskan rangkulan tangan wanita di depannya.
Enggan menyahut, Luna berbalik dan melenggang pergi meninggalkan dua sejoli itu di pelataran rumah sakit. Langkah kakinya dipercepat, buru-buru ia menuju ruangannya.
“Apaan sih, Cika!” sentak Arash menghempaskan tangan wanita bernama lengkap Adira Cika Kartika. Rekan sejawat Luna yang mengejar Arash sejak lama, sebelum wanita itu resmi menyandang gelar sebagai dokter.
Pria itu turun dari motor, melepas helm lalu melangkah panjang. Namun, terhenti saat lengannya ditarik oleh Adira.
“Arash, kamu yang apa-apaan? Belum ada kata putus di antara kita! Dan kamu menghilang begitu aja. Ke mana kamu selama ini? Aku juga sering ke bengkelmu, tapi selalu tutup,” cecar wanita itu.
“Berisik! Putus? Sejak kapan kita jadian?” cibir Arash terkekeh geli. Wajahnya berubah serius kala menatap Dira.
“Kamu udah janji, Arash. Kalau aku mau memutuskan hubunganku dengan Teddy, maka kita akan jadian. Kamu enggak bisa mengelaknya!” seru Dira memukul dada Arash.
Arash bertepuk tangan cukup keras, seiring dengan kekesalan di hatinya, “Bagus! Playing victim! Kamu sendiri yang mengatakannya. Tapi kamu memutar balikkan fakta. Bahkan kamu mengadu domba antara aku dan Teddy! Dasar murahan! Mau dioper sana sini!” balas Arash sarkas.
Dada Dira naik turun dengan cepat, tangannya mengepal kuat, ia memukuli lengan Arash dengan tangan kecilnya, matanya memerah. “Brengsek kamu, Arash!” pekiknya menampar pipi Arash.
“Belajar lagi mukul yang bener, enggak berasa!” ejek Arash memasang helmnya lagi, lalu bergegas meninggalkan area rumah sakit.
Dira mengentakkan kakinya dengan kasar. Bergegas ke parkiran untuk mengambil mobilnya. “Lihat aja, aku nggak akan lepasin kamu gitu aja, Arash!” geramnya penuh emosi.
...\=\=\=\=ooo\=\=\=\=...
Arash melaju dengan kecepatan tinggi. Hingga kini memasuki pelataran rumah yang sudah lama tidak ia kunjungi. Tidak sabar, Arash berlari memasuki rumah.
“Ma! Mama! Anjeli!” panggil Arash.
Tidak ada jawaban apa pun, pria itu berlari menuju dapur. Biasanya, setiap pagi sang mama akan menghabiskan waktunya membuat sarapan. Tapi kosong, tidak ada siapa pun di sana. Bahkan semua perabotan juga masih rapi. Tidak ada makanan apa pun di atas meja makan.
Arash berlari meniti anak tangga, tujuan pertamanya adalah kamar adiknya. Pintu ia buka dengan kasar, kosong, tidak ada aktivitas apa pun. Bahkan kamar adiknya itu sangat rapi, tidak ada bekas tidur di sana.
“Anjeli! Kamu di mana?” teriak Arash beralih ke kamar mandi. Tanpa mengetuk, ia membuka pintu dengan kasar. Kosong, lantainya juga kering. Sama sekali tidak ada percikan air sedikit pun.
Arash menghela napas berat, “Enggak, enggak mungkin,” gumamnya menggelengkan kepala. Menepis pikiran buruk yang mampir di kepalanya. Matanya tertuju pada lemari adiknya. Buru-buru membuka dan hatinya terasa hancur kala melihat lemari itu dalam keadaan kosong semua.
Pria itu segera bergegas ke kamar orang tuanya. Mengetuk beberapa kali sembari berteriak memanggil mamanya. Tidak mendengar jawaban, Arash membuka paksa pintu tersebut.
“Ck! Berisik sekali. Mengganggu tidurku saja!” gumam Carlos yang tergeletak di lantai. Meringkuk nyaman seolah tengah tidur di ranjang empuknya.
Arash membungkuk, aroma alkohol langsung menyeruak ke hidungnya, “Di mana Mama?” tanya Arash.
“Wanita kampungan dan membosankan itu maksudmu? Hngh! Mana kutahu!” celoteh Carlos masih di ambang batas kesadaran. Matanya bahkan masih tertutup sepenuhnya.
“Brengsek! Kamu boleh menyakitiku tapi tidak dengan ibuku! Ketika kamu menyakitinya, tidak ada maaf untukmu!" teriak Arash memukul pria tua itu hingga hidungnya mengeluarkan darah. Sungguh, ia ingin merobek mulut pria yang menghina ibunya. Sekalipun itu ayah kandungnya
Carlos mengerang kesakitan, mengerjapkan mata yang terasa sulit ia buka. Pukul tiga pagi, lelaki itu memang baru pulang dalam keadaan mabuk berat. Hingga terjerembap di lantai dan tertidur di sana.
Arash menghempaskan tubuh ayahnya. Berbicara dengan orang tidak sadar hanya akan menyulut emosinya saja. Ia beranjak memeriksa lemari sang mama, hal yang sama ia temui seperti milik adiknya. Kosong, tak ada satu helai benang pun yang tertinggal. Arash menekan kepalanya yang berdentum hebat.
Tidak ada yang bisa ia tanyai, Novita hanya seorang ibu rumah tangga full time. Yang mengurus segala keperluan rumah tangga seorang diri. Termasuk suami dan anak-anaknya.
“Mama di mana?” gumam Arash berkaca-kaca.
Arash tidak ingin membuang waktunya dengan percuma. Ia segera berlari keluar, tujuan pertamanya mencari ponsel baru agar bisa berkomunikasi. Menyesal karena ia tak langsung membeli ponsel baru saat itu.
Sialnya, Arash sama sekali tidak hafal nomor adik atau ibunya. Ia mendesah kecewa ketika sebuah ponsel baru sudah berada di tangannya.
Arash bergegas ke kediaman Omed. Ternyata para anak buahnya berkumpul di sana. Sudah cukup lama ia tidak berinteraksi dengan mereka.
“Bos!” pekik mereka beranjak berdiri menyambut kedatangan Arash.
Satu per satu dari mereka menyalami Arash sembari memeluknya. Tak dapat dipungkiri, ia rindu akan kepemimpinan Arash.
“Kening kenapa, Bos?”
“Tanda cinta!” seloroh Arash menaik turukan alisnya, senyum terurai dari bibir tipisnya.
Anak buahnya yang berjumlah 20 orang itu saling menatap lekat. Tapi kemudian tertawa terbahak-bahak secara serentak.
“Bos, tanda cinta itu bekas ciuman, bekas lipstik, bekas ******. Lah ini malah benjol kek gini? Gimana ceritanya? Saking ganasnya pa gimana?”
“Sungguh, di luar prediksi BMKG!”
“Tidak terjangkau!”
Para geng motor Arthropoda saling bersahut-sahutan menimpali candaan sang bos. Arash hanya tersenyum tipis. Mendudukkan diri di kursi meluruskan kedua kakinya.
“Guys! Butuh bantuan. Nyokap sama adik hilang nggak tahu ke mana. Masukin nomor kalian masing-masing!” titah Arash menyodorkan ponsel barunya pada Omed.
Tanpa banyak tanya, Omed langsung memasukkan nomornya, bergiliran dengan yang lainnya hingga kembali lagi pada Arash.
“Bikin selebaran aja, Bos!” saran Omed.
“Masalahnya aku enggak ada foto-fotonya, Omed!” keluh Arash mengacak-acak rambutnya.
“Media sosialnya ‘kan ada, Bos!”
Arash menegakkan duduknya, “Ide bagus! Kenapa nggak kepikiran!”
Menjelang malam, Arash dan para anggotanya masih sibuk mengedarkan selebaran orang hilang, berisi foto adik dan ibunya. Ia sampai lupa menjemput Luna.
Padahal jam kerja Luna sudah habis sejak pukul empat sore. Wanita itu duduk di loby dengan tenang. Sesekali memainkan ponselnya yang mulai lowbatt.
“Ck! Tahu gini mending tadi bawa mobil sendiri! Telat dikit enggak masalah. Palingan tu playboy lobster lagi main sama cewek-ceweknya!” gerutu Luna beranjak berdiri.
Mau tak mau ia harus keluar mencari taksi. Setelah menunggu beberapa waktu, akhirnya ada taksi yang berhenti. Luna segera masuk, mendudukkan tubuhnya di belakang. “Apartemen Bougenvill, Pak,” ucap Luna.
Sopir taksi itu hanya mengangguk tanpa suara. Pria bertopi hitam dan mengenakan masker itu sedikit mencurigakan.
Beberapa saat berlalu, Luna mendelik ketika jalan yang ia lalui berbanding terbalik menuju ke apartemen. Luna berusaha tenang, meskipun sebenarnya panik luar biasa.
Ia mengedarkan pandangan keluar, bisa saja melawan sopir tersebut, tapi ia tidak ingin terjadi kecelakaan. Tetap tenang, bersikap seolah tidak tahu apa-apa.
Taksi berhenti di tepi pantai, sopir segera keluar menatap ke segala arah. Baru membuka pintu belakang. Luna langsung menendang pintu itu hingga sang sopir terjengkang.
“Siapa kamu?” seru Luna mengepalkan kedua tangan di depan dada. Bersiap untuk menyerang.
“Haha! Aku kira kamu bodoh!” cetus lelaki itu yang langsung menyerang Luna.
Tidak terlalu sulit dalam mengelak tendangan maupun pukulan lelaki itu. Luna bahkan berhasil menyerang balik. Sayangnya, pukulan yang dilayangkan pria di belakangnya mampu membuat Luna terhuyung.
Pandangannya mulai buram, ia menggeleng demi tetap berada dalam kesadarannya. Sayangnya, itu dimanfaatkan lawan untuk menyerang Luna. Sebuah pisau mengarah tepat ke lehernya. Gadis itu mematung, menatap lelaki di depannya sembari mengatur napas yang terengah-engah. Netranya melirik ke mata pisau itu.
Bersambung~
Sambil nunggu lagi, mampir ke novel keren ini ya, Best....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Deasy Dahlan
pasangan serasi arash.. luna
2024-10-12
0
anonim
waduuuuhh Luna....smg ada pertolongan utkmu
2023-11-24
0
𝐙⃝🦜Zifei_WanitaTangguh💫
duh, Luna🥺🥺🥺
2023-09-06
1