DEG!
Arash sontak menggamit bibirnya sendiri. Manik matanya bergerak ke sana ke mari untuk mencari alasan. Kebingungan seketika melanda.
Decak kesal tercipta dari lidah Luna, ia bisa menilai perubahan mimik muka suaminya. Sembari memutar bola mata malas, Luna berkata, "Harusnya Kak Xavier aja yang kawin sama kamu!” cetus Luna memutar tubuhnya lalu melenggang cepat.
Buru-buru Arash menarik lengan Luna, menangkup kedua pipi wanita itu, menatapnya lekat-lekat, “Aku akan katakan semuanya. Tapi tolong, kita pulang sama-sama,” pintanya tidak ingin dibantah. Hanya manik mata mereka yang saling beradu, Luna enggan menjawab.
“Luna, kamu tanggung jawabku. Jadi please, jangan membuatku khawatir lagi,” ucap Arash dengan lembut tapi penuh keseriusan.
Tidak ada pilihan lain, lagi pula di pantai itu tidak ada transportasi umum. Untuk mendapatkannya harus berjalan keluar area pantai, dan itu cukup jauh dari tempatnya berdiri sekarang.
Arash beralih menggenggam tangan Luna, menganggukkan kepala lalu mengajaknya kembali ke motornya. Seluruh anggota geng kelimpungan, apalagi saat tatapan tajam Arash kini menyebar pada mereka yang sedari tadi saling berbisik. Mereka segera mengalihkan perhatian, saling bercanda, pura-pura mengobrol, ada pula yang langsung bermain ponsel.
Sebelum menaiki kuda besinya itu, Arash melepas jaket tebal kesayangannya. Memasangkan pada tubuh mungil Luna agar tetap hangat.
“Udah, jangan dilepas. Ayo naik!” ajak Arash setelah merapatkan jaket tersebut di tubuh Luna.
Arash mulai melajukan motornya. Menyalakan klakson panjang sebagai ucapan perpisahan pada para anggota gengnya.
Tak butuh waktu lama, Arash telah memarkirkan kendaraan di basemen apartemen istrinya. Luna bergegas pergi ke unit apartemen, tanpa menunggunya.
Entahlah, moodnya benar-benar buruk usai kejadian yang ia alami barusan. Luna belum memberitahu password apartemen pada lelaki itu, ia tidak peduli. Tetap menutup pintu dan langsung kamarnya.
Arash hanya mendesah kasar, mungkin jika tidak ada Bibi yang bekerja di sana, ia harus memanjat lagi seperti sebelum-sebelumnya.
“Makasih, Bi,” ucap Arash melenggang masuk. Pintu kamar Luna sudah tertutup rapat, ia mengetuknya berulang. "Luna, minta waktunya sebentar aja!" pinta lelaki itu memelas.
Tak ada sahutan apa pun, Arash terduduk di lantai. Punggungnya bersandar pada pintu kamar Luna. Agar dia bisa tahu kapan istrinya akan keluar kamar.
...\=\=\=000\=\=\=...
Tengah malam, Luna merasa kerongkongannya kering. Gelas di mejanya kosong. Terpaksa menyeret kedua kaki jenjangnya menuju dapur. Namun, ia terkejut karena Arash terjengkang di kakinya ketika membuka pintu.
“Arash! Ngapain di sini?” tanya Luna.
Bibir Arash mengulas senyum tipis, maniknya memerah, “Nungguin kamu,” gumamnya dengan suara serak.
Luna memicingkan mata, lelaki itu tampak sangat rapuh. Seperti habis menangis. Karena sisa-sisa air matanya masih terlihat. Rasa-rasanya sulit percaya, Arash yang begitu keras di luar sana, nyatanya justru terlihat serapuh itu.
Kembali melanjutkan langkahnya ke dapur, Luna segera menuangkan air putih. Meneguk segelas air dingin sembari duduk. Saat kembali ke kamar, Arash masih berada di posisi yang sama.
“Masuklah!” ucap Luna melaluinya.
Arash bersorak dalam hati, karena nyatanya kesempatan itu akhirnya datang juga. Meski ia harus duduk berjam-jam kedinginan di sana.
“Aku ... minta maaf. Sebenarnya tidak bermaksud membohongi kamu atau keluarga kamu,” ucap Arash membuka suara.
Luna pura-pura terlihat cuek, duduk bersandar sembari sibuk memainkan ponselnya. Padahal, sebenarnya memasang telinganya baik-baik.
Lelaki itu mendaratkan tubuhnya di sisi Luna begitu pelan. “Orang tuaku, sebenarnya masih hidup. Tapi, sepertinya mereka sudah bercerai. Aku baru tahu ketika aku terluka di rumah sakit waktu itu.” Pria itu menunduk dalam.
Air matanya tiba-tiba kembali berjatuhan, tidak malu menunjukkan sisi lemahnya di hadapan Luna. “Aku ... sungguh iri melihat keluargamu yang harmonis dan sangat peduli. Karena aku sama sekali tidak pernah mendapatkannya. Papaku diktator, otoriter, pemarah bahkan pemukul. Jika bisa memilih sebelum kita lahir, aku tidak akan pernah mau memiliki ayah seperti dia.”
Pilu, suara Arash tersendat-sendat. Ia kembali melanjutkan ceritanya, mengenai kondisi keluarga yang berantakan, sifat sang ayah yang selalu menuntutnya.
Sampai hilangnya ibu dan adiknya saat ini. Ia merasa gagal sebagai anak laki-laki. Karena tidak bisa melindungi dua wanita yang sangat berarti dalam hidupnya. Tangisnya semakin menjadi. Setelah sekian lama memendam, akhirnya bisa menumpahkannya.
Luna tak langsung percaya begitu saja, ia mengamati gestur tubuh suaminya. Mencari kebohongan di sana. Tapi, air mata yang terburai, raut wajah yang terlihat frustrasi, sepertinya tidak ada yang dibuat-buat. “Arash,” panggil Luna menyentuh bahu lelakinya.
“Aku harus gimana, Lun?” gumamnya merebahkan kepala di pangkuan Luna. Meringkuk seperti anak kecil, tidak tahu malu.
“Kenapa kamu tidak mengatakannya sebelumnya?” tanya Luna.
“Aku takut, keluargamu tidak akan menerimaku yang berasal dari broken home. Keluargamu sangat harmonis dan terpandang.” Jujur, memang itu yang ia takutkan jika mengatakannya sedari awal. Karenanya lebih memilih bungkam dan menutupinya rapat-rapat.
“Ck! Keluargaku tidak seperti itu!” protes Luna tidak percaya.
Sentuhan di kepala Arash sedikit memberinya ketenangan. Luna cukup prihatin akan kisah hidup Arash yang berada di bawah tekanan ayahnya. Luna terkejut ketika merasakan panas di permukaan kepala Arash, “Kamu demam, sebentar aku ambilkan obat,” ucap Luna bermaksud menggeser kepala Arash.
“Tidak usah, aku hanya butuh kamu. Tolong jangan tinggalin aku,” pintanya dengan mata terpejam, memeluk kedua paha Luna.
“Tapi....”
“Tolong jangan usir aku, Luna. Aku memang butuh obat. Tapi obatku cuma kamu, percayalah,” gumam Arash.
Helaan napas panjang berembus dari bibir Luna. Ia masih ragu dan takut. Tapi, dia juga tidak setega itu membiarkan Arash hancur. Khawatir jika nanti lelaki itu justru terjerumus ke hal-hal yang negatif. Apalagi mereka sudah resmi menikah, tidak mungkin Luna membiarkannya terpuruk dan hancur begitu saja.
Luna terjaga sepanjang malam, karena tidak bisa bergerak, ia hanya menempelkan punggung tangan bergantian dengan telapak tangannya yang sejuk di kening Arash. Demamnya memang berangsur turun. Luna menghela napas lega.
Ditatapnya lelaki yang pulas di pangkuannya, ia menyeka sisa-sisa air mata di sudut mata Arash. Gurat lelah dan kesedihan itu terlihat jelas.
“Kalau lagi tidur dan diam begini, dia tampan sih. Enggak malu-maluin lah kalau diajak jalan atau kondangan,” gumam Luna terkekeh.
Iseng, Luna meraih ponselnya. Membidik wajah polos Arash saat tertidur dengan kamera canggih di ponselnya. Ia terkikik geli. “Tuh ‘kan, mending tidur memang ni anak. Kalau resenya keluar, beh ... pengen kucakar muka ngeselinnya!” keluh gadis itu memperbesar gambar-gambar di ponselnya, sesekali menatap Arash kembali.
Kantuk mulai menyerangnya kembali, Luna tertidur sambil duduk. Arash yang terbangun segera membenarkan posisi Luna agar tidak kesakitan saat bangun nanti.
Saking lelahnya beraktivitas seharian, Luna tidak sadar jika saat ini Arash memeluknya begitu erat, “Akhirnya tidur seranjang lagi!” gumamnya tersenyum puas. Bersyukur, demamnya datang di saat yang tepat. “Aku tahu, kamu memang orang baik. Feelingku tidak pernah salah menilai orang. Love you, istriku,” ucapnya mencuri ciuman di bibir Luna.
Bersambung~
Mampir juga di novel keren ini ya, Best...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Deasy Dahlan
terharu arash
2024-10-12
0
anonim
Luna mah punya hati yg baik, mamanya kan is the best
2023-11-24
1
𝐙⃝🦜Zifei_WanitaTangguh💫
kamu tuh nakal ya Ar.minta dsentil rupanya, seneng banget nyuri² ciuman si Luna
2023-09-06
1