Axel menghela napas pelan, menatap nanar mobil Luna yang semakin jauh dari jangkauannya. Jalur mereka sebenarnya berbeda, tapi Axel selalu memutar arah demi bisa berpapasan dengan pujaan hatinya.
Panik dan khawatir merajai hatinya, ketika melihat Luna diserang sekelompok orang tak dikenal. Buru-buru Axel mendekat, berlari meninggalkan motor sportnya yang masih menyala. Susah payah ia menghajar lawan-lawannya demi Luna, tapi ternyata pemandangan asing yang cukup mengoyak hati yang ia dapat.
“Huuhh! Sayang sekali aku harus segera ke kantor!” gumam Axel mengatur napasnya yang memburu.
Kembali melanjutkan perjalanan dengan motor kesayangannya. Jabatan yang baru diemban beberapa waktu lalu, generasi keempat Sebastian Group di Jakarta itu memang beda. Lebih memilih motor untuk membawanya pulang pergi ke kantor. Lebih santai, atau ngebut sesuka hati. Sebagai CEO baru, tidak mungkin dia keluar masuk perusahaan seenaknya.
...\=\=\=000\=\=\=\=...
Arash mengerang kesakitan di samping Luna. Mendongak dengan napas tersengal-sengal. Ia benar-benar kesakitan.
Tidak ada pilihan lain, Luna tetap fokus mengemudi. Menambah kecepatan dan terus mencari celah agar mobil lekas sampai di apartemennya. Berkali-kali Luna menekan klakson, berharap bisa menerobos kemacetan.
“Tolong beri jalan! Saya bawa pasien darurat!” teriak Luna melongokkan separuh tubuhnya keluar jendela, tak lupa dengan klakson yang terus ia tekan.
Ia berusaha agar tidak panik, mengendalikan kekhawatiran yang membuncah luar biasa. Apalagi ekor matanya menangkap wajah Arash yang semakin memucat. Tak dapat dipungkiri dadanya berdegup hebat, dua jarinya menekan leher Arash yang mulai memejamkan mata. Meraba-rabanya hingga Luna menghela napas lega saat masih merasakan denyut di sana.
“Bertahanlah, Arash!” Luna menepuk-nepuk pipi Arash dengan perlahan. Sebelah tangannya masih sibuk mengendalikan kemudi.
Beberapa waktu berlalu, akhirnya Luna berhasil melewati kemacetan panjang. Mobil yang ia kendarai memasuki pelataran apartemen tempatnya tinggal.
Luna bergegas turun, berlari ke pos pengamanan. Kedatangannya langsung disambut dua pria berseragam rapi berwarna hitam itu.
"Ada apa, Nona? Ada yang bisa saya bantu?" tanya salah satu pria itu. Apalagi melihat Luna berlarian dengan napas tersengal-sengal.
“Pak, tolong bantu saya bawa pasien ke unit saya. Dia terluka parah,” pinta Luna menangkupkan kedua tangannya di dada.
Kening mereka mengernyit, “Kenapa tidak dibawa ke Rumah Sakit saja, Nona!” elak salah satu satpam tersebut, namun tetap bergerak keluar dari ruangan mereka.
“Aduh, enggak sempet, Pak! Cepet, Pak!” titah Luna berlari lagi ke mobilnya.
Dua satpam itu segera mengeluarkan Arash, memapahnya hingga ke unit apartemen Luna. Gadis itu segera menempelkan kartu akses, membuka pintu lebar-lebar.
“Letakkan di sofa saja, Pak. Terima kasih banyak bantuannya.” Luna menunjukkan name tag yang tersimpan di saku kemejanya. “Saya Dokter, tenang saja,” ucapnya.
“Baik, kalau begitu kami permisi, Nona. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan menghubungi kami,” timpal satpam itu sebelum akhirnya pamit undur diri.
Luna mengangguk, segera menyiapkan alat-alat untuk mengobati luka Arash. Ia kembali dengan berbagai alat medis. Membuka kembali perban yang sudah berlumuran darah itu, “Menghadap ke sana!” titahnya menggerakkan kepala Arash agar membelakanginya.
“Sakit, Bodoh!” Kebiasaan mulutnya yang mengumpat sembarangan membuat Luna menoyor kepala lelaki itu.
Erangan kesakitan semakin memenuhi ruangan luas itu. Luna menatapnya tajam, jika biasanya ia akan mengobati dengan lembut, khusus pasiennya satu itu tentu tidak bisa.
“Sudah diselamatkan, diobati masih ngata-ngatain. Bener-bener geser nih otaknya,” gerutu Luna membersihkan darah yang masih mengalir di kepala Arash.
“Dokter sialan!” geram Arash dengan sangat pelan, kedua tangan kekarnya terkepal dengan sangat erat. “Andai aku tidak terluka, aku habisi kamu!” sambungnya penuh kekesalan.
“Lukamu kembali terbuka. Jahitannya jebol, sepertinya aku harus menjahitnya lagi. Tapi, anestesiku habis. Kamu harus bisa menahannya. Masalahnya jika tidak segera dijahit, kamu bisa mati kehabisan darah. Ini darurat,” papar Luna panjang lebar mempersiapkan langkah selanjutnya.
Arash membuka mata lebar-lebar, “What the f*ck! Jangan gila, Dokter!” umpat lelaki itu berusaha menegakkan duduknya.
Luna meliriknya dengan tajam, “Sudah dua kali kamu mengumpatku! Satu kali lagi aku tinggalkan. Biar saja mati di sini. Situ sendiri ya yang tidak mau ke rumah sakit. Kalau tidak mau yasudah keluar sana!” kesal Luna mendorong bahu Arash.
Gertakan gigi Arash semakin terdengar, mulutnya memang sulit untuk dikondisikan. Apalagi emosi masih menanjak hingga ubun-ubunnya, akibat orang-orang suruhan papanya. Ingin sekali Arash mencekik pria tua yang berstatus ayahnya sampai mati.
“Maaf, Dok. Aku akan menahannya,” tutur Arash menurunkan nada bicaranya. Jika dipikir-pikir, ia akan aman bersama dokter cantik itu sampai dia benar-benar sembuh.
“Nah, gitu dong dari tadi kek! Tahan, jangan bergerak,” Luna mulai mengenakan sarung tangan khusus, menegakkan duduknya di belakang Arash.
“Arrgrh shiitt! Setan! Sakit, anj!”
Luna menyumpal mulut Arash dengan kasa. Telinganya sakit mendengar kalimat-kalimat kotor yang keluar dari mulut Arash.
“Mulutmu harus disterilkan setelah ini!” decak Luna kembali melanjutkan kegiatannya sampai selesai.
Tubuh Arash tegang luar biasa, “Hah! Mau mati aku rasanya! Dokter gila!”
“Isshh! Genap tiga kali! Angkat kakimu dari sini!” tegas Luna beranjak, menunjuk keluar apartemen.
Arash menepuk mulutnya berkali-kali, tidak mungkin dia keluar dalam kondisi seperti ini. Buru-buru pria itu berjongkok di kaki Luna. Gadis itu segera mundur, namun terlambat. Karena kedua tangan Arash melingkar di kaki jenjang Luna.
“Eeeh, ngapain nih! Aku tendang mau?” tawar Luna gugup.
“Dokter, aku mohon, jangan usir aku dari sini. Tolong biarkan aku tetap tinggal sampai aku lebih baik. Aku janji nanti akan membayar semuanya. Tapi untuk saat ini, cuma dokter yang bisa menolongku,” mohon Arash dengan sungguh-sungguh.
Vibra ponsel Luna memekik di atas meja. Buru-buru meraihnya, matanya mendelik saat nama saudara kembarnya terpampang di sana.
“Lepasin Arash, ada yang meneleponku!” tegas Luna menunduk, berusaha melepas lilitan tangan Arash.
“Tidak, sebelum dokter izinkan aku tinggal di sii. Tolong, Dok!”
“Iya! Iya! Tapi bersyarat!” putus Luna pada akhirnya.
Arash mendongak, matanya berbinar cerah mendengar persetujuan Luna, “Apa syaratnya, Dok. Aku mau melakukan apa saja!” tutur lelaki itu.
“Nanti, sekarang mulutmu diam. Aku mau bicara di telepon!” titah Luna menggeser slide hijau di benda pipih itu lalu meletakkan di telinganya.
“Yess!” seru Arash mengepalkan tangan di udara.
Luna mendelik, buru-buru menutup mulut Arash dengan tangannya. Dadanya berdegup karena sudah tersambung dengan sang kakak.
“Suara siapa, Lun? Bukankah harusnya kamu sudah sampai di apartemen?” selidik Xavier, saudara kembar Luna di ujung telepon.
“A ... anu, Kak.” Luna menggigit bibir bawahnya.
“Siapa?” sentak Xavier menggelegar.
Bersambung~
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Deasy Dahlan
bilang aja tetangga lun
2024-10-11
0
anonim
Luna cari masalah apa dapat jodoh neeehhh
2023-11-23
0
Iin Karmini
ngobatin yg suka ngumpat mh special dong..🤣🤣
2023-10-23
1