Sorot mata Luna begitu tajam, siap mencabik-cabik siapa pun yang mengusiknya. Tidak ada raut ketakutan yang berpendar dari wajah cantik itu. Tetap tenang dalam kondisi apa pun.
“Ternyata ... menarik!” gumam Arash mengelus pipi Luna.
Geram, gadis itu melirik luka Arash lalu menepis lengan dan mencengkeramnya dengan kuat. Tangan lainnya menyentil luka Arash hingga pria itu memekik kesakitan.
“Aaarggh!”
“Bos!” teriak para anak buahnya hendak menyerang Luna. Namun, gadis itu menendang salah satu tulang kering mereka, terjatuh hingga bertabrakan dengan yang lainnya.
“Jangan memperlambat penanganan pasien. Silakan keluar dan lakukan pendaftaran!” tegas dokter cantik itu melirik dengan ekor mata tajamnya.
“Hei! Jangan macam-macam pada bos kami. Anda tidak tahu siapa dia? Bos adalah penguasa di daerah Andora ini! Jadi, sudah sepatutnya Anda memprioritaskannya!” pekik Omed memeluk salah satu lengannya yang masih nyeri.
Luna segera membimbing Arash untuk naik ke salah satu brankar. Mengabaikan teriakan Omed yang terdengar geram. Beberapa peralatan medis sudah disiapkan oleh perawat di sana. “Bersikaplah selayaknya pasien. Tidak peduli kamu anak pejabat, konglomerat atau presiden sekalipun. Setiap orang yang butuh penanganan di sini tetaplah seorang pasien. Tidak lihat, keadaan saat ini sedang darurat? Banyak korban kebakaran yang menderita luka lebih serius.”
Perlahan, Luna mulai fokus membersihkan luka-luka Arash. “Ini harus dijahit. Lukanya terlalu dalam,” ujarnya setelah menyibak rambut Arash dan menentukan kedalamannya. Lelaki itu menikmati setiap sentuhan Luna. Apalagi, aroma tubuhnya yang menguar membuat seluruh persendiannya serasa mau lepas.
“Lakukan saja apa pun, Dok. Aku bersedia menjalani rawat inap selama apa pun yang Dokter mau,” sahut Arash tersenyum smirk.
Menghentikan kegiatannya sejenak, Luna menegakkan tubuhnya, melayangkan tatapan serius pada Arash. Wajahnya teramat datar, “Anda sudah boleh pulang setelah luka itu dijahit,” tutur Luna menghela napas kasar.
Arash mendelik, rasanya ia enggan kehilangan kesempatan emas untuk dekat dengan dokter cantik yang menarik di matanya. Ah, memang dasarnya mata keranjang. Lihat yang bening sedikit langsung jelalatan.
“Aduduh! Aduh, Dok! Kepalaku rasanya sakit sekali, Dok. Jangan-jangan otakku sedikit geser ini!” keluh lelaki itu merebahkan tubuh di atas ranjang. Sialnya, dia lupa letak lukanya tepat di kepala belakang. Ekspresi Arash benar-benar kesakitan karena memang lukanya terbentur dengan brankar.
“Andin, tolong siapkan pasien ini untuk menjalani MRI dan CT-Scan,” tukas Luna pada salah satu perawat yang membantunya sedari tadi.
“Baik, Dok!”
Dalam hati Arash bersorak begitu gembira usai mendengar jawaban Luna. Sudah dipastikan, ia akan lebih lama berada di rumah sakit. Dan tentunya, akan lebih sering bertemu dengan dokter cantik itu.
“Masih bisa bangun? Saya harus lanjutkan agar pendarahan berhenti,” tanya Luna sedikit membungkuk.
“Iya, Dok. Tolong dibantu,” ujar Arash bersikap seolah tidak bisa bergerak dan lemas tak bertenaga. Hanya Omed yang tersisa di dalam IGD, karena yang lain harus menunggu di luar ruangan.
Arash bersorak dalam hati, karena tubuhnya terus bersinggungan dengan dokter itu. Ia juga mempertahankan ekspresi sakitnya untuk menarik simpati Luna. Dengan perlahan, Luna membantunya bangun. Mengukur tensinya, lalu mulai memberi suntikan anestesi. Setelahnya mulai menjahit luka-luka di kepalitu—rash.
\=\=\=000\=\=\=
Sementara itu, di kediaman Frederick....
“Arash! Arash! Di mana tuh anak!” teriak seorang pria paruh baya mendobrak pintu kamar putranya, dengan selebar kertas di tangannya.
"Ada apa sih, Mas? Enggak capek apa teriak-teriak melulu setiap hari. Arash pasti capek dengernya! Pelankan sedikit suaramu,” sanggah Novita—ibu kandung Arash. Wanita paruh baya itu menghampiri suami temperamennya.
Carlos berbalik, matanya sudah memerah karena memendam emosi sedari tadi. Cengkeraman di tangannya semakin kuat lalu melempar tepat di wajah istrinya.
"Pelankan pelankan bagaimana? Diteriaki setiap hari saja masih bisa di skors pihak kampus. Apalagi dikasih tahu pelan-pelan. Mau sampai kapan dia di bangku kuliah? Sampai tua, hah? Ini akibat didikan kamu yang selalu memanjakannya, Novita!” berang lelaki itu mendorong bahu istrinya hingga terjerembap ke belakang.
Novita memekik kesakitan, napasnya tersengal mengambil gumpalan kertas dan membukanya dengan perlahan. Beberapa pelayan di rumah itu tidak ada yang berani mendekat. Pemandangan dan pekikan seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari untuk mereka. Jika bukan demi uang, mereka pasti sudah memutuskan resign sejak lama.
“Apa ini? Bagaimana bisa?” gumam Novita dengan bibir bergetar.
“Itu semua gara-gara kamu yang bodoh mendidik anak! Tidak becus! Bisanya Cuma shopping ngabisin duit suami! Kalian berdua sama saja! Sama-sama beban keluarga!” teriak Carlos memberi sebuah tamparan di pipi Novita demi melampiaskan amarahnya. Pria berperut buncit itu memang ringan tangan.
Novita memalingkan muka, sudut bibirnya berdarah. Kebas dan perih mulai menjalar di pipinya. Wanita itu mengatur napas, beranjak berdiri lalu mencengkeram kerah kemeja suaminya.
“Bertahun-tahun kamu tidak pernah menganggap aku sebagai istri. Bertahun-tahun kita hidup satu atap dan kamu hanya memperlakukanku seperti pelayan di rumah ini. Aku menghabiskan banyak uangmu agar kamu berhenti berselingkuh dengan sekretaris sialanmu itu, Mas!” teriaknya menggema mengoyak kerah kemeja suaminya.
DEG!
Wajah bengis itu mendadak pias saat mendengar pengakuan terakhir istrinya. Ia sudah menutup perselingkuhannya rapat-rapat. Tidak menyangka jika sang istri bisa menciumnya.
“Aku bertahan menerima semua rasa sakit yang kamu berikan demi anak-anak, agar mereka tetap memiliki orang tua yang utuh! Tapi tetap saja, selingkuh itu penyakit yang tidak bisa disembuhkan sampai kapan pun. Selamanya kamu tidak akan berubah. Dan mulai detik ini, aku ingin kita berpisah,” tegas Novita dengan mata berkaca-kaca. Namun segenap kebencian dan kekecewaan terpancar jelas di matanya.
“Apa yang kamu katakan? Jangan menuduh tanpa bukti!” elak lelaki itu menyembunyikan kegugupannya.
Novita meraih ponselnya, ada beberapa rekaman CCTV di ruang kerja Carlos di perusahaan. Dua makhluk paling menjijikkan sering melakukan hal tak senonoh di kantor. Novita melempar ponsel tepat di dada suaminya. “Lihat! Setiap hari ini kan yang kalian lakukan? Menjijikkan! Noda lipstik di kerah kemeja kamu, parfum wanita yang setiap hari aku hirup dari jas kamu dan deretan video itu sudah cukup membuktikan kebejatan kamu! Aku mau cerai!” teriak Novita menggelegar. Air matanya yang selama ini ia tahan akhirnya begitu deras.
Tanpa mereka sadari, anak bungsunya terduduk di lantai membekap mulutnya sendiri untuk menahan tangis. Satu tangannya merekam detik-detik pertengkaran kedua orang tuanya. Dengan tangan gemetar, gadis itu mengirimkan video yang ia dapat pada sang kakak.
\=\=\=\=000\=\=\=\=
“Bos, ada pesan!” ujar Omed menyerahkan ponsel pada Arash.
“Skip aja kalau nggak penting,” tutur Arash yang sedang menunggu dipindahkan ke ruangan rawat inap usai ditangani oleh Luna.
"Dari Nona Anjeli,” sambung Omed lagi.
Arash segera beranjak, menyambar ponsel dari tangan Omed, tak sabar membukanya. Gemuruh di dadanya bertalu dengan kuat, giginya terdengar bergemeletuk. Deru napas yang memburu, memperlihatkan betapa emosinya dia saat ini. “Aaaargghh! Brengsek!” teriak Arash melempar ponselnya ke sembarang arah.
Bersambung~
Gaiiss.. bantu vote Cover dung.. di kolom komentar. Lebih bagus mana nih..
1 untuk ini
2 untuk ini....
bantu pilih yaa... maaciiww 💋💋💖
oiiyaa selamat lebaran... minal aidzin wal faidzin... maaf lahir batin ya semua.. yang mudik semoga lancar dan kembali dengan selamat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 67 Episodes
Comments
Yuliana Purnomo
1 thor
2025-03-10
0
Nur Khikmah
1
2025-01-06
0
Deasy Dahlan
1.cocok thor
2024-10-11
0