Bab 2. Ayyara Ashalina

Derap kaki mungilnya berjalan perlahan dan hati-hati, sorot matanya berputar menilik tajam sudut demi sudut yang dia lewati. Jantungnya berpacu keras tak menentu, dia bisa merasakan kulit tubuhnya mulai menjadi lengket akibat suhu panas serta peluh keringat yang terjun bebas dengan riang gembira.

"Hfff … Aman," sesaat dia merasa lega karena tidak melihat keberadaan satu orangpun disekitarnya, sampai sebuah tepukan manis mendarat tepat di pundaknya, membuatnya terkejut sekaligus panik.

'M4mpus!!' Wajahnya tampak menegang dengan kerongkongan yang tercekat.

"Mau kemana?"

'Ah? Dia?' dirinya lantas berbalik menatap sosok tinggi berseragam putih abu lengkap dengan jas OSIS yang disampirkan di atas pundak kokohnya.

Radit.

"Ara pikir tadi siapa!!!" Keluhnya sembari mengusap dada, degup jantungnya kembali normal setelah mengetahui yang datang bukanlah guru kesayangannya.

Sementara Radit terkekeh kecil melihat penampakan gadis itu yang urakan bagai selesai diterjang hujan badai. Benar-benar tidak cocok dengan bentuk wajahnya, "lu mandi nggak sih?"

"Ya mandi lah! Ini aja Ara baru selesai mandi lagi, tapi mandi keringat, hehehehe …." Ara, Ayyara Ashalina nama lengkapnya. Sesosok makhluk bumi berbentuk minimalis dengan segudang tingkah abnormal yang tertanam kekal didalam jiwanya. Sekitar empat bulan yang lalu dia baru saja pindah dari kota tetangga dan menetap kembali di kota kelahirannya.

"Bikin ulah lagi lu sama pak Beno?" tepat sasaran! Gadis itu baru saja kabur dari hukumannya yang tidak dia dijalankan sampai tuntas. Hanya dari raut wajahnya saja Radit sudah dapat menebak apa yang baru saja dilakukan oleh gadis itu sekaligus yang akan dilakukannya sebentar lagi, "Nggak usah bolos, balik ke kelas sana!"

"Iya! Ini aja mau balik ke kelas kok! Kalo nggak ada Kakak mungkin sekarang udah ada di

kelas!"

"Gue kasih tau ya! Lu tuh udah b3g0! Go block! O0n! Pake t0l0l lagi-! Seenggaknya lu tuh harus bisa bohong pake otak! Jangan pake dengkul-!" Ara meringis dalam hati meresapi tiap bait per bait, kalimat per kalimat, kata per kata, serta intonasi nada yang laki-laki itu mainkan.

Sungguh.

Demi apapun.

Dia teramat jujur.

"Kak Radit!!! Bisa nggak sih kalo ngomong tuh kasih gula dikittt … aja! Biar ada manis-manisnya! Pait tau nggak! Kopi aja bisa manis! Masa Kakak nggak!?" tanpa rasa bersalah laki-laki itu malah terbahak sembari mengusap lembut puncak kepala Ara.

"Maaf-maaf, lagian lu ngomong kaya gitu lu pikir gue nggak tau kelas lu dimana? Ke arah sana tuh gudang! Mau bolos kan lu!" tukas Radit yang memang bukan hanya sekedar kata melainkan sebuah fakta.

"Lu mau balik ke kelas apa mau gue aduin sama pak Beno?"

"Jangan …!!" rengeknya memelas menatap Radit berharap laki-laki itu mau melepaskannya, dia baru saja terlepas -kabur- dari hukuman pak Beno dan jika Radit benar-benar mengadukan perihal Ara yang lagi-lagi hendak bolos kelas, bisa-bisa dia akan kembali mendapatkan hukuman yang mungkin lebih parah. Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan begitu saja!

"Kakkk …" Radit sama sekali tak bergeming ditempanya laki-laki itu hanya melebarkan senyum termanisnya pada Ara.

"Kak Radittt …."

"Bisa aja sih gue lepasin," mata gadis itu mendadak berbinar menatap penuh harap.

"Tapi lu harus jadi pacar gue, gimana?"

"Hah!? Nggak mau!!!"

"Yakin?"

"Yakin lah!"

"Nggak nyesel?"

"Nggak!"

"Gue ganteng tau, masa lu nggak mau?"

"Nggak! Lagian Ara juga nggak jelek-jelek amat kok!"

"Cih! Ya udah gue kasih tau pak Beno aja lah!" ucapnya seraya menarik lengan baju Ara bermaksud menyeretnya pergi. Persis seperti menyeret anak m0ny3t.

Akan tetapi tidak semudah itu, bukan Ara namanya jika dia sama sekali tidak melakukan perlawanan, gadis mungil itu menahan tangan Radit lalu menggigit tangan tersebut sekuat yang dia bisa.

"Ahk!!! Go block! Sakit woy!" tanpa pikir panjang Ara berlari pergi menjauh dari laki-laki itu tepat saat Radit melepaskan genggaman tangannya.

"Ahk! Perih … hsss … itu cewek apa buldog sih? Suka banget gigit orang, untung sayang …" lirihnya menatap nanar pergelangan tangannya yang Ara gigit hingga menyisakan bekas kemerahan. Sedikit lagi mungkin kulitnya akan mengeluarkan darah.

"Hahhh … biarin aja lah, kasian juga … kesayangan gue kan otaknya nggak lebih besar dari dengkulnya, udahlah miring … tinggal setengah lagi."

...…...

"Lu lama," celetuk April begitu melihat Ara datang menghampirinya dengan tampang wajah polos tak berdosa ditambah penampilannya yang tidak pernah normal.

Ara nampak menyunggingkan senyumnya seraya menggaruk-garuk rambut kepalanya yang sudah berantakan. "Tadi Ara ketemu sama pak Ben, terus dihukum deh …" jelasnya beralasan agar April tidak lagi marah padanya.

Gadis itu berjalan santai menghampiri pemilik warung yang terlihat sibuk menggoreng beberapa makanan di atas wajan penuh minyak panas, "Mbak Win!!! Soto dong satu! Pedes! Jangan lupa pedesnya harus ngalahin emak-emak kang ghibah! Sama es teh manisnya satu! Yang manis semanis Mbak Win hari ini-!"

Wanita itu langsung tersenyum setelah mendengar candaan kecil yang kerap kali Ara lontarkan padanya. "Bolos mulu kalian, sekolah yang bener sana biar nggak kaya Mbak," ujar Wiwin sembari menyiapkan semangkuk soto hangat pesanan Ara, wanita itu sudah sering kali memberi peringatan pada keduanya namun respon mereka selalu sama.

"Iya nanti kalo udah dapet hidayah."

"Ya udah terserah yang penting jangan aneh-aneh," peringat Wiwin untuk kesekian kalinya. Wanita itu mengulurkan semangkuk soto hangat berkuah kemerahan pada Ara dengan tambahan potongan sosis dan bakso, tidak ketinggalan kerupuk juga telur setengah matang di atasnya, salah satu menu favorit yang hampir selalu Ara pesan jika berada di WMW -Warung Makan Wiwin-

"Mbak Win! Punya ku kok nggak pernah di kasih sosis sama bakso? Telurnya juga beda? Nggak adil!" Ara dan Wiwin kompak mendengus malas pada April, sebab gadis itu sendiri yang mengatakan jika sosis dan bakso itu sangat tidak cocok untuk soto, apalagi telur setengah matang.

Padahal menurut Ara tidak ada yang salah dengan hal itu karena itu memang makanan favoritnya. Lagi pula kombinasi yang dia pilih masih sangat-sangat normal, jadi harusnya tidak akan ada masalah.

"Kok diem? Mbak Win pilih kasih nih!" Wanita itu mendengus langsung beranjak pergi kembali melanjutkan aktivitasnya, tak lagi menghiraukan ocehan April yang semakin melantur tiada henti jika diladeni. Sementara Ara lebih memilih untuk menyeruput kuah sotonya dari pada harus mendengarkan April.

"Jahatnya … gue di kacangin!" Keluh gadis itu sangat mendramatisasi, mungkin sebelas dua belas dengan para pemain ku menangis.

Brakkk

"4nj1ng!" April mengelus dadanya menatap sinis pada Ara yang tiba-tiba saja menggebrak meja tanpa sebab, sedangkan yang ditatap malah terlihat seperti anak 4nj1ng.

"Ani-! Pulang sekolah anterin Ara yuk!" Mata gadis itu berbinar menatap penuh harap pada April agar dia mau menuruti keinginannya. Sudah dibilang dia memang mirip anak 4nj1ng.

"Nggak, hari ini gue ada latihan," balas April singkat membuat guratan kekecewaan terukir jelas pada wajah mungil gadis itu.

"Libur dulu latihannyaaaa …" bujuk Ara masih belum menyerah, meskipun dia tau hal itu hanya akan berakhir sia-sia.

"Besok baru gue libur, besok aja perginya."

"Hari ini stok terakhir, besok belum tentu ada."

"Ya berarti lu pergi sendiri."

"Nggak mau!"

"Ya udah sama kak Radit aja sana, pasti mau dia."

"Nggak mau ah!"

"Kenapa?"

"Nggak ada!"

...…...

Sudah terhitung hampir setengah jam dari saat bel pulang sekolah berbunyi, dan gadis itu baru kembali ke kelas untuk mengambil tas miliknya setelah sebelumnya terjebak pada ajang perdebatan panjang nan lebar kali tinggi kali luber kali banjir bersama April, yang pada akhirnya Ara tetap kalah sebab April masih memegang teguh pendiriannya.

Saat ini dia nampak berjalan malas menyusuri koridor sekolah seorang diri, menatap kesana-kemari mencari hal yang mungkin menarik disekelilingnya. Masih banyak dari anak-anak yang terlihat berseliweran di sekitar lapangan, ada yang hanya sekedar duduk, pacaran, bercanda dengan teman, juga latihan ekstrakurikuler yang diadakan di sekolah.

"Woy awasss!"

"Hah?"

Bledaggg

"Aduh!!! Woy!!! Sakit tau!!!" Gadis itu meringis memegang kepalanya yang baru saja terkena lemparan bola basket.

"Salah lu sendiri ada di situ, udah tau bolanya nggak punya mata nggak punya kaki," Ara melongok tak habis pikir mendengar kalimat yang dilontarkan untuknya.

Dia menatap tak percaya pada laki-laki jangkung, beralis tebal, berhidung mancung yang tengah berjalan mendekat ke arahnya untuk mengambil bola.

Ya.

Hanya untuk mengambil bola.

Setelahnya dia pergi berlalu begitu saja melanjutkan kembali permainannya bersama teman-temannya tanpa berkata "maaf?".

Maaf?

Maaf!?

"Seenggaknya minta maaf dulu kek! Punya hati nggak sih!"

"Nggak!"

"Hah? Ihk nyebelin banget!!!"

Bletakkk

"4nj1ng!!!"

"Mampus!!!" Ketusnya beranjak pergi meninggalkan lapangan setelah melemparkan batu kerikil yang dia temukan di sekitar lapangan, dan naasnya kerikil itu tepat mendarat mengenai sasaran dalam sekali serang.

Wuinggg

Duarrr

...…...

Langit cerah kini berganti malam karena sang mentari tak lagi menampakkan sinarnya di sebagian bumi zamrud khatulistiwa, angin dingin merangkak menerjang dengan rinai hujan yang perlahan mulai terdengar.

Brakkk

Ara mendengus kesal setelah puas melempar buku tebal berisi kisah romansa sekolah antara dua anak m0ny3t yang awalnya saling benci lalu berubah menjadi bucin dan hidup bahagia hingga menutup mata, tamat.

"Menyemenyemenye … nyesel gue beli buku itu!" Sebuah buku novel yang masuk jajaran best seller serta banyak dibicarakan orang-orang itu ternyata tak sesuai ekspektasi nya.

"Hmmm …" dia termenung sesaat memandang buku novel yang tergeletak tak berdaya di atas lantai setelah membentur rak buku cukup keras.

"Ahk! Lu go block! Kenapa bukunya dilempar! Gitu-gitu juga belinya pake duit! Bukan pake daun!" Gerutunya beranjak dari tempat tidur mengambil buku itu dari atas lantai, menyusunnya di dalam rak bersama buku-buku lainnya.

Ara menilik buku-buku yang tertata rapi di dalam rak tersebut, tidak terasa buku-buku koleksinya sudah jadi begitu banyak terpampang di dalam sana.

Akhir-akhir ini dia memang gemar sekali membaca dan mengoleksi buku-buku novel, namun tetap saja minat bacanya itu hanya berlaku pada buku-buku cerita bukan pada buku-buku mata pelajaran.

Jadi setinggi apapun atau sebanyak apapun yang dia baca, dia tetaplah seorang gadis pemalas yang sama sekali tidak mengerti serta tidak peduli dengan yang namanya belajar.

"Ehmmm … gue coba jual ke perpus sekolah bisa kali ya? Lumayan kan buat jajan?" gadis itu terbahak keras setelah memikirkan ide konyolnya, "Mungkin pak Ben bakal masuk rumah sakit kalo atau gue suka baca buku-buku kaya gini."

Kringgg

Ara menoleh memicingkan matanya menatap nomor tidak dikenal yang tertera di atas layar ponselnya, dia mendekat mengambil benda pipih yang diletakan di atas nakas putih di samping tempat tidurnya.

Menggeser icon berwarna hijau lalu mendekatkan ponsel tersebut di telinganya. "Moshi-Moshi? Dengan siapa dimana?" Gadis itu mendudukkan tubuhnya menunggu kalimat balasan dari seberang sana.

"Halo?"

Hening.

"Halooo?"

Tidak ada suara.

"Kalo masih nggak ngomong Ara tutup teleponnya!" Dan masih tidak ada suara.

Tut

Dia pun langsung mematikan sambungan teleponnya tanpa berkata lagi, "Siapa sih nggak jelas banget!" Gumamnya kesal kembali menyimpan ponselnya di atas nakas, menyambungkannya dengan kabel charger untuk mengisi daya.

"Haaaaaaaa …" helanya panjang sembari merebahkan tubuh di atas tempat tidur dan mulai memejamkan mata masuk menjelajah alam bawa sadarnya yang penuh harapan serta mimpi-mimpi tak terwujudkan.

Dia harus segera tidur sebelum kembali terjaga ditengah malam karena hal-hal yang tak berguna dan mengganggu hidupnya.

.

.

.

"… Yang datang akan pergi dan yang pergi tidak selalu datang kembali …"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!