Tatapan teramat tajam diarahkan seluruhnya kepada sosok makhluk hidup dengan topi hitam di kepalanya itu, "Lu mau jalan sendiri atau gue seret?"
"Emangnya kamu kira Ara tuh anak tikus apa!?" Gadis itu menggembungkan pipinya menatap dengan kesal, tidak ada ramah-ramah nya sekali dengan perempuan.
"Udah deh jangan banyak tingkah! Lu kira lu imut? Jatuhnya kaya anak m0ny3t tau nggak!?" Ara melempar bantal-bantal berwana putih yang berada didekatnya pada Panji dengan tanpa ampun.
Dia benar-benar tidak menyukai laki-laki yang satu itu tak ada satupun kata manis yang keluar dari mulutnya jika sedang berbicara padanya, mirip dengan Radit tapi lebih menyebalkan, atau mungkin dia memang satu keluarga? Jangan-jangan wanita yang tadi itu benar-benar ibunya Radit? Tidak! Tidak bisa! Wanita sebaik itu masa harus disandingkan dengan mereka sih!?
Gadis itu semakin memberontak tatkala Panji benar-benar menyeretnya pergi keluar dari kamar, "Nggak mau!!!" salah satu tangannya dia gunakan untuk mencengkeram kusen pintu kamar sebagai penahan, walaupun hal itu memang membuat lengan serta pergelangan tangannya kembali terasa sakit hingga membuat Panji berdecak kesal karena ulah gadis itu.
Laki-laki itu menghela nafasnya melepaskan genggaman tangannya, dia lalu berbalik berjalan mendekati Ara yang mencoba kabur darinya.
Padahal dia hanya ingin mengantarkan gadis itu pulang kerumahnya, tapi mengapa terasa sulit sekali?
"HUAAA!!! NGGAK MAU!!! CEPET TURUNIN ARA!!!" Panji menarik tangan Ara menggendongnya keluar kamar menuruni tangga dengan perlahan meski gadis itu terus memberontak padanya, dia bahkan menarik helaian rambut hitam milik laki-laki itu hingga kulit kepalanya terasa panas.
"Lu bisa diem nggak sih!?" keluh Panji, jika bukan karena perintah dari tantenya dia mungkin tidak akan berada di sini terjebak dengan gadis aneh seperti ini.
Padahal dia harus pergi karena memiliki urusan yang lebih penting, dia benar-benar harus segera menyelesaikan urusan disini dengan cepat agar dia bisa pergi dari sini. Mau bagaimanapun ini amanah dari tantenya, dia terkadang bingung terbuat dari apa hati wanita itu sampai-sampai dia mau untuk merawat gadis aneh seperti ini dengan cuma-cuma.
Lihat saja dia, walaupun tubuhnya dipenuhi oleh luka namun kenapa tenaganya masih begitu besar? Apa tidak sakit? Padahal banyak lukanya yang belum kering.
Kasihan?
Sedikit … tapi gadis itu terlalu keras kepala, atau mungkin dia yang salah?
"Turunin gue!!!"
"Oke …"
"AAAAAAA!!!!" reflek Ara memeluk Panji dengan sekuat yang dia bisa menggunakan kedua tangan serta kakinya tepat saat laki-laki itu melepaskan kedua tangannya yang sebelumnya menopang tubuh Ara. Bisa mati karena jatuh menggelinding dari atas tangga dia jika cengkeramannya benar-benar terlepas.
"HUAAAAA!!! NGGAK MAU!!!"
"ahk … mau lu apa sih!?" dengan perlahan dia menurunkan tubuh gadis itu yang memeluknya bagaikan koala, dia lalu mendudukkan dirinya pada anak tangga menatap kosong sudut ruangan yang nampak sepi karena hanya ada mereka berdua disana, wajahnya tampak lelah dan tak bersemangat.
"Kalau lu nggak mau pulang juga, lu bakal gue tinggal sendirian disini karena gue masih ada banyak urusan … atau lu mau pulang sendiri juga terserah lu … jadi lu mau pilih yang mana? Lu mau pulang sekarang? Atau lu masih mau disini?" pasrahnya, namun tak ada tanggapan sedikitpun dari gadis itu atas pertanyaan yang dilontarkannya.
Laki-laki itu kembali menghela nafas mendongak menatap Ara yang juga menatapnya dengan tatapan yang berbeda dari sebelumnya, gadis itu berdiri mematung ditempatnya.
"Hoy?"
"Kamu nangis?" pertanyaan itu sontak membuat Panji tersadar, ada setetes air bening yang meluncur keluar dari kelopak matanya.
Ara berjongkok menatap Panji bak seorang anak kecil, gadis itu mengulurkan tangannya mengusap cairan bening yang meluncur keluar begitu saja.
"Ah–" laki-laki itu menepis pelan kedua tangan Ara yang menyentuh wajahnya, dia bangun dari duduknya mengusap air matanya dengan kasar.
"Lu mau gue antar pulang atau nggak?"
Gadis itu masih terdiam di tempatnya menatap sosok yang kini sudah beranjak menuruni anak tangga.
"Gue tunggu di luar … sebelum itu ganti dulu perban lu … biasanya Tante nyimpan kotak obat di kamar atau dapur… luka lu berdarah … maaf tadi gue kasar … kalau ada apa-apa lu panggil gue di depan…" gumam Panji yang terdengar menggema membuat gadis itu tersadar akan luka pada tubuhnya.
...…...
...Anieee...
Oy
Lu kemana?
Di rumah lu kok nggak ada orang?
Lu nggak sekolah?
Lu sekarang dimana?
^^^Rumah^^^
Dicariin Kak Radit tuh
^^^Biarin^^^
Lu kenapa?
^^^Nggak ada^^^
Mau keluar?
^^^Nanti Ara kabarin lagi^^^
Gadis itu terdiam menatap langit-langit kamar, tidak ada siapapun dirumahnya. Hanya ada Bi Puput, salah satu ART dirumahnya yang semalam baru saja kembali setelah sebelumnya pulang kampung karena ada sanak saudaranya yang meninggal. Mungkin dia datang belum lama setelah Ara keluar.
Dan kini wanita paruh baya yang hampir menginjak kepala lima itu harus kembali disibukkan karena katanya Maya, Ibu dari gadis itu kembali masuk rumah sakit.
Ara tidak tau kejadian pastinya dia hanya tau gambaran singkat dari Bi Puput yang saat itu hendak pergi ke rumah sakit setelah memasakkan makanan untuknya pagi tadi, dan dia tidak terlalu ingin memikirkannya.
Dan entah kenapa dia malah lebih memikirkan perihal Panji yang tiba-tiba saja menangis di tangga, dia masih dapat mengingat dengan jelas ekspresi wajah laki-laki itu, raut wajahnya yang nampak sangat lelah, sendu, khawatir, gelisah dan semua hal itu benar-benar sangat menggangu dirinya.
"Kenapa ya? Rasanya nggak asing … ehm … nggak tau lah! Mending tidur aja! Badan gue sakit semua lagi gara-gara dia … besok gue izin nggak berangkat sekolah aja kali ya … cape juga … lagian besok juga hari minggu- eh? Ya libur lah ege!!! Gimana sih!? ah! Nggak tau lah! Gue pengen tidur!"
...…...
Malam ini ditengah gelapnya langit malam Ara berdiri mematung di atas jembatan seraya melihat hamparan langit penuh bintang dengan sepasang earphone menyumpal di telinganya. Ini hampir menunjukkan pukul sembilan malam namun dirumahnya masih juga tidak ada orang, sebenarnya sore tadi Bi Puput sempat pulang ke rumah untuk kembali memasakkan makanan untuknya, setelahnya dia kembali ke rumah sakit menemani Maya yang katanya harus dirawat inap selama beberapa hari ke depan.
Lalu dia sendiri?
Kenapa tak datang menjenguknya?
Banyak!
Ada banyak hal …
Meski begitu terkadang dia tetap datang jika terjadi sesuatu, mau bagaimanapun dia kan tetap ibunya.
Plakkk
"Ehm?" gadis itu berbalik saat merasakan ada seseorang yang menepuk pundaknya.
"Hah?" dia melihat Arya datang dalam keadaan masih mengenakan seragam sekolah yang nampak kusut serta kotor, lengkap dengan tas juga jaket yang dia sampirkan di pundaknya.
"Arya habis berantem?" terdapat beberapa luka lebam pada wajah laki-laki itu, sudut bibirnya pun terlihat robek dan mengeluarkan sedikit darah.
"Beliin gue makanan …" gumamnya yang tak dapat didengar jelas oleh Ara.
"Apa?"
"Ck! Lepas dulu headset lu!" kesal Arya menaikan beberapa oktaf suaranya, padahal untuk berbicara saja dia sudah cukup kesulitan akibat luka di bibirnya.
"Oh? Ihk ini bukan headset tau! Ini earphone!"
"Ck! Sama aja! Cepet beliin gue makanan sana!" dia kesal karena gadis itu malah mempermasalahkan hal yang tidak penting, lagi pula benda itu kan gunanya memang sama-sama untuk mendengar.
"Makan?" Arya mengusap wajahnya frustasi dia lupa jika wajahnya sudah dipenuhi luka lebam, membuat laki-laki itu meringis karena ulahnya sendiri.
"Apa sih? Udah tau muka bonyok kaya gitu … terus kamu belum pulang ya? Malah berantem sama orang …" refleks laki-laki itu langsung menjitak kening Ara hingga terdengar ringisan kecil dari gadis itu.
Dia sedikit kesal tapi dia juga tak bisa menghajar gadis didepannya itu, terlebih dengan luka-luka pada tubuh Ara yang bahkan lebih dari yang dia dapatkan saat ini, anehnya gadis itu malah masih bisa berkeliaran kemana-mana, entah dari mana juga dia sampai bisa mendapatkan luka sedemikian rupa.
"Sakit …" ringis Ara menggosok bagian keningnya yang terasa panas perih.
"B4c0t … beliin gue makanan cepet! Lu jadi babu nggak berbakat banget …" sinis Arya seraya menyisir rambutnya yang berantakan menggunakan jari-jemarinya.
"Iya-iya!!! Mana duitnya!?" laki-laki itu kemudian merogoh saku celananya mengambil selembar uang berwarna merah pada Ara, "Gue cuma ada itu, kalo kurang pake uang lu dulu …"
"Ye … ini sih malah lebih! Emang mau makan apa sih?"
"Terserah! Beli apa aja sana di minimarket … roti atau apa kek terserah lu …" dia merasa kesal karena Ara terus saja bertanya.
"Nggak sekalian beli obat mer-"
"Terserah lu mau beli apa!!!"
"Iya-iya!!! Orang Ara cuma nanya kok!!!"
"Iya udah cepetan sana …"
"Ihk! Nggak sabaran banget!"
Lima belas menit berlalu Ara kembali dengan menenteng kantung plastik berisi makanan serta minuman dan lainnya. Dia sedikit terkejut saat melihat Arya tengah bersandar menatap sungai dibawah jembatan sembari mengisap rokok seorang diri, padahal tampang laki-laki itu sama sekali tidak seperti seorang perokok, "Kamu ngerokok?" dia menoleh menyodorkan batang rokok ditangannya pada Ara, "Mau?"
Gadis itu menggeleng dengan kuat menolak hal tersebut, "Nggak! Nggak mau!" Arya menyunggingkan senyumnya terkekeh pelan melihat reaksi yang Ara berikan.
"Iya, lu nggak boleh ngerokok, kalaupun tadi lu beneran minta juga nggak bakal gue kasih," ucapnya seraya kembali menghisap rokok tersebut membuat Ara ingin sekali mendorong laki-laki itu dari atas jembatan. Sok sekali gayanya!!!
"Ini mak-uhuk uhuk …" Ara menutup lubang di hidungnya begitu asap rokok terhirup olehnya, dia benar-benar tidak menyukai asap rokok karena baginya itu cukup mengganggu.
Arya lantas terdiam, menatap sebatang rokok yang baru terbakar sedikit di tangannya dia lalu menginjaknya memadamkan rokok tersebut menggunakan kaki.
"Kok dimatiin? Kenapa?"
"Terserah gue," balasnya terlihat tak peduli, "sini makanannya …" lanjutnya mengulurkan tangan pada Ara membuat gadis itu memberikan kantong plastik yang dibawanya pada Arya.
"Ini kembaliannya …" ujar Ara mengeluarkan beberapa lembar uang dari saku celananya.
"Buat lu aja … lu nggak beli?" gadis itu menggeleng, "Nggak, beneran buat Ara?"
"Hmmm …" Gadis itu mengedikkan bahunya, "Ya udah, makasih …" menyimpan kembali lembar-lembar uang tersebut kedalam sakunya, lumayan buat jajan permen coklat, cilok, soto, juga siomay. Bisa kenyang dia di sekolah.
"Nih pegangin …" titah Arya mengulurkan kembali kantung plastiknya pada Ara sebelum membuka sebungkus roti ditangannya.
"Lukanya nggak mau di obatin? Ara tadi beli obat merah sama kapas …" "Lu yang obatin …" pintanya lagi.
"Ya udah madep sini-!" dia kemudian mendengus merasa kesulitan karena tubuh Arya lebih tinggi darinya.
"Duduk aja bisa nggak sih!? Ara liatnya susah!" protes gadis itu yang langsung dituruti oleh Arya, namun lagi-lagi dia mendengus karena Arya tidak bisa diam, "Bisa nanti aja nggak sih makannya!? Ara susah tau!!!"
"Laper!"
"Ihs! Ara nggak peduli-!!!" dia menarik roti juga botol minuman dari tangan laki-laki itu karena kesal, "Ck! Gue laper-"
"DIEM!!!" bentak Ara menarik dagu Arya agar tetap diam menghadapnya ke arahnya, membuat laki-laki itu hanya bisa melirik kan bola matanya ke arah lain karena wajah Ara terlalu dekat dengannya, dia bahkan bisa merasakan deru nafas gadis itu di wajahnya.
"Tadi nyuruh ngobatin! Giliran di obatin malah nggak bisa diem! Dasar berandal-!!!" gerutu Ara seraya menekan dengan sangat kapas ditangannya pada luka Arya.
'Uhk! Sialan!!!'
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 31 Episodes
Comments