Lagi

Bismillah.

Pemakaman opa Amran berjalan dengan lancar tak lama setelah pemakaman selesai air hujan turun untuk membasahi bumi di kota J.

Semua keluarga Amran sudah berkumpul di kediaman Amran, acara pemakaman untuk opa Amran sudah terlaksankan. Masih terlihat wajah para duka yang ditinggalkan orang tercinta.

Mereka berkumpul di ruang tamu ada juga yang pergi ke kamar mereka masing-masing.

"Bang, kita tidak boleh terus bersedih, kita harus menghibur oma dan yang lainnya." Ucap Azlam sambil menatap lurus ke depan.

Hujan masih turun menguyur kota J, kedua suadara kembar berwajah tampan itu sedang menenangkan diri mereka di kamar Azlam.

Athar yang tengah duduk didekat jendela sambil menatap hujan kini beralih menatap adik kembarnya.

Dia pikir ada benarnya juga yang dikatakan oleh Azlam, mereka tak boleh terus bersedih, mereka harus bisa menerima semua takdir yang sudah terjadi.

"Kamu benar Az, tapi aku penasaran, kenapa opa bisa pergi secepat ini? Selama ini opa selalu terlihat baik-baik saja di hadapan kita." Sahut Athar.

Hal itulah yang sedari tadi mengganggu pikiran saudara kembar Azlam.

"Kita akan cari tahu nanti bang, aku yakin cepat atau lambat kita akan menemukan jawabannya, setidaknya kita juga bisa bertanya pada bunda atau yang lainnya.

Athar mengangguk setuju, rasa sedih tentu saja masih menghampiri seluruh keluarga besar Amran.

Termasuk pak Joni dan ibu Kasih, sebagai besan dari almarhum opa Amran.

Tok

Tok

Tok

Saat Athar dan Azlam sedang asyik menenangkan pikiran mereka, suara ketukan dari pintu kamar Azlam, membuat kedunya tersadar dari lamunan dan kembali ke dunia nyata setelah mengobrol sejenak tadi.

Jika Athar dan Azlam boleh jujur, kepergian opa Amran sangat membuat keduanya begitu terpukul dan kepergian opa Amran untuk selama-lamanya begitu cepat bagi mereka berdua.

Tapi rasa sedih itu harus bisa disembunyikan, karena ada orang-orang yang mereka sayangi, lebih terpukul atas kepergian opa Amran, dari pada mereka berdua.

"Bang Athar, bang Azlam aku boleh masuk?" ucap orang dari luar.

Pemilik suara itu masih menunggu jawaban dari sang pemilik kamar, tadi Zira sudah ke kamar abang Athar nya, tapi ternyata tidak ada siapa-siapa disana.

"Masuk saja dek." Sahut Azlam, karena dia yang memiliki kamar.

Mendapatkan persetujuan dari sang pemilik kamar, Zira segera masuk.

"Bang." Ucapnya saat sudah berada di dalam.

Zira menatap kedua bangnya secara bergantian, netranya sudah berkaca-kaca.

Athar paling tidak bisa melihat adik bungusnya menangis, Athar segera bangkit dan menangkan Zira.

"Abang, hiks.....hiks....hiks...., Zira mau ketemu opa." Sedih Zira.

Zira menangis sejadi-jadinya dipelukan abang Athar nya, sesak sekali rasanya Athar dan Azlam melihat adik mereka begitu terpukul.

Azlam menepuk pundak adiknya pelan, "Yang sabar dek, kita tidak tahu takdir seorang." Kata Azlam.

Dia berusaha menenangkan adiknya, walaupun dia juga merasa hatinya begitu sesak, Zira hanya mampu mengangguk lemah.

"Tapi ini sangat cepat bang." Balas Zira.

"Jangan seperti ini dek, kasihan opa, beliau pasti tidak ingin melihat kita sedih." Athar pun ikut menenangkan Zira.

"Athar, Azlam, Zira, turun dulu dek, kak Ayu sama suaminya mau pulang."

Kepala Nafisa muncul dari balik pintu kamar Azlam, sebenarnya Nafisa sudah ada disana sedari tadi, tapi dia tak berani mengganggu adik-adiknya.

Ketiga orang itu menoleh ke pintu kamar Azlam, mereka hanya melihat kepala Nafisa saja, membuat ketiganya menyunging senyum.

'Syukurlah, setidaknya mereka masih bisa tersenyum.' Nafisa membalas senyum ketiga adiknya.

"Iya mbak." Sahut ketiganya kompak.

Keempat orang itu turu menuju lantai bawah menggunakan lift, semuanya diam membisu dari mereka tidak ada satupun yang ingin memulai pembicaraan termasuk Nafisa.

Masih bertanya-tanya di dalam kepala mereka semua kenapa suami kak Ayu mengajak kak Ayu pulang lebih cepat, padahal mereka masih berada dalam suasana duka. Lebih tepatnya lagi kak Ayu masih dalam kehilangan sosok yang begitu dia cintai. Cinta pertama kak Ayu sebelum bertemu suaminya bukan.

"Nggak bisa! Kenapa suami kak Ayu suruh pulang cepet! Kak Muklis tidak tahu perasaan kak Ayu atau bagaimana?" kesal Zira.

Di dalam lift bukan hanya Zira yang merasa kesal semua orang juga merasakan apa yang Zira rasakan. Hanya saja kekesalan Zira terhadap suami kak Ayu lebih mendominasi.

"Mbak kenapa sih kak Muklis suruh kak Ayu cepet-cepet pulang?"

Nafisa tersenyum pada adik bungsunya. "Kita dengar penjelasan suami kak Ayu di bawah ya."

Ting!

Pintu lift terbuka, di ruang tamu semua orang sudah berkumpul mereka berempat segera menghampiri semua orang yang berada di ruang tamu.

"Kak Ayu!" teriak Zira yang membuat semua orang menutup kuping mereka.

"Astagfirullah dek, jangan teriak-teriak!" tegur Athar.

Sayang sekali Zira tak mendengarkan ocehan Athar, dia bahkan langsung memeluk kak Ayu. Semua orang sudah berkumpul di ruang tamu, kak Ayu akan langsung menyampaikan niatnya, lebih tepatnya niat sang suami.

"Zira, Athar, Azlam kak Ayu pulang dulu ya." Pamit Ayu.

"Tapi kenapa cepat sekali kak? Bukankah kak Ayu masih bisa berada disini untuk beberapa hari kedepan?" ucap Athar sambil menatap tak suka suami kak Ayu.

"Athar jangan begitu nak." Tegur Jihan.

"Iya bunda Athar tau, tapikan kak Ayu tidak harus pegi secepat ini, opa baru saja pergi meninggalkan kita! sekarang suami kak Ayu mau bawa kak Ayu pulang egois!" emosi Athar.

"Aqlan Athar Amrullah! Jangan sopan santunmu! Ayah tidak pernah mengajarkan seperti itu." Tegur Radit.

"Mas." ucap Jihan sambil memegang tangan suaminya.

"Tapi apa yang dikatakan bang Athar benar ayah! Suami kak Ayu egois!" sahut Zira membela abangnya.

Sedangkan suami kak Ayu yang bernama Muklas hanya dia seribu bahasa.

"Zira Asyifa Amran! Kamu bisa jangan ucapanmu kan? yang sopan pada orang tua!" Sentak Radit.

"Mas istighfar." Peringat Jihan.

"Astagfirullah."

Athar dan Zira tidak lagi benari bersuara, keduanya masih ingi membantah ayah mereka, tapi tatapan Radit yang begitu tajam membuat mereka menduduk saja.

"Mama, mas Radit maaf jika saya sudah membuat kekacauan. Saya tahu keluarga ini masih berduka, begitu juga dengan saya atas kepergian mertua saya. Tapi saya mohon izinkan saya dan Ayu pulang, saya baru saja mendapatkan telepon dari ibu, kalau bapak jatuh sakit, sekarang beluai dilarikan ke rumah sakit." Jelas Muklas agar tidak ada kesalahan pahaman.

"Innalillahiwainnailaihirojiu'n." Ucap semua orang kompak.

Athar dan Zira menatap Muklis dengan perasaan bersalah mereka sudah mengira yang tidak-tidak.

"Maafkan kami kak Muklis." Ucap Athar yang diikuti oleh Zira.

"Tidak apa, saya maklum, mama, mas Radit mbak Jiha, semuanya izinkan kami pulang."

Semua orang mengangguk setuju, "Azlam, antar kak Ayu dan suaminya." Titah oma Rifa.

"Baik oma." Sahut Azlam patuh.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!