"Apa kau mencoba untuk kabur? Apakah semuanya tidak cukup untukmu sehingga kamu ingin mencari kenyamanan di luar? Kamarnya kurang bagus atau kurang empuk? Ruangannya panas, AC-nya rusak?"
Begitulah pertanyaan beruntun Azka saat memergoki Reyna yang hampir saja keluar rumah.
"Kenapa aku tidak melihatnya duduk di sofa sih, bagaimana bisa aku berani kabur hanya dengan memastikan kamarnya tertutup rapat." Reyna saat itu juga merutuki dirinya, karena bertindak gegabah.
Azka bersidekap dada menatap Reyna yang duduk tepat di depannya, seperti biasa jika takut dia akan menunduk tidak berani menatap lawan bicaranya. Reyna sudah seperti berada dalam ruang introgasi, keadaannya cukup menegangkan.
"Tidak ingin menjelaskan apa alasan kamu ingin keluar rumah?" Reyna tambah bingung, jika dia memberitahukan alasannya karena ingin menolong teman kerjanya apa Azka akan percaya.
"Saya hanya ingin menghirup udara malam," jawaban seadanya tentu saja tidak membuat Azka langsung percaya, masa iya menghirup udara harus ngendap-endap kayak maling begitu, yang ada Azka semakin curiga tapi ya sudahlah dia tidak ingin ikut campur lebih dalam lagi.
"Baiklah, saya harap kamu mengatakan yang sebenarnya. Sekarang, kamu boleh kembali!" Azka melanjutkan kegiatan kerjanya yang sempat tertunda tadi, sepertinya dia masih belum mau beranjak ke kamarnya. Reyna gregetan, tangannya sudah gatal pengen seret Azka menjauh dari ruang tengah.
"Tatapanmu membuat saya tidak nyaman," Azka memang melihat layar laptopnya tapi bisa tau Reyna tengah menatapnya intens. Reyna segera membuang muka dan berlalu pergi. Oke, misi menyelamatkan Lia gagal. It's okay masih ada hari esok untuk mencari tau.
.
.
Reyna bangun sangat pagi, sadar dirinya menumpang di sini jadi harus dibiasakan, tidak peduli dengan matanya yang menolak bangun Reyna memilih untuk cuci muka agar rasa kantuknya hilang. Hari masih gelap tapi jam di ponselnya menunjukkan pukul setengah enam.
Reyna bergegas ke dapur sebelum orang rumah bangun, kakinya masih lemas langkahnya tak beraturan, kepalanya masih pusing, tapi Reyna paksakan saja.
Suasana dapur kosong, keadaannya juga gelap. Reyna tidak begitu tau di mana letak saklar lampu.
"Bodo amat, masak dengan suasana gelap gak ada salahnya," Reyna menyalakan kompor, api di kompor tersebut setidaknya bisa sedikit menerangi apalagi saat Reyna buka kulkas, lampunya menjadikan dapur sedikit terang. Tangannya yang gesit mulai memotong sayur yang akan dia jadikan sup.
"Ahh sial, daging ayam habis. Pake daging sapi enak juga, tapi sisa sedikit. Nanti Farel makan pake apa?" Cukup lama Reyna berpikir sampai akhirnya dia memilih untuk membaginya saja, setengah untuk bahan sup dan sisanya untuk Farel. Lanjut, Reyna beralih pada telur rencananya sih mau buat telur dadar.
"Ini gak ada yang tau bahan makanan habis ya?" Reyna mendengus pelan kala melihat telur ayam sisa 2, mana cukup untuk porsi empat orang termasuk dirinya yang juga harus makan.
"Oh iya, telur ini akan aku campur dengan sedikit tepung agar kelihatan banyak," Reyna menjentikkan jarinya, bangga dengan kualitas otaknya yang masih di bawah standar namun berhasil mengeluarkan ide yang begitu hebat.
"Kau bangun sepagi ini?"
"Ehh, hah?" Reyna hampir saja melempar pisau ke arah Azka yang datang tiba-tiba dan mengejutkannya. Lelaki itu kini berdiri di samping Reyna.
"Jika kamu memasak dalam keadaan gelap begini, bisa saja Mama memukulmu dengan gagang sapu karena mengira jika kamu adalah pencuri," Azka terkekeh pelan, tangannya bergerak menekan saklar lampu yang berada tepat di dekat kulkas, Reyna ngedumel gak jelas. Bagaimana bisa dia tidak melihatnya, mungkin karena efek bangun tidur.
"Butuh bantuan?" tawar Azka saat melihat Reyna yang kesusahan membuka toples isi garam, sebenarnya tutup toples tidak sekuat itu, bukan juga karena Reyna ingin cari perhatian tapi karena Azka yang menatapnya dari tadi membuat Reyna grogi melanjutkan aktivitas nya.
"Terima kasih." Azka mengangguk lalu pergi, Reyna bisa bernafas lega mengelus dadanya yang berdetak tak karuan jika berada dekat seperti itu dengan Azka.
"Apa aku punya penyakit jantung?"
Untuk kesekian kali, Reyna berhasil mendapatkan hati Wati. Dia sangat menyukai masakan Reyna, tak jarang dia memuji kelezatan dalam setiap racikannga, Wati heran kenapa dia tidak bisa memasak seenak ini, dia jadi teringat saat mendiang suaminya masih ada, lelaki itu tidak pernah membantah bagaimanapun rasa masakan istrinya di saat Azka yang mengeluh tidak mau sarapan karena masakannya sangat asin.
Setelah Azka berangkat kerja, tinggallah mereka bertiga di rumah, Reyna memilih menemani Farel bermain di kamarnya karena hari ini hujan deras memungkinkan untuk tidak berkeliaran di luar rumah walaupun Farel sempat merengek mau mandi hujan sambil bermain.
"Ekhem, boleh Oma masuk?" Suara di pintu menbuat Reyna menoleh dan melempar senyum canggung. Farel tidak mendengar karena sibuk dengan mainan robot canggih yang bisa berubah bentuk.
Wati duduk tepat di samping Reyna, wanita paruh baya itu menyadari kegugupan Reyna.
"Apa aku mengganggu kalian?"
"Sama sekali tidak Nyonya--"
"Panggil Ibu saja." Reyna mengangguk pelan.
"Jadi begini Reyna, aduh bagaimana cara mengatakannya ya. Jika kamu bersedia, maukah kamu mengajariku memasak, mungkin agak sedikit memalukan aku mengatakan ini tapi--" Reyna diam menunggu. "Aku hanya ingin menjadi berguna untuk Azka dan Farel, selama ini aku sama sekali tidak pandai dalam memasak, tetapi mendiang suamiku tidak pernah mempermasalahkan itu, aku jadi merasa bersalah karenanya, sungguh aku bukan istri yang baik," Wati menunduk jika kembali mengingat bagaimana susahnya mereka saat kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja, di sanalah kesetiaan Wati diuji. Mereka pernah ada di posisi paling bawah sekali, disebabkan perusahaan Papa Azka bangkrut karena suatu hal yang membuat Wati dan Azka menyimpan dendam kepada pelakunya. Lantas apa kaitannya dengan memasak? Wati yang sudah terbiasa dan terlena hidup mewah dari semenjak menikah dengan Rizal (Papa Azka) membuatnya lalai dalam melakukan pekerjaan rumah seperti beres-beres rumah, termasuk memasak juga. Wati menyarankan sebaiknya mempekerjakan ART saja agar kerjaan jadi lebih mudah dan usulannya tersebut disetujui oleh suaminya. Sehari-hari tugas rumah selalu dikerjakan oleh ART tanpa campur tangan Wati, dia hanya sibuk berkeliaran pergi ke rumah temannya dengan alasan arisan lah, reunian kampus lah, pesta ulang tahun lah, yah kurang lebih begitu. Sampai tiba waktu di mana mereka berada di ambang kehancuran, makanan pun hanya seadanya saja. Wati yang tak pandai memasak jadi mubazir makanan karena tidak ada yang mampu menghabiskan makanan buatannya.
Sekelebat bayang-bayang memori dahulu membuat Wati merasa berdosa pada suami dan anaknya, untuk sekarang semoga dia bisa menebusnya. Wati mendongak menatap Reyna yang sepertinya tampak berpikir.
.
.
"Bu, potong bawangnga jangan terlalu tebal karena nanti akan mempengaruhi rasanya, lebih baik dipotong tipis saja."
"Tapi ini sudah tipis, mau setipis apa lagi?" Setipis kesabaranmu Bu. Reyna tersenyum teduh, diajarin bukannya nurut malah protes. Reyna hanya bisa mengulum senyum dan senantiasa bersabar.
Wati beralih memotong tomat, seperti arahan Reyna agar memotong tipis lagi tapi hasilnya sama saja.
"Memotong itu susah, bagaimana jika tanganku tergores pisau." Ahh ternyata itu masalahnya, Wati takut tangannya terluka.
"Jika hati-hati akan baik-baik saja Bu. Ibu hanya perlu memegang gagang pisau ini dan objeknya seperti ini," kesabaran Reyna setebal isi dompet Azka, dia berhasil memberikan arahan pada Wati dan kabar baiknya itu berhasil, Wati cukup puas dengan kerja kerasanya sampai gak sadar dia mengusap matanya bekas potong bawang, alhasil dia berterika kepanasan.
Cukup lama Reyna mengajarinya, sekarang waktunya menguji coba masakan Wati dengan Reyna sebagai pencicip dan Wati yang memasak. Udah kayak acara Master chef aja.
Mulai dari yang sederhana saja, Wati ingin memasak omelet telur. Sudah tau takaran garam berapa sendok serta cara membuatnya Wati benar-benar paham, tinggal uji coba.
Wati menghidangkan omelet yang sudah jadi di meja makan, bentuknya agak berantakan tapi Reyna tak mempermasalahkan itu siapa tau rasanya bisa membuktikan bahwa bentuk takkan mengubah rasa.
Saat Reyna akan memakannya, reaksi Wati sungguh berlebihan, dia berteriak heboh takut akan gagal. Reyna diam, bagaimana dia akan menikmati rasanya jika Wati terus saja berteriak seperti orang gila.
"Reyna, tolong jangan katakan apa pun, aku tidak ingin mendengarnya. Apa garamnya kebanyakan? Tidak, tidak, jangan katakan itu. Apakah enak?" Reyna menghela nafas pasrah, Wati bertingkah seperti anak kecil.
"Ibu masukin gula berapa sendok?" tanya Reyna lembut. Bukankah dia sudah bilang membuat omelet tidak pakai gula.
"Huh, syukurlah jika omeletnya tidak asin. Tadi aku tidak sengaja memasukkan garam setengah sendok makan, ya sudah pake gula saja biar gak asin banget, tapi enak kan?" Wati harap-harap cemas.
"Terlalu manis dan juga asin campur jadi satu, tapi teksturnya enak hanya kelebihan takaran gula dan garamnya saja," Reyna segera meneguk segelas air.
"Ternyata memasak punya aturan juga," Wati menelungkupkan wajahnya.
"Ibu sebaiknya ikut kursus memasak saja agar dapat pengetahuan yang lebih baik lagi, saya dulu pernah ikut." Wati mengangkat sedikit wajahnya, saran Reyna gak ada salahnya juga, siapa tau dia akan menjadi ahli setelahnya. Wati mengangguk dengan senyum sumringah. Dia membuka internet, mencari tempat kursus memasak terdekat yang beroperasi hari ini, detik ini juga.
"Aku sudah dapat lokasinya, kamu dan Farel harus ikut serta," Wati berlari ke kamarnya untuk bersiap-siap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments
Mulyanthie Agustin Rachmawatie
hmm....seru juga ngajarin mak lampir eh udah berubah jadi lbih baik yaa....
2023-10-08
1