Reyna sampai di Kafetaria tepat jam 7, sampai di sana bukannya membalas sapaan ramah dari Ana malah nyelonong masuk membuat Ana sedikit bingung tapi tidak terlalu mempermasalahkannya karena dia fikir mungkin Reyna tidak melihatnya saat itu. Reyna seperti ini bukan tanpa alasan, dia tengah buru-buru mencari Lia, iya Lia. Perempuan itu tidak kelihatan sama sekali padahal biasanya dia akan stay di depan mengelap meja sebelum para pelanggan menyerbu meja kosong. Reyna coba cari ke belakang tempat cuci piring tapi tetap tidak ada, sampai dia tidak sengaja bertemu dengan Andi sang Manajer, mereka berdua berpapasan saat Andi kebetulan keluar dari ruangannya dan Reyna kembali dari belakang. Terjadi kontak mata selama 15 detik, Andi yang memutus kontak itu terlebih dulu lalu melenggang pergi, Reyna langsung merasa aneh melihat lelaki yang notabennya adalah atasannya itu.
Karena tidak menemukan Lia di mana pun, Reyna memutuskan untuk bertanya pada Ana, semoga saja Ana mengetahui nya agar dia bisa berfikir dengan jernih dan hatinya menjadi sedikit tenang. Lia memang bukan saudara ataupun sahabat Reyna, tapi entah kenapa saat melihat Lia timbul rasa ingin melindungi perempuan itu seperti ada perasaan jika Lia dalam bahaya dan harus dilindungi, apalagi setelah kejadian kemarin semakin menguatkan tekad Reyna.
"Ana, apa Lia tidak masuk hari ini?" pertanyaan Reyna membuat yang lain sontak menoleh dan menjadi tertarik untuk mendengarnya, karena gak biasanya Lia absen kerja padahal dia yang paling rajin di antara semuanya. Ana hanya menggeleng dan menyerahkan ponselnya pada Reyna, di sana ada sebuah pesan yang Reyna duga dari Lia. Di sana Lia menulis bahwa hari ini dia izin tidak masuk kerja karena kakinya terkilir dan harus segera ke tukang urut, jika menundanya malah akan semakin parah. Reyna merenggut khawatir, sudah ia kira jika Lia akan separah itu, lihat saja kemarin kakinya sampai bengkak dan memerah.
"Kamu tau alamat Lia?" tanya Reyna lagi.
"Selama kami bekerja bersama kami tidak pernah berkunjung ke rumah masing-masing, kamu tau lah kami semua sama-sama sibuk jadi gak ada waktu buat saling mengunjungi," jelas Ana terlihat tidak peduli lalu kembali lagi dengan aktivitasnya menghitung uang receh di mesin kasir.
"Lia kenapa?" tanya Dodi yang dari tadi hanya menyimak pembicaraan.
"Kakinya terkilir kemarin dan katanya harus segera diperiksa," jawab Reyna lalu pergi ke belakang untuk ganti baju.
Selama bekerja lagi-lagi pikiran Reyna tertuju pada Lia, sampai panggilan demi panggilan dari Ana tidak satu pun dia hiraukan.
"Reyna, fokus! Jika kamu terus terusan seperti ini, pelanggan akan mengamuk karena telat mendapatkan pesanannya," gerutu Ana sembari sibuk menghitung kembalian uang pelanggan.
"Maaf Ana, aku terlalu berlebihan memikirkan Lia karena aku sendiri yang menyaksikan kejadian itu kemarin," sesal Reyna seraya menunduk.
"It's okay Reyna, perasaan khawatir itu wajar tapi kamu juga harus memikirkan diri kamu sendiri juga. Sebaiknya kamu istirahat, biar aku saja yang handle," ujar Ana. Ana sangat baik dan perhatian bahkan dia rela kerja ekstra demi menggantikannya, tapi tidak! Reyna tidak akan seperti itu. Jika Ana mengambil alih tugasnya lantas siapa yang akan menjaga kasir?, Reyna bahkan tidak gesit seperti Ana ketika menghitung uang, malah akan memperlambat dan semakin membuat pelanggan naik darah.
"Terima kasih atas niat baik kamu Ana, aku akan istirahat setelah makan siang saja biar kita semua adil," ucap Reyna. Ana menautkan alisnya lalu mengangguk paham. Yah, setidaknya dia tidak akan kerja ekstra hari ini.
Reyna menyandarkan punggungnya pada kursi, sudah istirahat makan siang jadi dia memutuskan untuk duduk di kursi melepas penat, seperti biasa dia akan bekerja ekstra. Ana menyodorkan satu kaleng cola kepada Reyna. Reyna menatao sejenak kemudian mengambilnya tak lupa juga mengucapkan terima kasih.
Hening sesata di antara mereka, tidak ada yang membuka suara.
"Reyna!"
"Ana!"
Mereka berdua saling pandang kemudian tertawa.
"Kamu duluan saja."
"Tidak-tidak, kamu saja Ana."
"Tidak terlalu penting, jadi kamu saja yang duluan."
"Aku juga sama, tidak penting. Duluan saja." Ya udah gak usah pada ngomong sekalian.
Ana menghela nafas sebentar sebelum mengeluarkan kalimat yang sukses membuat Reyna heran sekaligus bingung.
"Reyna, sebaiknya kamu jangan terlalu ikut campur dengan masalah Lia, dan aku harap kamu tidak menyelidiki nya lebih dalam lagi," ucap Ana diselingi dengan senyuman yang seolah-olah dia baru saja mengatakan kalimat bahagia padahal tidak sama sekali. Reyna mengerutkan dahinya, ada yang aneh di sini tapi apa? Entah Ana yang tau sesuatu atau dia yang terlalu ikut campur?
"Apa maksudmu Ana? Bukankah kita sesama manusia harus saling membantu dan menjaga, lantas kenapa kamu seolah-olah melarangku untuk mengetahui sesuatu?"
"Well, aku hanya ingin mengingatkanmu Na, karena terlalu ikut campur itu bisa saja membahayakan nyawa kamu."
Reyna menggeleng pelan, kalimat demi kalimat Ana berputar di otaknya, otak kecil nya berusaha mencari-cari jawaban atas semua itu, tapi entah mungkin karena otaknya yang lemot atau karena banyak pikiran makanya Reyna sulit menjawab semuanya dengan hanya bermodalkan insting.
"Sudahlah Na, jangan terlalu dipikirkan nanti kamu bisa sakit. Ingat saja pesanku kali ini. Istirahat makan siang sudah habis, waktunya kembali bekerja." Ana melenggang pergi menuju tempat biasanya, sementara Reyna masih duduk di kursi memandang punggung Ana yang semakin menjauh.
"Ada yang aneh, tapi apa?" Reyna mengedikkan bahunya acuh, bohong jika dia sudah tidak khawatir lagi dia hanya ingin menetralisirkan pikirannya sejenak.
"Reyna bawakan kopi dan cake tiramisu ini ke meja nomor 11, cepatlah mereka sudah memesan lama!" Reyna yang tengah berbincang dengan pelanggan segera berjalan cepat untuk mengambil pesanan itu, tanpa sengaja Reyna menabrak Rizky yang entah kapan berdiri di sana. Reyna langsung terduduk di lantai, Rizky menatap Reyna sejenak kemudian mengulurkan tangannya untuk membantunya berdiri, Reyna meraih tangan Rizky, jujur kakinya sakit saat ini akibat terbentur dengan lantai keramik. Setelah berdiri, Rizky berbisik tepat di telinganya. "Jangan ikut campur!!" Kalimat itu terdengan tegas dan sedikit memaksa, maksudnya apa? Reyna tidak boleh ikut campur dalam masalah apa? Reyna menatap Rizky yang juga menatapnya balik, pemuda itu tersenyum ramah seolah-olah tidak terjadi apa-apa tadi, namun Reyna tidak bisa tertipu dengan wajah teduh itu.
Akhirnya istirahat kedua, Reyna kembali duduk di kursi dekat jendela sambil mengolesi betadine di lututnya yang sedikit tergores saat insiden tadi, tidak terlalu parah tapi sukses membuat Reyna meringis kesakitan saat cairan betadine mulai mengaliri luka nya.
"Seharusnya luka itu dikompres dulu." Suara berat mengalihkan atensi Reyna. Rizky berdiri dengan membawa kain dan nampan berisi air hangat.
"Tidak perlu, ini hanya luka kecil. Pakai hansaplast juga akan sembuh besok," jawab Reyna. Telinga Rizky seolah ditutup, tanpa menghiraukan ucapan Reyna, Rizky langsung berlutut di depan Reyna dan dengan telaten mulai membersihkan betadine yang masih basah, padahal kegores sedikit saja kenapa harus pakai dikompres segala?
Reyna meringis saat kain hangat itu menempel tepat di lututnya. Rizky menatap Reyna, netra mereka bertemu namun Reyna segera membuang pandangannya.
"Maaf, ini semua salahku. Jika saja aku tidak berdiri di depanmu mungkin insiden ini tidak akan terjadi," ujar Rizky lirih lalu kembali mengompres luka Reyna.
"Tenang saja, aku tidak menyalahkanmu. Lagipula itu sudah berlalu dan sudah kejadian, gak ada gunannya marah dan dendam," kekeh Reyna.
"Wihh ada drama gratis nih, Ana cepat siapkan popcorn kita streaming drama," teriak Dodi yang habjs dari toilet. Ana terkekeh pelan kemudian menghampiri rekan-rekannya.
"Sudah mendingan?" tanya Ana.
"Kalian terlalu berlebihan, ini tidak terlalu parah."
"Tetap saja yang namanya luka pasti sakit, walau sekecil apa pun."
"Baiklah, lukamu sudah ku obati," Rizky sudah selesai kemudian berdiri hendak membawa nampan dan kain tadi ke belakang.
"Terima kasih Rizky." Rizky mengangguk lalu melenggang pergi.
Untuk yang kedua kalinya, Reyna lagi yang meninggalkan Kafe paling akhir, bedanya kemarin dia sama Lia tapi sekarang hanya sendiri, agak merinding juga sih tapi kan dia harus menyelesaikan tugasnya dulu. Tadinya sih Ana yang punya tugas tapi katanya Ibu nya telpon suruh balik, sementara Dodi katanya dia ada kencan dengan seseorang, kalau Rizky? Pemuda itu sungguh misterius, Reyna sampai nggak ngerti bagaimana bisa Rizky bisa muncul dan menghilang begitu saja.
Karena sudah selesai, cepat-cepat Reyna keluar dari Kafe karena dari tadi perasaannya sudah tidak enak, seperti ada yang mengintip nya. Jangan lupakan jika Reyna itu takut dengan hal yang berbau horor dan sekarang pikirannya sedang tertuju pada hal itu. Tiba-tiba di depan pintu, Reyna bertemu dengan Rizky yang sudah berdiri seperti patung di sana. Kan, sudah Reyna bilang pemuda ini sangat suka hilang dan muncul, hampir saja Reyna menabrak tubuh tingginya jika saja dia tidak ngerem dengan baik. Reyna mengelus dadanya kaget, kemudian menghela nafas pelan.
"Rizky, bisa nggak sih jangan suka muncuk tiba-tiba begini bikin orang jantungan saja," gerutu Reyna. Rizky tak menjawab hanya melemparkan tatapan datar ke Reyna.
"Kenapa belum pulang?" tanya Rizky.
"Ini mau pulang, tadi habis cuci sisa piring kotor di belakang. Kamu sendiri kenapa masih di sini?, aku kira sudah balik."
"Benar, aku memang sudah pulang tadi, aku balik lagi karena ingin memastikan kamu sudah pulang atau belum. Ayo ku antar, ini sudah malam gak baik perempuan jalan sendiri," Rizky menarik lengan Reyna dengan cepat kemudian berjalan berdua menyusuri jalan di tengah kegelapan malam. Sapira sudah pulang lebih dulu karena shift nya sampai sore dan dia juga ada kencan dengan pacarnya.
Di antara mereka tidak ada percakapan di sepanjang perjalanan, hanya bunyi langkah kaki yang mendominasi malam itu.
"Kau sepeduli itu ya sama Lia?"
"Maksudnya? Emang salah aku peduli sama orang lain?"
"Memang tidak salah, hanya saja jangan terlalu berlebihan dan sok ingin tau tentang semuanya, bisa saja kamu juga akan terlibat," ucap Rizky. Reyna menautkan aliasnya, gak salah lagi, memang ada sesuatu di atas semua ini. Hanya Reyna saja yang tidak tau masalahnya.
"Aku masih belum mengerti, kenapa bisa kamu berkata seperti itu bukankah kalian sudah lama bekerja bareng seharusnya kalian bisa dong merasakan masalah apa yang dirasakannya bukan malah menutup mata dan telinga kalian," nada suara Reyna sedikit meninggi. Rizky tersenyum remeh. Setelah itu tidak ada percakapan lagi, malah Rizky menggantung pertanyaan Reyna.
Mereka sudah sampai di depan kontrakan Reyna tepat pada pukul 10 malam.
"Terima kasih karena sudah mengantarku, kamu gak masalah jika harus jalan kaki pulang dari sini, bukannya jarak rumah kamu jauh ya?"
"Tidak apa-apa. Tidur yang nyenyak. Kunci pintu dan jendelamu dan cepatlah tidur," setelah mengatakan itu Rizky hilang ditelan kegelapan. Reyna mengusap tengkuknya, kok jadi merinding ya denger ucapan Rizky tadi, seakan dia tau apa yang akan terjadi jika saja Reyna teledor lupa mengunci pintu. Reyna melirik sekelilingnya, tidak ada manusia satu pun hanya gelap karena seluruh lampu rumah warga mati jika malam begini. Reyna memutuskan untuk segera masuk, apa sebaiknya dia menghubungi Sapira mengajaknya menginap malam ini? Tidak-tidak Sapira pasti sudah tidur sekarang, dan Reyna juga tidak mau merepotkannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments