Berada di dalam situasi seperti ini sungguh bukan keinginan semua orang, melihat orang yang kita sayang terbaring tak berdaya di dalam sebuah ruangan yang sesak penuh dengan alat medis membuat hati siapa pun yang melihatnya akan terasa sesak, mereka pasti turut merasakan penderitaan yang sama.
Wati tidak bisa berdiam diri, dia terus saja mondar mandir di depan ruang IGD, Wati sempat memberontak ingin memaksa masuk namun berhasil dihalangi oleh perawat dan juga dokter, sekarang hatinya tidak tenang, sebelum melihat kondisi putranya secara langsung dia masih belum bisa rileks.
Semenjak sampai di rumah sakit, Farel sudah menangis meraung-raung memanggil sang Ayah, Reyna dapat merasakan bagaimana sakitnya berada di posisi Farel melihat keadaan orang tua satu-satunya sedang berjuang antara hidup dan mati karena menurut penjelasan dokter tadi, kondisi Azka sangat fatal akibat benturan keras di kepalanya, dan pecahan kaca menempel tepat di keningnya yang menyebabkannya kehilangan banyak sekali darah, tapi untungnya golongan darah Azka tidak susah dicari dan masih ada beberasa sisa kantonh darah yang tersedia di rumah sakit ini jadi setidaknya keluarga pasien bisa bernafas lega, namun satu hal yang masih sangat mengkhawatirkan, akibat benturan itu kemungkinan besar Azka akan mengalami gegar otak dan kemungkinan kecilnya Azka mengalami hematoma. Reyna mendongak mendengar ulasan dari sang dokter, semua yang disebutkan adalah penyakit yang cukup berbahaya, bagaimana dia akan menjelaskannya pada Farel jika anak itu mendesaknya nanti.
Cukup lama mereka menunggu sampai akhirnya yang ditunggu-tunggu keluar juga. Dokter dengan green scrubs keluar ruangan yang menandakan bahwa telah selesai dengan operasinya. Dokter dengan nametag Zico memandang Reyna dan Wati secara bergantian.
Wati berhambur mengerubungi sang dokter untuk meminta penjelasan lebih lanjut karena merasa belum puas dengan teori tadi yang mengatakan Azka akan mengalami gegar otak atau bisa jadi juga hematoma.
"Bagaimana kondisi anak saya? Semua yang dokter bilang itu tidak akan terjadi, anak saya baik-baik saja 'kan? Jawab, Dok! Azka sekarang sudah siuman, iya 'kan?" Pertanyaan beruntun membuat dokter Zico tidak bisa menjawab.
"Maaf, Bu. Satu-satu dulu, saya bingung mau jawab yang mana," Dokter Zico cukup ramah dan sopan.
"Jangan bercanda!! Saya hanya ingin tau kondisi putra saya," Wati merasa kesal sampai membentak hingga membuat sang dokter terdiam dan mengatup bibirnya rapat-rapat, emak-emak selalu benar jadi jangan main-main.
"Mari ke ruangan saya, akan saya jelaskan secara detai di sana." Wati hendak menolak karena menjawab semua pertanyaannya tidak harus masuk ruangannya, namun ada Reyna yang selalu menenangkan Wati agar wanita paruh baya itu menurut saja siapa tau hal ini juga penting dan termasuk dalam tata cara penyembuhan Azka.
Mereka bertiga masuk ke ruangan dokter Zico, Wati duduk tepat hadapannya, dia sudah tidak sabar untuk mendengarkan apa yang akan disampaikan oleh Zico, secara raut wajahnya seakan menggambarkan sesuatu yang tidak baik-baik saja, itu sama saja artinya dengan kabar buruk kan?
"Bisa saya bicara sekarang?"
"Silahkan, dok! Saya sudah siap dengan kemungkinan yang akan terjadi." Iya, Wati memang sudah siap tapi Reyna tidak begitu juga dengan Farel yang langsung menyembunyikan wajah imutnya di ceruk leher Reyna.
.
.
"Jadi, pasien atas nama Azka menderita gegar otak setelah benturan keras yang terjadi, tapi tenang saja hanya gegar otak ringan dapat disembuhkan dengan cepat dan cukup mudah juga."
"Kapan anak saya bisa siuman, dok?"
"Pasien masih dalam masa kritis, mungkin tiga hari ke depan, tetapi kami tidak bisa menetapkannya, akan kami pastikan kembali setelah tiga hari."
"Bolehkah saya melihatnya sebentar saja?"
"Hmm tentu saja, tapi jangan terlalu lama."
Wati mendapat kesempatan untuk masuk ke ruangan tempat Azka sekarang, anak kecil tidak diperbolehkan masuk jadi Reyna memilih untuk di luar saja menemani Farel walaupun dia sempat berontak karena terus memaksa ingin masuk, Reyna menenangkan Farel dengan mengajaknya berkeliling di sekitaran rumah sakit.
Syaratnya, Wati harus menggunakan baju green scrubs dan waktunya sangat terbatas, hanya sekedar melihat tidak diperkenankan untuk menyentuh atau mengajak pasian bicara. Ini aturan yang sangat gila, Wati mau protes tapi gak jadi demi melihat Azka.
Wati mulai masuk dengan hati yang bergetar, dia tidak tega melihat Azka yang terbaring lemah di atas brankar dengan banyaknya alat medis memenuhi anggota tubuhnya, Wati tidak kuat, pemandangan seperti ini membawanya pada masa lalu di mana suaminya juga sama nasibya dengan Azka, Wati tidak ingin kejadian yang sama terulang lagi, sudah cukup sang suami yang pergi meninggalkannya jangan Azka.
"Waktunya hanya 5 menit ya, Bu. Karena pasien butuh istirahat banyak. Jangan banyak berinteraksi juga dengan pasien."
"Kan saya tidak mengajaknya berjoget, biarkan saya berlama-lama dengan anak saya, sudah sana suster keluar saja!"
"Maaf, Bu. Tapi ini ketentuan dari dokter, pasien butuh istirahat selama masa kritisnya, seharusnya saat ini tidak ada jam berkunjung dan tidak boleh ada yang masuk ruangan ini karena bisa mengganggu waktu pemulihan pasien."
"Lahh, situ kenapa gak dilarang masuk juga? Suster kan bukan orang tua pasien, kok lancang sekali masuk ruangan orang, tau gak jika kehadiran suster juga mengganggu waktu pemulihannya, itu sama saja suster mengganggu waktu istirahatnya, saya orang tuanya jadi berhak untuk melihat bagaimana kondisinya." Bukannya nurut, Wati malah ajak suster tersebut adu mulut. Suster nya mulai jengkel, baru kali ini nemu orang keras kepala, dibilangin malah ngelawan ya sudah lah kembali lagi pada kata kunci emak-emak selalu benar.
"Seperti yang sudah ditetapkan, waktu Ibu lima menit tidak boleh lebih ataupun melebihkan, pas lima menit Ibu bisa langsung keluar," suster tersebut menyunggingkan senyum manis namun terkesan dipaksakan lalu melenggang keluar.
Puas mengajak Farel keliling, Reyna memutuskan untuk kembali menemui Wati mungkin saja dia sudah selesai dengan sesi berkunjung nya.
Untuk sampai ke ruang IGD, mereka harus melewati lorong yang panjangnya 10 meter ke Barat. Di perjalanan, Reyna tidak sengaja melihat teman lamanya yakni Lia sedang tergesa-gesa entah mau kemana. Niat Reyna untuk menyusul Wati seketika hilang, saat ini tujuannya ingin menghampiri Lia karena sudah lumayan lama mereka tidak bertukar kabar. Reyna mengajak Farel berlari kecil untuk mengikuti Lia, namun sayangnya Reyna kehilangan jejak.
"Mungkin Lia masuk di salah satu ruangan di sini, tapi yang mana?" Satu persatu ruangan Reyna terawangi siapa tau bisa melihat Lia tapi gorden di pintu semuanya tertutup itu artinya semua ruangan sedang digunakan saat ini. Reyna memilih untuk menunggu saja, siapa tau dalam salah satu ruangan ini ada Lia.
Farel sih oke-oke aja, dia gak protes sama sekali karena diajak nongki di depan ruangan orang.
Cukup lama menunggu, penantian Reyna ternyata tidak sia-sia. Tebakannya benar, Lia ada di salah satu ruangan itu tapi jarak dari tempat Reyna duduk sedikit jauh membuatnya tidak sempat menjangkau Lia. Lagi dan lagi Lia tampak buru-buru keluar, Reyna hendak memanggilnya namun Lia sudah duluan pergi. Reyna ingin tau sebenarnya Lia sakit apa sampai datang ke rumah sakit besar ini.
"Hah, spesialis kandungan? Buat apa Lia masuk ke sini? Masa iya Lia mau periksa kandungan, dia kan belum nikah?" Reyna menggaruk keningnya, menebak belum tentu benar tapi mau bertanya orangnya sudah hilang.
"Aku tanya lain kali saja," Reyna kasian juga liat Farel yang selalu murung dari tadi, mungkin dia rindu dengan Ayahnya.
"Ibu akan pulang sekarang?" Reyna bingung saat melihat Wati sudah akan bertolak pulang.
"Mau gimana lagi, jengukin aja gak boleh apalagi nginep, emang kamu mau tidur di luar?" Wati menghela nafas pasrah, dia juga sebenarnya enggan meninggalkan rumah sakit ini, kasihan juga sama Azka sendirian dalam ruang rawat yang gelap dan dingin itu.
"Benar juga. Jadi, Tuan Azka tinggal sendirian di sini?"
"Nggak, banyak kok. Di sini ada suster dan dokter yang siap jaga dari pagi sampai malam khusus untuk Azka." Reyna bisa bernafas lega.
"Aku gak mau pulang, mau temenin Ayah," Reyna mendengar isakan kecil yang membuatnya terenyuh.
"Farel tenang saja, besok kita kesini lagi, pokoknya kapan pun Farel mau Oma akan temenin begitu juga dengan Reyna, iya sayang yah. Sekarang ayo kita pulang." Untuk pertama kalinya, Farel nurut sama Wati, dia yang biasanya selalu berontak dan gak mau dengan Wati kini berubah 360 derajat, Farel jadi lebih penurut.
Reyna berbalik menatap pintu kaca yang bertuliskan IGD di atasnya, Reyna tidak menyangka jika Azka akan berakhir di sini, padahal dia sudah janji akan membawa Farel jalan-jalan dan membelikan apa pun yang dia mau.
"Aku harap, ini kali pertama dan terakhir kamu ingkar janji dengan Farel, Tuan Azka." Reyna memeluk tubuhnya sendiri karena udara dingin tiba-tiba menyelimuti, mungkin karena sebentar lagi malam.
"Aku akan datang lagi besok, aku janji!"
.
.
Malam ini terasa sepi tanpa Azka, Reyna bisa merasakan nya, malamnya terasa hampa tanpa senyuman duda tampan itu, biasanya setelah makan malam Azka akan membantunya membereskan bekas makan mereka, sekedar bagi tugas karena Azka paham pasti Reyna capek melakukannya sendiri.
Mata Reyna mengembun, rasanya sakit sekali.
Kenapa denganku, kenapa aku seperti ini?
Yang ditahan akhirnya keluar juga, kristal bening itu meluncur begitu saja tanpa seizin Reyna.
Reyna menatap kursi yang biasa Azka duduki kini kosong tanpa penghuni, ini baru semalam bagaimana dengan malam yang selanjutnya, apa Reyna akan terbiasa. Reyna hanya bisa berdoa semoga Azka segera diberikan kesembuhan totak tanpa cedera sedikit pun, agar dia biaa melakukan aktivitasnya sehari-hari lagi.
Usai membereskan semuanya sendiri, Reyna segera ke kamarnya. Dia berhenti sejenak di anak tangga ke-4, Reyna menatap ruang tengah yang juga biasanya Azka tempati untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Cepatlah sembuh, rumah ini sepi tanpa kehadiranmu.
Reyna berhenti lagi di depan kamar Azka, pintunya tertutup rapat. Niat ingin masuk langsung dia urungkan, karena tindakannya ini termasuk lancang, Reyna hanya boleh masuk jika sudah mendapatkan izin dari pemiliknya langsung, selain itu tidak boleh dan tidak diperkenankan melanggar. Reyna menghela nafasnya pelan, sebelum menuju kamar terlebih dulu Reyna ingin memeriksa Farel.
"Farel, kok belum tidur? Tadi katanya ngantuk?" Reyna mendekati ranjang, Farel seperti tak menghiraukan panggilan dan kedatangannya, pandangannya kosong dan terus fokus ke depan.
"Farel, kamu baik-baik saja?" Hening, tidak ada sahutan apa pun darinya, hanya suara deru nafas yang tersenggal-senggal namun bukan itu yang menjadi masalahnya.
"Kita do'a sama-sama ya, semoga Ayah cepat sembuh dan bisa berkumpul bareng Farel, Bunda, dan Oma juga." Di umurnya yang baru saja menginjak 4 tahun, Farel sudah merasakan artinya kehilangan sosok Ibu kandung yang telah melahirkan nya, dan sekarang di umur nya yang baru 5 tahun dia juga harus berjuang untuk menguatkan dirinya saat sang Ayah terbaring lemah di rumah sakit, Farel sangat berharap kejadian yang sama takkan terulang lagi, bagaimana bisa dia berdiri dengan kedua kakinya lagi jika dunianya saja sudah meninggalkannya sendiri di sini.
"Apakah nasib Ayah akan sama dengan Bunda dulu? Apa Ayah akan ditanam juga seperti Bunda?" (Udah ya, capek buat Farel cadel, gak terlalu paham juga hehe. Karena Farel sudah umur 5 tahun jadi lidahnya sedikit panjang gak cadel lagi. Jangan protes ya).
Reyna terkesiap dengan pertanyaan Farel yang tak terduga ini, bagaimana bisa anak umur segini paham dengan sistem tanam menanam, yah walaupun sebagian besar tau lah maksudnya tetapi menurut Reyna, Farel tuh tipe anak yang tertutup dan jarang interaksi, jadi untuk hal seperti itu dia tidak akan paham kecuali Azka sendiri yang menceritakan padanya.
"Shuttt, Farel gak boleh ngomong gitu, do'akan Ayah yang terbaik aja," Reyna mencium pucuk kepala Farel dan mengajaknya tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments