Sehari setelah hari kunjungan ke Kafe.
Azka sedang mengadakan meeting dengan rekan kerjanya dari luar kota yang berencana tinggal di kota ini selama satu minggu untuk merencanakan pembangun usaha baru yang bekerja sama dengan Perusahaan Azka. Farel dijaga oleh Rudy, gak biasanya Farel merengek seperti ini, padahal dia selalu nurut jika ditinggal Azka rapat, gak mungkin juga kan dibawa ke ruangan rapat bisa-bisa gak fokus ntar.
Farel lari kesana kemari membuat Rudy juga ikut berlari mengejarnya, Farel sepertinya sudah hafal tata letak ruangan di Perusahaan Ayahnya, buktinya dia bisa menemukan ruangan rapat Azka, kebetulan tidak dikunci Farel nyelonong masuk membuat Rudy ketar ketir.
'Tercium bau-bau potong gaji nih---' Suara hati Rudy.
Seluruh pasang mata mengarah ke arah pintu. Azka merutuk lupa kunci pintu soalnya gak ada prediksi sama sekali, Azka mengusap wajahnya kasar rapatnya jadi terpotong. Semua kliennya menatap Azka bingung namun ada juga yang terganggu, mau marah tapi takut nanti Azka tidak mau menginvestasikan sahamnya lagi ke perusahaan miliknya.
"Rapat kita lanjutkan setelah jam makan siang. Sekarang kalian boleh istirahat." Semuanya mendesah pelan dan segera membereskan berkas-berkasnya dan keluar melalui pintu yang lain. Azka menatap Farel yang mulai menangis dan terduduk di lantai.
"Kenapa hmm?" Azka mengangkat tubuh putra kesayangannya dan mendudukkannya di kursi rapat lalu Azka berjongkok agar bisa melihat wajah Farel dengan jelas.
"Mau ketemu Bunda," rengek Farel, tangisnya pecah seketika. Azka memejamkan matanya, wanita itu lagi gumamnya pelan. Apa istimewa nya sih dia sampai-sampai Farel seperti ini?
"Farel, ada satu hal yang harus kamu tau. Wanita itu bukan Bunda, Bunda sudah tenang di sisi Tuhan jadi Ayah mohon sama kamu berhenti menyebutnya seperti itu, pada dasarnya juga dia tidak mengenal kita," ucap Azka seraya mengusap kepala Farel berharap bocah 4 tahun ini bisa memahaminya. Farel diam sejenak, mencerna perkataan Ayahnya. Kosakata orang dewasa sungguh membingungkan sehingga otak Farel gak nyampe ke sana.
"Gak mau, mau ketemu Bunda pokoknya," Farel kembali merengek setelah menjeda tangisannya tadi.
"Farel sudah Ayah bilanh dia bukan Bunda kamu!" Azka sedikit meninggikan nada suaranya membuat Farel langsung terdiam, baru pertama kali ini Azka berbicara seperti itu pada Farel biasanya selalu lembut. Azka melakukan ini karena terpaksa juga supaya Farel sadar jika Reyna bukan Bundanya, mana tega dia membentak Farel. Tapi, bukannya diam malah makin kencang nangisnya sampai sesenggukan dan keinginan ketemu Reyna semakin kuat. Sudah lah, Azka angkat tangan saja jika sudah masalah begini, Farel kalo mau A harus dapat yang A gak mau yang B, C ataupun D sungguh keras kepala sama seperti Ayahnya.
Azka melirik Rudy yang setia berdiri di ambang pintu, karena jika belum dipersilahkan masuk dia gak akan masuk, Rudy asisten yang penurut gak salah Azka memilihnya.
"Bawa Farel ke Kafe! Selesai rapat saya akan menyusul," ucapnya datar dijawab anggukan oleh Rudy kemudian menggendong anak atasannya itu ke mobil. Tak bisa dipungkiri raut wajah Farel yang tadinya sedih jadi ceria kembali, mendengar kata Kafe saja ia sudah membayangkan bagaimana saat dia bertemu dengan Reyna yang dia anggap Bunda.
"Anak aneh," gumam Azka merutuki putranya. Setelah sadar dia langsung menyentil mulut tak ada akhlak itu karena sudah berani mengatai putra kesayangannya.
"Bukankah anda ini asistennya Azka? Apakah ada sesuatu yang tertinggal di sini? Di mana Azka?" cecar Andi saat melihat kedatangan Rudy dengan mobil warna hitam terparkir di depan Kafe, kebetulan Andi sedang menerima telpon jadi dia berdiri di luar.
"Tuan Azka tidak ikut, beliau hanya menyuruh saya untuk mengantar tuan muda Farel ke sini," jawab Rudy ramah lalu izin pamit masuk ke dalam Kafe. Andi mengernyit, perasaan dia gak pernah meminta Farel untuk dibawa ke Kafe deh?
"Bunda!!!"
"Ee-ehh?" Reyna hampir oleng kala Farel dengan sigap memeluk kakinya, untung saja gak jatuh. Kebetulan pelanggan hari ini tidak terlalu ramai jadi para pegawainya bisa bersantai sedikit.
"Bunda, gendong." Farel merentangkan tangannya minta digendong, Ana sudah senyam-senyum gak jelas, dia suka banget sama anak kecil, kalo lihat anak kecil pengen dia cekik saking gemesnya.
Reyna membawa Farel ke dalam gendongannya, bocah 4 tahun itu memeluk erat leher Reyna. Rudy diam-diam memotret dan mem-videokan mereka untuk dikirimkan ke Azka karena memang dia yang nyuruh. Rudy duduk di salah satu kursi untuk memantau Farel dan Reyna yang tengah bermain bersama, Ana ngebet banget pengen ikutan tapi sadar dia masih harus menghitung kembalian uang pelanggan.
"Permisi Pak, jika anda duduk di sini harus memesan sesuatu," ucap Dodi sambil membawa buku menu menghampiri Rudy yang matanya fokus ke arah Reyna dan Farel.
"Apa iya? Saya hanya numpang sebentar, habis itu pergi," jawab Rudy tanpa sedikitpun menatap lawan bicaranya.
"Baiklah, sekarang anda bisa pergi. Karena masih banyak pelanggan yang membutuhkan kursi kosong."
"Kalau begitu, kamu tolong ambilkan saya kursi untuk saya duduk di sini!" titahnya jengkel, Dodi cerewet sekali.
"Maaf pak, tugas saya hanya mencatat dan mengantar pesanan bukan mengambil kursi," Dodi masih setia dengan senyum manisnya yang tak pernah luntur.
"Saya bukan pelanggan, saya asisten pemilik Kafe ini," Rudy menarik sudut bibirnya membentuk senyum smirk, ala-ala orang sombong.
"Maaf sekali lagi Pak, saya tidak pernah bertanya tentang jabatan anda, yang saya butuhkan sekarang adalah kursi yang anda duduku. Pergi atau pesanlah sesuatu." Rudy benar-benar jengkel sekarang.
"Kamu bisa saya laporin ke atasan kamu karena telah mengusir asisten pemilik Kafe ini," ancam Rudy dengan nada tegas.
"Baik, laporkan saja. Saya juga bisa laporkan Bapak karena mengganggu ketenangan pelanggan di sini," bukannya takut malah balik mengancam. Oke, Rudy menyerah. Segera ia berdiri dari kursi besi itu dan menendangya sekilas lalu pergi ke ruangan Andi.
"Dasar orang gila, bilang aja gak punya uang susah banget," ejek Dodi lalu kembali ke aktivitasnya menulis pesanan pelanggan.
Azka sedang berada di Kantornya, melihat isi WhatsApp kiriman dari Rudy. Sudut bibir Azka melengkung ke atas menampilkan sebuah senyuman saat menatap sebuah foto yang menampilkan Farel yang begitu akrab dengan wanita yang pernah dicurigainya sebagai penculik. Azka menggeser layar ponselnya dan menemukan sebuah video pendek berdurasi 30 detik. Di video tersebut, Farel terlihat sangat bahagia sekali, tawanya lepas, sesekali dia memeluk Reyna seakan tak ingin lepas dari wanita itu. Untuk kesekian kalinya Azka penasaran, siapa sebenarnya Reyna mengapa Farel begitu ingin selalu dekat dengannya?, bukankah sebelum bertemu dengannya Farel anteng-anteng saja bersamanya, lalu kenapa sejak bertemu dengannya, Farel selalu memikirkannya bahkan sering sekali mengigau dalam tidurnya memanggil 'Bunda'.
"Aku pikir wanita itu tidak ada mirip-miripnya dengan Stella, bahkan sedikitpun tidak ada, atau mataku yang mulai rabun karena terlalu lama berkutat dengan layar komputer? Tidak juga, orang lain seperti Andi dan Rudy saja tidak pernah menyinggung pasal kemiripan Stella dengan wanita itu, sepertinya mata Farel yang bermasalah, aku harus segera membawanya ke dokter mata nanti setelah selesai rapat," ucap Azka yakin.
"Ayah!!!" Farel dengan semangat menyambut kedatangan Ayahnya di Kafe, bukan tanpa alasan Farel seperti ini. Dia menyambut Azka karena paperbag misterius yang dibawa Ayahnya, Farel itu tipe orang yang penasaran dan ge-er, apapun yang dibawa Azka entah itu plastik atau paperbag berisi alat-alat dapur sekalipun pasti Farel yang maju paling depan untuk melihatnya.
"Ayah bawa apa?" Farel hendak merebut paperbag itu namun Azka dengan gesit menghindari tangan nakal Farel.
"Ayah akan berikan ini pada Farel asal mau ikut Ayah sekarang," ucap Azka yang tentu saja dijawab anggukan mantan dari Farel, soalnya rasa penasarannya lebih besar dari pada syarat yang tak ia ketahui sama sekali, gak peduli juga asal barang di dalam paperbag itu jadi miliknya.
"Eits janji dulu, soalnya kamu suka ingkarin janji," Azka menyodorkan jari kelingkingnya dan menarik kelingking kecil Farel kemudian menautkannya. Setelah yakin dengan semuanya, Azka menyerahkan paperbag itu, wajah sumringah Farel tidak bisa disembunyikan, dia langsung berlari ke arah Reyna dengan riang.
"Tuan Azka tidak mau minum dulu gitu? Kopi atau teh?" tawar Ana sopan, lebih tepatnya cuma mau cari perhatian Azka siapa tau dia naik gaji soalnya rekannya yang lain gak ada yang berani nyapa, takut salah ngomong.
Azka melirik Ana sekilas lalu memperbaiki posisinya, yang awalnya jongkok menjadi berdiri.
"Tidak usah, saya hanya sebentar di sini," Azka berlalu pergi ke ruangan Andi tempat nongkrong mereka sambil gibahin anak kampung sebelah.
Farel dibiarkan puas-puas dulu memainkan mainan baru yang dibelikannya bersama Reyna setelah itu baru dia bawa ke dokter mata, siapa tau ada yang salah dengan mata Farel.
Azka melirik jam tangannya, sudah pukul 3 siang. Satu jam lagi shift temannya yang bekerja di rumah sakit sebagai spesialis mata akan berakhir, Azka bergegas keluar untuk menemui Farel. Ternyata anak itu tertidur di pangkuan Reyna setelah lelah bermain dan berlarian kesana kemarin. Reyna menunduk saat Azka melangkah mendekatinya, rasanya masih trauma dengan pertemuan pertama mereka.
"Biar saya saya yang menggendongnya. Sebelumnya terima kasih," ucap Azka setelah Farel sudah berada dalam gendongannya.
"Terima kasih buat apa?" tanya Reyna bingung.
"Saya rasa untuk semuanya, dan maaf karena kesalah pahaman seminggu yang lalu, saya harap Farel tidak merepotkanmu selama ini, tenang saja mulai hari ini dan seterusnya kamu tidak akan bertemu Farel lagi," Azka melenggang pergi menuju mobil diikuti Rudy di belakangnya. Reyna menatap nya dengan tatapan sendu, entah kenapa saat Azka bilang dia tidak akan bertemu dengan Farel lagi untuk ke depannya, rasanya tidak ikhlas dan tidak rela jika harus berpisah dengan Farel, padahal sudah jelas-jelas dia bukan apa-apanya Farel apakah pantas dia berharap untuk bertemu lagi? Entah kenapa bila berada dekat dengan Farel hati Reyna jadi tenang walaupun awalnya risih ditempelin mulu padahal gak kenal sama sekali, tapi lama kelamaan mulai terbiasa bahkan sampai nyaman hingga saat ini.
"Reyna, kamu nangis?" Ana menepuk bahu Reyna membuat gadis itu melonjak dan segera mengusap matanya yang mulai mengeluarkan bulir bening berharganya.
"Nggak, aku gak nangis," bohongnya. Ana tau pasti jika Reyna menangis hanya saja dia tidak mau terlalu mengintrogasi gadis itu takut nanti Reyna tersinggung jika ia teru saja bertanya.
Reyna sudah menceritakan semuanya pada Ana, mulai dari awal pertemuannya dengan Farel yang tanpa sengaja hingga saat ini.
"Ya udah, istirahat sana pasti capek ngurusin Farel dari tadi." Reyna mengangguk mengiyakan, memilih menuju ruang ganti untuk merebahkan tubuhnya sejenak, capek juga gendong Farel yang badannya berisi untuk ukuran anak usia 4 tahun, tapi gak apa-apa Reyna seneng kok bisa menghabiskan waktu dengan Farel meskipun harus potong gaji besok karena ngasuh anak di jam kerjanya. Mungkin karena terlalu capek, Reyna sampai tertidur di ruang ganti.
"Bukannya jalan menuju perusahaan sebelah kiri Tuan, atau saya yang salah menghafal jalan?" tanya Rudy yang heran akibat Azka main terobos aja gak ada belok beloknya.
"Saya mau bawa Farel ke dokter mata," jawabnya singkat.
"Tuan muda Farel sakit mata? Minus berapa?" Rudy jelas kaget dong, gak nyangka dong anak seaktif Farel punya masalah dengan penglihatannya.
"Saya hanya ingin memeriksa mata Farel saja, mungkin ada yang salah dengan kornea nya sampai-sampai dia mengira perempuan itu adalah Bunda nya jelas-jelas perbedaannya jauh banget. Kamu pernah lihat istri saya kan sebelumnya?" tanya Azka serius. Rudy mengangguk ragu.
"Nah, maka dari itu ini semua perlu diliruskan agar Farel berhenti membayangi perempuan itu," jelas Azka seraya terus mengemudikan mobilnya dengan kecepatan maksimal, kebetulan letak rumah sakitnya agak jauh dari Kafe maka harus ngebut sedikit biar bisa tepat waktu.
......................
"Bagaimana Egy? Farel punya masalah yang serius dengan indra penglihatannya?" tanya Azka setelah dokter Egy selesai mengecek mata Farel.
"Tidak ada, mata Farel baik-baik saja bahkan jauh dari kata sakit. Memangnya gejala serius apa yang terjadi pada Farel sehingga membuatmu sampai membawanya ke sini?" tanya Egy ingin mengetahui masalah dari akarnya. Azka menggigiti bibir bawahnya, enggan sekali untuk memberi tau Egy bisa-bisa nanti dia diketawain karena alasannya yang aneh.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin mengecek kondisi mata Farel sejak dini, agar kedepannya aku bisa membatasi gadget untuknya," jelas Azka beralasan.
"Tapi bukankah kamu tidak pernah membiarkan Farel bermain gadget? Kau bahkan melarang keras jika Farel menyentuh benda itu," Agy menautkan alisnya, alasan Azka sangat klasik.
"Heyy Egy, kau dokter spesialis mata terkenal di kota ini, takkan kau tidak tau bukan hanya gadget penyebab minus bagi anak kecil, ada beberapa macam sebab, kelilipan pasir misalnya." Egy memutar bola matanya kesal. "Kelilipan pasir gak sampai membuat mata minus Azka, kalo kelilipan linggis nah baru tuh menyebabkan minus. Bukan hanya itu, kau juga bisa buta permanen bahkan meninggal dalam sekejap jika linggis itu mencongkel bola matamu dengan paksa," terang Egy secara detail. Azka tertawa kikuk. "Yah kurang lebih seperti itu lah. Baiklah jika Farel baik-baik saja aku akan membawanya pulang."
"Betul sekali, memang sebaiknya kau pulang dan shift ku seharusnya sudah habis dari satu jam yang lalu tapi kau datang memaksa dan merengek menganggap ini darurat padahal tidak terjadi apa pun dengan putramu, huh untung saja aku masih bisa sabar jika tidak sudah aku tenggelamkan kau di samudra Hindia," gerutu Egy kemudian membereskan alat medisnya dan bersiap untuk pulang, yang di omelin hanya memasang senyum tanpa dosa.
Azka mengangkat tubuh Farel dari brankar, anak itu sedang santai makan permen malah diganggu alhasil dia menangis keras. Capek. Azka harus menenangkannya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 105 Episodes
Comments