Part 17 Hari Yang Buruk

Setelah selesai mandi, kupakai baju tidurku. Mataku tak sengaja melirik ke arah jendela kamar. Rupanya langit sudah gelap. Hah! Kenapa aku selalu mempunyai kenangan buruk dengan ventilasi ruangan itu.

Baik di apartemen maupun rumah ini, rasanya seperti terkena kutukan jahat. Berkali-kali menghadapi situasi menegangkan, dan bodohnya semua terjadi karna ulahku sendiri.

Kurebahkan tubuhku ke atas tempat tidur. Sudah lama sekali aku tak menginap di sini. Tapi ruangan ini sama sekali tak berubah. Kecuali barang-barang yang berantakan karna ulah Richard.

Sudahlah biarkan saja. Besok baru akan kubenahi lagi. Hari ini aku benar-benar lelah. Tiba-tiba ponselku berdering. Rupanya dari Jason.

“Halo, Jas. Apa kabar? Mengapa kau meneleponku?” tanyaku pada Jason, sambil menatap langit-langit kamarku.

“Halo, Ainsley. Kabarku baik. Bagaimana keadaanmu? Apakah kau sudah merasa lebih baik? Dimana kau saat ini? Sudah sampai di rumahmu? Kau sudah makan malam?” tanya Jason terus-menerus. Hah! Sudah kuduga. Aku diserang pertanyaan yang bertubi-tubi.

“Aku sudah sampai di rumah Jason. Maaf aku sangat lelah karna perjalanan jauh ini. Sudah dulu ya, kita sambung lain kali.” Kumatikan telepon dari Jason. Aku tahu, niatnya baik mencemaskan diriku. Tapi, aku tak perlu semua itu. Hanya akan membuatku kembali berharap dan menumbuhkan imajinasiku bisa bersanding dengannya.

Ponselku kembali berdering. Sepertinya Jason tak terima teleponnya kumatikan begitu saja. Aku menolak panggilannya berkali-kali. Tapi mengapa dia tetap gigih meneleponku? Apa yang sebenarnya dia pikirkan? Diriku hanya bisa menghela napas panjang, merasakan dadaku yang semakin sesak karna ulah Jason ini.

Akhirnya ponsel ini kumatikan. Aku beranjak dari tempat tidur dan meletakkannya di dalam lemari pakaian. Kepalaku seperti berputar-putar. Mungkin aku terlalu lelah dalam perjalanan tadi. Kurasa diriku perlu tidur lebih awal.

Begitu mendekati tempat tidur, badanku ambruk lemas. Kutarik selimut untuk menutupi sebagian tubuhku. Hanya bagian dada ke atas saja yang tak kututup. Aku mulai memejamkan mata. Tapi pikiranku seperti benang kusut yang sedang menyangkut di antara ranting-ranting pohon yang kering.

Aku mencoba membalikkan badan ke kanan dan kiri. Berharap menemukan posisi tidur yang nyaman. Tapi hasilnya nihil. Aku tetap tak bisa tidur. Mataku terbuka lebar sekarang.

Apa yang harus kulakukan?! Kulirik kanan dan kiriku dengan penuh kekesalan karna tak berhasil tidur. Sebaiknya aku turun dan meminum susu. Setelah kenyang, mungkin saja tidurku bisa nyenyak.

Begitu pintu kamar kubuka, aku melihat Richard sudah berdiri di depanku. Kuputar bola mataku dan kembali menutup pintuku dengan malas. Tapi dia menahannya agar tetap terbuka.

“Apa maumu?!” tanyaku sinis.

“Minggir, aku ingin meminjam sesuatu,” jawab Richard datar, sambil menggeser tubuhku yang menghalangi jalannya.

“Hei! Kau tidak boleh memasuki kamarku sembarangan! Lagi pula apa yang ingin kau pinjam?!” sergahku, sambil menarik lengannya dengan cukup keras. Kini Richard tertarik ke belakang tepat di sampingku.

Richard menepis cengkeramanku, dan langsung mengambil charger ponselku. Saat dia akan keluar dari kamarku, aku mendorong dadanya dengan kasar hingga dirinya sedikit terhuyung ke belakang.

“Ainsley! Aku hanya ingin meminjam charger milikmu! Kenapa kau begitu kasar padaku?!” tanya Richard dengan jengkel.

“Aku harus berkata berapa kali supaya kau paham! Jika ingin meminjam harus sopan! Dasar Gembul!” bentakku pada Richard. Sepertinya dia tak main-main dengan kemarahannya. Tatapan mata itu sangat menakutkan.

“Baik! Aku pinjam charger ini Kak!” bentaknya sambil menatapku dengan tajam. Dia mendekat ke arahku dengan langkah kaki yang mantap dan berwibawa. Urgh! Kenapa Richard bisa sekeren ini? Setelah jaraknya lumayan dekat denganku, ekspresi wajahnya berubah dengan cepat. Alisnya bertaut. “Ainsley, kau kenapa? Mengapa lehermu banyak sekali bekas luka, seperti terkena goresan benda tajam? Apa kau-“

“Aku tidak apa-apa!” bentakku, menghentikan ucapan Richard. Aku langsung menutupi bekas lukaku dengan kedua tangan. Sepertinya aku sudah teledor dengan hal ini. Mestinya aku tahu, setelah mandi, pasti make up yang menutupi luka di leherku akan terlihat jelas.

“Ainsley, cobalah jujur padaku. Aku memang tak senang kau berada di sekitarku, maka dari itu diriku terus membuat masalah denganmu. Tapi, jika ada yang berani menyentuh dan menyakiti Saudariku, aku tidak akan tinggal diam,” tukas Richard. Ada apa dengan bocah ini? Dia menjadi sangat perhatian tentang diriku yang terluka.

“Sudah kubilang aku tidak apa-apa! Keluar kau dari kamarku!”

“Ainsley! Kau Kakak Sepupuku. Wajar jika aku mengkhawatirkanmu! Kenapa kau menyembunyikan semuanya dari kami. Nenek, mamah, dan aku adalah keluargamu. Jadi kau-"

“Tak perlu kujelaskan satu-satu padamu alasannya. Yang jelas aku tak ingin membuat nenek dilanda sedih yang tak berkesudahan. Kau sudah paham, bukan? Jadi keluar dari kamarku!" bentakku, menyergah Richard dengan cepat.

Richard berjalan keluar dari kamarku dengan langkah yang cepat. Walaupun begitu, alisnya masih saja bertaut saat pergi melewatiku. Sebaiknya aku menutup bekas luka ini agar tak menimbulkan banyak masalah.

Aku menggunakan make up tipis untuk menutupi bekas lukaku ini. Beberapa detik kemudian, suara tetesan air menimpa genting rumahku. Aku melirik kaca jendela. Ternyata memang gerimis. Lama-kelamaan rintik kecil itu, berubah menjadi guyuran air dalam jumlah yang banyak.

Sepertinya hujan akan turun dengan begitu deras. Sebaiknya aku cepat turun ke bawah dan mengambil susu.

Aku melenggang dengan santai menuruni tangga. Setelah kulihat di ruang keluarga, ternyata mereka bertiga masih menonton acara televisi bersama. Aku berjalan dengan cepat mengambil susu dari dalam lemari es dan segera kembali ke kamarku. Begitu menginjak anak tangga yang ketiga, nenek memanggilku.

“Ainsley. Kenapa kau cepat-cepat kembali ke kamarmu? Lebih baik kita makan malam bersama dulu.” Sepertinya memang tak bisa menghindar dari berkumpul bersama. Satu meja dengan Richard, hanya menimbulkan percikan emosiku saja.

“Ah? Aku sangat lelah Nek, kepalaku terasa berputar-putar. Aku pikir, lebih baik jika beristirahat lebih dulu. Aku bisa makan tengah malam nanti,” ujarku sambil menatap ke bawah. Kakiku terasa gatal ingin segera berlari ke kamar. Aku malas menatap wajah Richard bila mengingat kejadian tadi.

“Biarkan Ainsley tidur, Nek. Mungkin dia harus menenangkan diri dari hal yang membuatnya berpikir keras,” sahut Richard. Kenapa anak itu?! Mengapa dia menyindirku seperti ini? Heh! Aku malas bertengkar dengannya.

“Richard apa maksud-"

“Sudah dulu ya, semua. Aku benar-benar pening karna perjalanan jauh tadi," aku memotong kalimat nenek dengan segera. Kemudian diriku berjalan ke atas tanpa melihat ke arah mereka bertiga.

“Ainsley? Apa kau benar-benar sakit? Aku akan membelikanmu obat, ya?” bibi bertanya padaku ketika diriku hampir mencapai ujung tangga ini.

Aku berhenti sejenak untuk menjawab bibi. “Tak perlu, Bi. Aku sudah mempunyai obat yang bisa meredakan sakitku ini.”

Semuanya terdiam ketika aku menjawab pertanyaan terakhir itu. Suara derasnya air hujan memenuhi rumah ini.

Kusibakkan rambut panjangku yang selalu mengarah ke depan. Yah, itu terjadi karna diriku berjalan dengan kepala agak menunduk. Kuraba leher ini dengan hati-hati. Aku tak merasakan adanya bekas goresan. Syukurlah, teknik menutup lukaku dengan make up ini membuatnya tak terlihat.

Begitu memasuki kamar, aku menutup pintu dengan cepat dan menguncinya. Kuletakkan susu kotak kecil di atas meja belajarku. Kemudian aku beralih menuju meja rias untuk menghapus make up di leherku ini.

Aku menatap cermin agar mudah membersihkan make up. Ternyata menatap kaca seperti ini membuat fokus mataku buyar. Baru kali ini dia mengatakan alasannya terus menggangguku, ternyata sepupuku sebal melihat aku ada di sekitarnya. Lagi pula, ada apa dengan dirinya?! Aku juga tak suka bertemu dengannya.

Dia sebal padaku, tapi kenapa mengkhawatirkan keadaanku saat melihat bekas luka ini? Hah, aku tak mengerti jalan pikiran Richard. Tapi memang inilah sikap yang harus ditunjukkan dengan saudaranya, ketika salah satu dari kami ada yang terluka.

Sejujurnya aku pun, tak terima ketika dulu ada anak yang berani menghina Richard dengan sebutan si gembul jelek. Walaupun dia tergolong anak yang jahil, tapi dirinya sangat pengecut dengan orang lain. Tak kusangka saudaraku ini berubah drastis saat dewasa.

Kini akulah yang menjadi pengecut bila berhadapan dengan orang yang menindasku. Aku mengerjapkan mata berkali-kali dan tersadar dari lamunan ini. Ternyata sedari tadi, aku hanya menghapus make up di sisi kiri leherku saja, sedangkan sebelah kanannya tak kusentuh sama sekali.

Aku menyengir pada diriku sendiri di depan cermin. “Payah! Hanya karna melamun jadi seperti ini,” gerutuku. Sambil membersihkan sisi kanan leher yang belum kusentuh.

Selesai membersihkan semua make up di leherku, aku merebahkan diriku di tempat tidur. Tiba-tiba saja perutku berbunyi cukup keras. Rasa lapar membuatku beranjak dari kasurku ini. Padahal rasanya malas sekali untuk bangun.

Kuambil susu kotak siap minum itu dari atas meja belajarku. Aku merosot duduk ke lantai, untuk menikmatinya.

Entah kenapa, rasa dingin lantai bisa membuat hatiku lebih tenang. Aku meneguk susu sampai habis dan membuangnya di keranjang sampah kecil yang tak jauh dari tempatku duduk.

Aku beranjak dari lantai menuju kamar mandi untuk membersihkan gigi dan mencuci muka. Selesai melakukan rutinitas malam ini, aku melenggang keluar dari kamar mandi dengan malas.

Kuhempaskan tubuhku ke tempat tidur. Aku mendarat dengan tengkurap dan wajahku mencium empuknya tumpukan bantal ini. Rasanya lelah sekali melewati hari yang membuat emosiku terus meledak.

Begitu membalikkan badan, aku menatap langit-langit kamarku. Tiba-tiba saja aku teringat pada Ricky Shawn. Bagaimana keadaannya sekarang, ya? Senyumannya begitu membuatku rindu.

Lalu bagaimana dengan pria menyebalkan itu? Pasti dia akan kecewa karna aku tak ada di apartemen. Membayangkan Leonard Dale dengan wajah yang penuh dengan kekesalan, membuatku tersenyum puas. Semoga saja begitu pulang ke Amerika, diriku tak bertemu dengannya lagi.

Perutku sudah terisi. Kini rasa lelah yang mulai menyerang tubuhku. Aku menarik selimut sampai menutupi dadaku. Kumatikan lampu tidur yang berada di meja, samping tempat tidurku. Kupejamkan mata untuk mulai tidur. Perlahan kesadaranku menghilang dan akhirnya lenyap.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!