Jason mengantarku sampai di depan asrama. Saat aku turun, semua orang memandangiku dengan sinis dan berbisik-bisik. "Hah, masalah lagi ..." ujarku pelan, sambil mencengkeram jidatku yang sudah berdenyut-denyut melihat kerumunan mahasiswa itu.
Memang sebagai makhluk yang masih memiliki nyawa, setiap langkahnya akan selalu diuji oleh Tuhan. Tujuannya, agar kita lebih mensyukuri nikmat hidup ini.
Inilah yang kupelajari dari setiap masalah yang kualami. Baiklah, aku akan mempersiapkan mentalku, untuk tantangan yang akan kuhadapi selanjutnya. Aku berbalik, menghadap ke arah Jason. Dia membuka kaca mobilnya dan tersenyum padaku.
“Terima kasih untuk hari ini, Jas." Tanpa izin, senyumanku mengembang untuknya. Sebenarnya hatiku agak ragu bersikap seperti itu padanya.
“Sama-sama, Ainsley. Jaga dirimu baik-baik. Sepertinya penghuni asrama ini kurang bersahabat denganmu,” ejek Jason. Dia tersenyum geli menatap para mahasiswa yang melihatku.
“Hahaha, kau memang pintar menilai seseorang, Jas. Sudah pulanglah, jangan membuatku tertawa geli mendengar ejekanmu itu. Wajah konyolmu sangat buruk bagi penglihatanku," sindirku.
Baru kali ini, aku bisa tertawa lepas dengannya lagi setelah dihantam banyak masalah. Jason kini berulah kembali. Derum mobilnya, membuat semakin banyak orang yang menatap ke arah kami.
Dia pulang mengendarai Porsche-nya dengan cepat. Kini Jason telah pergi meninggalkanku, begitu juga kerumunan orang yang melihat kami tadi. Aku sangat bersyukur kali ini, ia dapat memahami apa yang kurasakan, dan tidak lagi keras kepala atas keinginannya.
Saat diriku melewati pos penjaga asrama, aku tak melihat Sam sama sekali. Ke mana orang ini pergi? Diriku benar-benar mulai curiga dengan sikap Sam.
Tapi di sisi lain, kecurigaan terhadap Ricky Shawn, muncul dalam benakku. Siapa identitas sebenarnya, dari pria yang baru kutemui ini? Sungguh membuat rasa ingin tahuku meningkat drastis.
Begitu memasuki kamar, aku langsung mandi untuk menyegarkan diri. Seusai membersihkan badan, aku memakai handuk untuk membungkus rambutku yang basah. Jika Sam saja tidak ada di sini, apakah Ricky juga tidak akan muncul? Hah, jika begitu, maka diriku tak akan memperoleh hasil apa pun.
Meskipun kemungkinannya buruk, aku tetap memantau taman apartemen. Siapa tahu, jasad gadis itu masih disembunyikan di sekitar tempat di mana dia tewas. Aku menunggu begitu lama.
Sebelum mengamati kembali keadaan taman, aku mengganti pakaianku dan memakai baju tidur. Setelah itu, duduk di meja belajar, sembari memakan camilan yang telah kubeli untuk persediaanku.
Aku menghabiskan waktu setengah jam untuk mengawasi jendela. Bungkus makanan ringan yang kumakan, juga sudah menggunung. Aku lanjut membaca novel sembari memantau keadaan di luar jendela. Masih belum ada perubahan yang terjadi di taman. Padahal, buku tebal yang kubaca, juga sudah ada dua judul.
Setelah kulihat jam weker, ternyata sudah pukul 9 malam. Aku sampai bosan menunggu. Apa aku harus memantau sampai tengah malam, ya?
Mataku telah sayu. Aku terus menguap. “Hah, sudahlah! Memang tak bisa mendapat hasil apa pun! Ya ampun, rasa kantuk ini tak tertahan lagi,” gumamku. Tiba-tiba saja kesadaranku sedikit demi sedikit menghilang. Dan akhirnya aku memasuki dunia mimpiku.
Belum lama tertidur, rasa gatal karna digigit nyamuk membuatku terbangun. “Hah! Dasar nyamuk menyebalkan!” bentakku kesal. Tanpa sadar aku beranjak dari kursi dan berjalan dengan sempoyongan.
Tiba-tiba saja kakiku terantuk besi penyangga ranjang. “Ahh!! Dasar besi tua menyebalkan!” aku berteriak pada benda mati lagi. Sakit sekali rasanya. Beberapa detik kemudian, aku tersadar sedang menunggu kedatangan Ricky dan Sam.
Begitu mengingatnya, mataku menjadi terbuka lebar. Karna terbangun secara tiba-tiba, diriku merasakan pusing yang luar biasa. Aku berjalan sempoyongan ke arah jendela. Menempelkan wajahku pada kaca seperti seekor cicak.
Ya, Tuhan, kenapa pandangan mataku menjadi buram seperti ini? Payah. Bagaimana aku bisa melihat keadaan di luar jika seperti ini?
Saat hendak memalingkan wajah, tiba-tiba saja sekelebat bayangan terlihat oleh mataku, melewati taman. Semua tanaman bunga dan daun pepohonan di tempat itu bergoyang dengan cukup kencang. Seperti telah diterpa angin yang besar.
Ah, ada yang bergerak. Tapi siapa di sana? Apakah Ricky, atau Sam? Jika itu adalah mereka, apa mungkin saat berlari bisa membuat seluruh tanaman bergoyang cukup kencang? Manusia biasa tak akan mampu, bukan?
Di saat aku sedang kesusahan melihat semua itu, secara mengejutkan kulihat seseorang terlempar hingga membentur pohon besar yang ada di tengah taman. Ini cukup membuatku shock karenanya.
“Astaga!” Begitu kalimat ini terucap, aku langsung menutup mulut rapat-rapat dengan telapak tanganku. Diriku terhuyung ke belakang. Badanku membentur punggung kursi. Aku terduduk lemas karna melihat seekor serigala hitam yang menyusul dengan cepat, ke arah pohon besar itu.
"Kota besar yang dipenuhi oleh gedung-gedung tinggi seperti ini, bisa muncul serigala hitam? Yang benar saja? Apakah itu adalah seorang werewolf?" Bulu kudukku semakin meremang. Aku merasakan dingin di sekujur tubuhku.
Badanku membeku, melihat semua hal mengerikan, tepat di depan mataku. Tapi rasa penasaran ini, belum juga berhenti. Aku harus bagaimana?
Kucoba menarik napas dalam-dalam. Aku berusaha sebisa mungkin, supaya jauh lebih tenang. Jika aku panik, hanya membuatku membeku dan tidak dapat melakukan apa pun.
Beberapa menit telah berlalu. Hatiku, sudah tidak segelisah tadi. Dan selama itu pula, aku tak melihat apa yang terjadi di luar sana.
Lampu temaram di taman membuatku kesulitan melihat ke luar jendela dengan begitu jelas, dalam jarak pandang yang cukup jauh. Memang harus menempel dulu di kaca seperti seekor cicak, barulah bisa sedikit terlihat.
“Hah? Sudah tidak ada apa-apa lagi? Gagal sudah aku melihat kebenaran ini,” gerutuku. Yang benar saja. Karna diriku terlalu pengecut, akhirnya tak mendapatkan hasil sama sekali.
Mengapa dari dulu aku tak bisa mengatasi rasa takutku ini? Diriku terdiam cukup lama. Hanya mengetuk-ketuk kaca jendela, dengan jari telunjukku.
Kacanya berembun. Pasti di luar sana terasa sangat dingin. Saat kulihat jam weker-ku, waktu menunjukkan pukul 1 malam. Ketika aku berhenti mengetuk jendela, sesuatu yang mengejutkan muncul di hadapanku.
Mataku membelalak lebar. Tenggorokanku mendadak kering. Kelopak mataku ingin sekali berkedip, tapi aku tak membiarkannya terjadi. Bagaimana, jika aku mengerjapkan mata sedetik saja? Apakah, semua yang ada di hadapanku ini menghilang? Yah, aku tak bisa, bila harus kehilangan momen ini lagi.
Itu adalah Ricky dan Sam. Mereka saling menatap. Tapi, ini terlihat seperti akan bertarung. Aku ingin melihat siapa sebenarnya pria tampan yang mengantarku pulang pagi ini.
Tak tahu apa yang kurasakan, tapi langkah kaki ini membawa diriku keluar dari kamar. Berlari ke arah lift. Menyelinap keluar, untuk melihat dari dekat, pertarungan itu. Ketika aku mulai mendekat taman apartemen, kupilih semak-semak rimbun yang tinggi ini untuk bersembunyi.
Aku memilih jarak yang aman saja. Cukup jauh dari tempat mereka bertarung. Perkelahian berlangsung sengit. Mereka sama-sama kuat dan bertubuh kekar.
“Hhahaha rupanya ada yang menonton pertarungan ini. Besar juga nyalimu, Ainsley,” ujar Sam.
“APA?” bentak Ricky.
Mataku membelalak lebar, mendengar ucapan Sam. Aku membeku, diam di tempatku bersembunyi. Alisku bertaut cemas, menyesali keputusanku, untuk turun ke bawah melihat semua ini. Perasaan takut memubuatku seperti dicekik.
Aku melihat pemandangan menyeramkan ini. Sam menyeringai menampilkan gigi taring yang panjang dan runcing. Sedangkan Ricky menatap cemas, ke arah semak-semak tempatku bersembunyi. Kini aku mulai berpikir, vampir yang telah membunuh si gadis berambut panjang itu adalah Sam.
Tak kusadari, dalam hitungan detik saja, diriku sudah berada di tangan Sam. Badanku mengejang kaku. Kuku runcing miliknya melekat di leherku.
Aku merasakan perih, setelah dia selesai menggoreskan kuku itu, secara perlahan di kulitku. Ketajamannya melebihi sebuah pisau. Diriku mulai mencium bau anyir darah yang mengalir dari leher ini.
“Hentikan! Dasar Lint4h B3rengs3k! Lepaskan Ainsley!” teriak Ricky.
“Jangan mimpi! Berani melangkah satu kali saja, Ainsley akan mati di tanganku! Hhhaha,” ancam Sam, sembari tertawa puas.
“Si4lan! Apa yang kau inginkan B3rengs3k!” bentak Ricky. Dia menggeram ke arah Sam.
“Biarkan aku pergi. Mudah, bukan? Hhhaha.” Aku benar-benar mengantarkan nyawaku sendiri. Bodohnya diriku! Bagaimana caranya lepas dari cengkeraman Sam? Bergerak saja tak mampu. Jika salah langkah, aku pasti tewas dengan cepat.
Pasti hal itu juga yang dipikirkan Ricky. Jika salah mengatur siasat, bukan tidak mungkin dia akan membuatku meregang nyawa.
“S-Sam, kumohon tolong kasihanilah aku. Diriku begitu baik padamu, tapi mengapa kau bersikap sebaliknya?” tanyaku, merintih kesakitan.
“Hahaha, jangan terlalu naif! Kau tak akan bisa mempercayai seorang Vampir, kecuali jika dia benar-benar mencintaimu,” ujar Sam.
“Lepaskan Ainsley sekarang juga!! Setelah itu, akan membiarkanmu pergi,” ujar Ricky dengan penuh waspada.
“Baik, aku lepaskan dia,” ujar Sam, melepaskan cengkeramannya. “Tapi jangan mimpi!” teriak Sam, kembali menarikku ke genggamannya.
“Akhhh!” aku memekik kesakitan. Kuku tajamnya menusuk lenganku, darah ini mengalir ke mana-mana. Kepalaku, sangat pening melihat semua yang kualami. Aku merasakan mual, karna aroma anyir ini seperti mengaduk-aduk isi perutku.
Saat kesadaranku mulai menghilang, tiba-tiba Sam diterkam sosok seperti serigala hitam yang sangat besar. Aku tak tahu pasti tentang hal itu, separuh kesadaranku mulai sirna. Yang jelas, diriku merasakan sakit yang luar biasa.
Kicau burung kecil membangunkanku dari tidur. Mataku melirik ke arah jendela. Ternyata tirainya tak tertutup sejak malam hingga pagi ini. “Ah! Badanku, rasanya sakit sekali. Apa semuanya nyata? Aku masih hidup? Sungguh menyedihkan. Berulang kali mengantarkan nyawaku sendiri ke dalam bahaya.”
Bajuku masih penuh dengan darah. Bau anyir ini, membuatku sangat tidak tahan. Perutku mual sekali. Leherku sekarang penuh luka. Tangan kananku pun, sangat parah. Bagaimana diriku bisa pulang ke rumah dengan keadaan yang seperti ini?
Siapa yang membawaku kembali ke kamar? Apakah Ricky? Kurasa memang dirinya. Dia membalut luka leher dan lenganku dengan sangat rapi. Bagian tangan baju tidurku, ternyata telah dirobek separuh, agar mudah membungkus cederaku ini.
Ricky Shawn, kau membuatku begitu terkesan. Dia bahkan tak membuka bajuku untuk mengobati luka ini. Artinya pria ini begitu menghargai wanita. Tapi, identitasmu yang sebenarnya, membuatku takut berhadapan lagi denganmu.
Lebih baik, aku menanyakan jadwal kegiatan di kampus sekarang juga. Jika memang tak ada yang ada yang harus diikuti, maka aku bisa bernapas lega. Hah, sepertinya hanya bisa menggunakan tangan kiriku untuk mengetik pesan.
Beberapa menit setelah diriku mengirim pesan kepada Vina, dia akhirnya membalas juga. Syukurlah, sudah tidak ada kegiatan yang perlu diikuti. Sekarang aku bisa fokus pada kesembuhanku terlebih dulu. Sepertinya, harus mengasingkan diri selama beberapa hari. Agar tak ada yang mencurigai penyebab lukaku.
Aku sungguh lapar, tapi tak bisa bangun untuk mencari makanan saat ini. Hah, sungguh malang nasibku. Tiba-tiba saja, ada yang mengetuk pintu kamar. Sepertinya aku harus diam, dan tak perlu menjawab. Semoga saja bukan Leonard Dale si teng1k itu.
“Ainsley, ini aku Ricky Shawn.”
Hah ... Ricky? Malam itu, aku seperti melihat dia menjadi werewolf berbulu hitam. Apa yang harus kulakukan sekarang? Jujur saja, ini membuat bulu kudukku meremang.
“Ma-masuklah," ujarku gagap. Ricky membuka pintu dengan cepat.
“Bagaimana keadaanmu, Ainsley? Masih terasa sakit? Aku membawakan obat racikanku sendiri. Ini semua dari bahan alami,” jelas Ricky, sambil menutup kembali pintu kamar dan mendekat ke arahku.
“Eh? Yah, ma-masih terasa sakit, meskipun tak sesakit saat terbangun tadi." Aku harus berani menanyakan hal ini padanya. "Ricky Shawn, siapa kau sebenarnya?" tanyaku, tanpa menatap wajahnya.
“A-apa maksudmu, Ainsley? Ini aku, Ricky Shawn," jawab Ricky.
"Jangan coba membohongiku! Walaupun waktu itu aku setengah sadar, tapi diriku melihatmu menjadi Seorang Werewolf Berbulu Hitam! Sejak bertemu di hutan, diriku sudah curiga. Bagaimana mungkin manusia biasa dapat mengalahkan vampir dengan tangan kosong?" sergahku.
"Hah ... baiklah Ainsley, aku akan mengaku. Aku memang Seorang Werewolf, tapi aku tidak akan berniat jahat padamu," jelas Ricky.
"Ba-bagaimana caramu meyakinkanku, bahwa kau memang tak berniat buruk padaku?" Jujur saja aku begitu takut kali ini. Jika saja diriku tidak sedang sakit, sudah kupastikan untuk kabur sejauh mungkin.
"Jika aku berniat jahat, tak akan mungkin aku menyelamatkanmu saat di hutan dan kejadian malam tadi. Dan lagi, apabila niatku memang buruk, hari ini bisa kupastikan kau sudah tewas," jelas Ricky.
Mendengar ucapan Ricky, aku menjadi sadar. Bahwa yang diucapkannya benar. Kini aku tak perlu takut lagi padanya.
"Baiklah, aku percaya padamu. lalu mengapa kau datang ke sini?"
"Aku akan membantumu menyembuhkan luka itu. Kau pasti lapar, bukan? kubawakan sereal, buah-buahan, dan beberapa kotak susu siap minum. Aku juga membuat ramuan obat untuk kau minum sebelum makan." ujar Ricky.
"Eh? Ba-baiklah. Sebenarnya dari mana asalmu?" tanyaku penasaran.
"Sebenarnya aku dari Inggris. Datang ke sini hanya untuk sebuah misi," jelas Ricky, sambil terus mengobati dengan entah serbuk apa itu. kemudian dia membalut lukaku ini dengan perban yang baru.
"Em, rupanya kita sama-sama berasal dari Inggris, apa kau berencana pulang dalam waktu yang dekat ini?" tanyaku, sambil sesekali meringis merasakan sakit, karna obat yang diberikan di lukaku mulai bereaksi.
"Tidak. masih banyak yang harus kulakukan di sini. Baik lukamu sudah kuobati. Jangan terlalu banyak bergerak," jelas Ricky.
"Lalu, bagaimana caramu bisa masuk ke apartemen, tanpa terkena ocehan dari penjaga?" tanyaku penasaran.
"Aku mengatakan bahwa kau demam. Dan aku menjengukmu. Memohon pada penjaga apartemen agar diperbolehkan masuk. Akhirnya berhasil," jelas Ricky.
"Hhhaha, kau ini benar-benar lucu, Ric. Pandai sekali mencari alasan," ujarku tertawa geli.
“Hhha, baiklah. Sampai jumpa Ainsley. Aku akan menjengukmu setiap hari sampai kau sembuh. Tapi karna sibuk, tak bisa kutentukan jam berapa akan mendatangimu,” jelas Ricky.
“Baik Ric, terima kasih atas perhatianmu.”
“Sama-sama. Sampai jumpa,” jawab Ricky, tersenyum manis.
Hah, bertemu dengannya seperti merasakan jatuh cinta lagi, ini sangat tak baik untukku. Seperti saat aku mengenal Jason dulu. Sudahlah, masa lalu hanya perlu dijadikan pelajaran. Tidak perlu diingat terlalu dalam.
Sebaiknya, aku beristirahat terlebih dahulu. Rasa laparku juga tiba-tiba menghilang. Mungkin saja tubuhku akan jauh lebih segar, dan lukaku akan terasa lebih baik setelah bangun tidur.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments