Part 2 Luka

Tak terasa, Waktu berlalu begitu cepat. Sudah tiga hari ini aku menemani nenek di rumah. Dan kini saatnya untuk pulang ke Amerika. Namun tak ada satu pun bukti yang aku temukan di sekitar sini. Jujur saja aku tak tega untuk meninggalkannya sendirian.

Walaupun rasa penasaran ini terus mendesak hatiku, peraturan harus tetap kupatuhi. Aku tak ingin mendapat sanksi dari universitas dan mengacaukan segalanya. Tanganku langsung merogoh ponsel dari saku celana untuk menelepon bibi. Semoga dia mau menyerahkan pekerjaannya pada Richard untuk sementara waktu.

Sebenarnya bibiku telah menjenguk nenek kemarin. Tapi malamnya dia harus pergi lagi untuk bekerja. Sungguh wanita yang sibuk, bukan?

Namanya Alaina Robert. Dia adalah adik kandung ibuku satu-satunya. Ia tak pernah tinggal di sini. Pekerjaannya memang tak bisa ditinggalkan dengan sesuka hati. Rasa tanggung jawab yang besar pada mendiang suaminya, membuat bibi menjadi seperti itu.

Paman Jackson Claire adalah seorang pengusaha sukses yang memulai bisnisnya dari nol, hingga jaya seperti sekarang. Suami bibi meninggal pada saat anaknya-Richard Claire-memasuki usia 5 tahun. Dan kini, istrinya yang mengurus seisi perusahaan itu.

Singkat cerita aku dan Richard mempunyai kenangan menyedihkan saat berumur 5 tahun. Hanya saja, banyak orang tertipu dengan sosok saudaraku yang satu ini. Di depan publik ia begitu menggemaskan dengan wajah polosnya.

Tapi sebenarnya dia adalah set4n kecil yang menyebalkan. Kenapa? Karena aku adalah korban nyata dari kelakuan buruknya itu.

Nada sambung sudah terdengar di telinga. Tak lama kemudian, dia mengangkat teleponku. Semoga saja Richard bisa menggantikan bibi untuk menjaga perusahaannya sementara waktu.

“Halo. Ada apa, Ainsley?” tanya bibi.

“Bibi, bisakah kau datang ke rumah? Nenek membutuhkanmu sekarang. Aku tak bisa berlama-lama di sini. Petang nanti aku harus berangkat,” pintaku.

“Ah, itu. Aku memang berniat untuk ke rumah petang nanti. Perusahaan akan dipegang oleh Richard. Sekarang aku bebas menemui ibu tanpa terikat pekerjaan. Pulanglah. Jika terlalu lama di sini, kau bisa ketinggalan penerbangan,” jelas bibi.

“Baik, Bi. Kutunggu kabar selanjutnya. Aku akan berpamitan pada nenek.” Setelah menyelesaikan ucapanku, bibi menutup teleponnya.

Baiklah, aku sudah meminta bantuan bibi. Selanjutnya aku harus berpamitan pada nenek. Waktuku semakin sedikit di sini. Bagaikan dikejar sesuatu yang tak kasad mata. Inilah risiko bagi seseorang yang mengenyam pendidikan jauh di luar negaranya.

Perjalanan dari sini ke Amerika memakan banyak waktu. Aku begitu payah dalam mengatur waktu. Rasa hangat rumah inilah yang membuatku lupa akan beban hidup selama mengenyam pendidikan di luar negeri.

Dadaku mulai terasa sesak sekarang. Penyakit lamaku muncul lagi. Ketika panik, hal semacam itu selalu terjadi padaku. Dan akhirnya aku merasa kesulitan untuk bernapas.

Melihat nenek sedang duduk di sofa, hatiku semakin sakit. Dia menyeruput secangkir kopi miliknya dengan sangat lamban. Pandangan matanya pun kosong. Kurasa ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Lalu, bagaimana caranya untuk menyampaikan niatku ini? Aku tidak tega untuk berpamitan dengannya.

Aku menghampirinya dengan hati-hati kemudian duduk secara perlahan di dekatnya. “Nenek," panggilku. Dengan spontan dia menatapku. Tapi beberapa detik kemudian dia memalingkan wajahnya kembali. "Aku ... tak bisa terlalu lama di sini.”

Mataku mulai terasa pedih karena menahan tangis yang tak ingin kuperlihatkan padanya. Tapi dia tak mengeluarkan reaksi apa pun saat aku berbicara. Hanya terdiam tanpa menatap ke arahku. Apalagi yang harus kukatakan padanya?

“Aku harus kembali. Pihak universitas sudah berbaik hati padaku, dengan memberi izin untuk berkabung. Dan jujur saja, jauh di dalam hatiku ini, aku ingin selalu menemanimu, Nek,” celetukku, sambil menggenggam kedua tangannya.

Dengan sangat tiba-tiba, dia menoleh ke arahku dan tertawa. "Hahaha, dasar bodoh. Pulanglah, tak usah khawatirkan diriku. Aku tak masalah jika kau pulang sekarang. Peraturan tetap peraturan, bukan? Kabari saja diriku saat kau sampai di sana."

“Baik, Nek. Sampai jumpa. Aku sayang padamu.” Senyumku seketika mengembang melihatnya tertawa. Setidaknya dia masih bisa begitu tegar walaupun hatinya sedang terluka. Ia tak mau melihatku gelisah di saat aku meninggalkannya

Aku juga harus semangat lagi dan jangan sampai membuat dia kecewa. Kini diriku berlari keluar rumah, sambil melambaikan tangan padanya. Sungguh lega melihat reaksi nenek seperti itu.

Kaki kecilku harus bergerak cepat sekarang. Ketinggalan penerbangan bukan hal yang lucu, kan? Sesampainya di bandara, aku langsung bergegas menunjukkan boarding pass-ku.

Akhirnya aku bisa duduk di kursi ini dengan nyaman. Pemandangan dari atas sini terasa menakutkan. Aku mencoba untuk tetap fokus dan tidak melamun.

Tapi setelah beberapa menit menatap titik-titik kecil di bawah, pandanganku menjadi kosong. Aku kembali memikirkan tragedi meninggalnya kakek yang begitu mengenaskan. Mengapa tak ada seorang pun yang berhasil menemukan jasadnya?

“Aw!” pekikku. Saking seriusnya melamun, kepalaku terantuk kaca jendela. Lagi-lagi aku bertindak bodoh. Lebih baik kugunakan untuk tidur saja. Semoga aku tidak bermimpi aneh seperti kejadian waktu itu.

Aku merasakan lelah yang teramat sangat. Tidurku sangat lelap kali ini. Akhirnya aku dibangunkan kembali oleh salah satu pramugari yang bertugas. Rupanya aku sudah kembali ke Amerika dengan selamat.

Keadaanku begitu lusuh ketika turun dari pesawat. Sebenarnya cukup memalukan. Tapi ... ya, sudahlah. Tak ada waktu lagi untuk merapikannya. Aku ingin cepat-cepat sampai di asrama dan tidur dengan pulas. Beruntung malam ini banyak taksi yang beroperasi. Sehingga aku tak perlu terlalu lama menunggu.

Sesampainya di asrama, aku meminta izin untuk masuk. Sepertinya semua orang sudah tertidur pulas. Aku juga harus secepatnya beristirahat.

Ketika masuk ke dalam kamar, aku merasakan sesuatu yang cukup mengacaukan mood-ku malam ini. Kenapa lantai ruanganku cepat sekali berdebu? Padahal baru tiga hari aku meninggalkannya. Tapi karena terlalu lelah, kubiarkan saja seperti ini.

Malam itu aku tertidur dengan lelap. Beruntung pagi ini sudah terasa agak segar kembali. Rutinitasku setiap hari adalah bekerja paruh waktu dan berangkat kuliah.

Aku bekerja di sebuah tempat bersantai yang cukup keren di daerah sini. Namanya orange cafe. Pemiliknya adalah orang tua Jason Alston. Dan aku cukup tertarik dengan anak bosku itu.

Tapi ketertarikanku ini tak lebih dari sebuah rasa kagum. Dan tentu saja, aku cukup sadar diri untuk bermimpi memilikinya. Dia sudah dijodohkan dengan wanita yang bernama Jennifer Chloe. Jadi meskipun aku benar-benar menyukai Jason, rasanya tak mungkin untuk bersaing dengan perempuan gil4 itu.

Meskipun Jennifer Chloe adalah wanita yang memiliki segalanya, tapi sifatnya sangat buruk terhadap semua orang. Bersikap sombong, keras kepala, dan suka menghardik siapa pun yang berani mendekati Jason.

Bahkan gadis yang sengaja Jason dekati sendiri pun, Jennifer berani mengancamnya. Ia tak suka jika prianya itu, dekat dengan perempuan selain dirinya. Padahal semua orang tahu, Jason tak pernah menyukai Jennifer.

Dan aku adalah salah satu korban Jennifer. Setelah desas-desus kedekatanku dengan Jason menyebar, wanita itu mulai mengawasiku. Tanpa kuduga, Jennifer datang untuk mengancamku.

Sejujurnya aku tak terlalu menanggapi ocehannya. Bahkan telingaku sempat terkena radiasi karena mendengar hal itu. Tapi beberapa ucapan terakhirnya membuatku sedikit terguncang.

Dia mengatakan, "Ayahku adalah rektor di kampusmu. Dia memiliki banyak koneksi penanam saham terbesar di universitas. Aku bisa membuatmu kehilangan beasiswa, dan mendepakmu keluar dari sana dengan berbagai cara.”

Setelah Jennifer mengucapkannya, aku segera memutar otak untuk mencerna kalimat tersebut. Kesimpulannya, dia telah menyelidiki seluruh kehidupanku di kampus. Lalu, informasi apalagi yang sudah ia dapat?

O, ya. Kenapa aku bisa lupa? Berita kematian orang tuaku pasti lebih menarik baginya. Difitnah melakukan korupsi gaji karyawan di perusahaannya sendiri. Kemudian memilih bunuh diri, karena takut menerima hukuman dari para penggugat.

Aku benar-benar tak mengerti. Keuntungan apa yang mereka dapat dengan menyebarkan berita ini? Perusahaan itu dibangun dengan kerja keras kedua orang tuaku. Bagaimana bisa ayah menjatuhkan nama baiknya sendiri?

Bualan seperti ini sudah lama menjadi rahasia umum. Bagaimana tidak? Perusahaan ayahku adalah salah satu bisnis yang paling sukses kala itu di Amerika.

Dan kini, Jennifer membuat beasiswa sekolah sebagai alat untuk mengancamku. Aku mengakui bahwa dia adalah wanita yang pantang mundur dan cukup gil4. Diriku tak ingin masa depan yang telah ditata rapi hancur hanya karena cinta. Terlebih lagi, aku tak ingin menambah beban pikiran nenek.

Sudah hampir jam 8 pagi. Sebaiknya aku bersiap-siap untuk berangkat kerja. Jika terlambat satu detik saja, kata-kata pedas akan keluar dari mulut Jennifer.

Tempat itu memang milik orang tua Jason. Tapi ayah Jennifer adalah penanam saham terbesar di orange cafe. Dengan keadaan seperti ini, kalian pasti akan tahu cerita selanjutnya, jika aku tetap menyukai Jason.

Terkadang aku tertawa puas melihat Jennifer selalu diacuhkan oleh Jason. Saat berpapasan denganku, dia selalu saja menunjukkan sikap manja pada pria kesayangannya. Dan bodohnya lagi, kelakuannya itu sukses membuatku jengkel.

Tapi aku tak ingin menunjukkan kemarahanku padanya. Itu hanya membuatnya merasa menang. Kurasa mataku bisa katarak jika terus melihat tingkah menyebalkan Jennifer setiap hari.

Tempat kerjaku tak jauh dari asrama. Hanya perlu berjalan kaki untuk sampai di sana. Cafe itu berada di seberang jalan raya.

Dinding dan pintu depannya, terbuat dari kaca tebal yang bisa dilihat dari sisi mana pun. Terlihat sangat cantik dengan sebuah taman mini sebagai pemanis tampilan luarnya.

Begitu masuk ke dalam cafe, aku melihat sorot mata yang tajam tertuju padaku. “Hah! Aku akan menyaksikan drama kecil lagi. Ainsley berperan sebagai Cinderella, dan Jennifer sebagai ibu tiri,” gerutuku.

Mulut kecil wanita itu memang sangat mungil dan imut, tapi setiap kalimat yang keluar darinya seperti racun ular berbisa. Jennifer menabrakku sambil tersenyum sinis. “Ups! Sepertinya aku telah menabrak seseorang. Em, siapa, ya? Oh, ternyata si Payah ini yang aku tabrak.”

“Jennifer! Sebenarnya apa maumu! Aku tak menemui atau mendekati pria pujaanmu! Mengapa kau masih saja menggangguku!” bentakku. Selama ini aku sudah mengalah padanya. Tapi selalu saja masalah yang mendatangiku.

“Kau memang tidak mendekatinya. Tapi saat kau menghilang dari hadapanku dan Jason, maka aku akan lebih tenang,” tukas Jennifer. Dia melayangkan senyum mengerikan seperti Joker.

“Dasar kau! Bukannya aku sudah menjauhi Jason? Apa bagimu itu belum cukup, hah?” Aku berusaha menahan semua ini agar emosiku tak semakin meluap.

Alis Jennifer tiba-tiba bertaut. “Kau marah padaku, ya? Oh, tidak! Jangan seperti itu, kau membuatku takut, Ainsley."

“Apa?” Aku menaikkan satu alis ini karenanya. Parasnya memang cantik, tapi sifatnya sungguh munafik. Ekspresinya yang seolah-olah takut tapi sebenarnya menghina itu, benar-benar membuatku jijik. “Berhentilah bermain-main denganku. Masih banyak pekerjaan yang menungguku di belakang sana.”

Saat aku berjalan meninggalkan Jennifer, tiba-tiba saja dia berteriak sambil menabrak dan mencengkeram lengan kiriku. Ia terjatuh, tapi aku juga didorong olehnya. Ternyata wanita ini membuat drama murahan lagi.

“Aw! Ainsley, aku tahu kau tidak suka padaku. Tapi tolong jangan siksa aku seperti ini,” ujar Jennifer dengan suara lantang.

O, astaga. Dia juga berpura-pura menangis? Aktingnya sungguh memukau. Dia benar-benar nekat membuatku jatuh ke dalam keadaan yang sulit. Aku hanya bisa menjerit di dalam hati saja. Semua orang memandangku dengan sinis karena perbuatan nenek sihir itu.

Ayo Ainsley, pikirkan jalan keluar yang bisa membuat Jennifer merasakan perbuatannya juga. Dalam keadaan gugup aku selalu memegang lengan kiriku. Terlebih lagi tanganku ini berdenyut nyeri, karena wanita itu sempat mencengkeramnya cukup kuat.

Tunggu dulu, hal yang baru saja kupikirkan ini, bisa kugunakan sebagai bumerang baginya. Maaf, aku melakukannya karena kau memulai lebih dulu. Situasinya sangat membahayakan nama baikku.

“Jennifer, apa yang kau lakukan padaku? Kenapa kau menyayatkan kuku panjangmu ke lenganku?” ujarku sambil menangis. Beruntung aku menggunakan baju lengan pendek. Jadi alasanku tidak terlalu janggal.

Badanku bergetar hebat karena membohongi diri sendiri. Hanya dengan cara ini aku bisa meminta izin untuk pulang dan menghindari kejadian yang lebih buruk lagi.

“Apa?” teriak Jennifer dengan raut wajah kesal.

Tanpa mencari tahu kebenarannya, semua orang kini beralih memandang Jennifer yang duduk di lantai. Sebenarnya, kuku tanganku ini berlumuran darahku sendiri. Tapi sebelum mereka menyadari hal yang sesungguhnya, aku segera meninggalkan tempat itu.

Akhirnya aku terbebas dari keadaan yang membuatku nekat berpikir gila. Kini aku bisa meminta izin pulang karena lenganku berdarah. Tiba-tiba saja Jason datang dan memberiku pertanyaan yang macam-macam.

“Ainsley, apa yang terjadi? Kenapa lenganmu berdarah? Apa kau terluka karena Jennifer? Ayo kuantar kau berobat jika tidak-“

“Cukup Jason! Aku bisa pulang sendiri dan ini bukan urusanmu. Tak ada hubungannya dengan siapa pun. Aku lelah. Aku izin pulang lebih awal,” aku memotong ucapan Jason dengan cepat. Selesai berbicara, aku langsung pergi meninggalkan semua orang dan pulang ke asrama.

Tamat sudah riwayatku. Jennifer pasti tak akan tinggal diam atas semua yang kulakukan padanya. Sepertinya beasiswaku lagi yang menjadi bahan ancamannya. Aku terkapar lemas di lantai sambil merasakan perih karena luka yang kubuat sendiri.

Selang beberapa menit, aku berusaha bangun untuk mengambil kotak P3K yang tersimpan di laci meja. Tubuhku begitu lemas melihat darah yang mengalir dari sela-sela jari tangan yang menutupinya. Apalagi aroma anyir yang keluar begitu menusuk hidungku. Aku terhuyung ke belakang dan terduduk di tepi ranjang dengan kasar.

Beberapa helai tisu basah kuambil untuk membersihkan darah yang tengah asik mengalir ria. Setelah kurasa cukup, aku langsung memberi obat merah dan membalut lukaku dengan perban. Rasa lemas mulai menjalar di sekujur tubuhku. Kini diriku memejamkan mata dan menenggelamkan kepala di atas tumpukan bantal. Berharap esok hari tak akan sesakit ini.

Terpopuler

Comments

Udinbbk Udin

Udinbbk Udin

kok ngebosenin berbelit belit

2020-08-22

1

👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣

👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣

hai alaina....

2020-07-29

1

👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣

👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣

dari sini ya lyana....😊

2020-07-29

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!