Apa yang harus kulakukan? Aku telah hanyut dalam situasi yang sangat gila. Mendorong Leonard untuk pergi pun, tak berguna lagi. Karna diriku tak bisa mengontrol gerakan tubuhku. Terpaksa menunggu pria ini sampai berhenti dengan sendirinya.
Lama waktu berlalu. Akhirnya dia melepasku. Napasku cukup terengah-engah. Jantungku berdegup kencang, rasanya hampir mau copot. Tapi sepertinya, orang ini tak merasakan hal yang sama, padahal dirinya yang selalu mendominasi permainan tadi.
Kini kutahu, dia sudah mahir dalam hal ini dengan para gadis, selain diriku. Memang pria tak berperasaan. Memperlakukanku seperti mainannya. Kami saling memandang cukup lama.
“Sudah kubilang, urusanmu belum selesai denganku. Jika kau ingin aku-“
“Urusanmu denganku sudah selesai saat di cafe itu! Kau mau apa lagi, hah! Bedeb4h! Memperlakukanku seperti mainanmu, kau kira ini menyenangkan!” bentakku, memotong ucapan Leonard dengan cepat.
“Ya, memang menyenangkan. Tapi rasa bibirmu memang berbeda dengan para gadis lainnya. Kau menarik,” ujar Leonard, menyunggingkan senyum separuh miliknya. “Gadis lain dengan mudah melemparkan dirinya padaku, tapi kau selalu berteriak dan membentakku, sangat-“
“Hentikan omong kosongmu sekarang! Aku bukan gadis murahan yang siap melayanimu! Perlu kau ingat, diriku berbeda dengan wanita jal4ng kesayanganmu itu!” sergahku.
Aku sungguh ingin menangis sekarang. Tapi aku tak ingin melakukan itu di depannya. Ternyata pria setampan ini mempunyai sifat yang sangat buruk.
Kenapa di saat seperti ini, aku tak bisa mengontrol diriku sendiri. Ingin mendorong dan memukulnya pun, tak sanggup. Jika tebakanku benar, pasti karna aroma wangi yang telah kuhirup itu. Membuatku seperti terkena anestesi.
“Kau tak akan bisa lepas dariku Ainsley. Pergi ke ujung dunia pun, akan kukejar. Sampai aku berhasil mendapatkanmu. Ingat itu baik-baik, Sayang,” ujarnya. Dia menatapku dengan sorot mata yang tajam, kemudian pergi meninggalkan kamarku ini.
Aku mencengkeram dadaku yang terasa sangat sesak mendengar semua ucapan Leonard. Kesalahanku hanya menabraknya. Tapi mengapa dia selalu membuat masalah ini menjadi sepanjang rel kereta api? Sekarang dirinya malah mengambil kesempatan untuk melecehkanku.
Apa diriku sehina itu? Aku terpejam merenungi semua masalah yang tengah menimpaku. Tanpa kusadari, air mata yang telah aku tahan agar tak jatuh, akhirnya membasahi kedua pipiku. Tuhan, berikanlah diriku kekuatan untuk menghadapi semua ini.
Kulihat jam weker, waktu menunjukkan pukul 8 malam. Aku mengganti jubah mandiku dengan baju tidur. Pening dan lelah yang kurasakan, membuatku ingin istirahat lebih awal. Semoga saja perasaanku yang kacau ini, bisa cepat membaik besok. Kumatikan lampu kamar, dan mulai memejamkan mata.
Suara burung kecil yang berkicau terdengar di telingaku. Mata ini sulit sekali untuk kubuka. Padahal jam weker-ku berdering terus-menerus. Aku meraba meja di samping tempat tidur dengan serampangan.
“Hah! Dimana jam weker itu! Berisik sekali! Aku ingin tidur. Oh, akhirnya mataku bisa terbuka. Ini dia! Berhentilah berdering!” teriakku, sambil menekan tombol off agar tak berbunyi lagi. Hidupku sungguh memgenaskan.
Aku sedikit merasakan hal yang aneh. Kelopak mataku teras begitu berat. Karna penasaran, aku mencomot kaca kecil di atas meja untuk melihat wajahku. Perasaan burukku terbukti setelah menyaksikan mataku yang bengkak karna menangis malam itu.
Bagus sudah. Aku tak berani keluar dari sarangku. Keadaan ini begitu memalukan. Beruntung aku bekerja siang hari nanti. Masih ada waktu untuk mengempiskan bengkak di mataku.
Aku bangun dengan malas. Duduk di tepi ranjang dan menatap sinar matahari yang menembus tirai jendela kamar. Baju kotorku telah menggunung. Sepertinya memang harus keluar dari sarang untuk membawa tumpukan baju ini ke tempat laundry.
Diriku berjalan menjuju kamar mandi dengan enggan. Selesai mencuci muka dan menggosok gigi, aku mengambil beberapa kotak kecil es batu dari dalam lemari es. Aku membungkusnya dengan kain bersih untuk mengompres mataku yang bengkak.
Sembari menunggu bengkaknya sembuh, aku memainkan ponsel. Rupanya liburan kali ini sudah banyak mahasiswi yang kembali ke kampung halaman masing-masing. Bahkan ada yang sudah mengunggah foto liburan bersama keluarganya di sosial media masing-masing.
Andai saja bisa pulang ke rumah nenek. Liburanku pasti terasa mengasikkan. Menemani memetik bunga, bermain di hutan belakang rumah, dan menjaga toko. Aku merindukan semua itu.
Hanya saja, para mahasiswa yang mendapat beasiswa, tidak bisa sembarangan pulang seperti murid lainnya. Ada kegiatan yang harus diikuti terlebih dahulu, dan itu semua sudah kebijakan kampus.
Sudah setengah jam berlalu. Kenapa bengkaknya belum menghilang. Benar-benar payah. Hanya karna menangis, aku mendapatkan hadiah yang membuatku malu untuk keluar kamar. Mungkin harus menunggu hingga satu jam.
Menunggu itu memang hal yang membosankan. Aku sedari tadi hanya memainkan ponsel dan memakan camilan yang kubeli beberapa waktu yang lalu.
Sudah hampir satu jam. Sebaiknya aku mandi dulu. Setelah itu, mungkin bengkaknya akan hilang. Airnya terasa lebih dingin dari biasanya. Tapi ini sangat membantuku supaya tubuh menjadi lebih segar.
Seusai mandi, aku berjalan ke arah kaca wastafel. Memastikan bahwa bengkak di mataku sudah sembuh atau belum. Sejujurnya ini sedikit membuatku frustasi.
Beruntung bengkaknya tidak separah tadi. Kini aku bisa segera pergi dari kamar ini menuju ke tempat laundry. Setelah bersiap-siap, kubawa seplastik besar pakaian kotorku.
Malangnya nasibku. Turun dari lift menjadi pusat perhatian banyak orang. Karna diriku memang kesulitan membawa seplastik baju kotor yang berat ini. Sejujurnya, aku telah melewati waktu mengirimkan pakaianku ke binatu.
Aku menaiki taksi untuk mempersingkat waktu. Setelah tiba di tempat laundry, aku langsung memberikan pakaian ini kepada pelayan. Untungnya binatu yang aku datangi sekarang, tidak seramai biasanya.
Selesai menyerahkan gundukan baju kotor tadi, aku memilih berjalan kaki untuk pulang ke asrama. Aku harus bisa menghemat uang. Karna mencuci pakaian sebanyak itu menghabiskan cukup banyak dana.
Aku memilih berjalan melalui jalan tikus di daerah ini. Melewati hutan lindung kota. Walaupun daerahnya lumayan sepi, tapi inilah jalur tercepat untuk sampai di asrama bagi pejalan kaki sepertiku.
Mataku dikejutkan dengan pemandangan indah hutan lindung kota ini. Sebelum melanjutkan perjalanan, aku menyempatkan memotret suasana di sini.
Tiba-tiba saja datang seorang pria, saat aku tengah mengambil gambar. Wajahnya pucat. Matanya merah. Dia menyeringai di depan kamera ponselku. Menampilkan dua taring tajam yang membuatku terkesiap. Aku menjatuhkan ponselku karna bergidik ngeri melihatnya.
“Hai, Nona. Rupanya aku menemukan Santapan Lezat di saat sedang melarikan diri. Hahaha, kau bisa menjadi energiku untuk pelarian selanjutnya,” ujar sang vampir, tertawa puas sampai air liurnya berjatuhan.
Aku berusaha tetap tenang dan mencoba melarikan diri. Tapi kenapa badanku kaku sekali. Payah! Sudah kuduga di saat seperti ini, rasa panik yang menguasaiku. Untuk menutupi rasa takut pun, tak bisa.
Tenggorokanku seperti tercekat. “Si-siapa kau! Aku tak mengenalmu! Aku bukan santapanmu! Pergilah!” teriakku pada vampir itu. Aku tak tahu harus berbuat apa sekarang, jalan pikiranku buntu.
Apakah takdirku harus mati di tangan vampir ini? Merasa di ambang kematianku sendiri. Kupejamkan mata dan merasakan detak jantungku yang semakin cepat.
Diriku tak sanggup melihat apa yang akan terjadi selanjutnya. Mungkin nasibku akan sama seperti gadis yang menjadi mayat karna makhluk menyeramkan, seperti yang ada di hadapanku sekarang.
“Hahaha, kau tak perlu mengenalku! Hanya perlu menyerahkan diri, agar darah manismu bisa kunikmati untuk memuaskan dahagaku. Bagus pejamkan saja matamu, maka kau tak akan merasa sakit saat kuhisap sampai mati, hhhaha.” Aku tak melihat bagaimana ekspresi vampir itu, yang jelas suara tawanya membuat ketegangan yang melandaku semakin bertambah. Alisku bertaut cemas.
“Akhhh!!!” teriak vampir itu. Tunggu dulu, mengapa dia berteriak? Dirinya bahkan belum menyerangku sama sekali.
“Kau sudah aman, Nona. Buka matamu dan pulanglah.” Itu bukan suara si vampir. Aku membuka mata dan melihat seorang pria yang memiliki tubuh kekar. Ternyata dia yang telah menghabisi makhluk menyeramkan itu.
Belum sempat aku melihat mayat vampir tadi, pria bertubuh kekar ini, sudah membakar habis tubuh makhluk itu. Dia mulai berjalan kembali ke dalam hutan. Sebelum dia masuk ke sana, diriku berlari secepat mungkin dan berhasil meraih tangannya.
Aku terkejut sekali saat memegang tangan besarnya itu. Cepat-cepat kulepas genggamanku. Kulitnya terasa sangat panas. “Tuan, te-terima kasih atas pertolonganmu,” ujarku.
Tiba-tiba saja dia membalikkan badan. Itu membuatku terhuyung ke belakang dan hampir jatuh. Dengan cekatan dia meraih tubuhku, menjagaku supaya punggung ini tak mencium kerasnya tanah.
Ah, astaga! Wajahnya sangat menawan. Berkulit sawo matang. Hidungnya mancung. Manik matanya berwarna coklat. Alis yang tebal. Garis rahangnya terlihat kokoh. Dan lagi bibirnya begitu seksi dengan warna seperti buah peach.
“Tak apa, Nona,” ujarnya, sambil membantuku berdiri dengan tegak. “Mengapa kau lewat jalan yang sepi seperti ini? Terlalu berbahaya bagimu,” ucapnya lembut.
“Ah, aku baru saja menaruh baju kotorku di tempat laundry. Karna jalanan terlalu padat, mungkin saja terjadi macet. Jadi aku memilih untuk berjalan kaki melewati jalan pintas ini.” Hah, diriku malu mengakui bahwa sedang menghemat uang. Akan sangat memalukan.
“Memangnya dimana rumahmu?” tanya pria itu.
“Aku tinggal di apartemen sewaan universitas. Sekarang sudah menjadi sebuah asrama,” jawabku.
“Pantas saja kau memilih jalan pintas. Karna daerah ini memang jalur tercepat menuju asrama,” ujar pria itu, sembari tersenyum padaku. Hatiku meleleh rasanya melihat senyum manis, pria yang sedang berdiri di hadapanku. Lesung pipi miliknya membuatku semakin menggila saat aku menatapnya.
“Ah, hehehe. Ya, begitulah kira-kira,” jawabku tersipu malu, sambil menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
“Ayo kuantar, terlalu berbahaya wanita kecil berjalan sendirian,” ejek pria itu, sambil tersenyum geli. “Oh, iya siapa namamu?”
“Hei, kau ini. Baru bertemu sudah menilaiku wanita kecil, tubuhmu saja yang terlalu tinggi. Aku Ainsley Aaric,” jawabku manyun. “Lalu siapa namamu?” tanyaku penasaran.
“Hhhaha, baiklah, maafkan aku Ainsley. Namaku Ricky Shawn,” jawabnya, sambil tersenyum manis padaku.
Saat kami sedang berjalan, aku seperti melihat Leonard dari balik pepohonan. Kukerjapkan mata berkali-kali. Sepertinya itu hanya ilusiku saja. Saat kulihat dengan lebih teliti lagi, ternyata tak ada apa-apa.
Kami sudah berjalan cukup jauh dari hutan lindung, selama itu pula kebisuan berlangsung. Padahal sebelum berjalan bersama, rasanya tak seperti ini.
Astaga, karna terbuai dengan ketampanan pria ini, aku menjadi kurang waspada terhadap dirinya. Walaupun kecurigaan mulai muncul dalam benakku, tapi aku tidak boleh memperlihatkan itu sedikit pun.
Aku ingin mencairkan suasana canggung untuk menyembunyikan rasa curigaku. Tapi belum juga menemukan caranya. Ingin mengajak Ricky berbicara, namun malu untuk mengawalinya. Jika terus seperti ini, aku bisa terkena insomnia nanti malam. Baiklah, apa salahnya mencoba?
“Ah, Ric, dimana kau tinggal?” tanyaku.
“Eh? Aku bukan penduduk asli di sini. Hanya menumpang di rumah temanku. Ainsley, kita sudah sampai di asramamu,” jawab Ricky. Dia tersenyum. Tapi, tiba-tiba saja ekspresinya berubah menjadi datar dengan sorot mata yang tajam. Ada apa ini sebenarnya? Sungguh membuatku penasaran.
“Ah, iya. Terima kasih atas semuanya, Ricky. Apakah kita bisa bertemu lagi?” tanyaku penuh harap.
“Bisa saja. Jika kita bertemu di jalan. Karna aku ini suka berkeliaran ke sana-kemari. Jadi kau tak bisa menemuiku di satu tempat saja,” ujarnya, menyunggingkan senyum yang menawan.
“Ah, hhha baiklah. Sampai jumpa, Ricky,” ucapku. Hah, kecewa sekali rasanya. Bertemu di jalan? Ini Amerika! Banyak sekali jalan di sini. Artinya tak mungkin bisa menemuinya lagi, jika bukan karna keberuntungan.
“Sampai jumpa, Ainsley,” jawab Ricky. Kenapa dia pergi dengan terburu-buru? Dan lagi dirinya selalu menatap tajam di dua arah. Taman asrama dan pos penjaga.
Sudahlah sebaiknya aku masuk ke dalam. Tak perlu memikirkan hal aneh lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Keira_shi
Ceritanya bagus kak, menarik
Jangan lupa mampir juga di novelku yg judulnya "Dikejar CEO Tampan"
Banty vote dan like juga,
Makasih ^^
2020-07-27
1