Part 10 Berakhirnya Rasa Sakit Yang Terpendam

Ricky terlihat begitu tergesa-gesa setelah melihat di dua arah. Taman asrama dan pos penjaga. Sebenarnya ada apa dengan tempat itu?

Apakah semua itu ada hubungannya dengan kematian gadis di taman? Lagi pula mayatnya seperti tak ditemukan oleh siapa pun. Jika benar sudah ada yang melihatnya, bisa dipastikan beritanya menggemparkan seluruh asrama.

Tapi yang kulihat, mayat gadis itu telah berubah menjadi bangkai anjing. Tidak ... bukan berubah, tapi sudah ditukar oleh pembunuhnya. Karna vampir itu tahu, hal seperti ini dapat mengundang banyak masalah baginya.

Lalu, siapa sebenarnya Ricky Shawn ini? Mengapa dia begitu hebat mengalahkan vampir dengan tangan kosong? Jika manusia biasa pasti akan cepat sekali kalah. Paling tidak, perlu menggunakan alat seperti pedang, peluru perak, atau sejenisnya.

Apakah dia, seorang pemburu vampir? Saat menyentuh tangan kekarnya, kulitku rasanya seperti menyentuh panci panas. Lalu apa hubungannya dengan pos penjaga? Aku harus segera mencari tahu kebenarannya.

Jika Ricky datang lagi ke tempat ini, aku bisa memantaunya dari jendela kamarku. Tapi apakah dia benar-benar akan kembali ke sini? Ya sudahlah, jika benar seperti itu, aku bisa melihatnya dari kejauhan. Tapi siang ini aku berangkat kerja, bagaimana bisa mengawasi dua tempat itu?

Selesai bersiap-siap, aku berangkat menuju cafe. Ketika aku melihat dari jendela, di taman apartemen tak ada pergerakan yang mencurigakan. Saat keluar dari gedung, aku sengaja mampir ke pos penjaga untuk menyapa Paman Sam dan Jack.

“Hai Paman Jack, kulihat dari pagi kau yang selalu menjaga pos. Kali ini apa belum beristirahat untuk makan siang? Ke mana Paman Sam?” tanyaku penasaran.

“Oh, hei Ainsley. Iya, aku memang menjaga pos dari pagi. Kalau tidak salah, sekitar jam 9 pagi tadi Sam langsung meminta ijin karna mendadak tak enak badan. Em, lebih tepatnya beberapa menit yang lalu. Sebelum kau datang diantar pemuda tampan itu, dia pulang. Jika beristirahat sekarang, maka tidak akan ada yg menjaga pos ini,” jawab Jack.

“Em, jika begitu, aku berangkat bekerja dulu Paman Jack. Saat aku istirahat nanti, kuantarkan makanan padamu.”

“Hhhaha, baiklah Ainsley. Kau memang selalu baik pada kami berdua. Sebenarnya, atas dasar apa, dirimu memanggilku dan Sam dengan sebutan paman? Aku ini hanya lebih tua 5 tahun darimu. Dan Sam hanya lebih tua satu tahun dariku. Mulai sekarang panggil aku Jack saja seperti yang lain,” ujar Jack.

“Hanya untuk menghormatimu saja. Baiklah aku akan memanggil namamu. Sampai jumpa Jack, aku sudah terlambat." Selesai menyapa penjaga asrama, aku langsung berlari menuju cafe.

Suatu kebetulan yang aneh. Mengapa Sam pergi beberapa menit lebih awal, sebelum aku dan Ricky sampai? Ditambah lagi, kemarin saat aku mendatangi taman apartemen, dia melihatku dengan sorot mata yang tajam.

Sebenarnya dia marah karna aku mendatangi taman, atau karna menanyakan tentang bangkai anjing itu? Humph, entahlah. Tapi kurasa dia memang enggan menanggapi pertanyaanku.

Saat diriku hampir mendekati cafe, ponselku berdering. Rupanya dari bibi. Sebaiknya kuangkat saja dulu, siapa tahu ada hal yang penting.

“Halo Bibi, ada apa?” tanyaku.

“Dasar kau! Ada apa?! Saat ini masa liburanmu. Kenapa kau tak pulang? Dasar Gadis Bod0h sama saja seperti anak teng1k itu! Tidak memperdulikan keluarga. Dan sibuk dengan urusan sendiri,” oceh bibi. Dasar cerewet. Baru mengangkat teleponnya saja, aku sudah mendapat omelan yang panjang. Tapi inilah yang membuat rasa rindu terhadap keluargaku semakin terpupuk.

“Bibi! Aku tidak sama dengan bocah gendut itu! Dia sangat menyebalkan! Aku anak yang penurut, mana bisa disamakan dengan dia!" bantahku, pada bibi. Hah, drama apa lagi yang akan dibuat adik kandung ibuku ini. Dasar menyebalkan! Aku tahu Bibi Alaina pasti memintaku untuk pulang. Tapi, mengapa harus membuat cerita yang membuatku pusing?

“Aku tak mau tahu. Setelah kau mendapat ijin untuk bisa berlibur, aku ingin dirimu pulang,” paksa bibi.

“Tapi Bibi, aku-“

“Aku tak ingin mendengar alasanmu. Sudah ya, Bibi lelah. Sampai jumpa Keponakanku Tersayang, muach," bibi memotong ucapanku dengan cepat. Dasar bibi. Hah, jika tak bisa memaksaku pulang, memang bukan Alaina namanya.

Sudahlah, aku akan masuk bekerja terlebih dahulu. Kemudian diriku akan bertanya pada anak-anak program beasiswa, apakah ada kegiatan yang harus diikuti atau tidak.

Mataku membelalak lebar saat kulihat jam tanganku. Ternyata aku sudah terlambat 10 menit. Bagaimana ini? Hah, ya sudahlah. Jika memang terkena ocehan lagi, memang sudah nasibku.

“Kringg ...” Lonceng pintu masuk cafe terdengar nyaring di telinga, begitu aku masuk ke dalam.

Semua karyawan juga menatapku dengan sorot mata tajam kali ini. Aku berjalan dengan cepat ke arah dapur. Berusaha mengabaikan pandangan itu. Aku mengikat rambut panjangku yang tergerai. Dan segera menggunakan celemek tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Beruntung sekali kau Ainsley, selamat dari maut untuk kedua kalinya,” tukas Chita agak sinis, sambil meletakkan kopi dan dessert pesanan pelanggan, ke dalam nampan milikku.

“Maksudmu?” bentakku, menatap Chita dengan nyalang. Gadis ini selalu saja bersikap sinis padaku. Di saat aku selamat dari suatu perkara, dia senang sekali menyindirku seperti itu.

Sebenarnya apa salahku? Apa mungkin, ia iri padaku? Karna setahuku, saat terlambat dan membuat masalah sekecil apa pun, dirinya selalu dihujani kata-kata tajam dari Jennifer dan Bella.

“Heh! Kau pikir saja sendiri! Ada banyak hal yang harus dikerjakan,” jawab Chita dengan sarkastis, lalu pergi menjauh dariku.

Memang benar, bocah si4lan itu sengaja mencari masalah denganku. Dia hanya meletakkan pesanan untuk mencari alasan agar bisa menyindirku. Tiba-tiba saja Clara datang padaku dan mengatakan Jason mencariku sedari tadi.

Sepertinya harus kuhadapi sekarang. Aku tak bisa terus menghindar dari pria ini. Sedangkan nantinya, diriku membutuhkan izin untuk meminta cuti bekerja. Jika membicarakan hal seperti itu pada Bella kurasa tak akan mungkin. Cepat atau lambat aku membutuhkan bantuan Jason.

“Ainsley, ke mana saja kau dari tadi? Sampai terlambat 10 menit. Beruntung Jennifer tidak masuk lagi hari ini,” jelas Jason. Ah, aku tahu. Inilah yang sebenarnya dibicarakan oleh Chita tadi. “Ainsley? Kenapa kau diam saja?”

“Ah, itu ... aku, terkena masalah saat di jalan. Beruntung ada yang menyelamatkanku tadi. Jason, bukannya kau sibuk dengan pekerjaanmu? Diriku juga masih ada pesanan yang-“

“Ikut aku,” Jason menyergah ucapanku dengan cepat, sambil meletakkan nampan dan melepas celemek milikku. Bodohnya lagi, aku mau begitu saja dibawa olehnya. Tapi, ya sudahlah. Diriku tak ingin menyakiti hati pria ini lebih banyak lagi.

Semua orang tercengang melihat kejadian yang baru saja menimpaku. Seperti biasa, aku menatap Jason dengan pandangan bodoh ini, saat dirinya menarikku dengan paksa. Walaupun terlihat kasar, dia tak mencengkeram tanganku dengan begitu keras. Jantungku berdebar hebat saat di dekatnya.

“Ayo keluar dari cafe ini Ainsley, aku ingin membicarakan-“

“Lepas Jason. Kita bisa berbicara di sini saja. Ini sudah termasuk di luar, bukan?” tanyaku, memotong ucapan Jason.

“Naik saja ke mobilku dulu, aku tak ingin mengucapkannya di sini,” jelas Jason, mendorongku masuk ke dalam Porsche 781 Boxster miliknya.

“Tapi, Jas-"

Aku mengatupkan bibirku dengan cepat, saat dia berhasil mendorongku masuk dan menutup pintu mobilnya. Aku hanya bisa menghela napas berat kali ini. Apalagi yang akan diperbuatnya?

Derum mobil Jason terdengar sangat halus di telingaku. Mobilnya melaju dengan cepat. Selama perjalanan Jason membisu. Aku tak mengerti apa yang dia mau. Tapi, kali ini aku mencoba mengikuti kemauannya saja.

“Jas,” panggilku.

“Ada apa, Ainsley?” tanya Jason, sambil terus memandang ke depan.

“Sebenarnya, apa yang ingin kau ucapkan padaku?” tanyaku penasaran. Kuharap jangan membahas masalah perasaan cintanya lagi. Aku sungguh bingung menjelaskan secara detail agar dia mengerti posisiku.

“Akan kujelaskan nanti saat kita sampai di tempat tujuan.” Ekspresi Jason terlihat serius sekali. Berkali-kali aku menghembuskan napas berat, mendengar ucapannya itu.

Sudah cukup jauh Jason membawaku pergi. Ini sudah keluar dari kota. Kira-kira ke mana dia akan berhenti?

Ternyata dia membawaku ke pantai. Suara desiran ombak membuat hati dan pikiranku sangat tenang. Jason ternyata memahamiku sampai di titik ini. Ya, kami sudah saling mengenal cukup lama. Karna aku mulai bekerja di cafe milik ayahnya sejak kuliah semester 1 yang lalu.

Dulu pertama kali aku bekerja, Jennifer belum ada di cafe itu. Jadi, yah! Diriku dan Jason sering sekali keluar bersama. Rasanya bahagia sekali. Aku bahkan sempat berpikir bisa bersanding dengan pria yang telah mencuri hatiku ini.

Hhha, sayangnya, semua hanya mimpiku saja. Bella memanggilku ke ruangannya saat rumor kedekatanku dengan Jason telah menyebar.

Aku pikir hanya masalah kecil. Ternyata ini berhubungan dengan kedekatanku dengan Jason.

Kata-kata tajam yang keluar dari mulut Bella, membuatku tersadar. Jangankan untuk menjadi kekasihnya, menjadi teman pun kurasa tak pantas.

Bella benar. Aku hanya anak yatim piatu yang kehidupan keluarganya berantakan. Dia sampai mengungkit kematian kedua orang tuaku yang sangat bermasalah kala itu. Ternyata keluarga Jason sampai mencari tahu semua tentangku hingga ke akar-akarnya.

Aku tak mempermasalahkan jika dihina banyak orang. Tapi, kematian orang tuaku bukan suatu aib bagiku. Karna semua itu sudah direncanakan oleh seseorang yang membenci mereka. Ayah dan ibuku telah dijebak, aku yakin itu.

Mereka yang membenci orang tuaku sengaja membuat rumor bahwa perusahaan ayahku melakukan penggelapan dana. Dan kecelakaan itu adalah percobaan bunuh diri agar terhindar dari hukuman yang akan dijatuhkan pada ayah dan ibuku.

Hah! Aku tahu, semua itu sungguh karangan cerita yang menarik. Dan selalu berhasil membuatku muak, setiap kali mendengarnya.

Sejak saat itu, Jennifer masuk bekerja di cafe. Walaupun, sebenarnya tak benar-benar sebagai salah satu karyawan. Hanya kamuflase, untuk menghentikan Jason berhubungan lagi denganku.

“Apakah kau sudah cukup tenang Ainsley?” tanya Jason, menatap ke arahku.

“Eh? Em, lumayan. Sebenarnya apa maksudmu mengajakku ke sini? Aku tahu, tujuanmu bukan hanya membuatku lebih tenang, bukan?” tanyaku pada Jason, sambil menatap gulungan ombak di laut.

“Kau benar Ainsley. Tapi membuatmu lebih tenang adalah tujuan awalku, kulakukan itu dengan ikhlas tanpa pamrih. Dan aku sangat ingin melakukan itu setiap saat untukmu. Hanya saja, kau selalu menghindariku," jelas Jason.

“Yang perlu kau tahu Jason, aku menghindarimu bukan karna membencimu. Semua itu demi kebaikan bersama,” jawabku, berusaha terlihat tegar di hadapannya. Walaupun hati ini merasakan sakit yang luar biasa.

“Hah! Kebaikan bersama? Jangan konyol! Kau melakukan itu juga karna ditekan oleh Jennifer dan Bella, bukan?” tanya Jason sinis.

“Rupanya kau telah sadar akan hal itu,” jawabku enteng.

“Ainsley, kau jangan egois. Aku sangat menyayangimu, dan juga merindukanmu setiap saat. Apa dirimu mengerti bagaimana rasanya tersiksa dalam perasaan yang seperti itu?” tanya Jason, sambil menghadapkan badanku ke arahnya.

Tapi aku tak mau memandangnya sama sekali. Itu hanya membuatku merasa sangat sakit. Aku juga merasakan hal yang sama. Dasar tidak peka!

“Aku? Egois? Kau pikir aku melakukan hal ini karna egoku sendiri? Sebaiknya kau pikir dua kali. Bagaimana rasanya jadi diriku. Bersusah payah mendapatkan beasiswa supaya meringankan beban keluargaku. Tapi hanya karna masalah ini, beasiswa yang telah kuperjuangkan mati-matian demi ayah dan ibuku, berakhir sia-sia? Kau mau aku seperti itu?” tanyaku.

Aku menatap tajam dirinya selama beberapa detik. Kemudian kupalingkan mukaku. Akhirnya Jason terdiam dengan raut wajah bersalahnya.

“Jas, cinta dan sayang itu, bukan berarti harus memiliki. Cukup saling mengerti dan membiarkan bahagia dengan jalan yang telah ditentukan oleh takdir, adalah rasa kasih sayang yang paling nyata.”

“Mungkin kau benar. Aku yang terlalu egois padamu dan memaksakan semua kehendakku. Diriku terlalu buta untuk bisa memilikimu tanpa melihat apa yang akan terjadi. Satu hal yang perlu kau tahu, aku akan selalu mencintaimu selama napasku belum berhenti. Tolong jangan membenciku setelah ini,” pinta Jason, melepas kedua tangannya dari lenganku.

“Ya. Aku akan selalu mengingat kata-katamu ini,” ujarku, tersenyum manis padanya. Jujur saja hatiku terlalu sakit mengucapkan semuanya. Tapi, aku harus kuat. Jangan sampai meneteskan air mata ini di depannya. Hal itu hanya membuat dia berubah pikiran dan terus keras kepala.

Kami terdiam cukup lama menikmati angin yang sepoi-sepoi, desiran ombak di laut, dan suara burung camar yang sedang mencari makan.

Aku dan dirinya menenangkan diri di pantai hingga sore hari. Akhirnya aku tak bekerja hari ini. Mungkin ini bisa kusebut rekreasi dadakan, sekaligus berakhirnya rasa pedih di hati yang selama ini hanya kupendam sendiri.

“Jason, mungkin lusa aku akan meminta izinmu untuk mengambil cuti. Diriku harus pulang ke Inggris, untuk menjenguk nenek. Dia sangat kesepian walaupun sudah ada bibiku di sana. Suaminya meninggal belum lama ini, kau tahu rasanya, bukan?” tanyaku.

“Baik, aku akan memberimu izin. Berapa lama kau akan pergi?” tanya Jason.

“Seminggu, Jas.”

“Baiklah, aku memberimu izin. Sampaikan salamku pada semua keluargamu di sana. Ayo kuantar kau pulang.”

Aku hanya mengangguk setuju. Dan kami pulang akhirnya pulang dengan rasa lega di hati.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!