Part 5 Si Tuan Menyebalkan

Di mana aku? Kenapa bisa berada di dalam hutan yang gelap seperti ini? Mataku melirik ke sana kemari dengan perasaan ngeri. Jalan setapak yang becek juga udara yang terasa begitu lembap, membuat suasana di sini semakin mencekam.

Tiba-tiba saja terdengar bunyi ranting yang patah. Aku terkejut bukan main. Badanku kaku dalam beberapa detik. Aku berusaha sangat keras untuk segera membalikkan badan. Setelah berhasil, aku memperhatikan setiap sisi hutan dengan rasa waswas.

Mataku ... aku tak bisa melihat apa pun. Hutannya terlalu gelap. Aku memeluk erat tubuhku sendiri karena rasa panik yang kian memuncak. Badanku bergetar hebat. Aku bahkan merasa kehabisan oksigen di tempat yang penuh dengan pepohonan ini.

Aku terdiam cukup lama untuk melihat keadaan sekitar. Menghadapi kemungkinan jika ada penyerangan mendadak. Setelah kurasa cukup aman, aku membalikkan badan dan melanjutkan berjalan lurus ke depan. Entah ke mana tujuanku pun, diriku tak tahu.

Aku dikejutkan oleh kemunculan seorang pria tepat di hadapanku. Aku tak tahu dari mana dia datang. Awalnya hanya diam. Tapi lama-kelamaan, dirinya menyunggingkan senyum. Hingga menunjukkan pemandangan deretan gigi yang bagus, dan dua taring nan tajam.

Tak perlu waktu lama untuk mencerna keadaan ini. Mengetahui aku tak bisa berteriak, mataku membelalak lebar. Walaupun sudah berusaha sangat keras, bibirku terasa kaku dan sangat sulit untuk digerakkan. Hawa dingin terasa di sekujur tubuhku. Rasanya aku kembali terjebak pada malam mengerikan itu.

Tolong jangan sakiti aku. Kugelengkan kepala memberi isyarat jangan padanya. Aku melayangkan pandangan panik, dan wajahku menjadi pucat pasi. Tapi dalam hitungan kurang dari sepuluh detik, dia mulai menerjang ke arahku dengan senyum mengerikan miliknya.

“Akhhhh!” Aku bangun dan terduduk dengan rasa waswas. Napasku terengah-engah, seperti orang yang selesai melakukan lari maraton. Mata ini terbuka lebar, meskipun pening yang kurasakan. Keringat dingin mulai membasahi dahi, pelipis, dan akhirnya menetes di kerah baju tidurku. Jantungku berdebar hebat, merasakan mimpi yang seolah menjadi nyata.

Untungnya hanya mimpi. Yah ... hanya sekedar bunga tidur yang menakutkan. Tanganku gemetar tak karuan. Kakiku terasa begitu dingin. Padahal selimut menutupi seluruh tubuhku.

Aku duduk terdiam seperti tak bernyawa. Sembari mengumpulkan kesadaranku seutuhnya, Pandanganku lurus ke depan. Tapi aku tak tahu pasti apa yang sebenarnya kulihat. Aku berusaha menenangkan diri dengan mengatur pernapasanku.

Setelah perasaanku cukup tenang, rasa penasaran ini kembali mengusikku. Kira-kira, bagaimana nasib gadis yang bersama vampir malam itu? Apakah dia mati setelah digigit? Atau sebaiknya kuperiksa lagi? Sebelum beranjak dari tempat tidur, mataku melirik ke arah jam weker. Waktu menunjukkan pukul 02.30 pagi.

“Masih terlalu pagi. Di luar juga sangat gelap. Oh, astaga Ainsley! Sebaiknya kau mengurungkan niat ini. Hah! Kenapa aku harus mempunyai rasa ingin tahu yang tinggi?” gerutuku.

Setahuku dalam film atau cerita di novel, jika telah digigit oleh vampir, maka orang tersebut akan menjadi sama seperti makhluk tersebut. Atau, malah mati mengenaskan karena darahnya dihisap sampai habis. Di antara dua takdir ini, Pilihan mana yang Tuhan berikan pada gadis itu? Hei, sudahlah. Kenapa aku selalu membuat opini yang aneh-aneh lagi?

Lebih baik kulihat saja langsung. Mengintip dari balik tirai kurasa cukup. Apalagi di taman asrama terdapat banyak lampu. Walaupun tidak terlalu jelas tapi bisa sedikit membantu. Aku beranjak dari tempat tidur dan berjalan perlahan menuju jendela.

Karena takut, aku hanya membuka tirainya sedikit saja. Mataku membelalak lebar melihat hal itu. Aku terhuyung ke belakang dan jatuh ke lantai. Dentuman ini terdengar seperti beberapa tumpuk buku tebal yang menimpa ubin secara bersamaan.

Apa yang baru saja kulihat? Aku tak percaya ini. Jasad si gadis terkoyak parah sekali di bagian bahu dan kaki. Wajah itu tertutup oleh rambut panjang miliknya. Bukankah dia di gigit vampir, tapi kenapa lukanya seperti bekas cakaran hewan buas?

Aku menyengir tak percaya dengan apa yang kulihat tadi. “Hahaha! Hah! Aku pasti sudah gil4!” bentakku. Aku menampar wajahku sendiri agar tersadar. Mencoba meyakinkan hatiku, bahwa semua itu salah.

Tidak. Aku belum gila. Aku beranjak dari lantai dan mendekati jendela untuk melihat lagi. “Mataku ini masih benar. Tidak mungkin aku salah melihat, kan?” Kubuka tirai agak lebar, dan benar saja. Mayat gadis itu masih tergeletak di tanah. Masih ada darah di sekitar lukanya.

Artinya si vampir tidak menghisap habis darah gadis itu. Di luar masih cukup gelap dan tidak ada orang yang berlalu lalang di sekitar taman asrama. Bagaimana jika tidak ada yg menyadari bahwa ada mayat di sana. Jika aku turun ke bawah dan menolongnya, kemungkinan akulah orang yang menjadi korban berikutnya.

Karena dalam keadaan gelap seperti itu, aku bisa diserang kapan saja. Walaupun banyak lampu di taman, aku tak akan bisa menghindari si vampir sekalipun melawannya. Tenangkan hati dan pikiranmu Ainsley, jangan takut.

Pasti akan ada orang yang mengurus mayat itu nanti. Lagi pula ini bukan urusanku. Aku mencoba menghilangkan kepanikan yang sekarang melanda hatiku.

Bagaimana caraku melaporkan hal ini pada penjaga asrama? Aku takut mereka malah menuduhku sebagai pelaku pembunuhan gadis itu. Apa yang harus kulakukan sekarang?

Aku sangat mengantuk, tapi mata ini tak bisa kupejamkan lagi. Aku terlalu takut untuk kembali terlelap. Kakiku mulai mundur beberapa langkah dari jendela. Kemudian berlari secepat mungkin menuju tempat tidurku.

Derit ranjangku terdengar lebih keras, karena aku melompat begitu saja. Aku langsung membungkus seluruh tubuh dengan selimut. Hanya wajahku saja yang tak tertutup, agar bisa bernapas dengan leluasa. Bagaimana jika vampir itu mendatangi kamarku? Apa yang harus kugunakan untuk melindungi diri dari serangannya?

Kuambil jam weker secepat mungkin. Kini aku hanya bisa berharap agar waktu cepat berlalu. Dan sinar matahari cepat memasuki ruangan ini.

Mataku sangat lelah karena terus menatap jam weker, dan mengawasi keadaan sekitar secara teliti. Hingga akhirnya cahaya matahari mulai menembus jendela kamarku. Aku segera berlari membuka tirai lebar-lebar.

Tapi aku tak berani melihat ke luar jendela. Aku bergegas untuk mandi dan bersiap-siap berangkat kerja. Selesai dengan semua itu, kini aku menatap ke kaca riasku. Kantung mata ini menghitam sekarang. Terpaksa memakai make up yang cukup tebal untuk menutupinya.

Saat aku sedang mengambil tas di atas meja belajar, rasa penasaran ini mulai menggelitikiku lagi. Apakah mayat itu sudah ditemukan oleh seseorang? Tanpa sadar, akhirnya aku membuka jendela untuk melihatnya. Meskipun begitu, aku masih saja ragu untuk menatap keadaan di luar sana.

Mulanya aku hanya ingin melihat sebentar saja, tapi aku terlalu terkejut dengan semua ini. Mataku membelalak lebar. Aku membeku selama beberapa menit. “Ini ... apa yang terjadi! Kenapa mayat gadis itu berubah menjadi bangkai anjing yang telah hancur! Aku ... tidak salah melihat, bukan?” tanyaku ketakutan.

Tanpa pikir panjang, aku berbalik dan langsung berlari menuju pintu untuk keluar dari kamar ini. Ketakutanku semakin menjadi-jadi, dan membuatku bertingkah di luar kendali. Aku membanting pintu dengan kasar dan merosot ke lantai dengan lemas. Terduduk lelah menghadapi kenyataan hidupku sendiri.

Jantungku masih berdebar hebat karena kejadian yang baru saja terjadi, hampir membuatku gila. Aku baru sadar jika tingkahku membuat semua orang berpikir bahwa aku benar-benar tak waras, setelah mendongak ke atas. Beberapa mahasiswa memandangku dengan penuh hinaan. Aku membeku beberapa detik. Kemudian bangun dan membersihkan bajuku yang kotor karena debu di lantai.

Ketika membersihkan pakaianku ini, mataku tak sengaja melirik jam kecil yang melingkar di tangan. Kenapa aku bisa lupa jika harus pergi bekerja? Tamat sudah riwayatku.

Banyak waktu yang terbuang karena mayat sial4n itu. Akhirnya aku berlari menuju lift untuk mengejar keterlambatanku. Keluar dari asrama, aku berusaha berlari secepat mungkin untuk sampai di sana tanpa terkena ocehan.

Kakiku pegal sekali. Dadaku juga terasa sangat sesak. Padahal kurang lima langkah lagi aku sampai di depan pintu cafe. "Semangat, Ainsley! Sangat menyebalkan bila Aku terkena omelan tak berguna dari nenek sihir itu."

Begitu membuka pintu cafe, bel pun berbunyi. Semua karyawan yang sedang bekerja memandang ke arahku. Tapi aku tetap berjalan dengan cepat menuju dapur. Sepanjang mata memandang, aku tak melihat Jennifer di mana pun. Syukurlah wanita itu tak bertemu denganku saat ini. Mungkin saja, dia sedang beristirahat menemani Jason di ruang khususnya.

Pandanganku tertuju pada jam yang melingkar di pergelangan tanganku. Celaka, ternyata sudah terlambat 3 menit, habislah diriku. Aku langsung memakai celemek yang tersisa di rak secepat mungkin, dan segera bergabung dengan yang lain. Semoga sampai waktu pulang nanti, aku tidak bertemu dengan wanita penggerutu itu.

“Ainsley, berikan kopi dan cake ini di meja nomor 13,” ujar Clara.

“O, baik. Akan kuantar sekarang,” jawabku.

“Sepertinya kau telat 4 menit,” ujar Clara, sambil menyusun makanan pelanggan. Tangan lincahnya itu sangat terampil saat mengambil semua pesanan dari dapur lalu meletakkannya di nampan milikku. Tak heran dia bisa begitu hebat dalam bidang ini. Ia sudah bekerja di sini selama lima tahun.

“Lebih tepatnya 3 menit yang lalu, Clar,” jawabku, sambil melirik ke arahnya. Aku tak ingin cepat-cepat ke depan untuk memberikan makanan ini. Em ... mungkin terdengar agak aneh. Tapi aku sangat senang melihat Clara bekerja. Itu seperti hiburan atraksi bagiku.

“Beruntung sekali kau hari ini, Ainsley. Jennifer tak masuk bekerja,” tukas Clara.

“APA?! Hehehe terima kasih, Clara. Info itu sangat membuatku senang,” sahutku, tersenyum ke arahnya.

“Hahaha, dasar kau. Sudahlah antarkan pesanan itu sekarang," Clara tertawa geli mendengar ucapanku.

Kini diriku menuju ke meja nomor 13. Apakah aku sudah gila? Mendengar berita itu, hatiku seperti meloncat ke sana kemari. Aku menyengir karena selamat dari kejadian yang hampir saja menimpaku.

Setelah mengantarkan pesanan pelanggan, aku kembali ke dapur dengan langkah yang lumayan cepat. Hanya saja, pandangan mataku selalu ke bawah. Untuk menghindari orang-orang melihat dan menyebutku tak waras karena menyengir sendiri.

Tiba-tiba saja aku menabrak seseorang tanpa sengaja. Ini ... aroma tubuhnya sangat menenangkan hati dan pikiranku. Aku langsung mengerjapkan mata berkali-kali begiti sadar telah menabrak seseorang. Sebenarnya apa yang baru saja kupikirkan? Hanya karena wangi parfum, aku jadi terlena. Benar-benar payah.

“Maaf ... maafkan saya, Tuan. Saya sungguh tidak sengaja menabrak Anda” pintaku. Astaga, masalah apalagi yang akan kuhadapi kali ini?

“Em, tak apa, Nona. Lain kali kau harus berhati-hati. Aku tahu kau tidak sengaja,” jawab si pria tampan.

“Terima kasih, Tuan. Maaf telah membuat Anda kesal. Mohon atas kebesaran hati Anda,” ujarku, sambil menunduk.

“Saat berbicara dengan seseorang, apakah sopan jika tidak menatapnya, Nona?” tanya si pria, dengan nada sarkastis.

“Apa? Maksudnya ... karena saya salah. Maka dari itu ... saya tak berani menatap wajah Anda, Tuan,” ujarku gelagapan. Bagaimana ini? Selamat dari Jennifer, kini malah bermasalah dengan pelanggan. Tamat riwayatku.

“Hadap ke sini. Aku penasaran siapa yang telah menabrakku,” ujar si pria. Dia mengangkat daguku agar wajah ini terlihat olehnya.

Apa maksudnya dia memperlakukanku seperti ini? Aku terdiam saat ia melihatku dengan tatapan tajamnya itu. Sungguh membuat orang ketakutan setengah mati. Alisku bertaut cemas. Aura mencekam sangat terasa, saat tangan dinginnya menyentuh daguku.

Dia menatap lekat-lekat wajah ini, hingga membuatku risih karenanya. Kutepis tangan besar nan dingin itu dengan pelan. Aku tak ingin menyinggungnya karena sikapku. Tapi kelakuannya sungguh membuat diriku tak nyaman. Semua orang pun memandang ke arah kami berdua. Perbuatannya membuatku malu.

“Em ... maaf, Tuan. Saya memiliki banyak pekerjaan di dalam. Tolong ampuni pelayan yang hina ini.” Aku meminta dengan sangat padanya. Tapi dia tetap bergeming. Oh Tuhan, tolong diriku.

“Kau ingin aku mengampunimu? Temui aku di east cafe. Ada hal yang ingin kubicarakan padamu,” ucap si pria. Nada bicaranya sangat dingin. Dia juga tak melihat ke arahku.

“Apa yang ingin Anda ucapkan, Tuan? Mengapa tidak katakan-“

“Jika kau menolak, aku akan melaporkan hal ini pada-"

“Baik! Baik, Tuan. Saya akan menuruti perintah, Anda. Tapi tidak sekarang. Mohon tunggulah sampai jam kerjaku habis. Sekitar jam 3 sore nanti saya akan menemui, Anda," tukasku, memotong ucapan pria itu dengan cepat

“Baik, aku tunggu di sana,” ujar si pria, sambil pergi meninggalkanku.

Setelah pria itu pergi dari hadapanku, aku mematung selama beberapa detik. Pikiranku melayang kali ini. Entah apa yang kurasakan sebenarnya.

Walaupun terlihat kejam, tapi dia sangat berwibawa. Cara berjalannya seperti seorang bangsawan. Garis rahang yang tegas membuat wajahnya semakin rupawan. Mata birunya yang sebening kristal terlihat begitu indah. Bibir tipisnya yang berwarna seperti buah peach sangat menggoda dipandang mata.

Aku mengerjapkan mata berkali-kali. “Hah! Apa yang kau pikirkan, Ainsley! Dasar bodoh,” gerutuku pelan, sambil menggelengkan kepala. Sadarlah, Ainsley. Kau menabrak orang yang berbahaya. Tapi malah mengagumi setiap detail dari tubuh pria itu.

Payah! Aku kembali mendapatkan masalah lagi. Bahaya sekali jika ada yang melihatku membuat keributan dengan pelanggan. Sebaiknya aku kembali ke dapur untuk menghindari hal aneh lainnya. Semoga saja tak ada pelayan lain yang melihat kejadian ini.

Terpopuler

Comments

Reanza

Reanza

Nggak tau kenapa selalu suka juga dengan orang bermata biru

2020-06-28

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!