Cuitan burung-burung kecil membangunkanku dari tidur panjang malam itu. Sayangnya bukan hanya tubuhku yang terbangun, rasa sakitku juga begitu. Nyeri dan perih mulai menyerang lenganku. Ingin beranjak dari tempat tidur pun seperti tak mampu lagi.
Terpaksa aku harus tetap merebahkan diri di atas tempat tidur selama beberapa menit. Ini adalah keadaan yang paling kubenci. Aku berdiam diri sampai panas yang dipancarkan sang surya menusuk kulitku.
Karena tak bisa menunggu lagi, aku memaksa bangun. Dan hasil yang kudapat adalah rasa sakit yang terus menggila setiap kali bergerak. Jika kau bisa melihatku sekarang, pergerakanku menuju kamar mandi seperti seekor siput yang mengejar makanannya. Rasanya sudah berjalan secepat mungkin, tapi kenyataannya tidak begitu.
Setelah cukup lama menghabiskan waktu untuk mandi, kini waktunya bersiap-siap untuk pergi kuliah. Aku terhenti dan meringis kesakitan ketika hendak mencomot tas yang ada di atas meja. Aku benar-benar melupakan lukaku yang hampir terbuka karena balutan perbannya lepas terkena air.
Tanpa basa basi lagi, aku mengambil obat merah, perban, dan sebuah plester dari kotak p3k. Aku menghampiri meja rias dan duduk di sana. Sambil menatap cermin, diriku mengobati luka ini dengan benda-benda yang kupersiapkan tadi.
Selesai dengan semua itu, aku bersiap-siap untuk berangkat kuliah. Sungguh merepotkan memiliki luka ini. Tersentuh sedikit saja, rasa nyeri yang kurasakan.
Hari ini adalah UAS terakhir untuk naik ke semester tiga. Sebagian besar buku materi yang kuperlukan sudah masuk ke dalam tas. Tapi ada beberapa yang kubawa dengan tangan kananku. Kuharap semuanya berjalan dengan lancar. Aku tak ingin membuat kesalahan hanya karena rasa sakit yang datang tiba-tiba.
Kelas akan dimulai sekitar 15 menit lagi. Aku cepat-cepat keluar dari asrama menuju kampus. Tiba-tiba saja fokusku terpecah. Lamunan muncul di dalam pikiranku. Entah apa yang aku pikirkan sekarang.
Berjalan pun menjadi limbung. Tiba-tiba saja seseorang menabrakku. Lebih tepatnya di lengan yang terluka. Rasa nyeri membuyarkan lamunan ini. Sambil meringis kesakitan, aku langsung melihat sekelilingku. Meskipun jalanan ramai orang yang berjalan kaki, tapi jarak kami cukup jauh satu sama lain. Kemungkinan menabrak sesama pejalan kaki sangat kecil, bukan? Ya ... terkecuali aku sendiri yang melakukan kesalahan itu.
Aku mengabaikan pikiran yang membuatku banyak membuang waktu. Kucoba fokus kembali, dan berjalan di trotoar yang tak terlalu ramai. Karena tak memakai jam tangan, aku menjadi khawatir akan terlambat masuk. Begitu sampai di kelas, pengawas sudah berada di dalam. Hampir saja terlambat.
“Baik semuanya. Ujian dimulai 5 menit lagi. Siapkan alat tulis kalian. Selain itu mohon letakkan di dalam tas,” ujar pengawas, sambil membagi kertas ujian.
“Baik,” jawab para mahasiswa serentak.
Ujian dimulai dengan sangat tenang. Aku memperhatikan mereka semua mengerjakan soal tanpa ada raut wajah ragu dan cemas sedikit pun. Asal kau tahu saja, rata-rata murid beasiswa di kampusku memiliki IQ yang tinggi. Dan aku masih tergolong orang beruntung yang berhasil masuk di sini. Ya, meskipun kemampuanku masih jauh di bawah mereka.
Mengerjakan ujian bersama mereka adalah hal yang paling membuatku merinding. Itu terjadi karena kami semua bersaing untuk mendapatkan nilai yang baik. Tujuannya tak lain untuk mempertahankan beasiswa. Ini seperti arena berburu di alam liar. Berbagai macam pemburu karnivora memperebutkan satu-satunya mangsa yang tersisa, untuk bertahan hidup.
Masih tersisa 30 menit lagi sebelum ujian usai. Karena gugup, aku tak bisa berhenti memainkan pena di jariku. Satu jam telah terlewati. Akhirnya ujianku selesai. Lembar jawab ditinggal di atas meja.
Para mahasiswa pun pulang untuk beristirahat. Begitu pula diriku. Sungguh hari yang melelahkan. Beban hidupku semakin terasa karena jam satu siang nanti aku harus bekerja. “Hah! Si4l! Kepalaku pusing lagi” gerutuku.
Sampailah diriku di depan gedung asrama. Seperti yang aku perkirakan. Berdesak-desakan lagi dengan para mahasiswa lainnya. Pikiran itu memenuhi otakku begitu pintu lift mulai terbuka. Apa aku harus berjalan saja? Mataku melirik ke arah tangga yang tak jauh dari tempatku berdiri. Dari lantai satu sampai tiga, ternyata sama penuhnya seperti di sini. Akhirnya aku mengurungkan niatanku tadi.
Sebenarnya asrama telah menyediakan empat lift dan beberapa tangga sebagai alternatif. Tapi saat memasuki masa ujian, tempat ini terlihat seperti lautan manusia. Gedung ini bisa terlihat lebih longgar ketika para mahasiswanya keluar-masuk secara bergantian.
Gedung asrama hanya mencapai lantai tiga. Meskipun begitu, tempat ini sangat luas. Fasilitasnya juga bagus. Satu kamar bisa menampung dua orang. Beruntung sekali aku hanya seorang diri. Jadi terasa seperti di rumahku sendiri.
Begitu memasuki lift, aku melihat empat orang yang tertawa gembira menyingkirkan beberapa mahasiswa untuk menerobos ke dalam. Jarakku dengan para manusia itu awalnya cukup dekat. Tapi untungnya ada beberapa orang yang memberikanku batas agar tak bertemu langsung dengan mereka. Sepertinya nasibku memang selalu buruk.
Tawa Nysa, Ayumi, Carel, dan Lydia hampir menggema di setiap sudut lift ini. Tapi tak ada satu pun yang berani menghentikannya. Ingin sekali aku menampar mereka satu per satu jika mengingat kenangan waktu itu. Semua berawal dari kerja kelompok yang sering diberikan dosenku dulu.
Tugas-tugas semacam ini adalah ajang yang menyenangkan bagi mereka untuk merundungku. Padahal aku saja tak tahu, kesalahan apa yang membuatku selalu dipersulit oleh beberapa orang gil4 itu. Aku sering bernegosiasi dengan dosen yang memberi tugas supaya tidak perlu satu kelompok dengan mereka.
Tapi orang-orang itu tak kalah akal juga rupanya. Setiap usahaku hampir berhasil, mereka selalu membuat drama yang mengancam nama baikku. Sungguh pengalaman yang pahit. Untung saja belakangan ini aku tidak mendapatkan perlakuan buruk lagi.
Aku hanya bisa menghembuskan napas yang berat setiap kali mengingat kejadian buruk itu. Kurasa tidur lebih awal akan membuatku lebih tenang. Lagi-lagi kepala dan tanganku berdenyut sakit. Keadaan ini sungguh menyiksaku.
Saat pintu lift terbuka, aku membiarkan mereka pergi terlebih dulu. Setelah itu, barulah aku yang berjalan keluar dengan langkah yang cepat. Ingatan yang sejenak melintas membuat seluruh tubuhku terasa panas.
Setelah sampai di tempat tujuan, aku membuka pintu kamarku dengan sangat kasar. Bahkan ketika menutupnya kembali, bunyi gebrakan terdengar menggema di setiap sudut ruangan ini. Kakiku berjalan dengan cepat ke arah tempat tidur untuk segera menjatuhkan diri di atasnya.
Derit besi penyangga pun tak luput dari pendengaranku, setelah mendarat dengan sempurna di tumpukan bantal. Tapi nasib sial menimpaku lagi. Ketika mataku terpejam, jam weker berdering dengan keras.
“Urgh! Ada apa lagi ini! Aku hanya ingin beristirahat sebentar saja. Kenapa waktu berlalu begitu cepat? Jam tidurku habis hanya untuk mengantre menaiki lift.” Benar-benar membuatku naik darah dengan cepat. Dering benda kecil ini sangat menjengkelkan. Membuatku kaget setengah mati.
“Si4l! Kepalaku menjadi pusing!” Rasa kantukku sudah tidak tertahankan lagi. Jika saja ada yang melihatku dengan keadaan seperti ini, pasti aku dijadikan bahan olok-olok beberapa mahasiswi di kampus.
Sejujurnya, aroma bantal ini selalu mengajakku untuk tertidur lagi. Tapi aku harus bersiap-siap mandi dan berdandan secepat mungkin. Telat sedetik saja akan membuat Jennifer mengomel tak karuan.
Perpindahan shift-ku berlaku saat jam satu siang nanti. Beruntung aku mengatur alarm 30 menit sebelum waktu kerjaku. Jadi aku masih memiliki kesempatan agar tidak terjebak dalam drama konyol Jennifer. “Ayolah Ainsley! Bangun, bangun, bangun,” aku terus menggumam, sambil menepuk pipiku sendiri agar cepat tersadar.
Aku beranjak dari tempat tidur, dan melangkah dengan malas menuju kamar mandi. Kakiku terhenti saat melewati cermin. Mataku melirik ke arah pantulan wajah ini.
Aku menyengir sinis melihat diriku sendiri. Ternyata kantung mataku berwarna ungu kehitaman. Aku sudah menduga hal ini akan terjadi.
Kelihatannya dandananku harus sedikit tebal untuk menutupinya. Selesai mandi dan memakai baju, aku langsung menggunakan riasan untuk menutupi kantong mata ini. Aku perlu 10 menit untuk melakukannya.
Keluar dari asrama, aku menarik napas dalam-dalam. Menyiapkan mental yang kuat untuk menghadapi badai besar nanti. Semoga saja pertemuanku dengan nenek sihir itu tidak terlalu cepat.
Aku paham betul siapa dirinya. Wanita lic1k itu tak suka kekalahan. Apalagi kemarin aku berhasil lolos dari cengkeramannya.
Begitu masuk ke dalam cafe, bunyi lonceng pintu menyambutku. Aku segera masuk ke dapur untuk menghindari Jennifer. Sejujurnya aku tidak takut pada wanita itu, tapi kejutan yang dia berikan selalu berhasil membuatku shock.
Situasi kemarin saja membuat jantungku terasa copot dari tempatnya. Ditambah lagi aku harus berusaha lebih keras untuk menjauhi Jason. Dia terus-menerus mencariku. Kebodohannya itu membuatku semakin terjerembap dalam keadaan tak menguntungkan ini.
Aku sangat pening merasakan semuanya. Tapi aku harus bisa bertahan. Karena mencari pekerjaan paruh waktu dengan gaji yang lumayan banyak seperti ini, begitu sulit.
Uang yang terkumpul dari bekerja biasanya kupakai untuk biaya sewa, biaya sehari-hari, dan keperluan tugas kampus. Walaupun aku memakai beasiswa, tapi hal itu tak digunakan untuk membayar keperluan sehari-hari, bukan? Jadi berusaha dengan kerja paruh waktu adalah jawaban tepat dari masalahku ini.
“Hai. Ainsley, bagaimana kuliahmu tadi? Bukankah hari ini ujian terakhirmu telah usai? Kenapa jalanmu agak limbung? Kau sakit?” tanya Kayla.
“Ah, iya. Hari ini ujian telah usai. Ya, aku memang sedikit pusing karena tak punya waktu untuk beristirahat. Saat mataku baru saja terpejam, jam weker sudah berbunyi. Terpaksa aku bangun dengan keadaan lusuh begini. Kau tahu sendiri bagaimana konsekuensinya, jika kita terlambat satu detik saja.”
“Hitungan detik hanya berlaku bagimu. Untuk kami, peraturannya berbeda lagi, ok."
“Hah!” dengusku kesal. “ Ya, ya. Cukup paham! Bagi mereka yang bermasalah dengan wanita itu, perlakuannya pun akan berbeda. Lebih kejam,” ujarku sinis, melirik ke arah Kayla.
“Hahaha sudahlah,” tawa Kayla mengudara begitu melihat lirikanku tadi. “Ayo bekerja. Pelanggan sudah menunggu. Setidaknya kau tidak terlambat, iya, kan?” Kayla menyengir sambil menepuk pundakku. Ia pergi mengantarkan pesanan pelanggan setelah mengucapkan kalimat yang membuatku sedikit kesal.
Aku balas menyengir dengan sorot mata yang tajam. Ternyata Kayla masih saja terkekeh melihat ekspresiku ini. Hatiku benar-benar lelah menghadapi perlakuan nenek sihir itu.
Untungnya aku tipe orang yang bisa bersabar. Jika tidak memikirkan masalah beasiswa, pasti aku sudah membuat perhitungan dengan Jennifer dan keluar dari tempat ini. Keadaanku masih terjepit di sini. Aku tak bisa bertindak gegabah dalam menghadapinya. Meskipun aku tahu, hatiku selalu memberontak karena perbuatan Jennifer.
“Ainsley, pesanan datang. Cepat kau bawakan semuanya ke meja nomor 21,” ujar Justin, memberikan daftar pesanan padaku.
“Baik.” Tanpa basa-basi lagi diriku mengambil apa yang dipesan oleh meja nomor 21. Tapi sayangnya langkah kakiku terasa berat mengingat apa yang akan kuhadapi setelah ini.
Tampaknya Jennifer belum menunjukkan batang hidungnya padaku. Tapi ini cukup membuatku lega. Semoga saja aku tak bertemu dengannya sampai jam kerjaku habis.
“Permisi Tuan, Nona. Ini pesanan kalian selamat menikmati makanan dan minuman kami,” ujarku sambil membungkuk. Aku berbalik dan pergi dengan cepat menuju dapur.
Tanpa kuduga, ada yang menarik tanganku masuk ke dalam ruangan gelap yang dingin. Hampir saja aku berteriak tapi orang itu menutup rapat mulutku. Untuk berontak saja, aku tak bisa. Dia terlalu kuat.
“Tolong diamlah, Ainsley. Ini aku Jason,” bisik Jason padaku. Kurasa jarak wajah kami terlalu dekat. Embusan napasnya menerpa wajahku. Dia membawaku ke dalam ruang pendingin makanan.
“Jason kau ... kenapa membawaku ke sini? Bagaimana jika ada yang melihat? Tolong jangan memperburuk keadaan," tukasku.
“Tidak ada yang tahu kita di sini. Lagi pula semua lampu di sini sudah kumatikan. Jadi tolong pelankan suaramu. Kau selalu menghindariku karena seseorang mengancammu, kan? Maka dari itu, aku menarikmu kemari. Aku ingin mengajakmu makan malam dan membicarakan apa yang sebenarnya terjadi,” ujar Jason, memegang pundakku.
“Maaf, Jason. Aku tak punya waktu. Dan tidak ada yang mengancamku sama sekali.” Betapa munafiknya diriku mengatakan hal ini dengan lancar. Maafkan aku Jason.
“Aku tahu ini pasti ulah Jennifer bukan?”
“Tidak! Kau salah. Berhentilah menebak dan biarkan aku keluar!”
“Berhenti! Jangan melangkah keluar. Jika ini ulah Jennifer aku bisa-“
“Jika kau tahu, berhentilah membuatku selalu dalam masalah!” aku menghentikan ucapan Jason dengan cepat.
“Ainsley, berapa kali aku harus katakan. Aku mencintaimu. Sungguh!” Jason menatapku dengan mata indahnya itu. Meskipun teriakannya sangat menyebalkan di telingaku, tapi hati ini masih saja memihak dirinya.
Apa yang aku pikirkan? Aku harus cukup sadar jika diriku tidak pantas untuk pria yang ada di depanku ini. Hatiku terasa begitu sakit sekarang.
“Cukup! Kau salah jika jatuh cinta padaku. Aku ... apa kau ingin aku bertengkar dengan kekasihku, hah? Minggir. Sudah waktunya jam istirahat. Jangan ganggu diriku lagi.” Aku berbalik meninggalkan Jason di dalam ruang pendingin makanan.
“Aku tak percaya kau sudah memiliki kekasih, Ainsley!” Jason berteriak saat aku meninggalkannya di tempat itu. Bunyi dentuman yang sangat tiba-tiba membuatku sedikit terkejut. Sepertinya dia memukul tembok ruangan ini dengan keras. Sungguh pria bodoh. Melukai dirinya sendiri juga tak akan mengubah apa pun.
Maafkan aku Jason. Terpaksa harus bersikap kasar padamu. Aku tak ingin mendapat masalah yang lebih serius lagi dengan Jennifer. Karena dia terus mengancam beasiswaku.
Ketika jam istirahat karyawan tiba, selera makanku menjadi hilang. Akhirnya aku hanya memainkan ponsel sampai waktunya habis. Sungguh malang nasibku. Ketika kembali bekerja, aku malah berpapasan dengan Jennifer. Akhirnya aku mendapat ocehan konyol lagi darinya.
“Berhenti.”
“Ada apa, Jennifer? Mengapa kau-“
“Berhentilah berpura-pura. Aku tahu kau mencoba menggoda Jason bukan!” Jennifer menyergah ucapanku dengan cepat.
“Aku sungguh tidak menggodanya. Dia sendiri yang mendatangiku.”
“Cukup!” bentak Jennifer, menarik rambutku. "Jika kau masih ingin beasiswamu selamat, Jaga sikap dan bicaramu! Kau pikir masih bisa lolos dariku? Jangan mimpi!"
“Aku tidak berani macam-macam padamu, Jennifer. Sungguh! Tolong lepaskan tanganmu dari rambutku,” pintaku, merintih kesakitan.
“Baik kupegang kata-katamu, Ainsley," ujar Jennifer, melepas cengkeramannya.
Setelah kejadian itu, aku selalu bersembunyi bila Jason mencariku. Saat jam kerja berakhir pun, aku selalu menghindari bertatap muka dengan Jason.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
👑~𝙉𝙖𝙣𝙖𝗭𝖊𝖊~💣
semangat ...menjalani UAS....☺☺
2020-07-29
1
Liana Ary
mueheheh iya kak
2020-02-05
2
DIANAZ🍇ig@dianaz3348🍇
benar ainsley....fokus kuliah, sukses dl..Ntar cinta2annya. Be strong 💪
2020-02-03
1