Part 16 Pertengkaran Kakak Dan Adik

Kupandangi jendela yang berada di sampingku cukup lama. Semuanya terlihat begitu kecil dari atas sini. Mataku memandang terlalu jauh hingga lamunan muncul di dalam pikiranku. Aku masih saja tak habis pikir tentang Leonard Dale. Siapa sebenarnya pria menyeramkan itu?

Baru kemarin aku melihatnya marah. Biasanya Leonard hanya mengeluarkan reaksi yang biasa. Tapi tanggapannya waktu itu sangat mengerikan, saat dia mencengkeram kuat wajahku dengan tangan besarnya. Sungguh pria yang tak mempunyai hati.

Begitu dia menyelesaikan kemarahan itu, manik matanya berubah menjadi merah menyala. Aku tak ingin mengakui ini sebagai pradugaku, tapi setelah banyak berurusan dengan vampir, aku mulai memikirkan bahwa Leonard ini mungkin salah satu dari mereka.

Yang membuat dugaanku ini lemah adalah saat Leonard membuang muka dan menghadap lagi ke arahku, manik matanya sudah berubah menjadi biru bening. Dan aku tahu, sejak pertama bertemu dengannya sampai sekarang, itu adalah warna mata Leonard Dale.

Sesungguhnya aku sulit memahami ucapan Ricky Shawn tentang pria yang ingin berniat jahat padaku. Karna laki-laki yang pernah memasuki kamarku hanya Leonard dan Ricky. Tapi untuk orang yang menaiki jendela itu, aku tak tahu pasti siapa dirinya.

Yang kuingat, orang itu memiliki ciri rambut dan perawakan seperti Leonard Dale. Manusia biasa tak akan mungkin menaiki jendelaku, karna kamarku berada di lantai 3. Mengingat tak ada yang bisa digunakan untuk memanjat. Balkon setiap kamar disusun zig-zag dan jaraknya cukup jauh. Tentu saja, tujuannya menghindari maling masuk dengan mudah.

Jika Ricky yang masuk melewati jendela kamarku, aku percaya. Karna dia seorang werewolf. Tapi Leonard Dale, siapa pria ini sebenarnya? Dari kejadian yang kulihat kemarin dirinya menunjukkan ciri seorang vampir, walaupun aku tak terlalu yakin tentang itu.

Ini artinya aku harus menghindari Leonard Dale. Jika tidak, kemungkinan apa yang dikhawatirkan Ricky bisa saja terjadi. Aku akan dalam bahaya.

Kugelengkan kepala berkali-kali agar berhenti memikirkan hal yang membuatku pusing sekaligus bergidik ngeri. Rasa kantuk mulai menyerangku. Aku beralih menatap punggung kursi penumpang yang berada di depanku. Kupejamkan mata berharap bisa segera tertidur pulas. Kesadaranku perlahan menghilang. Akhirnya aku mati rasa. Tak bisa merasakan guncangan dan mendengar suara bising lagi.

Seorang pria tiba-tiba datang dan menggandeng tangan ini. Aku tak yakin mengapa dia bisa begitu dekat denganku. Hanya saja, diriku merasa aman di sampingnya. Perawakannya tinggi dan besar. Rambut coklat yang berantakan seperti baru terkena air, terlihat begitu menawan.

Aku bisa melihat dengan jelas manik matanya berwarna biru langit. Bibir tipis itu, warnanya seperti Buah Peach. Hidung yang sangat mancung juga garing rahang yang kokoh, benar-benar sosok yang didambakan setiap wanita.

Aku bisa menggambarkan setiap detail wajahnya, tapi mengapa aku tak tahu siapa yang sedang kulihat itu? Astaga! Dia mendekat ke arahku. Apakah dia akan menciumku?

Pria tampan seperti dia, siapa yang akan menolaknya? Hehehe dengan senang hati, aku mengerucutkan bibirku. Agar dirinya ini lebih mudah untuk mengecupku.

“Nona. Tolong bangunlah. Kita sudah sampai di tujuan.” Suara ini, kenapa seperti seorang perempuan?

Menyadari ada hal yang aneh, aku membuka mata dengan cepat dan langsung tersentak dari tidur. Membanting punggungku di kursi penumpang. Malunya diriku ini. Rupanya ada Pramugari yang membangunkanku.

“Ah? I-iya. Terima kasih, Nona. A-aku, aku akan turun dari pesawat. Ma-maafkan aku.” Hah! Malunya diriku. Aku sampai gagap menjawab Pramugari ini.

Pramugari itu hanya membungkukkan badan saat aku melewatinya pergi. Kejadian ini terjadi lagi. Hah! Bodohnya aku! Aku cepat-cepat keluar dari pesawat dan pergi mencari taksi.

Butuh waktu setengah jam dari bandara menuju rumahku. Cukup lama memang karna daerah tempat tinggalku jauh dari kota.

Lama waktu berlalu, akhirnya aku tiba di depan rumah. Kuambil ponselku dari saku celana. Rupanya sudah jam setengah 4 sore. Begitu turun dari taksi, mataku melirik ke arah kiriku. Mobil Sport BMW merah Maron telah terpampang di depan garasi pick up milik kakek.

Ternyata bocah teng1k itu datang juga ke rumah. Hah! Jika kuingat lagi, rasanya aku ingin menjitak pipinya yang begitu gembul. Kenakalan yang dia berikan padaku dulu sangat menjengkelkan.

Semua barang kesukaanku dirusaknya begitu saja. Mawar Putih yang telah kurawat sejak kecil sampai berbunga dipatahkannya dengan sangat santai tanpa merasa bersalah. Jika kami bertengkar kamarku yang menjadi sasaran kejahilan Richard Claire.

“Dasar Richard Teng1k! Gembul! Hah! Dia sungguh-“

“Ainsley," nenek memotong ucapanku dengan cepat. Sontak saja, itu membuatku terkesiap saat menatap lurus ke depan.

Nenek sudah membukakan pintu dengan ekspresi bingung karna melihatku mengoceh sendiri.

“Payah! Sepupuku ini gampang sekali terkejut,” ujar Richard, memperlihatkan separuh badannya karna tertutup nenek. “Malunya aku memiliki Kakak sepertimu,” timpalnya enteng, sambil mengangkat bahu.

“Hei! Bedeb4h Kec1l! Sini kau jika berani. Aku baru datang dan dirimu menyambutku seperti itu, hah?!” Aku menunjukkan emosiku di hadapan mereka dengan menunjukkan jari telunjukku ke arah Richard.

“Sudahlah, jangan bertengkar lagi. Richard berhentilah meledek Kakak Sepupumu itu,” ujar nenek kesal.

“Hah? Kakak Sepupu? Dia hanya menganggapku sebagai musuhnya, Nek. Lagi pula kenapa Richard berada di sini? Tak cukupkah hanya diriku dan bibi saja yang menemanimu?” Aku sungguh kesal melihat Richard. Dulu dirinya hanyalah seorang bocah gendut tapi sekarang, garis rahangnya kokoh, wajahnya pun semakin tampan. Hah! Menyebalkan!

“Hei! Kau pikir siapa dirimu! Bibimu itu adalah mamaku. Dia pergi ke mana saja, aku harus ikut. Bagaimana jika Gadis Berisik sepertimu mengganggu ketenangan ibundaku?” tanya Richard mengangkat kedua tangannya.

“Hei! Enak saja! Asal kau tahu saja, selama ini bibi yang sering-“

“Sering apa Ainsley?! Kau ingin berkata Bibimu ini bawel?!” bibi menyergah ucapanku dengan cepat, sambil menggeser tubuh nenek dan Richard dengan cepat.

“Ah, tidak, tidak, tidak ... aku ingin berkata Bibi sering menasihatiku dengan kata-kata yang baik, hehehe.” Astaga! Jantungku hampir copot melihat bibi muncul tiba-tiba. Untung saja aku pandai mengelak. Kurasa ucapanku sangat menipu diriku sendiri.

“Hhha, kau memang Gadis Cerdas. Bisa menilai diriku dengan sangat tepat. Semua kalimat yang keluar dari mulutku itu sangat baik.” Aku sungguh menyesal telah menyanjung bibi, walaupun itu hanya berbohong. Akhirnya dia melambungkan diri lagi. Tingkat percaya dirinya melebihi seorang artis profesional.

“Mamah, kau ini kenapa? Bagaimana bisa dirimu dibodohi oleh Ainsley?! Dia sedang berbohong, Mah.” Richard menatapku garang. Kurang kerjaan sekali bocah ini! Dia selalu membongkar kebohonganku di saat aku ingin melindungi diri.

Aku menatap tajam Richard dan menggertakkan gigi. Awas saja jika bibi sampai menghukumku karna bocah teng1k ini. Aku tak akan melepaskannya.

“Sudah! Kalian bertiga ini kenapa?! Ainsley baru sampai bukannya disambut dengan baik, malah kalian ajak bertengkar,” ujar nenek menatap bibi dan Richard.

“Nenek ...” panggilku manja sambil berlari ke arahnya. Waktunya aku mencari perlindungan dari nenek.

“Kemarilah Ainsley. Aku sudah sangat rindu padamu,” ujar nenek padaku. Aku meledek dengan menggembungkan pipiku dan melirik ke arah Richard. Dia pun, membalas dengan melotot ke arahku. Hhhe ini sangat lucu. Terkadang diriku berpikir jika pertengkaran kami sangat kekanakan.

Tapi inilah hal yang paling seru sekaligus menyebalkan. Bibi hanya menggelengkan kepala melihat tingkah Richard dan aku.

“Nenek, aku akan naik ke kamarku dulu untuk meletakkan tas ranselku ini.”

“Baiklah Ainsley. Jika kau lapar turunlah. Aku sudah menyiapkan makan siang sedari tadi sebelum kau datang. Diriku ingin beristirahat, kepalaku pusing mendengar pertengkaran kalian berdua.” Nenek kini berjalan menuju kamarnya.

Saat menaiki tangga, aku mulai mencium aroma kejahilan Richard. Karna setiap kali diriku menang dalam pertengkaran Richard selalu mengacak-acak kamarku.

Keributanku dengan Richard juga dipicu karna umur kami yang tak berbeda jauh, aku hanya lebih tua satu hari daripada dia. Jadi masih saling mempertahankan ego masing-masing. Sebenarnya itu sangat tidak bagus, tapi dia selalu menyulut emosiku. Apalagi kamarnya berada di lantai atas, sama sepertiku. Bersebelahan pula. Wajar jika setiap waktu menimbulkan kegaduhan.

Aku sering berpikir keras agar kamarku tidak bersebelahan dengan Richard ketika dia menginap di sini, tapi selalu saja gagal. Entah apa alasannya, aku tidak bisa membantah perintah kakek.

Pintu kamar Richard tertutup. Sepertinya, dia belum naik ke lantai atas. Artinya diriku bisa aman kali ini. Begitu aku mendekati kamar, terdengar bunyi seperti barang yang jatuh. Kubuka pintu dengan cepat.

Mataku membelalak lebar. Emosiku sepeti gunung berapi yang siap meledak. Richard sudah mengacak-acak kamarku lewat kebun belakang rumah. Kini dia menaiki jendela untuk melarikan diri.

“RICHARD CLAIRE!!” teriakanku kali ini terasa memekakkan telinga. Mau bagaimana lagi, emosiku sudah tak bisa dibendung untuk yang ke sekian kalinya. Aku ingin memberi pelajaran pada bocah teng1k itu!

“Richard-Ainsley! Apa yang kalian lakukan! Seluruh rumah ini terasa hampir roboh karna teriakan tadi!” Itu adalah suara dari nenek. Gawat! Bisa-bisa terkena hukuman jika tidak cepat bersembunyi.

Aku yang sedang kebingungan mencari tempat bersembunyi, hanya berjalan ke sana kemari seperti setrika yang sedang dipakai. Ah, gawat! Semua ini gara-gara Richard. Aku menatap Richard garang.

“Apa?! Jangan menatapku seperti itu! Salahmu sendiri berteriak. Nenek menjadi marah, bukan? Sampai jumpa, aku tak ingin ikut campur masalahmu,” ujar Richard, mengangkat bahunya. Akhirnya dia meloncat ke luar jendela, dan merayap di Pohon Maple.

“Hei Teng1k! Dasar tidak bertanggung jawab! Semuanya karna ulahmu! Awas saja kau!” bentakku sambil mengentak-entakkan kakiku di lantai karna kesal. Urgh! Kenapa kakek dulu menanam Maple di belakang kamarku?! Itu memudahkan Richard melarikan diri seperti ini.

Tiba-tiba saja, suara langkah kaki terdengar jelas di telingaku. Itu pasti nenek! Tamatlah riwayatku. Aku tak ingin terkena ocehan darinya.

“Ainsley! Dimana kau! Jangan bersembunyi dari-“

“Girl you are number one! Brighter than the sun! Bigger than the superstar you are!” aku memotong ocehan nenek dengan bernyanyi.

Aku menyanyikan lagu kesukaanku dengan berteriak. Sejujurnya mendengar suaraku sendiri saja, membuat kupingku berdengung. Hah, demi profesionalitas alibiku, aku harus melakukannya. Jika bukan karna bocah teng1k itu, aku tak akan dalam masalah seperti ini.

“Ainsley! Suara sumbang apa itu!” Gawat! Masalahku bertambah satu lagi. Bibi Alaina marah karna suaraku yang begitu menyiksa gendang telinga.

“Ainsley! Kau dengar itu?! Bibimu saja yang suaranya lebih parah darimu, marah karna nada sumbangmu,” ujar nenek. Aku terkekeh di dalam kamar mandi mendengar ucapan nenek.

“Ah? Baik, Nek. Jika mandi, aku memang sering menyanyikan lagu. Maafkan kebiasaan baruku ini,” dustaku, berlagak polos. Hah, selamat. Masalahku selesai. Sudahlah, tidak perlu berpura-pura mandi lagi. Badanku juga sudah terasa lengket. Lebih baik membersihkan diri.

Aku mendengar pintu yang ditutup. Sepertinya nenek sudah pergi dari kamar. Leganya hatiku ini.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!