Angin yang berembus, terasa begitu dingin ketika menerpa kakiku. Membuatku merasa tidak nyaman. Akhirnya aku terbangun dari tidurku. Tapi rasa kantuk ini masih terus menyerangku.
Mataku yang kuyu, menatap langit-langit ruangan ini. Terbaring lemas tak berdaya di atas ranjang. Walaupun begitu, makanan dan minuman sudah tersedia di atas meja. Aku tinggal memilih saja jika lapar.
Akhir-akhir ini, hidupku penuh dengan bahaya. Aku terluka pun, karena kebodohanku sendiri. Kini pikiranku kosong. Kesunyian di dalam kamar, menjadi pelengkap suasana hatiku yang terasa begitu hampa.
Hatiku seperti penuh dengan ruang hampa yang tak bertepi. Yah, kurasa ia sudah lama mati. Dan tak ada satu orang pun yang mampu menghidupkan kembali rasa ini.
Ingin sekali kutemukan sandaran hati. Tapi aku takut, jika terluka lagi. Pengalaman yang kudapat begitu pahit. Terkadang aku berpikir, dunia terasa begitu rumit hanya karena sebuah kata cinta.
Lamunanku terhenti karena angin yang membawa hawa dingin masuk ke dalam kamar. Walaupun jendela tak kubuka sama sekali, tapi lubang ventilasi di sini cukup banyak. Itu membuatku spontan menarik selimut dan meringkuk di baliknya. Hanya saja, aku merasa begitu bosan dengan keadaanku sekarang.
Kini aku mencoba menggerakkan leher dan tubuhku. Ini sudah tidak sesakit tadi. Obat dari Ricky Shawn sepertinya bekerja dengan baik. Kurasa keadaanku mulai membaik. Aku bisa bangun dan berjalan ke sana-kemari. Sangat membosankan jika terus berbaring di tempat tidur sepanjang waktu.
Aku mencomot ponsel yang tergeletak di atas meja, kemudian duduk kembali di tepi tempat tidur. Ternyata 7 panggilan tak terjawab dari nenek. Mengapa meneleponku sebanyak ini? Tidak mungkin jika dia tahu diriku terluka, kan?
Apakah ini sebuah kebetulan atau memang ada keterikatan batin, antara seorang nenek dan cucunya? Setiap kali diriku terluka, dia pasti meneleponku sebanyak mungkin, sampai mendengar sendiri bahwa aku baik-baik saja.
Sebaiknya aku telepon kembali saja. Sejujurnya aku pun merindukan nenek. Dia yang selalu menenangkanku dikala badai hati datang menghampiri.
“Halo, Ne-“
“Ainsley! Kenapa kau tidak menjawab teleponku! Apa dirimu baik-baik saja? Katakan semuanya padaku!" nenek memotong ucapanku dengan cepat.
Hah ... tidak lagi. Aku hanya bisa menggelengkan kepala. ketiga perempuan di keluargaku memang sama saja. Nenek, bibi, bahkan mendiang ibuku, suka sekali mengomeliku seperti itu.
“I-iya Nek, maafkan aku. Aku baik-baik saja,” dustaku.
“Kau tidak sedang membohongiku, kan?” bentak nenek. Astaga, kenapa dia menjadi seteliti ini? Baiklah, mengaku lebih awal sepertinya lebih bagus. Jika tetap mempertahankannya, hanya membuat diriku semakin terdesak.
“Em, aku sedikit terluka karena-“
“Sudah kuduga akan seperti ini! Kenapa kau bisa terluka, Ainsley? Apakah ada yang menyakitimu?" nenek memotong ucapanku lagi. "Ceritakan semua pada-“
“Nenek, berhentilah mencemaskanku seperti itu! Aku tahu kau sangat sayang padaku, tapi kumohon ... jangan terlalu seperti ini. Aku terluka karena jatuh, saat mengantarkan pesanan pelanggan," sergahku, menghentikan ucapan nenek.
“Maafkan aku, Ainsley. Kau adalah harta yang paling berharga bagiku. Aku tidak ingin, karena kesalahanku tak menjagamu dengan baik, kau pergi meninggalkanku. Sama seperti kedua orang tuamu.” Suara nenek mendadak menjadi sangat pelan. Apakah perkataanku tadi sangat menyinggungnya? Astaga ... kenapa aku bisa bersikap seperti ini pada nenek?
“Nenek, maafkan aku. Bukan maksudku menyinggungmu seperti itu. Ku-kumohon ... jangan membenciku nek,” pintaku. Sungguh aku merasa bersalah karena ucapanku tadi. Aku hanya tak ingin membuatnya semakin khawatir padaku.
“Ainsley, seharusnya aku yang meminta maaf. Kekhawatiranku padamu sudah berlebihan. Semua itu karena aku terlalu takut kau terluka, dan pergi jauh dari hidupku. Tapi tolong, jika dirimu sedang resah, atau menderita, jangan sembunyikan itu dariku,” jelas nenek.
“Baik, Nek. Tolong jangan membuat dirimu terlalu lelah, karena memikirkanku. Aku akan baik-baik saja, selama doamu menyertaiku.”
“Seberapa parah lukamu itu, Ainsley? Dan kapan kau akan pulang ke rumah?” tanya nenek.
“Saat terjatuh, aku terkena serpihan kaca. Leherku tergores lumayan banyak, namun hanya luka ringan. Lenganku yang cukup parah, karena tertusuk terlalu dalam. Untung saja sudah ditangani oleh dokter dengan baik. Setelah lukaku ini sembuh, aku akan segera pulang," dustaku.
Aku terpaksa mengarang cerita seperti ini untuknya. Semua kulakukan agar dia tak mencemaskanku lagi. Tidak mungkin aku mengatakan, bahwa semua ini karena vampir.
“Baiklah, jaga dirimu baik-baik, Ainsley. Jangan sampai terluka seperti ini lagi. Jika tak ingin aku khawatir, perhatikan setiap langkahmu. Menjatuhkan diri ke dalam keadaan yang berbahaya adalah tindakan yang bodoh.”
Kenapa aku merasa nenek selalu mengawasiku? Makna dari ucapan terakhirnya seperti peringatan bagiku. Sepertinya hal ini sering sekali terjadi padaku.
“Ba-baik, Nek. Aku paham semua yang kau ucapkan.”
“Bagus, jika kau memahaminya. Beristirahatlah, dirimu memerlukan waktu yang banyak untuk itu. Sampai jumpa Ainsley, kabari aku jika kau akan pulang.”
“Iya, Nek. Sampai jumpa jaga dirimu baik-baik.”
Begitu diriku selesai berbicara, nenek mematikan teleponnya. Ini sebenarnya suatu kebetulan, atau memang aku sedang diawasi dari jauh?
Setiap kali masalah besar menimpaku, nenek adalah orang yang pertama kali menelepon dan mengomeliku, dengan sikap cemasnya itu. Sudahlah, tak perlu kupikirkan. Semoga saja luka ini bisa sembuh lebih cepat.
Karena sudah sanggup untuk berdiri, aku melakukan kegiatan seperti biasa. Hanya saja, diriku mengurung diri di dalam kamar. Sekalipun keluar dari tempat ruangan ini, aku memakai baju yang sangat tertutup untuk menutupi luka di leher dan lengan.
Saat diriku keluar dari kamar dengan pakaian yang begitu tertutup, para penghuni asrama melihatku dengan sinis. Apakah aku begitu menyebalkan? Hingga mereka sangat membenciku.
Sebaiknya aku meminta perpanjangan waktu libur bekerja. Bagaimana jika Jason mengetahui keadaanku yang menyedihkan ini? Alasan apa yang sebaiknya kukatakan? Sudahlah aku akan memikirkannya nanti. Lebih baik aku meneleponnya terlebih dulu.
Nada sambung telepon Jason sudah terdengar. Selang beberapa detik, akhirnya dia mengangkat teleponku. “Halo, Jason. Apakah kau sedang sibuk?”
“Halo, Ainsley. Aku tidak sedang sibuk, memang ada apa? Kau belum pulang ke Inggris?” tanya Jason.
“Em, bolehkah aku perpanjangan waktu? Jadi diriku meminta ijin selama 12 hari,” pintaku.
“Jadi kau meminta tambahan 5 hari lagi, ya? Apa kau sangat merindukan rumahmu? Atau kau terkena masalah?” tanya Jason curiga.
“Hahaha! Kau memang pintar. Aku memang merindukan rumahku. Bisakah kau memberiku izin Jason” pintaku.
“Jangan coba membohongiku, Ainsley. Katakan yang sebenarnya, maka aku akan memberimu izin," paksa Jason. Sudah kuduga, kejadiannya akan berakhir seperti ini. Apakah aku benar-benar payah dalam hal berbohong? Sungguh menyebalkan.
“Em, sebenarnya, aku sedang tidak enak badan belakangan ini. Tidak mungkin diriku pulang dalam keadaan sakit, bukan? Maka dari itu, aku perlu waktu lagi, untuk menyembuhkan demamku," dustaku. Kumohon percayalah. Jangan membuat ini menjadi begitu sulit.
“Astaga! Mengapa kau tidak mengatakan yang sejujurnya? Lalu, apakah demammu cukup tinggi? Aku akan menjemputmu dalam waktu 5 menit tunggu-“
“Jason. Aku hanya demam, reaksimu tak perlu seheboh itu! Yang kuminta hanyalah perpanjangan waktu saja. Aku sudah cukup berterimakasih padamu. Ini hanyalah masalah kecil Jason," aku menyergah ucapan Jason dengan kesal.
Seharusnya dia memahami kata-kataku. Aku tak ingin dirinya melihatku dalam keadaan seperti ini. Sifat keras kepalanya itu membuatku pening.
“Em ... baiklah Ainsley. Tapi aku akan menjengukmu sebentar lagi kau-“
“Jason!" bentakku, mengehentikan ucapan Jason. "Sudah kubilang jangan-“
“Jangan menolak lagi Ainsley. Hanya menjengukmu, ok!” Jason menyergah ucapanku dengan cepat. Dan langsung menutup teleponnya.
Suara Jennifer terdengar olehku saat Jason mengatakan kalimat terakhir. Nada bicaranya seperti sedang marah. Rupanya wanita sadis itu sudah kembali bekerja. Mungkin dia kesal karena Jason ketahuan mengobrol denganku.
Sepertinya aku akan terkena masalah lagi. Sudahlah, diriku sedang tak ingin dipusingkan dengan masalah cinta yang konyol itu. Langit sudah gelap. Angin yang berembus terasa begitu dingin.
Suara gaduh mulai terdengar jelas saat para penghuni asrama melewati pintu kamarku. Mereka tertawa, dan membicarakan sesuatu dengan begitu asyik. Tapi aku begitu miris mendengar semua itu. Jujur saja aku iri karena tak bisa melakukan hal yang sama.
Hanya Vina yang bersedia mendengarkan ceritaku. Tapi, dia begitu sibuk dengan pekerjaannya. Jadi, tidak ada waktu untuk mencoba lebih dekat lagi dengannya. Ah, sudahlah, mengapa aku menjadi begitu cengeng hanya karena masalah ini? Aku masih memiliki keluarga yang menyayangiku.
Teman hanyalah peran tambahan dalam hidup, karena mereka mudah datang dan pergi. Berbeda dengan keluarga yang selalu ada, di kala diriku senang maupun susah. Aku beranjak dari kasur menuju kamar mandi, untuk mencuci muka dan menggosok gigi. Kupandangi cermin dalam waktu yang cukup lama.
Perban yang cukup tebal, melingkar di leher dan lenganku. Menutupi luka yang disebabkan oleh Sam. Aku tak menyangka, ternyata selama ini dia adalah vampir. Itulah sebabnya, ketika diriku bertanya tentang bangkai anjing, nada bicaranya cukup tinggi.
Lalu bagaimana nasib Sam? Apakah dia dibakar, seperti vampir yang kutemui di hutan lindung itu? Sudahlah, kenapa aku menjadi memikirkan makhluk menyeramkan itu?
Selesai menggosok gigi dan membasuh muka, aku kembali duduk di tepi tempat tidur. Pandangku kosong. Aku mengerjapkan mata berkali-kali agar kembali terjaga. Tapi kesunyian yang ada di dalam kamar ini, membuatku kehilangan fokus dan melamunkan hal yang tidak perlu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments