Part 8 Bertekuk Lutut Pada Sang Pria Aneh

Hah, akhirnya aku bisa bernapas lega. Sudah menjauh dari s1nga tak waras itu saja, hatiku jauh lebih tenang. Bersamanya lebih lama, hanya membuatku darah tinggi. Selalu berakhir dengan kemarahan dan membuat emosi yang meledak-meledak.

Aku biasanya lebih bisa menahan diri untuk tidak cepat marah. Tapi dengan dirinya, keadaan jadi berbeda. Tadi saja, diriku selalu membentak dan berkata kasar padanya. Hah, sangat tidak baik untuk reputasiku, yang selalu dianggap tenang dalam menghadapi masalah.

Ternyata selain Richard-sepupuku, Leonard Dale bisa membuatku marah sampai meledak-ledak. Aku kira hanya anak t3ngik itu, yang mempunyai sifat sangat menyebalkan. Pria aneh yang kutemui tadi pun, sama saja.

Rupanya hari semakin gelap. Jika tidak cepat sampai asrama, bisa gawat. Beruntung aku libur kuliah hari ini. Jika tidak, mungkin kekacauan yang kutimbulkan tidak hanya di cafe saja. Dan diriku akan dicap oleh anak-anak kampus, sebagai orang yang harus mendatangi seorang psikiater.

Oh Tuhan, bagaimana aku bisa lupa? Mayat gadis yang berubah menjadi bangkai anjing itu, apakah sudah ditemukan oleh seseorang? Aku memang takut dengan apa yang kulihat tadi pagi. Tapi, rasa penasaranku jauh lebih kuat kali ini.

Baiklah, aku harus melihatnya sendiri. Masih ada waktu sebelum hari benar-benar gelap. Sepertinya harus lewat jalan memutar untuk sampai di taman. Kurasa tak akan mencuri perhatian orang lain, terutama penjaga asrama.

Sesampainya di taman, aku bersembunyi di balik tanaman yang besar. Sepertinya cukup untuk mengintip. Mataku membelalak lebar melihat semua yang kulihat. Mengapa tempat kejadian menjadi sebersih ini? Ada apa sebenarnya?

“Apa mataku sudah rusak? Ah! Tidak-tidak. Itu sangat mustahil. Waktu menjalani tes kesehatan beberapa waktu lalu, semua anggota tubuhku dalam keadaan yang baik. Lalu bagaimana ini bisa terjadi? Apakah orang yang menemukan bangkainya menyiram jejak darah yang tercecer dengan air? Bisa jadi! Karna rerumputan di sini juga masih terlihat basah.” gumamku.

Tiba-tiba saja, suara yang berat dan agak menyeramkan terdengar di telingaku. Hal itu sukses membuatku begitu terkejut. Aku membeku dalam beberapa detik. Tenggorokanku mendadak terasa sangat kering. Kumohon jangan sampai diriku didatangi vampir menyeramkan sekarang, aku belum siap mati.

“Apa yang sedang kau lakukan!” ujar seseorang yang ada di belakang, sambil menepuk pundakku. Aku ingin membalik untuk melihat siapa dirinya, tapi rasa takut ini membekukan tubuhku.

“Aku-aku ... sedang melihat keadaan. Yah! Melihat keadaan di taman asrama ini,” jawabku gugup. Aku berusaha menelan salivaku dengan susah payah.

Matilah aku. Bagaimana caranya melarikan diri dari situasi mengerikan ini? Jika nasibku buruk, aku akan diserang habis-habisan. Tuhan, aku masih muda, ingin memiliki masa depan yang cerah, dan juga belum menikah. Jangan sampai aku mati di usia muda.

“Siapa kau!” bentak orang itu, sambil membalikkan tubuhku dengan paksa.

“Akhh! Aku-aku, aku mahasiswa di asrama ini, tolong jangan sakiti diriku. Aku belum mau mati!” teriakku, yang hampir menangis. Aku tak berani untuk membuka mata. Keringat dingin mulai keluar dari tubuhku. Kedua tanganku hampir mati rasa karna mengepal terlalu kencang.

“Hei! Aku penjaga asrama ini. Samuel Tayson.” Mendengar kalimat itu, mataku membelalak lebar. Ternyata Paman Sam.

“Ah? Ternyata kau Paman, untung saja bukan seseorang yang ingin membunuhku,” jawabku lega, sambil mengusap air mata yang telah menggenang sedari tadi.

“Untuk apa kau ke sini, hah?” tanya Sam, sinis. Apa sebaiknya kutanyakan saja, ya? Tidak ada salahnya mencoba.

“Em, Paman. Apa kau melihat bangkai anjing? Tadi pagi saat membuka jendela aku melihatnya tergelatak di taman ini.”

“Aku tak melihat apa pun! Bangkai anjing apa? Lagi pula siapa yang akan membunuh anjingnya di taman asrama. Aku dan Jack menjaga tempat ini dengan ketat,” jawab Sam dengan mantap.

“Ah, begitu, ya? Hahaha baiklah.” Aku menyengir mendengar jawaban dari Sam. “Aku pamit untuk kembali ke kamarku. Sudah petang saja rupanya, hahaha.” Aku hanya bisa tertawa canggung. Sepertinya, penjaga Sam tidak tahu apa yang terjadi.

Jika aku menanyakan tentang kejadian malam itu, mungkin dia mengira diriku perlu mendatangi seorang psikiater. Karna terlalu banyak berhalusinasi. Tapi kenapa keanehan selalu terjadi di sini?

“Baik! Sana pergilah,” tukas Sam. Dia memandangku dengan sorot mata yang tajam.

Kenapa penjaga asrama melihatku dengan tatapan yang tidak mengenakkan. Sepertinya aku tak pernah berbuat salah padanya. Atau jangan-jangan dia marah karna aku mendatangi taman, dan menanyakan bangkai anjing itu, ya?

Hah, sudahlah. Lebih baik segera masuk ke dalam. Traumaku terhadap kejadian kemarin malam masih membekas dengan sangat baik. Setelah sampai di lantai tiga, aku berlari secepat mungkin. Mengunci diri di dalam kamar. Dan mencoba menghubungkan teka-teki dari kejadian malam itu. Aku duduk di tepi ranjang sambil menggenggam erat ponselku.

Tunggu dulu, aku belum menanyakan hal yang sangat mengganggu pikiranku selama ini. Sebaiknya kucoba tanyakan pada Vina. Gadis ini adalah orang yang cukup dekat dan baik padaku. Dirinya juga sering di hina oleh sebagian besar anak-anak kampus. Yah, kasusnya tak jauh berbeda denganku. Dirundung oleh beberapa manusia yang tak memiliki hati dan pikiran.

Vina bekerja di supermarket dekat asrama. Semoga saat kejadian malam itu, dia sedang bekerja. Jadi aku bisa mendapatkan sedikit informasi darinya. Coba aku telepon saja, jujur diriku tak ingin keluar dari kamar sekarang.

“Halo, Vina. Aku ingin menanyakan sesuatu padamu.”

“Halo Ainsley, baik. Apa yang ingin kau tanyakan? Tolong cepat, ya. Aku harus berangkat kerja lebih awal kali ini,” jawab Vina.

“Baik Vin, apakah kemarin kau bekerja dan pulang malam hari? Pukul berapa? Karna aku merasakan hal yang janggal di asrama ini."

“Ah, itu. Iya, aku pulang jam 10 malam. Diriku juga merasakan hal yang tidak baik. Saat mulai memasuki area parkir asrama, ada aroma wangi yang aneh dan membuat kesadaranku sedikit hilang. Pagi harinya, diriku mendapati telah terbaring di kasur dengan baju tidur yang lengkap,” jelas Vina.

“Apa? Jadi kau pun, merasakan hal aneh itu. Kukira hanya aku seorang yang merasakan lemas tak berdaya saat memasuki asrama. Ah, iya, kamarmu lantai dua, bukan? Dan jendelamu kebetulan mengarah langsung ke taman, betul tidak?” tanyaku pada Vina.

“Iya, kau benar. Lagi pula dirimu sudah sering mengunjungiku untuk mengerjakan tugas bersama. Wajar jika paham kondisi kamarku ini,” jawab Vina enteng.

“Pertanyaanku bukan itu, tapi saat dirimu membuka jendela, kira-kira jam 7 pagi, apakah kau melihat bangkai anjing di taman asrama?”

“Aku selalu membuka jendela saat jam 6 pagi, tapi aku tak melihat keluar, karna cepat-cepat untuk mandi dan berbenah. Sudah ya, Ainsley. Saatnya untuk berangkat kerja. Kita sambung percakapan ini nanti, sampai jumpa.”

“Oh, ok. Sampai jumpa, Vina,” jawabku, mengakhiri telepon. Pandanganku kosong kali ini.

Ternyata Vina tak melihat sampai ke luar jendela. Sebatas membuka, membiarkan cahaya masuk, lalu pergi untuk siap-siap bekerja.

Apakah hanya diriku yang melihat kejadian itu? Jika bertanya pada teman-teman yang lain, aku hanya menjadi bahan olok-olok mereka saja.

Suara ketukan pintu membuyarkan semua lamunanku. “Siapa?” tanyaku agak keras. Tapi, tak ada yang menjawab dan ketukan itu terus berlanjut.

Mataku membelalak lebar. Menyadari diriku, mulai berpikir hal yang menyeramkan. Kumohon jangan lagi, untuk malam ini saja. Biarkan aku tenang, dan membuang segala ketakutan yang telah menumpuk di dalam hatiku.

Anehnya langkah kaki ini tak bisa kukendalikan. Terus saja maju mendekati pintu kamar. Aku membeku beberapa detik melihat gagang pintu. Tanpa sadar, tanganku membuka dengan gerakan yang cepat. Dan tidak ada siapa pun yang berdiri di depanku.

Apa diriku telah dijahili oleh seseorang? Entah mengapa, bulu kuduk ini mulai meremang. Aku membanting pintu dengan keras.

“Hei! Ainsley! Kau sudah tidak waras, ya? Jangan membanting pintu seenaknya! Ini bukan rumah nenekmu!” teriak Greene. Gawat aku membuat marah teman samping kamarku. Suara tadi pasti membuatnya terganggu.

“Maaf, maafkan aku, Greene. Hal ini tak akn terla kembali” jawabku. Payah! Diriku membuat masalah lagi. Sudahlah aku pergi mandi saja.

Air yang dingin mulai membasahi kepalaku. Kubasuh seluruh tubuhku dan memejamkan mata, sembari menghirup aroma terapi sabun mandiku. Suara gemercik air membuatku cukup tenang. Mengapa perasaan yang seperti ini hanya kudapat saat mandi? Hah, kuharap hidupku bisa lebih nyaman untuk ke depannya. Masalah yang datang bertubi-tubi membuatku cukup muak.

Di kala diriku menikmati ketenangan ini, suara yang berisik di luar mengacaukan semuanya. Karna khawatir, diriku membersihkan diri dengan cepat.

Di saat keluar dari kamar mandi, kulihat lemari pakaianku bergoyang-goyang. Tirai kamarku tersibak lebar. Padahal tadi hanya kubuka separuh saja.

Si4l! Baju ganti ada di lemari, terpaksa harus memakai jubah mandiku dulu. Apakah ada hantu di dalam lemariku? Kuambil sapu untuk bersiap-siap, siapa tahu ada pencuri yang masuk.

Setelah mendekati lemari, aku terhuyung ke belakang dan jatuh. Aku kaget bukan main. “K-kau!” bentakku.

“Oh, hai. Kenapa kau begitu kaget?” ujar Leonard datar.

“KAU! Turun dari lemariku! Dasar B4bi! S1nga Tak Waras!” teriakku. Kesalnya diriku, dia mengucapkan kata-kata itu, seperti tanpa dosa. Bagaimana dia bisa tahu aku di sini? Mengapa dia bisa lolos dari penjaga asrama?

“Hei! Kau ini selalu cerewet, ya,” ujar Leonard, sambil turun dari atas lemari. “Urusanmu denganku belum selesai. Kau malah kabur. Dasar pecund4ng,” sindir Leonard.

Dasar kurang kerjaan. Malah memakiku pecund4ang. Ingin rasanya menyingkirkan pria tak waras ini dari hadapanku. Emosi yang kurasakan selalu memuncak saat aku berbicara dengannya.

“Bagaimana kau bisa masuk, hah! Kau pasti menguntitku dari tadi, kan? Dasar Id1ot! Kurang kerjaan! Keluar dari sini!” aku membentaknya berkali-kali. Tapi dia tetap saja bergeming. Memang kepala batu.

“Hei! Jangan pernah mengusirku. Aku ini tamu, dan tamu adalah raja,” ujar Leonard, sambil duduk di sofa milikku dengan santai.

“Kau memang sudah tidak waras, Leonard Dale! Bagaimana kau bisa masuk ke sini, hah! Jawab cepat!” bentakku. Sepertinya aku akan terkena darah tinggi dalam waktu dekat.

“Kau lupa, ya? Pintumu itu tidak terkunci, jadi aku bisa masuk dengan mudah. Aku mengetuk berkali-kali tidak dibukakan pintu. Pemilik ruangan ini sangat tidak ramah, ya,” jawab Leonard, sambil melihat ke setiap sudut kamarku.

“Dasar tidak sopan! Jangan mengarang cerita! Pintuku itu sudah menggunakan kata sandi. Dan akan menutup secara otomatis. Menyelonong masuk ke kamar seseorang itu sangat tidak baik!” bentakku padanya. Aku rasa, ada yang janggal dengan cara Leonard masuk ke dalam ruangan ini.

“Aku ini orang yang pintar. Kau tak perlu tahu bagaimana caraku masuk,” tukas Leonard.

“Urgh! Masa bodoh! Aku tak peduli! Keluar sekarang juga! Jika tidak, teriakanku akan memanggil para penjaga asrama datang ke sini. Kau bisa dihakimi saat itu juga!” bentakku, sambil menunjukkan jariku ke pintu kamar. Tiba-tiba saja Leonard berdiri dan mendekatiku. Ini membuat diriku semakin resah.

“Teriak saja,” jawab Leonard enteng, mendekatiku dengan tatapan tajam. Dia membuatku jatuh ke tempat tidur. “Jika kau ingin aku berbuat lebih daripada ini, lakukan saja,” ucap Leonard. Jantungku berdegup kencang, melihat dia yang begitu tampan dengan ekspresi serius itu.

“Kau! Pergilah, Leonard!” Aku meronta dengan sangat keras, tapi tak berhasil menggesernya sedikit pun. Jarak wajah kami begitu dekat, mungkin hanya sepanjang ibu jari.

Dengan tangkas dia merengkuh leherku dan memulai aksinya. Bibirnya mendarat dengan begitu lembut, meski dengan gerakan yang cepat. Aku mengakui menikmati permainannya, meskipun terus meronta agar terlepas dari pria gil4 ini.

Perawakan Leonard begitu besar. Itulah yang membuatku tertahan di bawah dada bidangnya. Seusai menghirup aroma wangi yang keluar dari tubuh kekarnya, aku menuai rasa yang sangat menyejukkan hati. Diriku berakhir dengan mengikuti iramanya. Napas kami saling memburu. Dia menjelajah semakin dalam.

Aku telah kalah sekarang. Tidak bisa menjaga hal yang sangat kunanti untuk orang yang benar-benar kucintai. Sesal di hati kali ini, pasti akan membekas selama ingatanku masih baik.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!