Lailatulqadar ( Nyanyian Rindu Untuk Ayah )

Lailatulqadar ( Nyanyian Rindu Untuk Ayah )

Bab 1

Suasana duka menyelimuti rumah Lailatul yang biasa di panggil dengan sebutan Laila, dan juga adiknya yang bernama Qadar.

Adik kakak itu kini sedang di rundung derita, kehilangan sosok ibu tercinta yang selama ini berjuang membesarkan dan mengurus mereka tanpa ada sosok suami di sampingnya.

Marni, wanita berusia 40 tahunan lebih itu telah berpulang karena penyakit yang di deritanya. Meninggalkan kedua anak nya Laila (15th) dan Qadar (8th).

Semenjak kepergian suaminya, Marni berperan ganda, ia menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi kedua anaknya.

Segala cara Marni lakukan demi bisa bertahan hidup dan menghidupi anaknya dengan layak. Karena sang suami tak kunjung pulang sejak saat Qadar berada dalam kandungan usia 7bulan.

Hanya Marni yang tau apa alasan Syarif pergi meninggalkan dirinya dan keluarganya. Sementara Laila dan Qadar sama sekali tak tau menau alasan jelas kepergian Ayah mereka.

Yang mereka tau, Ayah mereka sedang bekerja di luar kota. Begitulah yang di katakan Marni pada anak-anaknya. Terkadang Laila dan Qadar sering bertanya kenapa Ayah mereka tak pernah pulang, bahkan sampai Qadar berusia 8 tahun, Qadar tak pernah tau wajah asli ayahnya.

Hanya sebuah foto usang yang menjadi pengobat rindu mereka pada sang Ayah. Dan saat ini penderitaan mereka kembali bertambah.

Laila dan Qadar harus kehilangan ibu tercinta. Satu-satunya orang yang mereka punya, sosok pahlawan wanita yang berhati malaikat dan selalu membuat keduanya bahagia.

Namun saat ini, pahlawan mereka sedang terbujur kaku di lantai rumah berukuran sempit. Suara orang-orang membacakan surah yasin dan doa-doa terdengar memenuhi ruangan.

Begitupun tangis mereka yang seakan tak pernah surut hingga jenazah sang ibu di kebumikan. Rintik gerimis mengantar Marni ke peristirahatan terakhirnya.

" Ibu! " pekik Qadar berhambur ke gundukan tanah basah yang bertabur bunga warna-warni di atasnya.

" Sudah Qadar, jangan nangis lagi. Kasihan ibu mu, biarkan dia pergi dengan tenang. Ada Paman dan Bibi di sini sebagai pengganti orang tua mu sekarang, kamu akan kami bawa pindah ke kota. " Handoko merangkul Qadar yang tampak masih terpukul dengan kepergian ibunya.

Handoko adalah adik dari almarhum Marni ibu Laila dan Qadar. Istri Handoko bernama Mira, mereka memiliki dua orang anak yang bernama Dita dan Aldo. Mereka tinggal di kota lain dengan Marni yang masih tinggal di kampung bersama anak-anaknya.

" Qadar mau ibu, Qadar gak mau ikut sama Paman. Qadar mau di sini saja temani ibu, kasihan ibu sendirian, " ucap anak berusia delapan tahun itu enggan beranjak dari tanah kuburan ibunya.

Rintik hujan makin deras, suara petir terdengar bersahutan seakan langit ikut menangis dan merasakan kesedihan Qadar.

" Mas, kalau dia gak mau pulang udah biarin saja! Hujan makin deras kita harus pulang. Anak ini kok gak nurut, pasti gak pernah di ajari sama orang tuanya! " sinis Mira istri Handoko.

Laila yang mendengar itu segera membujuk adiknya untuk berhenti meratapi nasib mereka. Ibu sudah pergi dan tak mungkin bisa kembali. Sebagai kakak, Laila harus lebih tegar dan bisa menguatkan adiknya, Qadar.

" Kita pulang dek! Ibu sudah tenang sama Allah. Adek ingat kata Pak Ustad? Kita gak boleh menangisi jenazah, tangisan kita bisa memberatkan ibu untuk pergi dari dunia ini, " bujuk Laila.

Qadar menoleh menatap manik mata Laila. Wajahnya yang basah dan manik mata yang menggenang air mata menatap lekat kakak perempuannya. Di dunia ini hanya tinggal Laila yang ia miliki, hanya Laila satu-satunya orang yang ia percaya untuk bisa melindungi juga merawat dirinya.

Laila mengusap lembut wajah Qadar yang basah karena air mata bercampur air hujan. Lalu ia mengajak adiknya untuk bangun dan segera meninggalkan makam ibunya.

' Selamat tinggal Ibu, semoga ibu tenang di alam sana. Dan semoga Laila bisa menjaga amanah dari ibu, untuk menjaga Qadar, ' batin Laila saat langkahnya makin jauh dari tempat peristirahatan sang ibu.

***

Hari itu juga Handoko langsung membawa Laila dan Qadar ke kota. Mengingat mereka tak punya lagi sanak maupun saudara di kampung. Rumah yang di tinggali Marni dengan kedua anaknya merupakan rumah peninggalan orang tua Handoko dan Marni.

Handoko pindah ke kota sejak dia bekerja dan menikah, sedang Marni tetap tinggal di kampung mengurus rumah peninggalan orang tua mereka. Handoko lebih dulu menikah daripada Marni.

Dulu Marni menikah dengan Syarif saat berusia tiga puluh tahunan, itupun Marni tidak tau dengan persis asal usul suaminya. Saat Syarif pergi dengan alasan akan bekerja ke kota, Marni hanya percaya saja pada suaminya itu Nyatanya Syarif tak pernah kembali.

Syarif meninggalkan Istri dan anaknya Laila saat Laila berusia tujuh tahun sedang Qadar masih berada dalam kandungan Marni, yang saat itu baru berusia enam bulan dalam kandungan.

Perih, keras dan sulitnya hidup Marni saat itu memperjuangkan kehidupan mereka demi bisa bertahan hidup.

Laila dan Qadar hanya membawa pakaian butut mereka, karena tak ada barang berharga yang bisa mereka bawa dari rumah. Selain dari pakaian dan sebuah foto ibu juga ayah mereka. Foto usang sebagai satu-satunya kenang-kenangan yang mereka miliki jika sedang rindu pada kedua orang tua mereka. Marni ibu mereka kini di surga, sedangkan Syarif Ayah mereka entah dimana. Entah masih hidup ataukah sama nasibnya seperti Marni yang kini sudah meninggal dunia.

Laila tidak tau kejelasan tentang Ayahnya. Yang pasti Laila selalu berdoa agar Ayahnya masih hidup, agar dia dan adiknya masih punya kesempatan memiliki orang tua. Terutama Qadar, ia belum pernah tau wajah asli ayahnya. Miris.

" Bau banget sih kalian, gak pernah mandi ya? " celetuk Dita dengan menutup hidung saat Laila dan Qadar masuk ke dalam mobil dengan membawa dua ikat kain berisi pakaian mereka.

" Dita gak boleh gitu. Mereka sepupu kamu, " ucap Handoko menasihati anak sulungnya yang berusia tujuh belas tahun.

Dita mendengus kesal, sedang Mira melirik sinis melihat dua keponakannya yang memang bau. Benar apa yang Dita bilang.

" Namanya juga anak kampung, ya bau lah! Bau orang miskin ! " bisik Mira pada Dita yang duduk di sebelahnya.

Dita terkekeh mendengar perkataan ibunya. Laila dan Qadar pun mendengar hinaan Mira bibi mereka, namun mereka diam dan tak berani melawan. Laila sadar ia akan numpang di rumah Bibi Mira dan Paman Handoko. Meski kelihatannya Bibi Mira dan anak sulungnya yang bernama Dita tak menyukai dirinya dan Qadar. Tak ada pilihan lain selain ikut bersama mereka demi bisa bertahan hidup menyambung perut agar tak kelaparan.

" Bener kata Ayah. Kak Dita gak boleh bilang gitu sama Kak Laila dan Bang Qadar, mereka saudara kita. " Aldo yang baru berusia lima tahun berceloteh dengan lucunya.

" Pintar anak Ayah! " Handoko mengacak rambut putra bungsunya. Lantas ia mulai mengemudikan mobil menuju kota dimana mereka tinggal.

bersambung,

Terpopuler

Comments

Mel_Cantik

Mel_Cantik

bab awal nyesek bgt kak..ksihan laila dan qadar..😭

2023-04-18

2

yamink oi

yamink oi

nyimak kak

2023-03-26

2

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

ceu @Andini Andana kak @Yamink Oi kesini yuk 😊☺️

2023-03-25

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!