Suasana duka menyelimuti rumah Lailatul yang biasa di panggil dengan sebutan Laila, dan juga adiknya yang bernama Qadar.
Adik kakak itu kini sedang di rundung derita, kehilangan sosok ibu tercinta yang selama ini berjuang membesarkan dan mengurus mereka tanpa ada sosok suami di sampingnya.
Marni, wanita berusia 40 tahunan lebih itu telah berpulang karena penyakit yang di deritanya. Meninggalkan kedua anak nya Laila (15th) dan Qadar (8th).
Semenjak kepergian suaminya, Marni berperan ganda, ia menjadi sosok ayah sekaligus ibu bagi kedua anaknya.
Segala cara Marni lakukan demi bisa bertahan hidup dan menghidupi anaknya dengan layak. Karena sang suami tak kunjung pulang sejak saat Qadar berada dalam kandungan usia 7bulan.
Hanya Marni yang tau apa alasan Syarif pergi meninggalkan dirinya dan keluarganya. Sementara Laila dan Qadar sama sekali tak tau menau alasan jelas kepergian Ayah mereka.
Yang mereka tau, Ayah mereka sedang bekerja di luar kota. Begitulah yang di katakan Marni pada anak-anaknya. Terkadang Laila dan Qadar sering bertanya kenapa Ayah mereka tak pernah pulang, bahkan sampai Qadar berusia 8 tahun, Qadar tak pernah tau wajah asli ayahnya.
Hanya sebuah foto usang yang menjadi pengobat rindu mereka pada sang Ayah. Dan saat ini penderitaan mereka kembali bertambah.
Laila dan Qadar harus kehilangan ibu tercinta. Satu-satunya orang yang mereka punya, sosok pahlawan wanita yang berhati malaikat dan selalu membuat keduanya bahagia.
Namun saat ini, pahlawan mereka sedang terbujur kaku di lantai rumah berukuran sempit. Suara orang-orang membacakan surah yasin dan doa-doa terdengar memenuhi ruangan.
Begitupun tangis mereka yang seakan tak pernah surut hingga jenazah sang ibu di kebumikan. Rintik gerimis mengantar Marni ke peristirahatan terakhirnya.
" Ibu! " pekik Qadar berhambur ke gundukan tanah basah yang bertabur bunga warna-warni di atasnya.
" Sudah Qadar, jangan nangis lagi. Kasihan ibu mu, biarkan dia pergi dengan tenang. Ada Paman dan Bibi di sini sebagai pengganti orang tua mu sekarang, kamu akan kami bawa pindah ke kota. " Handoko merangkul Qadar yang tampak masih terpukul dengan kepergian ibunya.
Handoko adalah adik dari almarhum Marni ibu Laila dan Qadar. Istri Handoko bernama Mira, mereka memiliki dua orang anak yang bernama Dita dan Aldo. Mereka tinggal di kota lain dengan Marni yang masih tinggal di kampung bersama anak-anaknya.
" Qadar mau ibu, Qadar gak mau ikut sama Paman. Qadar mau di sini saja temani ibu, kasihan ibu sendirian, " ucap anak berusia delapan tahun itu enggan beranjak dari tanah kuburan ibunya.
Rintik hujan makin deras, suara petir terdengar bersahutan seakan langit ikut menangis dan merasakan kesedihan Qadar.
" Mas, kalau dia gak mau pulang udah biarin saja! Hujan makin deras kita harus pulang. Anak ini kok gak nurut, pasti gak pernah di ajari sama orang tuanya! " sinis Mira istri Handoko.
Laila yang mendengar itu segera membujuk adiknya untuk berhenti meratapi nasib mereka. Ibu sudah pergi dan tak mungkin bisa kembali. Sebagai kakak, Laila harus lebih tegar dan bisa menguatkan adiknya, Qadar.
" Kita pulang dek! Ibu sudah tenang sama Allah. Adek ingat kata Pak Ustad? Kita gak boleh menangisi jenazah, tangisan kita bisa memberatkan ibu untuk pergi dari dunia ini, " bujuk Laila.
Qadar menoleh menatap manik mata Laila. Wajahnya yang basah dan manik mata yang menggenang air mata menatap lekat kakak perempuannya. Di dunia ini hanya tinggal Laila yang ia miliki, hanya Laila satu-satunya orang yang ia percaya untuk bisa melindungi juga merawat dirinya.
Laila mengusap lembut wajah Qadar yang basah karena air mata bercampur air hujan. Lalu ia mengajak adiknya untuk bangun dan segera meninggalkan makam ibunya.
' Selamat tinggal Ibu, semoga ibu tenang di alam sana. Dan semoga Laila bisa menjaga amanah dari ibu, untuk menjaga Qadar, ' batin Laila saat langkahnya makin jauh dari tempat peristirahatan sang ibu.
***
Hari itu juga Handoko langsung membawa Laila dan Qadar ke kota. Mengingat mereka tak punya lagi sanak maupun saudara di kampung. Rumah yang di tinggali Marni dengan kedua anaknya merupakan rumah peninggalan orang tua Handoko dan Marni.
Handoko pindah ke kota sejak dia bekerja dan menikah, sedang Marni tetap tinggal di kampung mengurus rumah peninggalan orang tua mereka. Handoko lebih dulu menikah daripada Marni.
Dulu Marni menikah dengan Syarif saat berusia tiga puluh tahunan, itupun Marni tidak tau dengan persis asal usul suaminya. Saat Syarif pergi dengan alasan akan bekerja ke kota, Marni hanya percaya saja pada suaminya itu Nyatanya Syarif tak pernah kembali.
Syarif meninggalkan Istri dan anaknya Laila saat Laila berusia tujuh tahun sedang Qadar masih berada dalam kandungan Marni, yang saat itu baru berusia enam bulan dalam kandungan.
Perih, keras dan sulitnya hidup Marni saat itu memperjuangkan kehidupan mereka demi bisa bertahan hidup.
Laila dan Qadar hanya membawa pakaian butut mereka, karena tak ada barang berharga yang bisa mereka bawa dari rumah. Selain dari pakaian dan sebuah foto ibu juga ayah mereka. Foto usang sebagai satu-satunya kenang-kenangan yang mereka miliki jika sedang rindu pada kedua orang tua mereka. Marni ibu mereka kini di surga, sedangkan Syarif Ayah mereka entah dimana. Entah masih hidup ataukah sama nasibnya seperti Marni yang kini sudah meninggal dunia.
Laila tidak tau kejelasan tentang Ayahnya. Yang pasti Laila selalu berdoa agar Ayahnya masih hidup, agar dia dan adiknya masih punya kesempatan memiliki orang tua. Terutama Qadar, ia belum pernah tau wajah asli ayahnya. Miris.
" Bau banget sih kalian, gak pernah mandi ya? " celetuk Dita dengan menutup hidung saat Laila dan Qadar masuk ke dalam mobil dengan membawa dua ikat kain berisi pakaian mereka.
" Dita gak boleh gitu. Mereka sepupu kamu, " ucap Handoko menasihati anak sulungnya yang berusia tujuh belas tahun.
Dita mendengus kesal, sedang Mira melirik sinis melihat dua keponakannya yang memang bau. Benar apa yang Dita bilang.
" Namanya juga anak kampung, ya bau lah! Bau orang miskin ! " bisik Mira pada Dita yang duduk di sebelahnya.
Dita terkekeh mendengar perkataan ibunya. Laila dan Qadar pun mendengar hinaan Mira bibi mereka, namun mereka diam dan tak berani melawan. Laila sadar ia akan numpang di rumah Bibi Mira dan Paman Handoko. Meski kelihatannya Bibi Mira dan anak sulungnya yang bernama Dita tak menyukai dirinya dan Qadar. Tak ada pilihan lain selain ikut bersama mereka demi bisa bertahan hidup menyambung perut agar tak kelaparan.
" Bener kata Ayah. Kak Dita gak boleh bilang gitu sama Kak Laila dan Bang Qadar, mereka saudara kita. " Aldo yang baru berusia lima tahun berceloteh dengan lucunya.
" Pintar anak Ayah! " Handoko mengacak rambut putra bungsunya. Lantas ia mulai mengemudikan mobil menuju kota dimana mereka tinggal.
bersambung,
Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang berada di lingkungan perumahan Agria Regency.
Rumah itu merupakan hunian Handoko dan keluarganya selama tinggal di kota. Handoko bisa di bilang cukup mapan karena sudah memiliki rumah sendiri semenjak menikah dengan Mira. Walaupun rumah itu masih ia cicil dari hasil gajinya setiap bulan. Setidaknya kehidupan Handoko lebih baik dari almarhumah Marni kakaknya.
" Kita sudah sampai. Ayo turun! " Handoko membuka pintu paling belakang mobil, dimana Laila dan Qadar berada.
Sementara istri dan anak-anaknya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Mira dan Dita seakan tidak senang dengan keberadaan Laila juga Qadar. Mereka tampaknya sedikit keberatan menerima kedua anak itu untuk numpang tinggal di rumahnya.
Masalahnya bukan hanya sekedar numpang tidur, tapi juga makan, biaya sekolah juga kebutuhan sehari-hari lainnya yang tentu akan di tanggung oleh Handoko.
Mira rasa kehadiran dua anak itu hanya akan menjadikan beban keluarganya saja. Apalagi gaji Handoko terkadang tak cukup untuk satu bulan untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka, sekarang malah di tambah lagi dua orang anak itu. Mira rasa hidup mereka akan semakin sulit, keuangan keluarga akan lebih buruk lagi dari sebelumnya.
Handoko mengantar Laila dan Qadar ke kamar baru mereka. Kedua mata anak itu terus mengitari keadaan di dalam rumah yang terlihat lebih bagus dibandingkan rumah mereka di kampung yang hanya terbuat dari bilik bambu dan papan saja.
Mata Qadar kini tertuju pada layar televisi berukuran besar dan tipis seperti cermin. Mata anak kecil itu membulat sempurna, dengan senyuman kecil mengembang di wajahnya.
" Ada Tv bagus di sini! Qadar bisa nonton Tv tanpa harus numpang di rumah tetangga lagi, " serunya dengan girang.
Langkah Laila dan Handoko terhenti melihat ekspresi bahagia Qadar yang mematung di depan televisi LED berukuran 32inchi.
" Iya nanti kamu bisa sepuasnya nonton Tv di sini. Chanelnya juga banyak loh, kamu bisa puas nonton kartun dan serial anak-anak lainnya. " Handoko memegang bahu anak itu.
Ada perasaan prihatin, haru dan sedih di hati Handoko melihat anak-anak Marni kakaknya yang sepertinya selama ini hidup serba kekurangan dan berada di garis kemiskinan.
" Ayo kita ke kamar baru kamu, nanti nonton Tv nya kalau kamu sudah bersih-bersih. Sekarang kan udah sore, kamu harus mandi, " ucap Handoko.
" Iya Paman! " ucap Qadar dengan wajah gembira terpancar dari sorot matanya dan garis-garis senyuman masih mengukir wajah mungilnya itu.
Dari ruang televisi mereka berjalan masuk ke ruang makan, di sana ada sebuah pintu bercat putih salju. Handoko meraih knop pintu memutar dan mendorongnya hingga terbuka.
" Nah ini kamar kalian, " ucap Handoko.
Kedua pasang mata anak-anak itu menyapu ke setiap sisi kamar.
Kamar yang cukup luas dengan dua ranjang berada di sisi kanan dan kiri, di tengahnya terdapat sebuah nakas kecil. Kamar tersebut memang dulu sengaja Handoko sediakan untuk menampung Marni dan anak-anaknya. Tapi sayang, Mira tak setuju saat Handoko ingin memboyong kakaknya ke rumah ini.
Saat Handoko tau jika Syarif pergi dari rumah meninggalkan Marni dan anak-anaknya, Handoko ingin mengajak Marni untuk tinggal bersamanya. Tapi Mira melarang keras, Handoko pun terpaksa mengurungkan niatannya itu demi keutuhan rumah tangganya. Apalagi saat itu Mira mengancam akan pergi dari rumah dan membawa kedua anak mereka pergi jika Handoko nekat mengajak kakaknya Marni untuk tinggal bersama mereka di rumah ini.
Handoko terpaksa diam-diam mengirimi uang untuk Marni di kampung, itupun bukan uang gaji melainkan uang dari hasil kerjaan sampingannya. Terkadang Handoko berbisnis jual beli apapun dari teman-teman satu pekerjaannya untuk bisa mendapatkan uang tambahan yang akan ia berikan pada Marni. Meski sedikit setidaknya ia bisa membantu keuangan Marni di kampung.
Tentu saja tanpa sepengetahuan Mira. Karena jika Mira tau, dia pasti akan melarang Handoko menjamin kehidupan keluarganya di kampung. Marni adalah saudara satu-satunya yang Handoko miliki. Ia tak akan tega melihat saudaranya itu hidup dalam kesusahan. Berjuang sendiri membesarkan kedua anak tanpa ada suami di sampingnya.
Handoko akui, Marni kakaknya merupakan sosok wanita yang tangguh. Marni merupakan sosok kakak sekaligus ibu bagi Handoko. Dan sekarang apa yang di alaminya dulu malah di alami oleh anak-anak Marni. Laila sepertinya begitu persis dengan Marni, yang selalu menjaga adiknya dengan baik. Sedang Qadar seperti Handoko kecil, yang begitu polos dan hanya bergantung pada kakaknya. Satu-satunya orang yang ia miliki.
Beruntung Laila dan Qadar masih punya Handoko sebagai paman mereka. Handoko berjanji akan membuat mereka tak merasa kekurangan saat tinggal di rumahnya. Memberikan kasih sayang pada mereka seperti pada Dita dan Aldo. Handoko tak akan membeda-bedakan mereka. Handoko akan menyayangi Laila dan Qadar seperti Marni menyayangi dan melindungi dirinya semasa kecil dulu.
" Kalian suka kamarnya? " tanya Handoko pada Laila dan Qadar yang tampak bengong melihat kamar yang rapi dan bersih itu.
" Suka Paman! " seru Qadar.
" Kamu Laila? " Handoko kini beralih pada Laila yang sedari tadi diam.
Laila mengangguk dan mengulas senyum tipis.
Handoko tau apa yang sedang Laila pikirkan. Ia akan menjalani kehidupan yang berat setelah di tinggal ibunya. Laila harus menjadi pengganti Marni bagi Qadar yang masih membutuhkan sosok seorang ibu di usianya yang masih kecil. Anak sepantaran Laila pasti sudah cukup matang memikirkan masa depan, apalagi Laila terbiasa hidup keras. Ia pasti lebih cepat dewasa ketimbang anak-anak sebayanya di luaran sana.
" Kalian mandi lalu istirahat ya! Nanti bibi kalian akan menyiapkan makanan dan kita makan malam bersama, " ujar Handoko mengusap punggung Laila seakan ingin meringankan beban pikiran anak remaja itu.
Satu tangannya lagi mengusap rambut Qadar, menunjukan rasa sayangnya pada anak kecil yang lugu dan polos itu.
" Ayah! Rupanya ayah di sini. Aku cari-cari tadi, " celoteh Aldo tiba-tiba muncul menghampiri mereka.
" Eh anak Ayah. Sini nak! " Handoko menggerakan tangan meminta agar Aldo mendekat.
" Aldo udah mandi belum? " tanya Handoko.
" Udah dong! Aku langsung mandi soalnya gerah, " jawab Aldo dengan lucunya.
" Bagus anak pinter. Aldo nanti ajak main Abang Qadar sama Kakak Laila. Bang Qadar katanya mau nonton film kartun sama Aldo, tapi sekarang mereka mau mandi dulu baru nanti nonton TV dan main sama kamu, sekarang Aldo tunggu di ruang TV yuk! " Ajak Handoko menggiring Aldo ke ruang televisi.
" Kalian mandi ya, " lanjutnya menoleh sebatas bahu ke arah dua anak yang kini memandangi dirinya dengan Aldo.
Laila menoleh pada Qadar yang masih menatap nanar kepergian dua orang tadi. Laila tau apa yang ada dalam benak Qadar. Adiknya itu pasti sedang mengkhayalkan kehangatan kasih sayang seorang Ayah terhadap anak laki-lakinya. Qadar pasti merindukan sosok Ayah yang sama sekali belum ia ketahui wajahnya. Hati Laila cukup teriris melihat ekspresi Qadar jika sudah seperti ini.
Hal yang sering terjadi saat Qadar bermain dengan teman-temannya di kampung. Dimana anak-anak lain mendapatkan perhatian dari sosok pria yang bergelar Ayah. Mendapatkan mainan saat Ayah mereka pulang kerja, mendapatkan oleh-oleh makanan dan yang lebih sederhana lagi mendapatkan sebuah kecupan dan belaian lembut dari sang Ayah. Hal-hal semacam itu sangat Qadar impikan karena selama 8 tahun ia belum pernah merasakannya.
bersambung,
''Qadar! " suara Laila membuyarkan lamunan anak kecil itu yang kini menoleh ke arahnya.
" Kamu mandi duluan. Biar nanti kita giliran. Habis mandi kamu bisa nyusul Aldo sama Paman Handoko ke ruang televisi, kamu mau nonton di sana kan? " lanjut Laila seraya mengeluarkan handuk kumal dari dalam bungkusan pakaian mereka.
" Iya kak, " kata Qadar sambil mengangguk dan meraih handuk dari tangan kakaknya.
Qadar berjalan ke kamar mandi yang berada di dekat ruang makan juga dapur di depan pintu kamar mereka.
Laila menghela napas, menghempaskan bobot tubuhnya di atas ranjang empuk yang di balut sprei bermotif bunga.
Pikirannya mengawang mengingat sang ibu. Masih tak percaya jika ibunya telah pergi secepat ini. Seketika bulir bening mengalir di sudut pipi Laila. Ia segera mengusap kasar air matanya.
" Mulai sekarang aku gak boleh nangis, apalagi di hadapan Qadar. Aku harus kuat demi adikku. Ya Allah,,, " sesak terasa di dada Laila kala tangisnya tertahan. Hatinya seakan menjerit memikul beban seberat ini.
" Kuatkan aku Ya Rabb,, " lirihnya dengan bibir bergetar masih menahan air mata agar tak tumpah.
Untuk melupakan semua kesedihannya agar dia tidak terus larut di dalam keterpurukan, ia pun segera mencari kesibukan dengan membereskan pakaian-pakaian miliknya juga milik Qadar.
Sebuah lemari pakaian tak jauh dari dekat ranjang, tepatnya lemari kokoh dari kayu jati itu berada di sebrang ranjang. Laila memasukan semua barang bawaannya ke dalam sana. Sedangkan foto ibu dan Ayah, ia simpan di meja laci samping tempat tidur.
Cara seperti ini sedikitnya membuat Laila tak larut dalam rasa sedih yang seakan sedang membunuhnya. Andai saja ada Ayah mungkin ia dan Qadar tak akan sengsara seperti ini. Laila memang selalu berandai-andai agar ia dan Qadar bisa menemukan Ayahnya kembali. Laila Rindu Ayahnya, Syarif.
Tok tok tok
Suara gedoran pintu terdengar dari luar sana. Sepertinya seseorang sedang mengetuk pintu kamar mandi dengan kencangnya.
" Siapa di dalam woii ! " teriak Dita sambil menggedor keras pintu kamar mandi yang berada di ruang makan dan dapur.
Spontan Laila keluar dari kamar dan melihat Dita berada di depan pintu kamar mandi di mana ada Qadar di dalamnya.
" Kak Dita! " sahut Laila.
" Di dalam ada Qadar lagi mandi, bentar lagi dia keluar kok. " Laila mencoba memberitahu Dita dan memintanya agar sabar menunggu Qadar untuk bergiliran menggunakan kamar mandi itu.
" Ck! Kok malah tuan rumah yang nunggu sih! " celetuk Dita pelan namun masih terdengar oleh Laila.
Dita sengaja memelankan suaranya agar tak terdengar oleh Handoko Ayahnya.
Tatapan sinis dan perkataan Dita barusan membuat Laila tak enak hati. Segera Laila mendekat mengetuk pintu kamar mandi dan meminta Qadar agar segera menyelesaikan aktifitas mandinya.
" Qadar, dek! Cepetan mandinya! " sahut Laila sambil mengetuk pintu pelan.
" Iya kak, udah kok! " Qadar pun keluar menatap satu persatu dua gadis remaja di hadapannya. Dita dan Laila kakaknya.
" Ayo dek! " Laila menarik lengan Qadar membawanya masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu kamar tersebut.
Dita terus menatap sinis langkah mereka berdua. Ia menggedikan bahu lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
" Lain kali mandi nya jangan lama-lama ya! Malu kan kalau yang punya rumah harus nunggu kita di luar, " nasihat Laila pada Qadar.
" Tapi Qadar kan baru saja masuk. " Anak itu tampak tak ingin di salahkan karena memang kenyataannya seperti itu.
" Kakak tau, tapi kamu juga harus ngerti kita di sini cuma numpang sama keluarga Paman Handoko. Lain kali kalau dengar suara Kak Dita mengetuk pintu, segera keluar.Selesai atau belum ritual mandi kamu tetap harus keluar, " titah Laila yang di angguki Qadar tanda mengerti nasihat kakaknya.
Qadar sudah berpakaian rapi, ia segera keluar dari kamar bergabung bersama Aldo dan Paman Handoko yang sedang duduk di depan televisi.
Sedangkan Mira tampak sibuk di dapur menggoreng telor mata sapi yang hanya berjumlah empat butir saja. Hanya kerupuk dan kecap tambahan menu makan malam mereka.
" Udah matang, kita makan sekarang." Mira berdiri di ambang pintu ruang makan yang terhubung langsung dengan ruang televisi dimana Aldo dan Qadar sedang asyik menonton kartun.
Handoko menoleh lantas mengajak kedua anak laki-laki itu untuk beranjak ke ruang makan. Dita yang mendengar suara kencang ibunya pun kini keluar dari kamar untuk makan malam.
" Laila, kita makan malam! " sahut Handoko saat tau jika Laila belum keluar kamar.
Laila baru selesai berpakaian sehabis mandi. Ia segera keluar setelah mendengar sahutan Handoko di ruang makan.
Mereka duduk di bangku masing-masing. Mira segera menyendokan nasi dan lauk untuk kedua anaknya juga sepiring nasi dan lauk untuk dirinya sendiri. Mengingat telor mata sapi hanya ada empat biji, ia tak mau sampai anak-anaknya tak kebagian jatah lauk makan malam.
" Loh kok cuma empat sih Mir? " tanya Handoko saat melihat telor mata sapi hanya tersisa satu biji saja.
" Mas lupa ini tanggal berapa? Stok makanan kita udah habis tinggal segitu. " Mira menjawab tanpa menoleh pada Handoko.
Ia sibuk memasukan nasi dan lauk ke dalam mulut dan mengunyahnya seakan tak peduli pada Laila ataupun Qodar yang sudah tampak keroncongan perutnya.
Handoko tau jika Mira mungkin tidak senang dengan keberadaan dua keponakannya.
Handoko mengambil sisa telor dan membaginya menjadi dua untuk Laila dan Qadar.
" Loh ayah makan apa dong? " celetuk Aldo polos.
" Ayah makan kerupuk sama kecap saja, lagian telor bisa bikin alergi ayah kambuh. Nanti gatal-gatal lagi, " kata Handoko beralasan.
" Ayo di makan Laila, Qadar! " titah Handoko pada kedua ponakannya.
Mira dan Dita saling lirik di sela-sela makan malam mereka. Lantas keduanya mendelik sinis pada Laila juga Qadar.
Laila bisa menangkap hal itu dari sudut matanya. Hingga suap demi suap nasi yang ia makan pun rasanya hambar. Bukan Laila tak bersyukur tapi ia merasa tak nyaman jika harus memakan makanan pemberian orang lain sementara orang itu tidak ikhlas memberinya. Mungkin Handoko pamannya ikhlas berbagi, tapi istri dan anaknya?
Belum satu hari saja sudah terasa tak nyaman seperti ini, apalagi nanti. Bahkan baru beberapa jam saja Laila dan Qadar tinggal di sini, tapi Mira dan Dita sepertinya sudah merasa risih dengan kehadiran mereka.
Laila harus bisa menguatkan diri menghadapi situasi ini. Ia harus beradaptasi di lingkungan barunya. Mungkin sikap Mira seperti itu, Laila memang belum mengenal dekat Bibi nya itu. Laila harus bisa mencuri hati Bibi nya agar lebih baik lagi terhadap dirinya dan Qadar. Siapa tau lama kelamaan Mira bisa bersikap baik. Mungkin Mira masih kaget dengan kehadirannya. Pikir Laila.
Selepas makan malam, Laila segera membantu Mira untuk membereskan piring kotor ke wastafel dan mencucinya.
" Biar Laila saja yang cuci piring Bi, " ucapnya.
Mira tak menjawab ia hanya melengos pergi meninggalkan dapur dimana Laila kini sibuk mencuci piring.
" Laila rajin ya, coba Dita bisa bantu-bantu pekerjaan ibunya. Mbak Marni memang gak salah mendidik anak, hingga Laila sudah mandiri, " puji Handoko.
" Kamu mau banding-bandingin Dita sama Laila, gitu? Sama aja kamu ngatain aku gak becus didik anak! " ketus Mira.
" Bukan gitu, maksud aku Dita harusnya bisa bantuin kamu. Kasihan kan kamu selalu kerja sendirian di rumah sementara Dita hanya main ponsel aja kerjaannya, " kata Handoko.
Selepas makan Dita memang langsung masuk kamar dan main ponsel seperti biasanya.
" Sekarang kan udah ada Laila, jadi biarin Dita fokus belajar di kamar, " bela Mira.
bersambung,
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!