Bab 11

Menjelang malam Laila memberitahu Qadar tentang kabar Ayah mereka yang ternyata masih hidup dan kemungkinan tinggal di kota ini.

Mendengar kabar tersebut Qadar tak kalah bahagia, ia bahkan sudah membayangkan pertemuannya dengan sang Ayah meski ia tak tau bagaimana rupa Ayahnya namun dalam khayalan wajah Ayahnya terbentuk sedemikian rupa seperti yang ia lihat pada foto usang.

"Kita gak cuma berdua kak, di dunia ini masih ada Ayah. Allah mendengarkan doa-doa kita!" ujar Qadar dengan mata berbinar.

"Iya Dek, kita akan sama-sama cari Ayah. Semoga Allah mempermudah jalan kita untuk mencari beliau," kata Laila seraya menyiapkan sarung dan mukena untuk mereka pergi terawih.

Besok seluruh umat muslim akan melaksanakan ibadah puasa, karenanya malam ini mereka akan melaksanakan shalat terawih di mesjid dekat rumah.

Laila dan Qadar keluar kamar, mereka berpamitan pada Mira sebelum berangkat ke Mesjid. Handoko paman mereka sudah lebih dulu pergi ke mesjid bersama Aldo sedangkan Mira dan Dita nampaknya tak berniat pergi terawih. Mira sedang asyik menonton sinetron sementara Dita seperti biasa dia lebih suka berada di kamar sambil main ponsel, namun Dita selalu beralasan jika ia sibuk dengan tugas sekolah nyatanya dia hanya sibuk memainkan gawainya itu.

"Bi, kami berangkat ke Mesjid dulu," ucap Laila sambil menyalami bibi nya itu.

"Hmm... ." Mira tak menengok ke arah mereka, hanya tangannya saja yang bersalaman dengan kedua keponakannya sedang mata Mira masih tertuju pada layar televisi.

"Assalamualaikum!" ucap Laila dan Qadar serentak.

"Wa'alaikumsalam." Mira menjawab masih tanpa menoleh, apalagi sinetron yang tayang lagi seru-serunya. Hingga menjawab salam pun sambi malas-malasan dan terpaksa.

Laila dan Qadar pun keluar rumah, berjalan menuju mesjid sekitar komplek yang memang jaraknya tak jauh dari rumah.

Nampak banyak warga komplek berbondong-bondong mendatangi mesjid untuk ikut ibadah. Semua orang tampak menyambut kedatangan bulan suci dengan penuh suka cita dan bersemangat. Moment langka yang hanya bisa mereka lewati setiap satu tahun sekali, hingga tak mau melewatkan moment tersebut. Terlebih manusia tak pernah tau apakah tahun depan mereka masih bisa merasakan bulan Ramadhan atau tidak. Karena usia manusia hanya Allah yang tau.

"Tahun ini kita terawih tanpa ibu," ucap Qadar saat mereka dalam perjalanan menuju mesjid.

"Ssttt... kamu harus belajar ikhlas. Semua sudah di atur oleh Allah. Ibu sudah terlepas dari penyakit yang di deritanya, itu artinya Allah sayang sama ibu. Kita yang masih di dunia lebih baik mendoakan orang yang telah meninggal, yaitu ibu kita. " Laila mencoba mengingatkan Qadar agar tak bersedih lagi, meski sebenarnya Laila pun merasa hambar menyambut bulan ramadhan tahun ini tanpa adanya ibu di samping mereka.

"Bang Qadar! Sini!" panggil Aldo yang berada di teras mesjid, ia melambaikan tangan saat melihat Qadar memasuki halaman mesjid.

"Sana sama Paman dan Aldo. Kakak kan sholatnya pisah di sebelah sana." Tunjuk Laila.

"Iya kak, tapi nanti pulang tunggu aku di sini ya!"

"Iya pasti. Cepat sana gih, Aldo nungguin tuh."

Qadar pun berlari kecil menghampiri Aldo, mereka berdua masuk ke dalam karena Handoko sudah berada di dalam.

Laila pun masuk ke tempat para perempuan. Mengambil shaf yang masih kosong. Tak ada satupun orang yang ia kenali di sana, namun sepertinya di antara mereka mengenalnya sebagai saudara Handoko dari kampung dan Laila di kenal mereka sebagai anak yatim piatu. Beberapa dari mereka bahkan melihat iba dirinya dan mereka tampak membicarakan Laila juga Qadar.

Selesai shalat Tarawih Laila pulang bersama Qadar, Aldo juga Paman Handoko.

Tiba di rumah nampak Mira ketiduran di depan televisi yang masih menyala.

Pantas saja saat mereka datang tak ada yang menyahut salam mereka. Rupanya Mira tidur dan tak mendengar kedatangan mereka.

"Bu, bangun bu!" Aldo mengguncang badan ibunya.

Mira mengerjap menyesuaikan matanya dengan silau cahaya di ruangan itu.

"Aduh aku ketiduran ya!" Mira bangkit dan duduk.

"Kalau capek tidur di dalam saja, di luar banyak nyamuk." Handoko melangkah ke kamar untuk mengganti pakaian.

Saat Laila dan Qadar hendak berjalan ke kamar, Mira memanggil mereka.

"Laila, Qadar!"

"Iya Bi?" Laila menghentikan langkahnya dan menoleh pada Mira.

"Besok pulang sekolah kalian bantu aku jualan ya, anter pesanan di sekitar komplek. Kalau mau kamu juga bisa jual keliling, nanti kamu dapat untung dari hasil jualan," kata Mira.

"Baik bi, nanti Laila bantu bibi."

"Bagus. Sekarang sana istirahat, nanti besok kamu harus bangun lebih pagi lagi kita kan mau sahur." Mira berdiri mengajak Aldo masuk kamar setelah ia memastikan semua pintu terkunci dan televisi pun di matikan.

Laila dan Qadar pun menuju kamar mereka untuk beristirahat.

Di tempat lain, Syarif termenung di ruang kerjanya. Tadi siang ia melihat Handoko, dan dia pun bersembunyi saat tau Handoko pun melihat keberadaannya. Syarif tak mau sampai bertemu dengan siapapun yang ada hubungannya dengan Marni. Bisa gawat nanti kalau sampai Marni dan kedua anaknya datang mencarinya ke kota ini. Bisa-bisa Ambar akan marah besar jika sampai Marni dan anak-anak mengetahui dimana tempat tinggalnya saat ini.

Hidup Syarif sudah cukup tenang selama delapan tahun ini. Meski jauh di lubuk hatinya ia pun terkadang merasa rindu pada kedua anak dan juga istrinya. Tapi tuntutan hidup membuatnya harus berbuat kejam pada mereka. Seandainya dulu ia tak berhutang budi pada keluarga Ambar mungkin ia masih punya pilihan dan bahkan mungkin Syarif akan memilih hidup bersama Marni, wanita yang ia cintai.

Dengan Ambar hidup Syarif hanya di bahagiakan oleh materi, harta yang berlimpah juga kedudukan. Di lihat dari luar mungkin dia bahagia tapi hatinya sebenarnya kosong dan hampa. Bukan cinta yang Syarif berikan pada Ambar namun kasih sayangnya semata-mata hanya untuk balas budi dan rasa iba. Apalagi Ambar sangat memanjakan Syarif dengan harta yang Ambar miliki. Untuk itu Syarif selalu kalah dari Ambar terlebih harta Ambar juga yang menyelamatkan nyawa orang tuanya dulu saat akan menjalani operasi.

Jika tidak ada Ambar mungkin saat itu Ayah Syarif sudah meninggal dunia, meski pun sekarang beliau memang sudah di panggil sang pencipta karena usianya memang sudah tak lagi muda. Setidaknya Ambar pernah menyelamatkan nyawa Ayah dari Syarif saat mengidap penyakit ganas dan harus segera di operasi.

Karena itu juga Syarif tak bisa meninggalkan Ambar. Banyak sekali hutang yang tak bisa di bayar olehnya hingga ia mengabdikan diri untuk menikahi Ambar yang saat itu sudah mengandung benih dari pria lain yang tak bertanggung jawab. Ya, Restu Airlangga memang bukanlah anak kandung Syarif melainkan Syarif menikahi Ambar di saat Restu sudah berada didalam rahim Ambar.

Namun meski demikian Syarif tetap menyayangi Restu, ia sudah menganggap Restu seperti anaknya sendiri. Dan Restu tak pernah tau akan hal ini, terlebih namanya di beri embel-embel Airlangga di belakangnya untuk menegaskan jika Restu adalah benar-benar putra Syarif Airlangga. Meski semua itu hanya sebagai formalitas semata.

bersambung,

Terpopuler

Comments

Elina Meilani

Elina Meilani

owh begitu dulu'y,,mudah2an nanti Laila&restu bisa berjodoh🤭

2023-03-27

1

Ali B.U

Ali B.U

next

2023-03-27

3

Ali B.U

Ali B.U

heeemmm.,!! ternyata.........

2023-03-27

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!