Saat malam datang perasaan hampa muncul di hati kedua kakak beradik. Rasa kehilangan seakan menyiksa batin mereka masing-masing.
Keduanya kini merindukan Marni, ibu mereka yang baru saja pergi dari dunia ini. Inginnya mereka tetap berada di kampung, tak jauh dari pusara ibunya berada. Tapi apa daya mereka tak bisa mengambil pilihan itu karena mereka masih kanak-kanak dan butuh orang dewasa yang mengurusi kehidupan mereka. Laila dan Qadar tak mungkin hidup berdua di rumah kecil di kampung, mereka butuh keluarga. Dan hanya Handoko satu-satunya keluarga mereka saat ini.
Pikiran mereka mengawang melamunkan suasana rumah mereka yang hangat tatkala ada sang ibunda tercinta.
Jika mereka berada di sana pun mungkin saat ini akan kesepian, dan rasa kehilangan lebih terasa jika tetap menghuni rumah itu.
Tetapi keputusan untuk pindah ke rumah Paman mereka pun sepertinya tak membuat mereka merasa nyaman dan lebih baik. Mereka tetap berdua dan kesepian. Sikap Handoko memang hangat pada keduanya, tapi Mira dan Dita sepertinya tidak menyukai kehadiran mereka. Bisa Laila rasakan hal itu, melihat sikap Mira dan Dita tadi Laila bisa mengerti jika mereka keberatan atas kehadiran dirinya dan Qadar adiknya.
" Kak, aku kangen ibu. " Suara serak terdengar dari arah samping, di mana Qadar tidur terlentang dan menoleh pada Laila.
Laila yang semula menatap langit-langit kamar kini menoleh ke arah sumber suara. Laila pikir Qadar sudah tidur rupanya Qadar sedang menangis sampai suaranya serak. Ternyata Qadar juga sedang merindukan ibu, pikir Laila.
" Kamu kok belum tidur dek? Ini sudah malam loh, nanti kamu kesiangan. " Laila mencoba menahan tangis.
Ia harus lebih kuat dari adiknya. Bagaimana dia bisa menguatkan Qadar jika hatinya saja rapuh dan hancur seperti sekarang ini? Laila terpaksa menahan sesak di dadanya, menahan tangis yang sebenarnya ingin pecah saat melihat wajah Qadar basah dengan air mata seperti itu.
" Aku gak bisa tidur kalau gak di peluk sama ibu, kak! Aku kangen Ibu, " lirih Qadar tumpahan air mata makin deras mengalir di wajahnya yang polos.
Laila bangkit dari ranjang berjalan mendekat ke arah Qadar lalu duduk di samping adiknya sambil mengelus lembut kepala adiknya itu.
" Kalau kamu ingat sama ibu, doakan beliau. Kata Pak Ustad, doa anak sholeh akan sampai dan di terima Allah. " Bibir Laila bergetar menahan tangis.
" Ibu pasti sedih kalau kamu terus menangis seperti ini. Kamu mau ibu sedih? " lanjut Laila mencoba mengingatkan Qadar.
Qadar menggeleng cepat sambil mengusap kasar air matanya.
" Kalau gitu kamu bobo gih. Jangan lupa berdoa, " ucap Laila seraya bangkit dari ranjang Qadar dan beralih ke ranjang yang berada di sebrangnya.
Laila tak langsung berbaring, ia duduk di tepi ranjang memperhatikan Qadar yang saat ini sedang mengangkat kedua telapak tangan sambil membaca doa sebelum tidur.
" Ya Allah sampaikan salam Qadar pada Ibu, katakan kalau Qadar merindukan ibu, buat ibu bahagia di syurga-Mu. Qadar juga merindukan Ayah, tolong pertemukan Qadar dengan Ayah, Ya Allah. Aamiin. " Ia mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya yang semula menengadah tadi.
Lantas ia memejamkan mata yang sudah sembab karena menangis. Entah berapa tetes air mata yang tumpah hari ini di wajah mungil itu. Laila hanya menghela napas panjang meratapi nasibnya dan Qadar.
" Qadar? " sahut Laila pelan, memastikan jika Qadar benar-benar tak terjaga dalam tidurnya.
Tak ada jawaban dari anak kecil itu, suara dengkuran halus terdengar di telinga Laila menandakan jika Qadar lelah dan kini ia terlelap. Ada rasa lega melihat adiknya tertidur pulas, setidaknya setelah bangun nanti Qadar akan lebih baik dan tidak larut dalam kesedihan lagi. Meski itu pasti akan sulit tapi Laila percaya dengan beristirahat Qadar akan punya semangat baru setelah ia bangun di pagi hari nanti.
Kini Laila sendiri yang merasa sesak, tangis yang semula ia tahan pun pecah namun tertahan tak bersuara. Jerit, raung dan rintihan nya tertahan agar tak sampai terdengar oleh Qadar. Laila tak ingin Qadar melihatnya menangis karena itu akan makin membuat Qadar down. Siapa yang akan menguatkan hati Qadar jika bukan Laila?
Laila boleh saja rapuh dan menangis sepuasnya saat sendiri di malam hari, namun ia harus lebih tegar dan kuat di hadapan Qadar atau siapapun itu.
Laila tak ingin menunjukan kesedihannya pada siapapun. Keadaan membuatnya harus lebih tangguh menghadapi dunia yang keras dan kejam di depan matanya. Dia punya tanggung jawab besar terhadap adik satu-satunya yaitu Qadar.
Laila harus mencontoh Marni ibu mereka, yang selama ini begitu kuat dan selalu tersenyum di saat sesulit apapun. Baik Laila maupun Qadar tak pernah melihat ibunya itu menangis. Marni selalu melebarkan senyuman di hadapan kedua anaknya.
Sekarang Laila tau jika mungkin apa yang di lakukannya saat ini juga pernah di lakukan oleh Marni ibunya. Di saat Laila dan Qadar menanyakan Ayah mereka, Marni selalu menghibur dengan cara apapun. Sikap hangat dan keceriaan yang selalu di hadirkan Marni untuk anak-anaknya. Laila yakin ibu nya itu selalu menyembunyikan kesedihannya, sama seperti apa yang ia alami saat ini. Menutupi kesedihan dari hadapan Qadar, demi membuatnya bahagia.
Laila meraih foto usang ibunya, memeluk erat sambil terus menangis tak bersuara. Nyatanya menangis tertahan seperti ini bukan membuatnya lega malah membuatnya makin sakit dan terluka.
Air mata pun sudah kering tak keluar, hanya sesenggukan yang tersisa di sela rintihannya.
" Ibu,, ajari anakmu ini agar kuat seperti mu! " lirih Laila pelan.
Malam kian larut, Laila masih belum bisa memejamkan mata.
Satu persatu foto orang tuanya ia pandangi. Benaknya mulai berpikir, masih bisakah ia dan Qadar bertemu dengan Ayah mereka?
Apakah Ayah masih hidup? Jika memang iya, maka Laila sangat berharap agar Allah mempertemukannya dengan sosok yang bergelar Ayah itu. Tangisan Laila malam ini seakan menjadi nyanyian rindu untuk kedua orang tuanya. Untuk ibu yang telah pergi dan tak akan pernah kembali, juga untuk Ayah yang masih di ragukan keberadaannya.
Laila hanya berharap agar kesempatan itu masih ada. Laila yakin Allah masih menjaga Ayahnya, entah kenapa hati Laila mengatakan jika Ayahnya masih ada di dunia ini. Namun entah di belahan bumi yang mana ia berada.
Di tempat lain di sebuah rumah mewah, seorang pria berusia sekitar lima puluh tahun tengah berdiri di balkon kamar seraya memandang jauh ke depan sana. Menatap langit malam yang penuh bintang, nuansa ramadhan sudah terasa padahal masih beberapa hari lagi.
Memasuki bulan suci, Syarif selalu mengingat seseorang yang pernah ia tinggalkan. Terlebih saat memandangi langit malam yang di taburi hiasan bintang. Seorang wanita hamil pernah berkata, ' aku ingin anak kita nanti di beri nama Lailatulqadar. '
Kata-kata itu masih terngiang di telinga Syarif. Suara Marni istri keduanya di kampung yang sudah ia tinggalkan bertahun tahun lamanya. Seingatnya terakhir kali Marni pernah menghubunginya, Marni memberitahukan kelahiran putra kedua mereka yang di sepakati di beri nama Qadar. Setelah itu, Syarif langsung lenyap dari kehidupan Marni. Nomor telepon sengaja ia ganti agar Ambar istri pertamanya tak curiga jika Syarif masih menghubungi istri sirinya di kampung.
Bukan Syarif tak sayang pada Marni dan anak-anaknya. Tapi Ambar memiliki harta dan kekayaan hingga ia memegang kendali dalam rumah tangga mereka. Jika Syarif memilih Marni saat itu maka kehidupannya tak akan seperti sekarang.
Ambar mendengar kabar tentang pernikahan kedua Syarif bersama Marni. Ambar meminta Syarif untuk meninggalkan istri sirinya itu.
Pada saat itu Syarif dilema karena di beri pilihan yang sulit. Dia mencintai Marni tapi dia juga ingin kehidupan yang layak yang hanya bisa di berikan Ambar. Dengan terpaksa Syarif meninggalkan Marni dan anak mereka. Biar bagaimana pun posisi Ambar pun lebih kuat dibandingkan Marni yang hanya berstatus istri siri.
bersambung,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
Ali B.U
next
2023-03-21
3
Ali B.U
heermmm, teryata .,!!
2023-03-21
2