Bab 20

Pulang sekolah Qadar menemui Kakaknya yang sedang sibuk berkutat di dapur bersama Mira. Hari ini mereka di sibukkan dengan banyaknya pesanan dari pelanggan. Kemungkinan Laila gak akan sempat berkeliling jualan dan hanya akan mengantarkan takjil saja ke rumah orang-orang yang sudah memesan.

"Kak Laila, barusan aku ketemu sama ayahnya Kak Restu," ucap Qadar yang masih menggendong tas dan memakai seragam sekolah.

Tangan Laila yang sedang sibuk memotong pun tampak berhenti sejenak, dengan tatapan kosong ia melamun.

"Mobilnya bagus kak, pasti mahal. Orangnya juga baik, udah gitu penampilannya keren. Ayah Kak Restu pakai jas, dasi, sepatu mengkilat... " Qadar terus nyerocos mengungkapkan kekagumannya pada sosok tersebut.

Sementara Laila sendiri masih melamun, suara Qadar seakan seperti kicauan yang tenggelam oleh riak gelombang pikiran Laila yang kacau.

"Laila kok malah bengong!" tegur Mira melihat Laila hanya diam saja tanpa menuntaskan pekerjaannya.

Laila baru tersadar dari lamunan setelah mendengar suara Mira yang agak kencang.

Laila tak mengeluarkan sepatah katapun, ia kembali meneruskan pekerjaannya. Dalam hati ia bertanya apakah ayahnya tidak mengenali Qadar? Ya, tentu saja beliau tidak akan mengenali Qadar karena sejak saat Qadar berada dalam kandungan sampai saat ini ayahnya belum sekalipun bertemu dengan Qadar. Tapi apakah tidak ada ikatan batin antara keduanya?

Atau mungkin mengingat nama putranya saat Qadar memperkenalkan diri. Apakah beliau merindukan dirinya dan Qadar atau malah melupakan? Batin Laila seakan terus bergelut dengan hal tersebut.

"Kak Laila, ayah kita pasti seperti ayahnya Kak Restu kan? Ayah kita juga pasti punya mobil mewah iya kan?" kata Qadar.

Seketika Mira terkekeh geli mendengarnya, ucapan Qadar seakan menggelitik perutnya.

Laila dan Qadar sontak menoleh pada Mira bibi mereka yang tertawa seraya memegangi perutnya.

"Bibi kenapa? Istigfar bi!" kata Qadar mengira Mira kesambet karena tiba-tiba saja tertawa sendiri padahal tak ada yang lucu sama sekali.

"Kamu pikir aku kesambet? Nyuruh istigfar segala!" Mira berhenti tertawa mengusap air mata yang keluar akibat tawanya yang terlalu berlebihan.

"Terus kenapa bibi ketawa sendiri?" Qadar masih polos kali ini Qadar mengingat orang stres yang ada di kampungnya, seingat Qadar orang itu selalu tertawa sendiri. Qadar menatap aneh pada Mira.

"Kamu itu kalau mimpi jangan ketinggian, pake bilang ayahmu sekeren ayahnya Restu. Kalau emang iya ayahmu kaya raya gak bakal ninggalin kalian, setidaknya ngirimin uang buat kalian bukan malah menelantarkan anak dan istrinya." Mira bicara dengan wajah mengejek.

Qadar cukup kecewa mendengar ucapannya, harapannya yang tinggi seakan di jatuhkan begitu saja oleh bibinya.

"Kalau pun ia ayah kalian kaya, paling juga sekarang dia udah punya istri baru, ngapain coba balik ke kampung. Di kota banyak yang lebih bening daripada si Marni, apa lagi ayah kalian punya wajah rupawan gak susah cari istri baru yang lebih cantik," lanjutnya.

Ucapan Mira sangat menusuk ulu hati Laila. Memang begitulah kenyataannya sekarang. Ayahnya punya keluarga baru. Entah siapa yang lebih dulu mendapatkan hati Syarif. Marni atau ibunya Restu, Laila tak tau akan hal itu. Yang jelas ucapan Mira ada benarnya, dan seakan menamparnya untuk tak lagi mengharapkan lebih tentang ayahnya.

Jika memang Syarif masih menyayangi Laila, Qadar dan Marni. Mungkin beliau tak akan pergi selama bertahun-tahun tanpa memberi kabar berita. Syarif memang sudah menelantarkan kedua anak dan istrinya.

"Kak Laila apa benar ayah seperti itu? Kak Laila jawab aku! Kakak lebih tau sikap ayah." Qadar mengguncang lengan Laila.

Seketika air mata yang sedari di bendung pun lepas dari pertahanan Laila. Mengalir deras sulit di hentikan. Laila mengusap kasar air matanya lantas ia mengajak Qadar segera masuk ke kamar.

"Ayo ganti pakaian dulu, kakak juga mau ambil wudhu bentar lagi shalat dzuhur." Laila menarik lengan Qadar membawanya ke kamar.

Mira hanya mencibirkan mulutnya dengan tatapan mengejek dan menyunggingkan tawa sinis melihat kedua keponakannya.

Laila menghempaskan tubuhnya di atas tempat tidur, air mata sulit di hentikan terus mengalir membasahi wajah dan hijabnya.

Qadar menyimpan tas sekolah di atas nakas dengan mata terus menatap heran kakaknya. Segerombol pertanyaan memenuhi benak Qadar. Apa yang Laila tangisi? apakah kata-kata Bibi mereka tadi benar? apakah Ayah tak sebaik yang ia pikirkan? Dan banyak lagi pertanyaan yang mengisi pikiran bocah itu.

"Kak Laila!" Qadar kini duduk di sampingnya.

Laila menangis sesenggukan. Ia merutuk diri karena menangis di hadapan Qadar. Hal yang tak semestinya ia lakukan. Qadar pasti akan sedih melihatnya seperti ini.

"Apa Qadar salah bicara? Atau kakak menangis karena ucapan Bibi tadi?" tanya Qadar sambil mengelus bahu kakaknya.

Rasa sakit di dada Laila seakan makin menghunus, sesak dan tak tertahankan. Bagaimana ia harus bisa sekuat Marni ibunya? Laila mencari cara untuk menguatkan diri di saat dirinya begitu rapuh dan hancur. Lantas siapa yang bisa menguatkan dirinya?

'Astagfirullahaladzim.. ada Allah dan aku harus kuat karena-Nya!' batin Laila.

"Kamu gak salah. Kakak hanya kangen sama Ayah. " Laila kembali mengusap air mata di pipinya, ia memiringkan posisi duduknya ke samping di mana Qadar duduk saat ini.

Laila mengukir senyum yang sangat terpaksa. Menatap wajah Qadar rasanya Laila makin tak berani menghancurkan harapan anak itu untuk bertemu sosok ayahnya. Tapi untuk saat ini belum waktunya ia memberitahu Qadar tentang siapa sebenarnya ayah mereka. Laila belum bisa mengatakan jika pria yang dia temui sebagai ayah Restu adalah ayah yang selama ini Qadar cari. Laila akan menunggu saat itu tiba, dan pasti akan ada kesempatan dimana ia dan Qadar bisa berkumpul kembali dengan ayah mereka.

"Qadar juga kangen ayah." Anak kecil itu memeluk Laila dengan erat.

Laila mengelus punggung mungil itu dengan lembut. Laila berusaha untuk tak menangis lagi di hadapan Qadar. Ia yang kini harus meredakan tangis adiknya yang sudah membasahi bahunya saat ini.

"Kamu ganti baju, gih! Ambil wudhu terus kita sholat sama-sama. Biar nanti kita berdoa sama Allah agar segera di pertemukan dengan ayah kita," ucap Laila mengurai pelukan.

Qadar mengangguk ringan seraya mengusap air mata di pipinya. Ia pun bergegas mengambil pakaian ganti sementara Laila lebih dulu mengambil wudhu.

Menjelang sore hari, Laila dan Dita sudah bersiap mengantar pesanan ke rumah Restu.

Laila mempersiapkan mental dan hatinya jika di sana nanti ia akan bertemu dengan ayah dan keluarga barunya. Laila tak boleh menangis di hadapan mereka. Laila juga ingin tau bagaimana reaksi ayahnya saat bertemu dengannya.

Dita sudah duduk di motor bersiap untuk berangkat, Laila pun duduk di belakangnya seraya menjinjing keranjang berisi takjil yang akan dia kirim ke beberapa rumah. Namun tujuan pertama mereka adalah rumah Restu.

Sekitar lima belas menit mereka sampai di depan sebuah rumah mewah dengan gerbang teralis berwarna hitam. Rumah yang berdiri kokoh di pemukiman elit. Terlihat mewah, megah dan besar.

Laila segera turun dari motor menghampiri satpam penjaga rumah tersebut.

''Maaf pak, saya mau antar pesanan Restu." Laila melongok lewat teralis besi.

Satpam itupun segera membuka pintu gerbang mempersilahkan mereka masuk karena sebelumnya Restu sudah berpesan jika ada anak remaja yang mengantar takjil agar segera di suruh masuk.

Laila dan Dita kini berada di depan teras rumah mewah itu. Seorang wanita tua bersanggul kecil dengan rambut memutih tampak menyambut kedatangan mereka. Wanita itu sepertinya pembantu di rumah ini.

"Laila sama Dita ya?" sahutnya.

Laila dan Dita mengangguk sebagai jawaban.

"Mari masuk!" Ajak wanita tua itu membuka pintu rumah yang terdiri dari dua daun pintu.

Laila dan Dita pun masuk ke dalam. Seketika Laila mengedarkan pandangannya saat memasuki ruang utama rumah tersebut. Dan pandangannya jatuh di satu titik. Sebuah foto keluarga berukuran besar terpajang di sana. Dalam foto itu terdiri dari tiga orang yakni Restu, seorang wanita cantik dengan dandanan elegan dan Syarif ayahnya.

Napas dan detak jantung Laila seakan berhenti saat itu juga. Melihat pemandangan yang sungguh membuat dadanya sesak hingga harus kembali menahan rasa sakit luka yang belum juga kering.

bersambung,

Terpopuler

Comments

Ali B.U

Ali B.U

next

2023-04-06

2

Elina Meilani

Elina Meilani

nyesek njirrrr,,,,😭

2023-04-04

1

Andini Andana

Andini Andana

jadi pen nyubit ginjalnya pak Syarif, bisa ya punya anak ditinggalin gitu aja 😒😒

2023-04-03

4

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!