Mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan sebuah rumah yang berada di lingkungan perumahan Agria Regency.
Rumah itu merupakan hunian Handoko dan keluarganya selama tinggal di kota. Handoko bisa di bilang cukup mapan karena sudah memiliki rumah sendiri semenjak menikah dengan Mira. Walaupun rumah itu masih ia cicil dari hasil gajinya setiap bulan. Setidaknya kehidupan Handoko lebih baik dari almarhumah Marni kakaknya.
" Kita sudah sampai. Ayo turun! " Handoko membuka pintu paling belakang mobil, dimana Laila dan Qadar berada.
Sementara istri dan anak-anaknya sudah lebih dulu masuk ke dalam rumah. Mira dan Dita seakan tidak senang dengan keberadaan Laila juga Qadar. Mereka tampaknya sedikit keberatan menerima kedua anak itu untuk numpang tinggal di rumahnya.
Masalahnya bukan hanya sekedar numpang tidur, tapi juga makan, biaya sekolah juga kebutuhan sehari-hari lainnya yang tentu akan di tanggung oleh Handoko.
Mira rasa kehadiran dua anak itu hanya akan menjadikan beban keluarganya saja. Apalagi gaji Handoko terkadang tak cukup untuk satu bulan untuk bisa memenuhi kebutuhan keluarga mereka, sekarang malah di tambah lagi dua orang anak itu. Mira rasa hidup mereka akan semakin sulit, keuangan keluarga akan lebih buruk lagi dari sebelumnya.
Handoko mengantar Laila dan Qadar ke kamar baru mereka. Kedua mata anak itu terus mengitari keadaan di dalam rumah yang terlihat lebih bagus dibandingkan rumah mereka di kampung yang hanya terbuat dari bilik bambu dan papan saja.
Mata Qadar kini tertuju pada layar televisi berukuran besar dan tipis seperti cermin. Mata anak kecil itu membulat sempurna, dengan senyuman kecil mengembang di wajahnya.
" Ada Tv bagus di sini! Qadar bisa nonton Tv tanpa harus numpang di rumah tetangga lagi, " serunya dengan girang.
Langkah Laila dan Handoko terhenti melihat ekspresi bahagia Qadar yang mematung di depan televisi LED berukuran 32inchi.
" Iya nanti kamu bisa sepuasnya nonton Tv di sini. Chanelnya juga banyak loh, kamu bisa puas nonton kartun dan serial anak-anak lainnya. " Handoko memegang bahu anak itu.
Ada perasaan prihatin, haru dan sedih di hati Handoko melihat anak-anak Marni kakaknya yang sepertinya selama ini hidup serba kekurangan dan berada di garis kemiskinan.
" Ayo kita ke kamar baru kamu, nanti nonton Tv nya kalau kamu sudah bersih-bersih. Sekarang kan udah sore, kamu harus mandi, " ucap Handoko.
" Iya Paman! " ucap Qadar dengan wajah gembira terpancar dari sorot matanya dan garis-garis senyuman masih mengukir wajah mungilnya itu.
Dari ruang televisi mereka berjalan masuk ke ruang makan, di sana ada sebuah pintu bercat putih salju. Handoko meraih knop pintu memutar dan mendorongnya hingga terbuka.
" Nah ini kamar kalian, " ucap Handoko.
Kedua pasang mata anak-anak itu menyapu ke setiap sisi kamar.
Kamar yang cukup luas dengan dua ranjang berada di sisi kanan dan kiri, di tengahnya terdapat sebuah nakas kecil. Kamar tersebut memang dulu sengaja Handoko sediakan untuk menampung Marni dan anak-anaknya. Tapi sayang, Mira tak setuju saat Handoko ingin memboyong kakaknya ke rumah ini.
Saat Handoko tau jika Syarif pergi dari rumah meninggalkan Marni dan anak-anaknya, Handoko ingin mengajak Marni untuk tinggal bersamanya. Tapi Mira melarang keras, Handoko pun terpaksa mengurungkan niatannya itu demi keutuhan rumah tangganya. Apalagi saat itu Mira mengancam akan pergi dari rumah dan membawa kedua anak mereka pergi jika Handoko nekat mengajak kakaknya Marni untuk tinggal bersama mereka di rumah ini.
Handoko terpaksa diam-diam mengirimi uang untuk Marni di kampung, itupun bukan uang gaji melainkan uang dari hasil kerjaan sampingannya. Terkadang Handoko berbisnis jual beli apapun dari teman-teman satu pekerjaannya untuk bisa mendapatkan uang tambahan yang akan ia berikan pada Marni. Meski sedikit setidaknya ia bisa membantu keuangan Marni di kampung.
Tentu saja tanpa sepengetahuan Mira. Karena jika Mira tau, dia pasti akan melarang Handoko menjamin kehidupan keluarganya di kampung. Marni adalah saudara satu-satunya yang Handoko miliki. Ia tak akan tega melihat saudaranya itu hidup dalam kesusahan. Berjuang sendiri membesarkan kedua anak tanpa ada suami di sampingnya.
Handoko akui, Marni kakaknya merupakan sosok wanita yang tangguh. Marni merupakan sosok kakak sekaligus ibu bagi Handoko. Dan sekarang apa yang di alaminya dulu malah di alami oleh anak-anak Marni. Laila sepertinya begitu persis dengan Marni, yang selalu menjaga adiknya dengan baik. Sedang Qadar seperti Handoko kecil, yang begitu polos dan hanya bergantung pada kakaknya. Satu-satunya orang yang ia miliki.
Beruntung Laila dan Qadar masih punya Handoko sebagai paman mereka. Handoko berjanji akan membuat mereka tak merasa kekurangan saat tinggal di rumahnya. Memberikan kasih sayang pada mereka seperti pada Dita dan Aldo. Handoko tak akan membeda-bedakan mereka. Handoko akan menyayangi Laila dan Qadar seperti Marni menyayangi dan melindungi dirinya semasa kecil dulu.
" Kalian suka kamarnya? " tanya Handoko pada Laila dan Qadar yang tampak bengong melihat kamar yang rapi dan bersih itu.
" Suka Paman! " seru Qadar.
" Kamu Laila? " Handoko kini beralih pada Laila yang sedari tadi diam.
Laila mengangguk dan mengulas senyum tipis.
Handoko tau apa yang sedang Laila pikirkan. Ia akan menjalani kehidupan yang berat setelah di tinggal ibunya. Laila harus menjadi pengganti Marni bagi Qadar yang masih membutuhkan sosok seorang ibu di usianya yang masih kecil. Anak sepantaran Laila pasti sudah cukup matang memikirkan masa depan, apalagi Laila terbiasa hidup keras. Ia pasti lebih cepat dewasa ketimbang anak-anak sebayanya di luaran sana.
" Kalian mandi lalu istirahat ya! Nanti bibi kalian akan menyiapkan makanan dan kita makan malam bersama, " ujar Handoko mengusap punggung Laila seakan ingin meringankan beban pikiran anak remaja itu.
Satu tangannya lagi mengusap rambut Qadar, menunjukan rasa sayangnya pada anak kecil yang lugu dan polos itu.
" Ayah! Rupanya ayah di sini. Aku cari-cari tadi, " celoteh Aldo tiba-tiba muncul menghampiri mereka.
" Eh anak Ayah. Sini nak! " Handoko menggerakan tangan meminta agar Aldo mendekat.
" Aldo udah mandi belum? " tanya Handoko.
" Udah dong! Aku langsung mandi soalnya gerah, " jawab Aldo dengan lucunya.
" Bagus anak pinter. Aldo nanti ajak main Abang Qadar sama Kakak Laila. Bang Qadar katanya mau nonton film kartun sama Aldo, tapi sekarang mereka mau mandi dulu baru nanti nonton TV dan main sama kamu, sekarang Aldo tunggu di ruang TV yuk! " Ajak Handoko menggiring Aldo ke ruang televisi.
" Kalian mandi ya, " lanjutnya menoleh sebatas bahu ke arah dua anak yang kini memandangi dirinya dengan Aldo.
Laila menoleh pada Qadar yang masih menatap nanar kepergian dua orang tadi. Laila tau apa yang ada dalam benak Qadar. Adiknya itu pasti sedang mengkhayalkan kehangatan kasih sayang seorang Ayah terhadap anak laki-lakinya. Qadar pasti merindukan sosok Ayah yang sama sekali belum ia ketahui wajahnya. Hati Laila cukup teriris melihat ekspresi Qadar jika sudah seperti ini.
Hal yang sering terjadi saat Qadar bermain dengan teman-temannya di kampung. Dimana anak-anak lain mendapatkan perhatian dari sosok pria yang bergelar Ayah. Mendapatkan mainan saat Ayah mereka pulang kerja, mendapatkan oleh-oleh makanan dan yang lebih sederhana lagi mendapatkan sebuah kecupan dan belaian lembut dari sang Ayah. Hal-hal semacam itu sangat Qadar impikan karena selama 8 tahun ia belum pernah merasakannya.
bersambung,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 61 Episodes
Comments
yamink oi
ceritane ngelangsani.....
2023-03-26
2
⍣⃝ꉣꉣAndini Andana
mengharu biru thor 😥😭
2023-03-26
3
Ali B.U
next
2023-03-19
4