Bab 17

"Kak bukannya kita mau sebarin foto Ayah?" tanya Qadar saat dia pulang sekolah dan kini Laila malah menyetop angkot.

Padahal sebelumnya mereka berencana untuk jalan kaki mencari tempat ramai dimana orang-orang bisa dengan mudah menemukan selebaran yang mereka bawa. Agar secepatnya mereka bertemu dengan Syarif, ayah mereka.

"Nanti saja, Bibi Mira pasti sudah menunggu kita. Kakak harus bantu dia bikin takjil terus jualan lagi seperti kemarin, biar nanti kakak yang sebarkan kertas ini sambil jualan," jawab Laila.

Untungnya Qadar paham, ia tidak bertanya lagi setelah mendapat penjelasan dari Laila.

Seperti hari sebelumnya, Laila membantu Mira membuat takjil. Setelah semua selesai Laila pun langsung jualan keliling lagi di area komplek.

Laila berjalan dengan langkah gontai. Pikirannya berkelana memikirkan Syarif dan almarhumah Marni, kedua orang tuanya.

Marni tak pernah bercerita banyak hal tentang Syarif pada Laila maupun Qadar. Bahkan tak pernah sedikitpun ada kalimat atau ucapan Marni menjelekan suaminya itu. Lantas apakah Marni tau tentang kehidupan Syarif di kota? Laila memikirkan hal itu hingga ia tak sadar sudah jauh berjalan.

Langkahnya mengayuh tanpa tujuan sementara pikirannya terus berkelana memikirkan masalah yang rumit baginya.

Hingga ia tak sadar jika seseorang menghampirinya.

"Laila!" Restu menepati janjinya kemarin untuk membantu Laila berjualan.

"Restu." Laila tersadar dari lamunan saat Restu memanggil namanya.

"Udah ada yang laku jualannya?" tanya Restu.

"Belum, baru ngantar pesanan saja. Kamu kesini naik apa?" Laila balik bertanya.

"Kebetulan tadi ibu mau pergi ke mini market dekat sini, aku ikut sama beliau dan minta di turunkan depan pintu komplek," jawab Restu.

Laila hanya manggut-manggut membayangkan sosok ibu Restu yang tak lain adalah istri Ayahnya, lebih tepat lagi ibu tiri baginya.

"Aku lihat kamu melamun, ada apa?" tanya Restu.

"Gak ada kok, cuma lemes aja karena lagi puasa." Laila masih beralasan menutupi masalahnya.

Restu menangkap sikap Laila agak lain dari biasanya. Dari pagi tadi saat bertemu di sekolah, Restu lihat mata Laila sembab seperti habis menangis tapi Laila bilang kalau dia kena debu makanya matanya berair. Melihat sikap murung Laila, Restu rasa ada yang sedang di sembunyikan gadis itu.

Apa mungkin dia ada masalah dengan Bibi dan sepupunya di rumah? Seperti yang Restu ketahui bagaimana sikap Bibi juga sepupu Laila, tampak kurang memperlakukan Laila dengan baik. Bisa jadi itu yang membuat Laila murung seperti ini, pikir Restu.

"Kita jualan ke luar komplek kayak kemarin, siapa tau banyak yang beli." Restu mengusulkan.

Laila menatap Restu sekilas lantas membuang pandangannya jauh ke depan.

"Di sekitar komplek saja, belum semua blok aku datangi." Laila berjalan lebih dulu meninggalkan Restu yang mematung heran mendengar nada bicara Laila yang agak ketus, mungkin karena bad mood. Restu maklumi itu dan ia pun mengekor di belakang menyusul langkah gadis itu.

"Takjil.. takjilnya Pak, Buk! Kolak pisang, biji salak, candil. Takjil!" Restu berteriak-teriak menawarkan dagangan.

Laila merasa menyesal terus mendiamkan Restu padahal di sini Restu tak tau apa-apa. Bahkan tadi Laila sempat berbicara dengan nada ketus, membuat Laila merasa bersalah.

Laila maupun Restu sama-sama korban dalam masalah orang tua mereka. Tak seharusnya Laila bersikap acuh pada Restu yang selama ini sudah sangat baik padanya. Bahkan dia rela berpanas-panasan menjajakan dagangan dengannya, padahal mungkin rumah Restu jauh dari komplek ini. Tapi Restu mau datang hanya untuk membantunya.

Beberapa orang yang mendengar teriakan Restu menjajakan dagangannya pun keluar dari rumah dan membeli beberapa porsi untuk bekal berbuka.

Matahari kian bersembunyi tenggelam dari arah barat. Setelah mengitari beberapa blok di komplek tersebut, jualan mereka cukup laku.Hanya ada beberapa porsi takjil yang tersisa di keranjang.

"Udah sore mendingan kamu pulang gih," titah Laila.

Restu melirik arloji yang tersemat di pergelangan tangan, waktu menunjukan pukul 17.25.

"Eh iya gak kerasa ya kalau jualan, tau-tau udah mau buka."

"Kamu pulangnya pakai apa?" tanya Laila.

"Tenang aja, taksi banyak, angkot juga ada, kalau enggak ojek pun jadi!" kata Restu di iringi senyum.

"Kalau gitu aku duluan, makasih sudah bantu jualan. Ini buat kamu berbuka," kata Laila seraya menyodorkan beberapa porsi takjil yang sudah ia bungkus ke dalam kantong plastik.

"Gak usah!" ucap Restu mendorong pelan tangan Laila yang menyodorkan kantong plastik berwarna hitam itu.

"Kalau gitu keuntungannya kita bagi dua, gimana? Aku gak enak, kamu udah bantu aku jualan masa iya pulang dengan tangan kosong!"

"Aku ikhlas kok. Lagian aku senang melakukannya sambil ngabuburit juga kan, kamu simpan saja uangnya buat keperluan kamu sama Qadar." Restu kekeh tidak mau menerima imbalan apapun karena memang dia senang bisa membantu Laila.

"Aku gak enak hati kalau gini. Mendingan besok kamu gak usah bantu aku jualan lagi. Bukan aku nolak bantuan kamu, tapi... "

"Laila, aku ikhlas. Kamu gak percaya sama aku?" Restu menatap manik mata Laila dengan tajam.

Laila melempar pandangannya tak ingin tatapan mereka saling terkunci.

"Aku percaya tapi aku gak mau merepotkan orang lain terus menerus. Jadi aku mohon kamu ngerti, biarkan aku berusaha sendiri," ucap Laila.

"Ya sudah aku ngerti. Tapi lusa nanti aku bakal datang ke rumah. Ibu mau pesan banyak takjil sama Tante mu buat acara arisan, besok di sekolah aku kasih tau berapa banyak takjil yang mau di pesan. Soalnya ibu belum kasih tau aku," kata Restu.

Laila mengangguk ringan.

"Aku pulang ya!" Restu pun berpamitan, ia berlalu dari hadapan Laila yang kini mematung menatap nanar kepergiannya.

'Andai Restu tau jika ayahnya adalah ayahku juga, apa dia masih akan bersikap sebaik ini?' batin Laila.

Tiba di rumah, Qadar menyambut kedatangan kakaknya.

"Kak Laila lupa gak bawa selebaran foto ayah?" tanya Qadar.

"Iya kakak lupa, biar besok saja."

"Ya udah nanti Qodar ingatkan kakak biar gak lupa lagi. Biar kita bisa segera menemukan Ayah." Manik mata bersih itu berbinar membayangkan sesuatu membuat Laila tak tega melihatnya.

Mampukah Laila terus merahasiakan semua ini dari Qadar? Setidaknya hingga adiknya itu besar dan bisa menerima kenyataan pahit seperti yang saat ini Laila telan sendiri.

bersambung,

Terpopuler

Comments

Ali B.U

Ali B.U

lebih baik kamu cari tau dulu tentang ayahmu Laila

2023-04-02

2

yamink oi

yamink oi

up

2023-04-02

4

Ai Emy Ningrum

Ai Emy Ningrum

betul Lail.. Restu kan ga tau menau jg,jgn diabaikan bgituh...jarang2 lhoh ada anak cowok yg tulus kek Restu 😓

2023-04-02

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!