(Tak) Sepahit Empedu
Di tengah terik matahari, seorang gadis berjalan menyusuri trotoar. Di tangannya menenteng dua bungkus plastik berisi makanan, untuk ia berikan kepada kedua adiknya yang kembar.
Ia berdiri di tepi jalan menunggu angkutan umum lewat. Tersenyum bahagia karena di hari itu baru saja menerima uang gaji.
"Argh!" Ia menjerit sambil menutupi wajahnya ketika sebuah mobil melintas dan melindas genangan air.
Bekas hujan semalam meninggalkan kubangan di beberapa bagian jalan.
"Yah, kotor." Ia mengeluh, menatap kesal mobil berwarna putih yang terus melaju tanpa berniat meminta maaf padanya.
"Mentang-mentang orang kaya, bisa seenaknya," gerutunya sambil membersihkan cipratan air di baju.
Cempaka, gadis berusia dua puluh dua tahun, bekerja di sebuah toko pakaian dengan gaji yang hanya mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Namun, di tangan gadis itu, uang gaji yang tak seberapa berputar secara teratur.
Cempaka berhenti saat sebuah angkutan umum menepi. Duduk anteng meski sebagian pakaiannya basah dan kotor.
"Maaf, kenapa pakaianmu kotor dan basah? Bukankah hari ini matahari sedang terik?" tanya seorang wanita paruh baya yang memperhatikan Cempaka.
"Ini, tadi ada mobil yang melintas dan menginjak genangan air." Ia tersenyum ramah meski hati kesal bila mengingat kejadian tadi.
"Gang Cempaka!" Supir berseru, kemudian menepikan mobil di depan mulut sebuah gang sempit. Gang yang hanya bisa dilalui dua orang saja.
"Terima kasih, Pak." Cempaka memberikan ongkos dan berjalan masuk ke dalam gang. Senyumnya terus tersemat membayangkan wajah bahagia yang akan terpancar di kedua adiknya.
"Kakak pulang!" seru Cempaka di depan rumahnya.
Ia membuka sepatu dan meletakkan di tempatnya. Tersenyum kembali saat melihat dua pasang sepatu milik adik kembarnya.
"Rafi! Rafa! Di mana kalian? Lihat apa yang Kakak bawa untuk kalian!" seru Cempaka seraya meletakkan bungkusan tersebut di atas meja.
Ia masuk ke kamar, menggantung tas yang dibawanya. Mengganti pakaian meski belum membersihkan diri. Lalu, kembali keluar berniat menemani kedua adiknya makan. Namun, tubuhnya seketika mematung tatkala tangan menyibak gorden kamar.
Laki-laki paruh baya yang selalu menyusahkan hidup Cempaka, tengah duduk di kursi memakan makanan yang dibawanya untuk si Kembar.
"Ayah! Kenapa Ayah makan makanan itu? Itu untuk Rafa dan Rafi," ketus Cempaka pada laki-laki pengangguran yang hobinya berjudi dan mabuk-mabukan.
"Mereka udah makan, sekarang lagi tidur. Ayah lapar, lihat makanan ini, ya makan saja. Memangnya salah jika Ayah yang memakannya!" sahut laki-laki tersebut tak kalah sengit.
Cempaka mengepalkan kedua tangan emosi, rahangnya mengeras menahan gejolak amarah yang membakar jiwanya. Ia memilih pergi meninggalkan laki-laki itu, masuk ke dalam kamar adiknya untuk memeriksa.
Hatinya menghangat, kedua anak kembar itu terlihat damai dalam tidur. Langkahnya berayun pelan, semakin mendekat semakin terlihat kejanggalan pada kedua wajah itu. Mereka tampak pucat pasi bagai sekujur tubuh yang tak bernyawa.
Cempaka duduk di tepi ranjang mereka, memeriksa suhu tubuh keduanya. Dingin. Tangannya meraba sekujur tubuh mungil itu, memastikan ia tak salah merasa. Jatuh air mata Cempaka, dengan tangan bergetar ia meletakkan kedua jari di bawah lubang hidung meraka.
Napas Cempaka tercekat di tenggorokan, dadanya naik dan turun memburu udara. Tak ingin percaya, ia menjatuhkan kepala di dada keduanya. Menempelkan telinga mendengar detak jantung mereka.
"Rafa! Rafi! Bangun! Kalian hanya tertidur, bukan? Kalian sedang mengerjai Kakak, bukan? Bangun, ayo bangun!" Cempaka mengguncang kedua tubuh kaku itu, air matanya semakin deras turun.
"Rafa! Rafi! Kalian mendengar suara Kakak, bukan? Bangun, sayang! Kita pergi jalan-jalan ke taman, hari ini Kakak gajian. Bangun, Rafa! Rafi!" Cempaka menjerit sekerasnya, saat sadar kedua anak itu telah tiada.
Ia menjatuhkan tubuh di antara mereka, memeluk keduanya sambil menangis histeris. Sementara laki-laki di meja makan, tak acuh dan tetap melanjutkan makannya.
"Siapa yang melakukan ini pada kalian? Siapa? Bangun, Rafa! Rafi! Kakak pulang, sayang. Ayo pergi ke taman bersama Kakak," ratap Cempaka meremas sprei mereka dengan kuat.
Namun, sekuat apapun ia memanggil, sekencang apapun ia menjerit, kedua jasad itu sama sekali tidak bergerak. Suara gelas yang dibanting cukup keras, membuat Cempaka sadar ada orang lain di rumah itu. Satu-satunya orang yang menjadi tersangka utama.
Cempaka beranjak, membawa serta emosinya yang memuncak. Tangannya menyibak tirai dengan kasar, matanya menyalang tajam. Laki-laki yang duduk di sana, laki-laki yang berulang kali mencoba untuk merenggut kehormatannya, laki-laki yang bergelar ayah, tapi tak pantas mendapat julukan itu.
Langkah Cempaka terasa berat, bukan berarti dia tak berani mendatangi laki-laki itu. Hanya saja, kedua jasad adiknya terus membayang di pelupuk.
"Kau apakan kedua adikku?! APA YANG KAU LAKUKAN PADA MEREKA!" bentak Cempaka cukup menggelegar.
Air matanya berjatuhan seolah-olah sedang berlomba saling mendahului. Kedua tangan mengepal kuat, rahang ikut mengeras, pupilnya menajam, merah dipenuhi api amarah.
"Memangnya kau pikir aku melakukan apa?" Dia bertanya tanpa terlihat panik sama sekali.
"Kau membunuh kedua adikku. KAU MEMBUNUH MEREKA!" jerit Cempaka dengan napas menderu emosi.
Laki-laki itu melengos sambil tersenyum. Seolah-olah itu merupakan suatu kebahagiaan mendengar kedua kembar itu meninggal.
"Jadi mereka sudah mati? Baguslah, lagipula mereka itu hanya menyusahkanmu saja. Meminta ini dan itu tanpa ingin bekerja dan menghasilkan uang. Jika mereka tiada, maka uangmu hanya untukku," cetus laki-laki itu diakhiri tawa yang menggelegak.
Cempaka semakin erat mengepalkan tangan hingga sebagian kukunya menancap pada daging telapak tangan. Darah merembes, tak lagi terasa perih.
"Biadab! Kau memang brengsek, Baron! Kau tidak pantas menjadi seorang ayah! Kau kejam, kau tidak memiliki perasaan!" Cempaka mencoba menyerang ayahnya itu, tapi dengan mudah ditepis oleh Baron.
Dicekalnya tangan Cempaka kuat-kuat, meringis gadis tersebut merasakan perih dan nyeri di pergelangan tangannya.
"Lepas!" Cempaka meronta, tapi Baron tak berniat melepaskannya.
Ia menghempaskan tubuh kurus Cempaka hingga membentur meja dan kursi. Cempaka hendak bangkit melawan, tapi Baron dengan cepat menendang tubuhnya.
Bugh!
Plak!
Satu tamparan mendarat di pipi Cempaka, meninggalkan jejak empat jari yang memerah juga cairan merah yang merembes.
"Dengar, besok kau akan menikah dengan tuan Caesar. Jika mereka masih hidup sudah pasti akan menjadi penghalang untukmu menjadi istri konglomerat itu. Aku tidak mau tahu, kau harus bersedia menjadi istrinya," tegas Baron menuding kejam wajah Cempaka.
"Aku tidak sudi! Siapa yang akan menikah dengan laki-laki yang sudah beristri! Aku tidak mau!" tolak Cempaka dengan tegas pula.
Ia mengernyit menahan perih di bagian sudut bibirnya yang terluka. Keinginan Baron tak akan pernah ia turuti.
"Jika kau menolak, aku akan membakar jasad kedua anak itu. Ingat, Cempaka. Dia sudah membayar mahal dirimu. Jangan mengecewakan aku. Lakukan tugasmu sebagai anak berbakti." Ia beranjak dari dekat tubuh Cempaka. Tersenyum jahat mengancam tidak main-main.
"Kau ingat, Cempaka. Jika kau menolak, aku akan membakar jasad kedua adik kesayanganmu itu." Dia mengancam lagi.
"Mereka anakmu!"
"Aku tidak peduli." Baron menggeleng sambil mencibirkan bibir.
Cempaka melunak, tangisnya semakin histeris. Tak ada pilihan untuknya selain menerima meski dengan berat hati.
"Jangan! Jangan bakar tubuh mereka. Aku akan menuruti kemauanmu, tapi tolong kuburkan mereka dengan layak. Tolong kebumikan kedua adikku di samping ibu mereka. Tolong!" pinta Cempaka mengiba pada laki-laki itu.
Baron tertawa terbahak, puas dengan keputusan yang diambil Cempaka.
"Baik. Besok aku akan membelikanmu pakaian yang bagus, dan kau harus mengenakannya pada pertemuan dengan tuan Caesar. Jangan menolaknya!" ancam Baron mengingatkan Cempaka.
"Aku bersedia menguburkan kedua adikmu itu dengan layak, tapi setelah kau berjanji tidak akan pergi," ucapnya sembari memicingkan mata dengan tajam.
"Ya, aku berjanji." Cempaka bergetar. Tangannya yang bertumpu di lantai mencengkeram udara kosong.
Sial! Jika saja permintaan tuan kaya itu bukan keperawanan Cempaka ....
Dia mengumpat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
YuWie
lahhhh membunuh anak, santai gebiy..sadisss amad
2023-05-12
0
Nanik Normaidah
waduh
berat bgt
2023-03-03
1
‼️n
Hallo mb Ais......
Hadir lagi setelah Mayang n Raja y ...
Prolog nya dah ngeri bgt sih mb ..
Gadis miskin, kurus, tp cantik.....Cempaka yg tinggal di gang Cempaka.....
Nyimak....lanjooot!!!😊😊😊
2023-03-02
1