Di dalam sebuah cafe, sekelompok wanita kaya asik berbincang sambil memamerkan apa yang mereka miliki. Harta benda, kendaraan, suami, bahkan masalah ranjang sekalipun. Tertawa terbahak, tanpa tahu malu.
"Aku memang diberikan fasilitas mewah oleh suamiku, tapi ... dia payah sekali dalam masalah ranjang," ucap salah satu dari mereka.
Eva tertegun, melirik tajam ke arah pembicara tersebut sambil menyeruput teh hijaunya.
"Kau pasti membutuhkan seseorang yang bisa memuaskanmu. Aku betul, bukan?" Tertawalah mereka.
Tak ada yang ditutup-tutupi kecuali masalah anak dan ketidakmampuan Eva memilikinya. Dia menunggu Cempaka hamil.
"Eva, pernikahanmu sudah lebih dari enam tahun, bukan? Kapan kalian memutuskan akan memiliki anak? Ayolah, kami ingin berkunjung ke rumahmu yang besar itu dalam pesta penyambutan si jabang bayi."
Yang lain mengangguk setuju, Eva selalu mengatakan dirinya dan Caesar menunda memiliki anak karena satu hal. Ia tersenyum canggung, entah seperti apa harus menjawab.
"Yah, kami sedang melakukan program sekarang. Doanya saja semoga aku bisa cepat mengandung. Aku juga ingin memiliki anak seperti kalian," ujar Eva berbohong.
Mereka saling berpelukan, menguatkan selayaknya sahabat tanpa kedok. Dilanjutkan makan-makan, juga berkaraoke ria seolah-olah tak ada beban pikiran yang mengganggu.
Sementara di kantor, Caesar kembali sibuk berkutat dengan pekerjaannya. Menandatangani dokumen setelah diperiksa sang asisten. Dia membuka ponsel, tersenyum ketika melihat kontak nama Cempaka di sana.
Ada apa dengan hatiku? Kenapa setiap kali mengingatnya, aku selalu ingin tersenyum.
Caesar menjatuhkan punggung pada sandaran, menatapi ponsel di tangan membayangkan apa saja yang terjadi di antara mereka. Bukan Eva, tapi Cempaka. Gadis yang dia nikahi secara paksa.
Pintu diketuk, kemudian terbuka, dan seorang sekretaris berpakaian seksi melangkah sambil menggoda Caesar.
"Tuan! Anda harus memeriksa ini juga," ucapnya dengan suara yang dibuat seksi.
Caesar memindai dari atas kepala hingga kaki wanita itu. Membayangkan bila dia adalah Cempaka. Namun, senyum itu surut, ketika tiba di wajahnya yang tidak alami.
"Aku tidak suka penampilanmu. Mulai besok kantor tidak memperbolehkan karyawan berpakaian seksi sepertimu!" titah Caesar seraya mengibaskan tangan mengusir wanita itu.
Ada banyak karyawan wanita yang kerap menggodanya, mereka bahkan selalu siap untuk diajak naik ke atas ranjangnya kapanpun laki-laki itu membutuhkan. Sayang, Caesar tak pernah tergoda, tapi juga tidak melarang cara berpakaian mereka.
Wanita itu mendengus, berbalik dengan kesal. Caesar terpikir memberikan hadiah untuk Cempaka. Sebuah lingerie seksi berwarna merah. Dia mulai menjelajah di toko online, mencari-cari pakaian yang dia inginkan. Senyum di bibir itu terbit saat menemukannya.
"Katakan padanya, nanti malam dia harus memakai itu," perintah Caesar pada Yudi melalui sambungan telepon.
"Tuan!" Arjuna mengetuk pintu, kemudian membukanya. Memberitahu Caesar jadwal pertemuan dengan seorang klien.
Laki-laki itu bangkit, keluar bersama sang asisten.
"Juna, buatlah aturan dengan jelas. Mulai hari ini tak ada lagi karyawan yang memakai pakaian seksi di dalam kantor. Tidak terkecuali!" ucap Caesar dengan tegas.
Juna sedikit tercenung, tapi mengangguk setuju pada akhirnya.
"Baik, Tuan!"
****
"Apa maksud tuan? Kenapa tiba-tiba memerintah seperti itu?" gumam Yudi setelah Caesar menutup telponnya.
Ia berjalan ke teras, menunggu apa yang akan datang. Berselang, seorang kurir tiba membawakan paket pesanan Caesar. Yudi menerima, menandantangani penerimaan, dan membawanya ke kamar Cempaka.
Gadis itu tengah asik mempelajari ponsel barunya, tersenyum-senyum sendiri. Kemudian mengernyit ketika sebuah pesan masuk ke ponselnya.
Kenakan itu malam nanti.
Sebuah pesan dari nomor asing. Cempaka melihat gambar si pengirim, hanya sebuah gambar pemandangan alam yang indah. Sebuah pegunungan yang sejuk, yang Cempaka tidak mengenalinya.
Tok-tok-tok!
"Nona, Anda menerima pesan dari tuan." Suara Yudi menguar, Cempaka yang penasaran beranjak membuka pintu.
"Apa ini?" tanya Cempaka sambil menerima sebuah bingkisan kecil.
"Saya tidak ada keberanian mencari tahu isinya, Nona. Silahkan Anda buka sendiri, saya permisi." Yudi menarik tuas pintu menutupnya.
Cempaka memutar bingkisan tersebut, menilik setiap sisinya. Menduga apa isi di dalamnya.
"Apa ini yang dimaksud si pengirim pesan tadi, tapi apa isinya?" Cempaka membuka cepat dan seketika napasnya tertahan saat melihat sebuah lingerie yang transparan.
"Astaga! Pakaian apa ini? Apa aku harus mengenakan ini? Tidak! Aku akan masuk angin jika tidur dengan pakaian seperti ini," lirih Cempaka sambil meringis ngeri.
Ia menyambar ponsel, mengetik pesan balasan untuk si pengirim pesan tadi.
Maaf. Apa ini tuan Caesar? Apa aku harus mengenakan pakaian yang Anda kirimkan, Tuan?
Pesan tersebut diketik Cempaka dengan tangan bergetar. Menggigit bibir menunggu balasan. Bukan pesan balasan, tapi sebuah panggilan masuk dari nomor tersebut.
"Ya, Tuan!" sambut Cempaka setelah telepon tersambung.
Jantung Caesar tiba-tiba berdegup mendengar suara gadis itu. Apa yang terjadi padanya? Kenapa Cempaka berbeda dengan Eva?
"Kau sudah menerimanya?" tanya Caesar dingin.
"Ya, Tuan. Apa aku harus mengenakan itu? Sepertinya Anda salah memberikan hadiah. Bukankah Nyonya yang selalu berpakaian seperti itu?" tanya Cempaka berdebar jantungnya menunggu jawaban.
Yah, dia sering melihat Eva mengenakan pakaian itu tanpa malu meski di hadapan para pelayan laki-laki walaupun dilapisi blazer.
"Yah. Kenakan itu malam nanti, aku akan berkunjung ke kamarmu." Caesar menutup sambungan, tak kuasa menahan degup jantung karena mendengar suara Cempaka. Ia berdekhem, menormalkan perasaannya.
"Eh? Tuan! Tuan!" Cempaka memanggil-manggil Caesar, tapi sayang sambungan sudah dimatikan.
"Kenapa semaunya, sih. Hmm!" Ia membanting tangan di kasur, kesal melihat pakaian yang kekurangan bahan tersebut. Cempaka menjatuhkan diri, mulai menyimpan kontak Caesar dan mencari-cari gelar yang pas untuknya.
Sementara di persembunyian, Baron berjalan mondar-mandir gelisah. Uang yang dia dapatkan dari Eva hasil penjualan Cempaka, sudah mulai menipis. Tak ada apapun yang dapat dia lakukan, posternya terpampang di segala penjuru kota.
"Argh! Sial! Aku harus bagaimana? Aku ingin menemui Cempaka, tapi polisi ada di mana-mana. Apa yang harus aku lakukan!" Dia merutuki diri sendiri, mengancam dengan geram tindakan Cempaka yang melaporkannya pada pihak berwajib.
Jika saja malam itu dia tidak melarikan diri, sudah pasti saat ini mendekam di dalam penjara. Ada niatan membunuh Cempaka saat malam itu, tapi mengingat uang yang dijanjikan Caesar juga Eva, dia tidak melakukannya.
"Aku harus mencari cara agar bisa bertemu dengan Cempaka. Dia harus memberiku uang yang banyak." Baron mencari-cari jalan mana yang aman untuk dia lewati sehingga pihak berwajib tidak akan menemukannya.
Dia membanting diri di sebuah kursi kayu, berpikir dalam-dalam.
Brak!
Pintu rumah terbuka dengan sengit, Baron sudah terbiasa dengan hal itu.
"Lakukan sesuatu, uang darimu sudah menipis. Kau bilang anak gadismu itu menikah dengan orang kaya, tapi kenapa masih kesulitan meminta uang padanya? Datangi rumahnya dan minta uang yang banyak. Aku tidak mau tahu!" sentak seorang wanita paruh baya dengan tegas kepada Baron.
Dia Heni, istri kedua Baron, ibu tiri Cempaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments