Brugh!
Baron melempar sebuah bungkusan ke atas tubuh Cempaka yang duduk memeluk lutut di kamar. Gadis itu masih bersedih karena kepergian dua adik kesayangannya.
"Pakai itu untuk besok. Sekarang, kembalilah bekerja. Bukankah kau harus kembali ke tempat kerjamu?" ketus Baron yang bersandar di tiang pintu kamar Cempaka sambil menenggak minumannya.
Cempaka terdiam, mengunci mulutnya rapat-rapat. Tak ingin menanggapi ocehan Baron soal pakaian ataupun laki-laki itu.
"Ada apa? Apa kau tidak ingin kembali pada pekerjaanmu?" sengitnya seraya melempar botol minuman yang telah kosong ke depan tubuh Cempaka.
Gadis itu terlonjak, tapi tak membuatnya beranjak. Suara pecahan beling yang beberapa bagiannya mengenai kaki Cempaka, yang membuat gadis itu terkejut.
Baron yang marah, berjalan cepat menghampiri anaknya. Menarik tangan Cempaka dengan kuat, memaksanya untuk bangkit dan kembali bekerja.
"Lepas! Kau tidak bisa memaksaku, Baron! Aku tidak ingin bekerja!" teriak Cempaka sambil berderai air mata.
Mata merah gadis itu menyalang, menghujam kedua manik Baron yang juga memerah. Alkohol telah menguasai laki-laki itu, menghilangkan kesadarannya. Ia merenggut rambut Cempaka, menjambaknya dengan sangat kuat.
"Kau dan kedua anak kembar itu sama seperti ibumu, yang bisanya hanya menyusahkan saja. Pergi!" Baron menghempaskan tubuh Cempaka, membuatnya terhuyung ke depan.
"Pergi! Dan bawakan aku lebih banyak uang!" Baron memainkan dua jarinya. Ia tersenyum sinis, melangkahi tubuh Cempaka yang masih tergeletak di lantai.
Tak ada yang bisa dia lakukan, Cempaka mengusap air matanya. Bangkit dan berjanji pada diri sendiri tidak akan pernah menangis lagi. Bergegas mengganti pakaian, dan menentang tasnya. Sungguh, dia tak ingin ke mana pun hari itu. Hanya ingin termenung di dalam kamarnya yang tak memiliki daun pintu.
Cempaka menghentikan langkah, dipijitnya pelipis ketika rasa sakit berdenyut. Matanya berkunang-kunang, dia lupa bahwa belum mengisi perut seharian itu.
"Aku harus ke apotik," gumamnya seraya menghela napas menguatkan diri untuk dapat berjalan sampai apotik terdekat.
Cempaka meminta obat sakit kepala kepada pelayan apotik, menunggu sambil meringis menahan nyeri. Di tangannya telah terkepal sebotol air mineral untuk membantunya meminum obat tersebut.
Ia menerima ketika pesanannya datang. Akan tetapi, saat ingin membayar seseorang menyerobot tubuhnya.
"Argh!" Cempaka jatuh di lantai, ia mendongak menatap sosok laki-laki yang berwajah panik. Tampan, tapi menyebalkan.
"Cepat! Aku butuh obat untuk ibuku," katanya tergesa. Ia memberikan resep di tangan, menunggu tak sabar.
Cempaka berdiri, sama sekali tidak mempermasalahkan perbuatannya yang tidak meminta maaf. Ia sedang malas, tak ingin berdebat ataupun beradu mulut. Terlebih, saat mendengar kata ibu disebut. Cempaka teringat pada mendiang ibunya yang meninggal karena ketidakmampuannya membeli obat.
"Duh! Di mana? Astaga! Aku lupa membawa dompet!" pekik laki-laki itu, membuat dahi Cempaka mengernyit. Ia menunduk sedang menghitung uang untuk membayar obatnya.
"Apa kau sangat membutuhkan ini?" Pelayan apotik bertanya.
Cempaka diam mendengarkan.
"Ya, aku sangat membutuhkannya. Bukan! Bukan aku, tapi ibuku," jelasnya sedih.
Hening. Baik laki-laki itu ataupun pelayan apotik, kedua-duanya terdiam. Cempaka melirik nota yang harus dibayar laki-laki itu. Ia menghela napas, mengeluarkan sejumlah uang yang akan digunakan untuk mengajak jalan-jalan kedua adik kembarnya.
"Ini, sekalian saja miliknya." Cempaka menyerahkan uang tersebut, tanpa menoleh pada laki-laki itu.
Sedangkan dia, tercengang mendengar gadis yang ditabraknya membayar obat tersebut. Ia menilik wajah gadis itu, mematrinya di dalam ingatan. Tanpa banyak bicara, Cempaka meninggalkan apotik dan menaiki angkutan umum.
"Hai, tunggu!" Laki-laki itu mengejar, tapi angkot yang membawa Cempaka pergi dengan cepat.
"Siapa gadis itu? Aku bahkan tidak sempat mengucapkan terima kasih padanya. Suatu saat aku ingin bertemu dengannya lagi. Tuhan, Kau dengar doaku? Aku ingin bertemu dengannya lagi." Ia bergumam, kemudian menghela napas.
Menatap plastik obat di tangan, kemudian berlalu meninggalkan apotik. Hatinya tak henti bertanya-tanya, tentang siapa gadis yang telah menolongnya. Harapan untuk pertemuan selanjutnya, terus mengisi hati.
****
Di persimpangan jalan, Cempaka tertegun. Berpikir tentang apa yang telah terjadi hari itu. Terbersit di hati sudah saatnya untuk melawan Baron.
"Aku tidak bisa hanya tinggal diam saja. Laki-laki itu sudah keterlaluan, apa yang dia lakukan sangatlah fatal. Aku tidak boleh takut, aku akan melaporkannya ke polisi. Dia harus mendapatkan hukuman," gumam Cempaka dengan kedua maniknya yang memancarkan tekad yang kuat.
Dengan menggenggam sebuah botol kecil yang ia temukan di dapur, Cempaka yakin botol tersebut adalah botol racun yang digunakan Baron untuk membunuh kedua adiknya. Ia meniti langkah berbelok ke kantor polisi.
Cempaka mematung di depan gedung tersebut, rasa ragu mulai hadir mengganggu tujuannya. Ia menghela napas, genggaman tangan pada botol berbungkus plastik itu semakin menguat.
"Aku tidak boleh lemah, aku harus yakin bahwa apa yang aku lakukan adalah benar. Demi Rafa dan Rafi, demi kebebasanku. Jika laki-laki itu dipenjara, maka tidak akan ada lagi yang mengatur hidupku. Aku bisa bebas menentukan pilihan, dan yang terpenting pernikahan paksa itu tidak akan pernah terjadi." Cempaka meyakinkan hatinya, kembali melanjutkan langkah memasuki gedung kantor penegak hukum tersebut.
"Selamat sore, Pak!" sapa Cempaka pada petugas kepolisian yang berjaga.
"Selamat sore, Nona. Ada yang bisa kami bantu?" balas polisi tersebut sembari menelisik wajah gadis di depannya. Terdapat lebam juga bekas tamparan di pipi membuat mereka curiga ia adalah korban kekerasan.
Cempaka tercenung, terpikirkan ancaman Baron yang akan membakar mayat kedua adiknya. Namun, hati dan pikiran terus meyakinkan untuk melanjutkan niatnya. Ia menghela napas dalam dan membuangnya perlahan.
"Saya ... saya mau melaporkan ayah saya, Pak. Dia sudah melakukan penganiayaan terhadap saya juga kedua adik saya, bahkan ... bahkan ...." Cempaka tergugu ketika bayangan kedua adiknya yang terbujur kaku melintas dalam benak.
"Iya, Nona?"
Cempaka menghela napas, terlalu sakit bila mengingat semua itu. Dia bertekad mengakhiri semuanya.
"Dia membunuh kedua adik saya dengan cara meracuni makanan mereka, Pak. Dia juga mengancam saya akan membakar jasad mereka jika saya mengadukan hal ini pada pihak berwajib. Tolong saya, Pak. Tolong saya!" ratap Cempaka menangkupkan kedua tangan di depan wajahnya yang tertunduk.
"Anda memiliki bukti?" Tak akan pihak kepolisian bertindak gegabah.
Cempaka menyerahkan botol berbungkus plastik itu kepada mereka. "Mungkin ini bisa menjadi bukti. Saya menduga ini adalah botol racun yang dia gunakan untuk membunuh mereka."
Polisi menerima dan memeriksanya. Segera surat perintah penangkapan pun turun, dan mereka bergegas mendatangi rumah Baron. Pihak kepolisian juga membongkar makam kedua adik Cempaka untuk melakukan autopsi pada jenazah keduanya.
"Anak durhaka! Awas saja kau, kalau aku bisa lolos akan aku habisi dirimu!" ancam Baron saat polisi menggiringnya ke dalam mobil.
Cempaka mematung, menatap kepergian Baron yang dibawa polisi. Ada banyak pertanyaan terlontar dari warga yang berkerumun, tapi Cempaka malas menanggapi dan memilih masuk ke dalam rumah. Menguncinya, menghilang dari semua orang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Siti Nurasiah
teganya
2023-03-02
1