Baron duduk diam di mobil polisi, meski terlihat menurut yang sebenarnya dia sedang mencari cara untuk melarikan diri dari mereka. Kepalanya tertunduk dalam, mengira-ngira tempat mana yang tepat untuk melarikan diri.
Di tengah perjalanan sebuah suara tiba-tiba terdengar, menyusul bau yang menyengat menyeruak menjejali hidung mereka.
"Astaga! Bau busuk apa ini?" ujar mereka menutup hidung dan mengibas-ngibaskan tangan di depan wajah.
Bagus!
"Itu bau kentutku, perutku sangat sakit, mulas dan melilit. Aku tak tahan, jadi aku keluarkan saja di sini. Ah, lagi ... aku ingin membuangnya lagi," ucap Baron sambil mengedan hendak mengeluarkan sesuatu lagi dari belakangnya.
"Jika kalian tidak membiarkan aku pergi ke toilet maka, aku akan mengeluarkannya di sini. Ugh!" Baron mulai mencari alasan agar dapat keluar dari mobil polisi itu.
Mereka menepikan mobilnya di salah satu toilet umum, berjaga dengan siaga selama Baron membuang hajatnya.
"Hei! Cepatlah!" Polisi yang berjaga menggedor-gedor pintu kamar mandi meminta Baron untuk segera keluar.
Bunyi air yang dinyalakan membuat mereka percaya bahwa laki-laki bengis itu masih berada di dalam. Semakin lama keanehan pun semakin nyata.Ia membuka pintu dengan paksa, tak ada siapapun di dalam sana selain air yang terus mengucur. Lalu, melirik ke atas pada lubang udara yang mudah saja dimasuki seseorang.
"Tahanan melarikan diri!" teriaknya ikut menyentak tubuh Baron yang tengah bersembunyi di dalam semak di belakang kamar mandi umum itu.
Dia tidak lari karena tidak mungkin lolos dari kejaran polisi. Para polisi segera datang memeriksa, mencari-cari menggunakan senter untuk dapat melihat Baron. Namun, posisi Baron yang menguntungkan tak dapat mereka temukan.
Bagus! Pergilah!
Baron membatin ketika mendengar suara deru mobil meninggalkan toilet umum. Beberapa jam masih bersembunyi di sana sampai keadaan menjadi sunyi dan aman menurutnya.
"Para polisi itu pasti menjaga rumahku. Mereka pikir aku akan ke sana, aku tidak bodoh!" Baron beranjak dan pergi meninggalkan tempat tersebut.
Dia tidak menuju ke rumahnya, melainkan berbelok ke arah lain sambil tak henti-hentinya mengumpat.
"Awas saja kau, Cempaka! Aku akan membalas ini!" ancamnya di dalam hati.
****
Sementara di rumah itu, Cempaka tengah menangis tersedu-sedan di lantai rumahnya. Memeluk lutut, menumpahkan kesedihan juga kekecewaan karena yang dilakukan laki-laki itu.
Suara deru mobil menyentak tubuh Cempaka, menyusul ketukan di pintu membuatnya segera beranjak untuk membuka.
"Selamat malam, Nona! Tahanan melarikan diri, dan kami kira akan pulang ke sini. Kami akan berjaga di sekeliling rumah Anda."
Napas Cempaka tercekat, air matanya luruh berjatuhan di lantai. Ia menutup pintu dengan segera setelah para polisi menginstruksikan, menguncinya dan masuk ke kamar menenangkan diri.
"Bagaimana bisa dia lari? Ya Tuhan!" Cempaka menangis, rasa takut seketika saja memenuhi hatinya. Baron pasti akan kembali entah malam ini atau besok pagi. Dia pasti sedang menunggu para polisi yang berjaga itu lengah.
****
Keesokan harinya, pagi buta di rumah Cempaka.
Byur!
Segayung air disiramkan Baron pada tubuh Cempaka yang tanpa sadar terlelap di atas kasur lepeknya. Gadis itu terlonjak dengan napas tersengal-sengal.
"Bangun, Pemalas!" Baron mencengkeram dagu Cempaka dengan cukup kuat. Matanya begitu tajam menusuk, ketakutan jelas terpancar di kedua mata wanita itu.
"Berani sekali kau melaporkanku pada polisi! Kau pikir aku mudah untuk masuk penjara? Kau belum tahu siapa Baron? Jangan pernah macam-macam denganku!" Dengan kasar ia hempaskan wajah Cempaka sehingga berbalik.
Plak!
Menamparnya dua kali melampiaskan emosi.
"Jika tak ingat uang yang akan aku dapatkan hari ini, aku mengirimmu ke alam baka menyusul mereka!" kecam Baron tepat di depan wajahnya.
"Bunuh aja aku! BUNUH SAJA AKU!" teriak Cempaka tak tahan.
Baron tertawa terbahak-bahak. Tak akan dia membunuh gadis itu.
"Aku tidak akan membunuhmu. Cepat, bersihkan dirimu. Kita akan bertemu dengan tuan Caesar." Laki-laki itu beranjak meminta Cempaka bersiap.
Dengan kasar, Baron menjambak rambut gadis itu dan memintanya untuk masuk ke kamar mandi. Tanpa dapat menolak lagi, Cempaka mengusap wajahnya yang basah, dan membersihkan diri.
"Jangan lupa pakai pakaian yang aku belikan. Pastikan kau juga berdandan untuk dapat menarik perhatian tuan Caesar." Baron memerintah tanpa melihat ke arah Cempaka. Tangannya sibuk memainkan ponsel, menghabiskan waktu dengan hanya bermain game.
Cempaka menghela napas, meremas pakaian di tangannya. Pakaian haram yang tak pernah ingin dia pakai, tapi hari itu dia mengenakannya sambil menangis.
Baron berteriak memanggil namanya. Celingukan memastikan tak ada polisi yang berjaga di sekitar sana. Lalu, menggeret tangan Cempaka dengan kasar ketika baru saja ia keluar.
Kepalanya melilau dengan awas, khawatir akan keberadaan para pihak berwajib.
"Ayo!" Baron berbalik sambil meneguk ludah, mengusap keringat yang tiba-tiba muncul memenuhi wajah. Ia menghidupkan motor bututnya, membawa Cempaka pergi ke sebuah restoran.
"Jangan banyak bicara, cukup diam dan patuhi apa yang akan kau dengar di sana," ingat Baron yang tak ditanggapi cempaka sama sekali.
Gadis itu terus diam, menahan tangis yang ingin meluap. Bibirnya gemetar, kulit wajah serta matanya memerah. Rasa panas membakar setiap rasa dalam diri, menciptakan embun yang menggenang di kedua pelupuk.
"Turun!" ketus Baron ketika ia baru saja menghentikan motor di parkiran restoran.
"Ingat! Jangan berkata apapun juga!" Baron menuding wajah Cempaka, sebelum menarik jaket yang dikenakan gadis itu. Lalu, menyerat tangannya untuk memasuki restoran.
Cempaka terseok-seok mengikuti langkah lebar Baron. Laki-laki itu membawanya ke sebuah ruang privasi yang dikhususkan untuk para tamu-tamu istimewa.
"Maaf, Nyonya. Saya datang terlambat," ucap Baron membungkukkan tubuh di hadapan seorang wanita yang berusia lebih tua dari Cempaka.
Ia nampak elegan, duduk dengan gaya cantik, yang memperlihatkan kelasnya. Pakaian mewah membalut tubuhnya yang ramping, riasan natural yang memperlihatkan kecantikan wajahnya.
Mata yang dibingkai bulu lentik itu memindai tubuh sintal Cempaka dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sedikit mencibir karena gadis itu memiliki postur tubuh yang lebih menarik daripada dirinya.
"Yah, tidak apa-apa. Silahkan duduk!" Tangannya dengan gemulai mempersilahkan keduanya untuk duduk.
"Apa kau sudah menjelaskan kepadanya untuk apa dia datang?" tanya wanita tersebut menatap Baron tajam.
"Sudah, Nyonya. Dia sudah tahu untuk apa ada di sini?" jawab Baron dengan yakin.
Wanita itu menyandarkan tubuh dengan elegan, melipat kedua tangan di perut. Sikap angkuhnya itu pun, membuat siapa saja akan berdecak kagum saat melihat.
"Ini!" Dia melempar sebuah berkas ke hadapan Cempaka. "Baca, dan pelajari isi kontraknya!" Ia memerintah kemudian melipat kedua tangan lagi memperhatikan.
Dengan tangan gemetar, Cempaka mengambil berkas tersebut dan membacanya. Menetes air mata. Apakah nasibnya akan berakhir pada pernikahan kontrak itu?
"Tugasmu hanya mengandung dan melahirkan anak untukku juga suamiku. Jangan pernah berharap lebih, apalagi mengharapkan cinta suamiku! Karena itu tidak akan pernah kau dapatkan!" ucap wanita tersebut dengan penuh percaya diri.
Cempaka mengusap air matanya, meletakkan berkas tersebut di atas meja. Dia akan menerima takdirnya. Hanya sampai melahirkan, setelah itu dia akan terbebas dari mereka semua termasuk Baron.
Hati Cempaka semakin perih tatkala wanita itu memberikan Baron sebuah amplop yang cukup tebal. Gadis itu tahu apa yang ada di dalam. Itu pasti uang penjualan dirinya. Baron mencium amplop tersebut, tertawa terbahak.
Berselang, pintu terbuka dan seorang laki-laki dewasa masuk ke ruangan.
"Sayang!" Wanita itu menyambut dengan manja dan mesra. Membawanya duduk di sofa dengan tangan yang menggamit lengan laki-laki tersebut.
"Dia perempuan yang aku pilihkan untuk melahirkan anak kita. Bagaimana? Kau suka?"
Laki-laki itu memicing, menelisik dalam-dalam sosok Cempaka.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 124 Episodes
Comments
Dwi Puji Astuti
sukaaa
2024-11-28
1